e-mindakita
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Log in

I forgot my password

Who is online?
In total there are 11 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 11 Guests

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 497 on Thu May 06, 2021 1:37 pm
Statistics
We have 950 registered users
The newest registered user is niketan verma

Our users have posted a total of 57793 messages in 1692 subjects
Poll

Negeri Asal Anda

Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap6%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 6% [ 5 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap23%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 23% [ 18 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap21%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 21% [ 16 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap8%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 8% [ 6 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap8%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 8% [ 6 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap6%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 6% [ 5 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap6%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 6% [ 5 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap0%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 0% [ 0 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap6%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 6% [ 5 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap4%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 4% [ 3 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap0%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 0% [ 0 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap1%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 1% [ 1 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap3%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 3% [ 2 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap1%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 1% [ 1 ]
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcap5%Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 5% [ 4 ]

Total Votes : 77

Top posters
Admin (4111)
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcapKonspirasi Arab terhadap Islam  I_voting_barKonspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 
mekganu (3628)
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcapKonspirasi Arab terhadap Islam  I_voting_barKonspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 
Juang (3494)
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcapKonspirasi Arab terhadap Islam  I_voting_barKonspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 
penditaputra (3027)
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcapKonspirasi Arab terhadap Islam  I_voting_barKonspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 
tokkmudim (2844)
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcapKonspirasi Arab terhadap Islam  I_voting_barKonspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 
Kalam (2631)
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcapKonspirasi Arab terhadap Islam  I_voting_barKonspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 
myra_roses (2534)
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcapKonspirasi Arab terhadap Islam  I_voting_barKonspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 
zafran0512 (2315)
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcapKonspirasi Arab terhadap Islam  I_voting_barKonspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 
FeLiSeWoMaN (2310)
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcapKonspirasi Arab terhadap Islam  I_voting_barKonspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 
tajuNM (2159)
Konspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_lcapKonspirasi Arab terhadap Islam  I_voting_barKonspirasi Arab terhadap Islam  I_vote_rcap 

Keywords

2024  2012  2011  baqarah  2010  2013  


Konspirasi Arab terhadap Islam

3 posters

Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 12:56 pm


Konspirasi Arab
terhadap Islam

Aidid Safar
















Bangsa Arab itu sangat setia pada kekafiran dan kemunafikannya. Mereka tidak tahu tentang larangan-larangan yang ditetapkan oleh Allah terhadap Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
(Qur’an Surat 9 Ayat 97)



Bangsa Arab yang ada di sekelilingmu adalah orang-orang munafik dan mereka berasal dari kota berpenghuni. Mereka sangat memuja sifat munafiknya
(Qur’an Surat 9 Ayat 101)



Kami telah memberikan kepada setiap nabi musuh-musuh yang berupa syaitan dalam bentuk manusia dan jin yang menciptakan dan membacakan kata-kata indah untuk menipu manusia. Bila Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan mengerjakannya. Kamu harus menjauhinya dan ciptaan-ciptaan mereka.
(Qur’an Surat 6 Ayat 112)

DAFTAR ISI


PENDAHULUAN 7

KONSPIRASI ARAB 16
AL QUR’AN ATAU BACAAN 16
MENGABDILAH HANYA KEPADA TUHANMU 18
TUHAN BUKANLAH BANGSA ARAB 20
KLAIM KEPEMILIKAN 22
MENCIPTAKAN PERPECAHAN DI ANTARA MANUSIA 23
PEMUJA BATU 25
MENYEMBAH BATU GUNUNG 27
KONSPIRASI 27

PESAN KEPADA ULAMA 32

BAGIAN SATU 36
TUHAN TIDAK MENGHENDAKI ADANYA AGAMA 36
ISLAM ADALAH CARA HIDUP ATAU ‘DIN’ 36
KATA DIN BUKAN BERARTI AGAMA 43
KEBEBASAN PENUH 45
BERHALA YANG SESUNGGUHNYA 46
MENGABDILAH KEPADA TUHAN MELALUI KOMITMEN 48
TUHAN BUKAN UNTUK ‘DISEMBAH’ 52
MUSA DAN ISA TIDAK MENYEMBAH TUHAN 54
AGAMA ADALAH BUATAN MANUSIA 56

BAGIAN DUA 59

SOL-LAA (KOMITMEN) BUKANLAH SEMBAHYANG RITUAL 59
SOL-LAA MENURUT AL QUR’AN 59
KOMITMEN DI ANTARA SESAMA MANUSIA 63
KOMITMEN MANUSIA PADA DIRI SENDIRI 66
KOMITMEN TENTANG KEYAKINAN 67

SEJARAH 71
KOMITMEN IBRAHIM 71
KOMITMEN MUSA 71
KOMITMEN ISA 72
KOMITMEN NABI TERAKHIR 73
MEMOHON PERTOLONGAN ALLAH TANPA
MELAKUKAN RITUAL 75
MENGAGUNGKAN ALLAH MELALUI KOMITMEN 78
SEMBAHYANG RITUAL TIDAK ADA DI DALAM AL QUR’AN 78
‘SEMBAHYANG RITUAL ADALAH SEBUAH KONSPIRASI’ 79

BAGIAN TIGA 81
PENGUBAHAN KATA SOL-LAA DAN PERTANYAAN-
PERTANYAAN YANG SERING DIAJUKAN 81
BAGAIMANA ORANG ARAB ‘MENGUBAH KATA SOL-LAA’ 82
PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG SERING DIAJUKAN 85
PERTANYAAN YANG TIDAK BISA DIJAWAB 89

BAGIAN EMPAT 94
ZAKAT AGAMA ADALAH PUNGUTAN YANG ILEGAL 94
ZAKAT BUKAN BERARTI ZAKAT AGAMA 95
NILAI-NILAI DASAR UNIVERSAL 96
ANJURAN BERSEDEKAH 97
PUNGUTAN AGAMA DIBUAT OLEH ORANG-ORANG ARAB 99
ZAKAT TIDAK MELIBATKAN UANG 102
MAKNA KATA ZAKAA 103

BAGIAN LIMA 106
AGAMA ARAB 106
CERITA ORANG-ORANG ARAB TENTANG KA’ABA SAAT INI 108
AGAMA BUKAN DARI TUHAN 114
HUKUM AGAMA ARAB 116
SHOLAT RITUAL ARAB 121

BAGIAN ENAM 124
TARGET UTAMA ADALAH IBRAHIM 124
RELEVANSI STATUS IBRAHIM 125
DONGENG UNTUK MEMPERKUAT KONSPIRASI 126

BAGIAN TUJUH 130
PENYEMBAHAN PADA RUMAH BATU 130
IBRAHIM TIDAK MEMBANGUN RUMAH APAPUN 131
TIPUAN 134
BAYTA ADALAH SISTEM TUHAN, BUKAN ‘SEBUAH RUMAH’ 136
HARAM BUKAN BERARTI SUCI 143

MENURUTI AJAKAN MENUJU SISTEM ITU 146
BUKAN MENUJU BERHALA BATU 146
APA YANG ADA DI DALAM SISTEM ATAU BAYTA? 147

BAGIAN DELAPAN 150
KORUPSI TIADA AKHIR 150
STATUS IBRAHIM (MAQAMI IBRAHIM) 151
KATA BERKOMITMEN DISALAHARTIKAN 154
MENYUCIKAN SISTEM (THO-HIRA BAYTI-YA) 156
SEKELOMPOK ORANG MENJADI MENGELILINGI 157
KATA THAW-WAF 158
BERPEGANGAN MENJADI KEMBALI 159
BERSERAH DIRI DENGAN RENDAH HATI MENJADI
MEMBUNGKUK DAN BERSUJUD 161
SUJUD TIDAK BERARTI SUJUD FISIK 164
RUKUK BUKANLAH MEMBUNGKUK SECARA FISIK 167

BAGIAN SEMBILAN 172
BERSERAH DIRI MENJADI MASJID 172
DIN ITU DITETAPKAN 177
MA-SAJID ADALAH PENYERAHAN DIRI 178
PENYERAHAN DIRI ITU DITETAPKAN 181
PESAN DALAM AYAT-AYAT SUCI AL QUR’AN 184
KETAKWAAN PADA PERIODE PRA AL QUR’AN 185
SANKSI-SANKSI PADA PERIODE PRA QUR’AN 189
FOKUS KE ARAH SANKSI KETAKWAAN
(MENGHADAP KE KIBLAT) 199
SANKSI-SANKSI YANG DIPERINTAHKAN
YANG DITURUNKAN 201
KONTEKSNYA ADA DALAM AYAT 142-152 205

BAGIAN SEPULUH 209
PENGHENTIAN KONSERVASI SATWA LIAR 209
TENTANG MAKANAN DAN KONSERVASI SATWA LIAR 210
KONSERVASI SATWA LIAR MENJADI BUSANA HAJI 219
KATA IHRAM TIDAK DITEMUKAN DALAM AL QUR’AN 221
PETUNJUK MENJADI ‘PERSEMBAHAN BINATANG’ 224
KORUPSI YANG LEBIH JAUH 225
SANKSI-SANKSI TERHADAP MAKANAN 227
HEWAN YANG DITANGKAP OLEH ANJING ADALAH
DIPERKENANKAN 229
BANGSA ARAB MEMENUHI JANJI SETAN 231
KA’BATA (TUNGKAI) DITERJEMAHKAN MENJADI
RUMAH TUHAN 231
BAGIAN SEBELAS 241
U’MRAH DAN HAJI ADALAH IBADAH HAJI
YANG MENGADA-ADA 241
TUHAN MEMAKMURKAN MANUSIA 241
MANUSIA MEMAKMURKAN (U’MRA) BUMI 244
BAGAIMANA UMRAH DALAM AYAT 19 DIMANIPULASI 247
TANTANGAN ATAU HAJI 249
HAJJAA IBRAHIM 253
IBRAHIM DAN ISMAIL TIDAK PERNAH BERADA DI MEKAH 261
BANGSA ARAB ADALAH KAFIR 262
TANTANGAN BESAR 265
PIKIRKAN PILIHANNYA 265
LIMA PENYELEWENGAN DALAM DUA AYAT 274

BAGIAN DUABELAS 275
PESAN QUR’AN 275
MELAYANI TUHAN SECARA INDIVIDUAL 277
TUHAN TIDAK BERADA DI DALAM RUMAH 278
PENYELEWENGAN 280
PARA PEMBACA TERJEMAHAN 283

SEBUAH PESAN UNTUK UMAT KRISTEN DAN YAHUDI 285

TINJAUAN 293













faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 12:57 pm


PENDAHULAUAN

Konfrontasi antara logika dan ‘keimanan’ ibarat makanan yang harus dicerna oleh akal manusia.

Buku Konspirasi Arab Terhadap Islam merupakan hasil dari refleksi yang mendalam, yang ditulis untuk memahami luasnya permusuhan yang dikobarkan oleh hampir seluruh Umat non-Muslim terhadap Islam termasuk orang-orang Barat, Orang Hindu, Yahudi dan setiap orang. Saya baru saja menyadari dan akan terus membuktikan kepada para Pembaca Al Qur’an itu sendiri bahwa prasangka tersebut memang benar. Mereka yang mengklaim dirinya sebagai ‘Muslim’ menyatakan apa sebenarnya ‘Agama Bangsa Arab’ ciptaan mereka. Mungkin mereka memang pantas mendapatkan penderitaan yang tidak ada henti-hentinya dan memalukan, sampai mereka kembali kepada satu kebenaran, yaitu Tuhan. Buku ini menyingkap kebenaran yang masih tersembunyi, melukiskan gambaran yang lebih tepat tentang Islam yang sesungguhnya.

Islam yang kita ketahui saat ini jauh dari apa yang digambarkan dalam Al Qur’an. Apapun keyakinan pembaca, ia akan menemukan berbagai fakta di dalam buku ini yang secara jelas diabaikan ketika permasalahan Islam dikemukakan. Buku ini akan membekali pembaca dalam melihat fakta dari teks asli, terbebas dari hal-hal yang bersifat tahayul atau kehendak agama—sesuai pandangan—Al-Qur’an. Kita akan melihat kebenaran bahwa bangsa Arab itu memilih untuk berbuat jahat dengan melakukan konspirasi terhadap Tuhan dan Rasul-Nya untuk mengkorupsi agama atau pandangan hidup orang Islam ke dalam ‘agama’ kafir yang dijadikan ritual, yang mereka sebut ‘Agama Islam’.

Pada dasarnya, Al Qur’an bukanlah tentang agama. Islam bukanlah agama. Islam adalah keyakinan atau pandangan hidup. Tesis ini dikumpulkan dari studi yang sangat detail dan luas, yang dengan sendirinya membenarkan publikasi ini.

Terlahir sebagai Muslim, sejak awal saya memegang teguh Qur’an dan keyakinan serta kehidupan pribadi saya sebagai elemen yang penting. Yang disebutkan terakhir tidak akan dijalankan dengan baik bila yang sebelumnya tidak diterapkan dengan baik. Pertama kali saya mengkaji Al Qur’an secara serius sepulangnya saya dari ibadah haji ke Mekkah pada tahun 1980, dan berfikir bahwa saya telah memenuhi kewajiban saya sebagai seorang Muslim. Kini saya harus mengakui, bahwa menurut Al Qur’an, saya tidak memenuhi apapun di Mekkah, dan tak seorangpun di dunia ini memenuhinya, sepanjang menyangkut ibadah haji ke Mekkah. Sungguh ini pemborosan waktu yang percuma.

Sebelum memulai studi ini, saya menanyakan pada diri sendiri beberapa pertanyaan mendasar:
• Apakah benar Tuhan telah memilih tinggal di sebuah rumah di tanah Arab, yang dibangun oleh manusia?
• Apakah Dia perlu tempat tinggal, jika tidak, mengapa disebut rumah Tuhan?
• Mengapa saya harus menunduk, bersujud pada sebuah bangunan persegi empat yang kosong yang dibangun dari bebatuan gunung, dan kemudian mengitarinya lalu mencium batu hitam yang menancap di sana.
• Mengapa saya harus melakukan ritual sholat lima waktu sehari dengan menghadap bangunan batu bahkan meskipun saya tinggal ratusan mil jauhnya?

Pertanyaan seperti ini memerlukan studi tentang keadaan di sekitarnya. Saya mencari jawaban dalam teks-teks Al Qur’an untuk mendapatkan alasan atas apa yang telah saya lakukan di Mekkah dan juga mengapa saya harus mengunjungi sebuah makam di Madinah. Pada saat itu saya hanya mengetahui dari terjemahan bahwa dalam ayat-ayat Qur’an dikisahkan tentang kehidupan Nabi Nuh, Ibrahim dan anak-anaknya Ishak, Ismail serta Yakub dan anaknya Yusuf serta saudara laki-lakinya. Al Qur’an juga membahas dengan detail tentang Daud dan anaknya Nabi Sulaiman, Zakaria dan anaknya Yahya, Musa serta saudaranya Harun, Isa dan ibunya Maryam, para kepala keluarga yang menerima kitab suci sebelumnya. Terakhir hanya sedikit informasi mengenai Nabi Muhammad S.A.W. yang merupakan satu-satunya nabi non-Yahudi yang menerima kitab suci, dan bahkan hanya berupa rangkuman pengetahuan tentang Nabi Muhammad. Saya mencari detail sejarah kehidupan manusia yang diidolakan oleh jutaan manusia, namun sayang saya tidak menemukannya, kecuali ayat-ayat yang merujukkan frustrasi dan kekecewaannya selama masa kenabiannya. Dengan kata lain, nabi terakhir, seperti nabi-nabi lain sebelumnya telah gagal menjalankan misinya untuk membuat Kitab Suci Allah sebagai dokumen yang diterima oleh dunia. Maka tidaklah mengherankan ketika kita membaca Al Qur’an akan menemukan pernyataan nabi terakhir sebagai berikut:

Berkatalah Rasul, Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mengucilkan Al Qur’an (Surat 25 Ayat 30).
Sebelum saya mempelajari ayat-ayat asli Al Qur’an, saya sangat mengandalkan terjemahan-terjemahannya. Segera saya menyadari ada sejumlah pernyataan yang bertentangan dan berlawanan dalam berbagai terjemahan. Satu hal yang paling mengganggu saya adalah ayat-ayat yang tidak logis pada Surat 2 ayat 125.

Kita selanjutnya memilih ‘rumah’ (ka’bah) sebagai titik fokus bagi orang dan sebagai tempat suci. Anda harus menggunakan rumah nabi Ibrahim sebagai tempat sembahyang. Kita mengarahkan Ibrahim dan Ismail untuk menyucikan ‘rumah Saya’ bagi mereka yang mengitarinya, merenung, membungkuk dan bersujud kepadanya.

Semua terjemahan secara konsisten mengatakan bahwa Tuhan memiliki rumah dan orang wajib mengabdinya lewat rumah khusus ini. Lalu, saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah ada sesuatu yang salah dengan Tuhan.

Hingga akhirnya saya mempelajari bahasa Arab dan membaca kitab yang asli, dan mampu memahami makna ayat-ayat tertentu yang terdapat dalam kitab ini, yang menegaskan bahwa apa yang saya duga sebelumnya, ternyata benar. Tidak ada yang salah dengan Tuhan. Yang salah adalah pendapat yang sengaja mencampuradukkan pikiran manusia dengan kata-kata Tuhan.

Saya segera menemukan perbedaan yang luas dan pernyataan yang bertolak belakang serta banyak halaman yang tidak logis dalam semua terjemahan. Saya tidak menemukan terjemahan manapun yang pernyataan-pernyataannya mencakup persoalan-persoalan penting yang belum saya ketahui. Sebagai contoh, persoalan konservasi satwa liar telah terdistorsi menjadi ritual pemujaan berhala. Dengan temuan ini, saya diliputi keraguan, apakah saya kurang memahami atau mungkin saya hanya diberikan suatu interpretasi ketimbang arti sesungguhnya dari teks Arab tersebut.

Setelah mempelajarinya secara mendalam dan membuat referensi silang yang luas dengan berbagai ayat yang ada di dalam Al Qur’an, saya merasa yakin dengan kebenaran penelitian saya. Saya mengamati ketidaksesuaian antara pernyataan yang benar di dalam Al Qur’an dan mitos serta serta misteri yang ada dalam ‘Agama Arab’ yang secara sistematis menyangkal pendapat tentang Tuhan. Saya menyusun daftar berbagai pendapat yang salah serta buktinya di dalam Al Qur’an. Sampai pada akhirnya, saya harus mengakui kenyataan yang ada di hadapan saya. Al Qur’an sepenuhnya menentang agama, ritual, penyembahan, pengurbanan binatang, upacara, haji dan semacamnya, dan menggolongkan semua kebiasaan praktek-praktek tersebut sebagai pemujaan terhadap berhala. Inilah yang bisa saya tegaskan terhadap segala keraguan itu. Para penerjemah menghasilkan terjemahan yang pada dasarnya adalah interpretasi manusia (men of letter). Seringkali mereka salah dalam menginterprestasikan atau mengesampingkan tujuan dasar dari pesan saat menerjemahkan Al Qur’an. Mungkin karena keyakinan agamanya dan keyakinan pribadinya, sehingga pesan yang sesungguhnya hilang dalam terjemahannya, dan ayat-ayat dalam Al Qur’an menjadi tidak logis, bertentangan dan salah interpretasi. Agar dapat menerjemahkan Al Qur’an secara benar, penerjemah terlebih dahulu harus memahami apa yang dibacanya.

Hal yang lebih jauh adalah para penerjemah sangat terpengaruh dengan catatan-catatan yang dibuat oleh guru dan penceramah yang didasarkan pada keyakinan pribadi, yang belum pernah diuji kebenarannya dan diteliti terhadap teks dalam Al Qur’an. Karena desakan tradisi, komentator tersebut dianggap sebagai orang yang berwenang, kendati mereka tidak pernah mempelajari masalah tersebut secara serius.

Mereka tidak mampu memahami ayat-ayat yang membahas tentang seriusnya praktek-praktek penyembahan berhala yang tertulis dalam Al Qur’an. Mereka lebih tertarik untuk mencari ayat-ayat, yang memberikan beberapa petunjuk yang membenarkan keyakinan mereka dalam Agama Arab, yang mereka anut. Mereka salah menginterpretasikan Al Qur’an, untuk menyesuaikannya dengan ritual keagamaan mereka.

Selanjutnya, para pengikut yang tidak mengetahui bahasa Arab, Al Qur’an, atau keduanya, sepenuhnya tidak berdaya untuk memahami bahwa Al Qur’an sebenarnya merupakan sebuah kitab yang menjanjikan hak-hak individu dan kebebasan, toleransi serta kebebasan penuh. Informasi tentang hubungan manusia, peringatan terhadap sikap rasial, menjanjikan kebahagiaan dalam kehidupan dan di alam baka, perdamaian dunia, menyayangi sesama, dan mengatur kehidupan sosial yang tidak ada hubungannya dengan agama, tersebar luas di dalam Kitab.

Kebanyakan penerjemah tidak memusatkan perhatian mereka pada persoalan-persoalan khusus dan membandingkannya dengan ayat-ayat lain dalam Al Qur’an - suatu proses yang akan memberikan mereka kunci untuk memahami kata-kata dan ungkapan dalam Al Qur’an itu sendiri. Sebagai akibatnya, mereka salah memahami atau menerjemahkan ayat-ayat dan kata-kata dalam Al Qur’an. Selanjutnya terjemahan tersebut dipenuhi oleh keraguan, ketidaktepatan dan ketidak-konsistenan, yang mengandung pernyataan-pernyataan yang sepenuhnya tidak masuk akal.

Saat memulai penelitian ini enam belas tahun yang lalu, saya tidak dapat menggambarkan setiap karya terdahulu mengenai agama atau pandangan hidup yang sejati, karena sesungguhnya hal tersebut memang tidak ada. Saya hanya dapat merujuk pada beberapa terjemahan yang berkenaan dengan tema-tema dalam Al Qur’an yang berkaitan dengan ‘agama manusia’. Belum pernah ada penelitian yang mendalam tentang Al Qur’an. Penelitian yang disajikan dalam buku ini, membutuhkan cara berpikir yang bebas kritis tanpa membiarkan dugaan dan gagasan yang ada sebelumnya, yang mengaburkan beragam kebenaran yang muncul dalam penelitian ini. Memang tidak mudah bagi para ‘sarjana agama’ untuk mempelajari atau menghargai pengetahuan semacam itu karena mereka sangat dipengaruhi oleh keyakinan agama mereka.

Pertanyaan dan jawaban yang timbul dalam penelitian ini hanya membahas dua sekte terbesar dalam ‘Agama Arab’, yaitu sunni dan shiah yang terbelenggu oleh budaya Arab dan hukum-hukum suku yang pada dasarnya membentuk ‘Agama Arab’. Hanya mereka yang berpikir kritis dan terbuka serta terbiasa dengan teks Arab dalam bentuk harfiah saja yang akan menghargai penelitian ini. Meskipun demikian, buku ini ditulis dengan gaya yang mudah, sehingga mereka yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an atau bahasa Arab akan mampu mengikuti argumen-argumen tersebut dengan mudah.

Saya telah membaca secara cermat setiap bagian dalam kitab suci yang merujuk kata-kata penting mengenai satu subyek yang tersebar di seluruh Kitab Suci tersebut (Al Qur’an). Al Qur’an memang merupakan kesesuaian refleksi tentang berbagai macam subyek yang saling mengacu satu sama lain dan selanjutnya dibahas lagi beberapa kali. Pengelompokan tentang tema yang tepat seperti pemujaan pada berhala atau pandangan hidup harus dikumpulkan dari seluruh kitab dan dijadikan satu dalam satu judul. Tentunya pekerjaan ini memerlukan waktu berjam-jam untuk menelusuri ayat-ayat (Al Qur’an). Indeks tematis yang diberikan oleh para penerjemah, kosa kata Arab dan bahkan Daftar Kata mungkin tidak lengkap atau tidak tepat setelah banyak generasi dalam beragama terpengaruh oleh para kalangan akademis jahat. Kita akan melihat banyak contoh-contohnya yang disajikan dalam buku ini.

Setelah mempelajari teks Arab dengan cermat, saya dihadapkan dengan permasalahan serius tentang perbedaan antara keyakinan pribadi dan apa yang telah saya pelajari ketika saya kecil dan pesan sesungguhnya yang terkandung dengan jelas dalam teks Al Qur’an. Yang membuat saya tersentak pada saat itu adalah bahwa begitu banyak kata dalam teks Arab asli diterjemahkan secara tidak tepat dan (sangat menggelikan) dengan cara yang sangat tidak konsisten. Di satu bagian, satu kata memiliki satu makna, sementara pada bagian yang lain makna kata itu akan berbeda. Meskipun semuanya itu telah melalui pemeriksaan dan penelitian yang mendalam oleh para kalangan ‘terpelajar’. Kontradiksi, keraguan dan ketidaksesuaian sangat banyak ditemukan dan ketika dilihat secara keseluruhan maka hal yang mengejutkan adalah mengapa atau bagaimana kalangan terpelajar, penceramah dan penerjemah berpura-pura tidak mengetahui akan hal-hal tersebut, atau berusaha menyembunyikan keyakinan yang salah, yang alasannya hanya diketahui oleh mereka.

Kebanyakan orang non-Arab tidak sadar akan distorsi/pemelintiran terjemahan Al Qur’an, yang akibatnya mempertahankan efek yang sangat merusak keyakinan mereka kepada Tuhan. Meskipun ada beberapa orang yang dapat membedakan keyakinan yang salah tersebut, namun sebagian besar orang-orang non-Arab tidak mempertimbangkan terjemahan dan komentar yang tidak logis.

Saya termotivasi untuk melakukan penelitian yang penting setelah membaca beberapa halaman pertama dari Al Qur’an dan menemukan fakta-fakta berikut dari bagian awal kitab suci (Al Qur’an) tersebut:

Hai manusia, kamu harus mengabdi Tuhan kamu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai tempat tinggalmu. Dialah yang menciptakan langit. Dia menurunkan air dari langit untuk menciptakan buah-buahan sebagai makanan untukmu. Karena itu janganlah kamu menjadikan berhala di samping Allah, padahal kamu mengetahuinya (Surat 2 Ayat 21-22).

Saya menyadari pesan yang ada dalam kitab ini ditujukan kepada semua umat manusia tanpa membedakan asal-usul ras dan keimanan. Pesan itu menekankan bahwa manusia hanya tunduk pada satu Penguasa yang menciptakan manusia. Manusia tidak boleh mengabdi pada segala macam berhala selain kepada Tuhan yang Maha Esa. Akan tetapi, semua manusia beragama mengajarkan hal yang berlawanan; mereka mengajarkan orang untuk mengidolakan hamba Allah atau mengabdikan dirinya kepada sesuatu yang berwujud. Inilah hal yang sangat mengejutkan saya ketika saya terus membaca beberapa Surat dalam Al Qur’an dan ternyata menemukan pernyataan-pernyataan yang jelas seperti berikut:

Bila kamu menuruti sebagian besar orang di muka bumi ini, maka mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka hanya mengikuti perkiraan belaka, dan mereka hanya menduga-duga (Surat 6 Ayat 116).

Dia telah menjelaskan kepadamu cara hidup yang sama sebagaimana yang diperintahkan kepada Nuh, dan apa yang diwahyukan di dalamnya, dan apa yang diperintahkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa. Kamu harus menjunjung tinggi satu cara hidup dan janganlah memecah belahnya. Adalah sangat sulit bagi para penyembah berhala untuk menerima apa yang kamu sarankan. Allah akan membawa mereka kehadapan-Nya siapapun yang dikehendaki-Nya. Dia akan membimbing mereka yang berserah diri kepada-Nya (Surat 42 Ayat 13).

Dalam satu pernyataan yang sederhana, kita tidak boleh mengikuti kebanyakan orang. Titik. Dan ayat lain menyatakan bahwa hanya ada Satu Tuhan untuk seluruh umat manusia dan mereka harus bersatu dalam mengabdi satu Tuhan yang tidak terlihat yang memberikan kitab suci tersebut kepada para Nabi dan Rasul.

Dialah Yang Maha Esa yang mengarahkan dan membimbing kita ke jalan-Nya, dan bukan pembawa pesan. Singkatnya, pesan itu lebih penting ketimbang Rasul-Nya. Para nabi atau rasul tidak perlu hadir bila telah selesai menyampaikan pesan. Tugas mereka bukanlah untuk membimbing, namun mengajak manusia untuk beriman kepada Tuhan. Ayat tersebut juga menceritakan dengan jelas bahwa mereka yang memuja manusia atau patung dianggap sebagai penyembah berhala dan orang-orang tersebut tidak akan memenuhi seruan tersebut.

Lalu, bagaimana dengan begitu banyaknya agama yang ada di sekitar kita yang mengklaim, mengakui dan mempraktekkan jalan yang benar kepada Tuhan? Al Qur’an memberikan jawaban atas permasalahan yang pelik ini.

Kamu harus berserah diri kepada Allah, bertakwa kepada-Nya, serta menjunjung tinggi komitmenmu dan janganlah menjadi penyembah berhala dan jangan termasuk orang-orang yang menyatukan cara hidup ke dalam agama, setiap pihak merasa puas dengan apa yang mereka yakini (Surat 30 Ayat 31-32) .

Ikutilah orang yang tidak meminta balasan apapun darimu, mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Surat 36 Ayat 21).

Jawabannya terdapat dalam Kitab ini. Manusia menciptakan ‘Agama’ untuk membelokkan manusia dari jalan Tuhan. Setiap kelompok mengakui dengan cara yang berbeda apa yang diwahyukan kepada nabi-nabi-Nya. Akibatnya, mereka mengalami perlakuan kejam terhadap satu sama lain. Manusialah yang membuat kesalahan dengan mendermakan uang mereka kepada semua orang beragama yang menghancurkan kehidupan mereka sendiri. Hubungan itu telah terbentuk sejak lama.

Al Qur’an menentang sistem semacam itu. Saya tidak lagi sependapat dengan bagian tidak logis ini yang mengatakan, ‘Ikutilah orang-orang yang tidak meminta balasan apapun darimu’.

Marilah kita lihat beberapa contoh berikut:

1. Mereka yang ahli agama akan mengatakan kepada Anda bahwa salah satu tiang keimanan mereka adalah mengunjungi dan mengabdi bangunan batu di Mekkah, mengitarinya sebanyak 10 kali dan kemudian mencium batu hitam yang menempel pada salah satu sudut dari bangunan batu tersebut. Selanjutnya pergi ke tempat lain dan mulai melemparkan beberapa batu ke tiang batu sambil membayangkan tiang-tiang tersebut sebagai setan. Pada saat bersamaan Anda juga harus membayangkan mata air yang muncul di Mekkah sebagai air suci.

2. Ahli agama lain akan menjelaskan kepada Anda bahwa tiang keimanan adalah percaya bahwa Tuhan memiliki seorang anak laki-laki yang menyantap makanan bersama orang-orang, dan mereka percaya bahwa pendeta tertinggi memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan perintah penyaliban kepada anak Tuhan.

3. Para ahli agama yang sama yang mengklaim bahwa mereka telah menyalib anak Tuhan mengatakan kepada Anda bahwa manusia yang taat adalah mereka yang mengenakan kopiah, tidak mencukur cambang dan memelihara jenggot.

Mereka mendapat imbalan dengan mendukung ideologi tersebut. Lebih dari separuh penduduk dunia mengeluarkan uang hanya untuk membayar pelawak seperti itu. Dan Al Qur’an menyatakan, ‘Ikutilah orang-orang yang tidak meminta balasan apapun darimu!’.

Manusia terus menerus diingatkan agar menggunakan akal sehat mereka. Manusia mengetahui bahwa melawan hal yang logis adalah salah, tetapi mereka tidak pernah memahaminya. Mereka melihat, tetapi tidak menyadarinya karena hati mereka telah mengeras dan sulit mendengar dengan telinga mereka, dan mereka juga telah menutup mata mereka. Dalam istilah yang paling sederhana, Al Qur’an menggolongkan orang semacam itu lebih buruk daripada binatang:

Kami telah mengirimkan manusia dan jin ke neraka, mereka memiliki hati namun tidak bisa memahami, memiliki mata namun tidak digunakan untuk melihat, memiliki telinga namun tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang, malah lebih buruk daripada binatang, tetapi mereka tidak menyadarinya (Surat 7 Ayat 179).

Saya mendasarkan pengamatan saya atas fakta yang terkandung dalam Al Qur’an itu sendiri dan menarik kesimpulan dari fakta-fakta tersebut. Jika saya tidak melakukan penelitian ini, maka cepat atau lambat, orang lain pasti akan melakukannya bila berada pada posisi saya.

Penelitian ini menyajikan suatu kajian terhadap kitab yang diwahyukan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Memang umat Muslim terbiasa memisahkan teks, yang berhubungan dengan ‘agama’ ketimbang yang berhubungan dengan alasannya. Sejauh yang mereka ketahui Al Qur’an hanya murni berhubungan dengan ‘agama’. Hal ini sepenuhnya berlawanan dengan kebenaran. Al Qur’an menentang adanya ‘agama’.


Aidid Safar

faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 12:59 pm


KONSPIRASI ARAB

Assalamu’alaikum para pembaca.

Islam adalah kata yang banyak disalahgunakan dan disalahartikan saat ini. Secara harfiah, Islam berarti ‘sebuah pandangan hidup’. Akan tetapi, hal ini bukan berarti kesan yang muncul secara ajaib ketika seseorang mendengar orang lain mengucapkan kata Islam. Islam dianggap sebagai kehidupan realitas tanpa dibarengi dengan tahayul, mitos, atau ‘kesucian’. Meskipun demikian bangsa Arab secara sistematis telah menghancurkan realitas ideal, tidak dengan menghapuskannya, tetapi dengan mengubah bentuknya sehingga Islam tidak lagi seperti yang diinginkan oleh Pembuatnya. Pengenalan Agama Arab sangat menyesatkan dan saat ini agama itu telah memperkenalkan sebuah masyarakat yang mengalami kemunduran dan tidak berfungsi. Agama Arab tersebut mempropagandakan pandangan hidup dalam bentuk kekerasan, terorisme, ekstrim, pemujaan berhala, penyembahan, ritual, pengurbanan binatang, ritual haji, hukum kesukuan yang menindas, kasta, eksploitasi, sovinisme, dekadensi, kemiskinan dan hermitisme. Mereka mengklaimnya sebagai perintah Tuhan—Lembaga Islam yang dijelaskan dalam lembaran-lembaran Al Qur’an.

Buku ini membahas tentang aspek penyembahan berhala dari Agama Arab dan ingin merujukkan kepada pembaca bahwa kondisi menyesatkan saat ini sama sekali bukan seperti gambaran Islam sebagaimana yang diwahyukan kepada nabi terakhir. Buku ini disusun berdasarkan atas asumsi-asumsi tertentu.
1. Al Qur’an adalah firman Tuhan, yang secara harfiah dialihbahasakan menjadi ‘Bacaan’.
2. Al Qur’an adalah dokumen pilihan bagi orang-orang Islam.
3. Al Qur’an merupakan kebenaran tanpa kontradiksi, ditulis dengan jelas dan sempurna.
4. Al Qur’an dengan mudah mengungkapkan distorsi/penyimpangan dan anomali ini yang terus dipertahankan oleh manusia.

AL QUR’AN ATAU BACAAN

Distorsi pertama, bangsa Arab mengatakan, bahwa TIDAK MUNGKIN menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa lain karena akan mengubah makna intinya.
Pikirkan pernyataan tersebut.

Ini tidak benar dan merupakan konspirasi pertama yang dibuat oleh bangsa Arab guna mencegah manusia di dunia untuk mengetahui keberadaan Tuhan dalam bahasa mereka sendiri. Ini juga menempatkan bangsa Arab sebagai Penjaga Keimanan secara de facto, karena semua hal yang berhubungan dengan bahasa Arab harus merujuk kepada mereka. Setelah itu dilakukan, apapun yang mereka nyatakan akan dianggap sebagai Kebenaran Tuhan. Intinya mereka akan mengganti agama Tuhan dengan pelaksanaan ‘Agama Arab’ secara perlahan dan sangat membahayakan.

Kebanyakan dari kita mengetahui bahwa Orang Islam non-Arab di seluruh dunia menyebut kegiatan sholat ritual lima kali sehari dalam bahasa Arab sebagai salah satu persyaratan yang aneh dalam Agama Arab mereka. Orang Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Jepang, Cina, Afrika, dan masyarakat yang tidak berbahasa Arab harus melaksanakan sholat mengabdi Tuhan Arab yang khususnya menggunakan bahasa Arab. Tuhan ini pasti tidak memahami bahasa lain. Ini hal yang tidak masuk akal.

Bangsa Arab secara sengaja membangun rintangan bahasa untuk menggunakan pengaruh yang tidak semestinya terhadap agama dan secara luas terhadap masyarakat. Efeknya, mereka telah menciptakan budaya Arab dan budaya Muslim, seperti yang kita ketahui saat ini. Mereka mencegah orang-orang yang beriman untuk mengabdi Raja Semesta Alam dengan memisahkan mereka dari Al Qur’an. Pada saat ini, semua terjemahan Al Qur’an harus melalui pemeriksaan mereka sebelum diedarkan ke seluruh dunia. Perhatikan hal ini:
• Sangat membingungkan bahwa semua ahli bahasa yang berkualitas tinggal di Saudi Arabia.
• Jika ini persoalannya, mengapa mereka tidak menjadi pemasok terjemahan Al Qur’an yang terkemuka ke seluruh dunia?
• Mengapa mereka tidak mengambil inisiatif dengan memasok Al Qur’an terjemahan ke seluruh dunia ketimbang membuat kita orang non-Arab harus bersusah payah mempelajari bahasa asing?
• Jika hanya bangsa Arab yang mengetahui bahasa Arab, maka bagaimana mereka memposisikan diri mereka untuk meneliti setiap bahasa yang muncul dalam Al Qur’an?
Buku ini ditulis untuk menggali secara sistematis dan untuk menghancurkan ilusi orang Arab yang tidak logis tersebut. Kita akan mengacu kepada Al Qur’an, dengan berbekal akal pikiran yang logis dan sehat. Ini berarti bahwa siapapun dan setiap orang, Arab atau non-Arab dapat mengecek dan memeriksa argumen-argumen yang disajikan. Al Qur’an tidak akan tergoyahkan dengan segala pemeriksaan dan kritik. Al Qur’an memang firman Tuhan.

Konspirasi Arab telah terkuak. Para pengikut agama yang diciptakan orang Arab yang tanpa malu-malu menyebut diri mereka sebagai ‘Muslim’ adalah makhluk paling buruk di muka bumi saat ini. Tuhan mengutuk mereka yang tunduk kepada bangsa Arab secara membabi buta. Konspirasi ini bertentangan dengan tujuan Raja Semesta Alam, Pencipta tujuh Langit dan Bumi. Dengan kemurahan-Nya Dia mewahyukan Kitab-Nya kepada para Rasul seperti Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, Musa, Isa, dan nabi-nabi lain. Mereka masing-masing menerima wahyu dalam bahasa mereka sendiri, tetapi umat manusia tidak pernah diperintahkan untuk mengabdi Tuhan hanya dengan satu bahasa saja. Tujuan diturunkannya wahyu adalah untuk memudahkan kehidupan ini bagi setiap orang sehingga semuanya akan MENGABDI Tuhan.

MENGABDILAH HANYA KEPADA TUHANMU

Pesan dari Tuhan kepada para nabi-Nya sangat konsisten. Pesan itu sederhana dan jelas. Pesan tersebut hanya berupa sanksi nilai-nilai universal yang berkenaan dengan perbuatan baik yang harus dilakukan umat manusia. Dengan istilah yang sangat sederhana, pesan tersebut merupakan rencana bagi kehidupan yang produktif.

Janganlah lupa bahwa setan bertujuan menggoda dan mencampuri urusan manusia. Tuhan berulang kali mengingatkan semua hamba-Nya untuk TIDAK MENGABDI mereka yang menetapkan peraturan yang salah di luar sanksi-Nya sendiri. Wahyu Tuhan semuanya berkenaan dengan konsep ini - tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada lembaga agama. Tidak ada kewajiban agama atau doa sholat ritual. Tuhan tidak membuat ketentuan tentang haji yang bersifat keagamaan, pemungutan uang sistematis atas nama-Nya. Dia tidak memerintahkan para nabi-Nya atau rasul-Nya untuk memberhalakan-Nya. Tidak adn rujukan yang jelas tentang Lembaga Agama atau Kewajiban Agama di dalam Kitab Suci-Nya. Tidak ada sama sekali. Adakah cara yang lebih baik bagi Setan untuk menghapus sistem tersebut selain dengan meracuninya?
Jadi, bagaimana semua praktek tersebut menyusup ke dalam Islam modern saat ini? Dimana semua yang difirmankan dalam Al Qur’an? Marilah kita meneliti kitab suci tersebut untuk melihat apa yang telah Tuhan firmankan kepada kita.

Pada dasarnya, semua nabi, rasul, dan hamba-Nya, laki-laki dan perempuan semuanya wajib MENGABDI Tuhan melalui perilaku pribadi dalam SUBSTANSI dan PERILAKU. Islam berhubungan dengan perilaku kepatuhan yang dilakukan dengan sengaja kepada Tuhan, bukan perilaku otomatis tanpa pikiran. Pesan Allah yang disampaikan kepada kita oleh Rasul-Nya hanyalah mengatakan; ‘Janganlah kamu MENGABDI selain Dia’. Dalam kata-kata tersebut terkandung kebenaran Islam.

Kami tidak mengirim seorang rasulpun sebelum kamu melainkan pesan yang berbunyi ‘Tidak ada Tuhan selain Aku, maka MENGABDILAH kepadaKu (Surat 21 Ayat 25) .

Di dalam Al Qur’an tidak disebutkan kata MENGABDI atau Sembahyang Ritual tiga, empat, atau lima kali sehari atau seminggu. Ini merupakan konspirasi Arab terhadap Tuhan dan nabi terakhir untuk memperkenalkan lembaga agama, rumah ibadah, sembahyang ritual, dan hukum-hukum agama. Sebagai contoh, bangsa Arab telah memanipulasi makna istilah ‘pandangan hidup’ atau din dengan mengartikannya sebagai ‘agama’ dan kata mengabdi (ya’budu) diartikan menjadi ‘ibadat’. Meskipun ini perubahan kecil namun telah memberikan dampak kepada Islam seperti yang kita ketahui saat ini. Sungguh menyedihkan, para penjaga Keimanan juga terus mengulang berbagai distorsi lainnya. Di antaranya adalah Ka’bah di Mekkah dan kewajiban melakukan ibadah haji.

Tuhan telah menetapkan bangsa Arab tersebut sebagai orang kafir dan orang munafik yang sesungguhnya. Hal ini tidaklah mengejutkan bila pembaca membaca beberapa halaman lagi. Al Qur’an adalah benar, karena selalu dapat dipraktekkan.

Bangsa Arab memiliki sikap kafir dan munafik yang sangat kuat, dan kebanyakan tidak mengetahui hukum-hukum yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasul-Nya, dan Tuhan Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Surat 9 Ayat 97).

Dengan demikian kemungkinan bangsa Arab sebagai penjaga agama Tuhan mendekati nol. Tanggung jawab tersebut harus dipikul oleh Muslim sejati, di manapun dia berada. Meskipun demikian, kondisi yang ada saat ini memandang bangsa Arab sebagai pahlawan bagi agama mereka dan orang-orang non-Arab yang menaruh kepercayaan kepada bangsa Arab secara membabi buta. Saat ini kita dihadapkan pada keadaan bahwa orang-orang non-Arab mengakui Agama Arab yang dibuat tersebut, padahal bangsa Arab adalah pemilik dan penjaga berhala batu di Saudi Arabia.
TUHAN BUKANLAH BANGSA ARAB

Adalah salah bagi setiap orang yang mengajarkan bagaimana seseorang harus MENGABDI Raja Semesta Alam kecuali dalam bahasa Arab. Pertimbangkan hal berikut ini.
• Penguasa Semesta Alam BUKANLAH bangsa Arab.
• Penguasa Semesta Alam mengerti bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Jerman, Rusia, Thailand, Tamil, Jepang, Cina atau bahasa lainnya yang ada di langit dan bumi termasuk bahasa semut dan binatang.

Lantas mengapa, ada obsesi terhadap ‘kebenaran politik’ dan kelayakan dari bahasa dan budaya Arab? Al Qur’an menceritakan secara detail kehidupan orang-orang besar pada masa lalu seperti Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, Daud, Sulaiman, Musa, dan Isa dan banyak lagi yang mengabdi Tuhan. Mereka tidak berbahasa Arab, tetapi mereka adalah orang-orang baik dan hamba-hamba Tuhan terdahulu. Mereka tidak menyembah Tuhan. Hubungan mereka dengan Tuhan hanya seputar pemenuhan kewajiban dan menjaga komitmen yang murni serta mensucikannya melalui perbuatan. Semuanya dituntaskan tanpa mengucapkan bahasa Arab. Penyembahan adalah ritual orang-orang kafir. Musa, Ibrahim, Isa, Daud, dan Muhammad dikirim untuk mengajarkan kita agar menghentikan penyembahan melalui ritual. Adalah kehendak-Nya agar kita mulai mengabdi Tuhan dengan memenuhi segala kewajiban kita dan berbuat kebajikan. Dengan kata lain, dalam Islam berbicara itu murah.

Al Qur’an mengisahkan tentang Daud dan Sulaiman. Sulaiman diberkati dengan kemampuan memahami bahasa binatang, burung dan semut. Suatu hari ketika Sulaiman berjumpa sekumpulan semut ia tersenyum gembira saat mendengar kumpulan semut itu bercakap-cakap satu sama lain.

Ketika mereka sampai di lembah semut, seekor semut berkata: ‘Hai semut-semut masuklah ke dalam sarang-sarangmu, kalau tidak Sulaiman dan tentaranya bisa menginjakmu dengan tidak sengaja’ (Surat 27 Ayat 18).
Semut tersebut mungkin tidak saling berbicara dalam bahasa Arab. Ini hanyalah sekadar logika dengan berasumsi bahwa Tuhan menerjemahkan bahasa semut tersebut ke dalam bahasa Arab sebagaimana yang kita lihat dalam Al Qur’an karena nabi terakhir berasal dari Arab. Jika Tuhan memilih nabi dari Perancis, maka Dia akan menerjemahkan peringatan semut tersebut ke dalam bahasa Perancis.

Wahyu Tuhan dapat dimengerti dalam berbagai bahasa dan tidak ada keraguan bahwa pesan-Nyalah yang paling penting, BUKAN pembawa pesan, atau bahasa pembawa pesan. Akan tetapi, bagi mereka yang tidak mempercayainya akan menganggap bahasa sebagai beban dalam menerima pesan yang jelas. Al Qur’an mengajarkan bahwa bahasa kitab Tuhan bersifat non-material dan Tuhan akan meletakkan pesan-pesan-Nya di dalam hati yang tulus dari orang-orang beriman tanpa memandang bahasa ibu mereka. Al Qur’an mengatakan bahwa mereka yang tidak beriman akan berkutat dengan bahasa, bukan pesan-Nya. Al Qur’an memberikan satu contoh bagus mengenai orang-orang masa lalu yang berselisih tentang bahasa dalam kitab Taurat. Mereka adalah orang-orang yang mengklaim sebagai pengikut ajaran Musa, tetapi mereka terpecah dalam sekte-sekte agama; mereka berbeda dalam interpretasi dan pemahaman tentang Taurat dan hal yang sama terjadi dalam Agama Arab. Al Qur’an menyatakan orang-orang akan bertanya tentang wahyu Tuhan dengan bahasa apapun yang dipilih-Nya untuk diwahyukan.

Seandainya kita menjadikannya sebagai bacaan bukan dalam bahasa Arab, mereka akan mengatakan, ‘mengapa ayat-ayat-Nya tidak dijelaskan? Akankah kita mengungkapkan (Qur’an/bacaan) yang non-Arab ini ke dalam bahasa Arab? Katakanlah, ‘bagi mereka yang beriman, Al Qur’an itu merupakan suatu lentera dan petunjuk. Karena bagi orang-orang yang tidak beriman, mereka tuli dan buta terhadapnya, seakan-akan mereka dipanggil dari tempat yang jauh. Kami juga telah memberikan sebuah kitab kepada Musa, dan hal itu juga dipermasalahkan. Bila tidak ada keputusan yang telah ditentukan dari Tuhanmu, tentulah kitab-kitab itu segera akan diputuskan. Mereka dalam keraguan yang dalam (Surat 41 Ayat 44-45).

Bila disajikan dalam bahasa Arab kepada orang-orang non-Arab, mereka tidak mempercayainya ketika kitab itu dibacakan. Inilah cara kami memasukkannya ke dalam hati orang-orang yang zalim. Akibatnya, mereka tidak beriman hingga siksaan yang pedih mendera mereka (Surat 26 Ayat 198-201).

Meskipun Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, namun hal ini tidak berarti bahwa Tuhan lebih menyukai bangsa Arab ketimbang bangsa-bangsa lain. Sebaliknya, Dia menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa Dia mengutuk mereka dalam kitab berbahasa Arab dan menyebut mereka dengan istilah yang sangat keras bahwa mereka adalah orang kafir dan orang munafik yang sangat kuat. Dengan kata lain, Al Qur’an tidak memberikan keuntungan kepada bangsa Arab atas kitab suci Allah meskipun mereka memahami bahasanya. Sayangnya, begitu banyak orang non-Arab di seluruh dunia yang berupaya untuk menjadi orang Arab ketimbang orang Arab itu sendiri, bahkan Al Qur’an mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah beriman bila mereka bersikeras mengikuti petunjuk Tuhan dengan menggunakan bahasa selain dari bahasa ibu mereka, seberapapun cerdasnya mereka. Oleh karena itu, orang-orang non-Arab tidak bisa mengklaim bahwa mereka beriman dan berserah diri kepada Tuhan karena mereka memahami bahasa Arab; bahkan kegigihan mereka memperlihatkan kejahatan mereka.

Jika Tuhan bisa berbicara dalam berbagai bahasa, maka bahasa TIDAK menjadi halangan bagi setiap makhluk hidup di langit dan bumi untuk mengagungkan Penciptanya. Tuhan berfirman bahwa langit, bumi dan gunung-gunung sekalipun dapat memahami apa yang diucapkan manusia. Setiap kali manusia berkata Tuhan memiliki anak - langit, bumi dan gunung-gunung bereaksi atas ucapan yang bernada hina seperti itu. Saya tidak berfikir ayat ini menyindir bahwa langit, bumi, dan gunung-gunung hanya dapat mengerti ucapan-ucapan hina tersebut dalam bahasa Arab.

Langit hampir runtuh, bumi akan meledak dan gunung-gunung seakan hancur saat mendengar pernyataan semacam itu tentang Allah Yang Maha Pengasih (Surat 19 ayat 90-91).

Sederhananya, konspirasi Arab kukuh berpendapat bahwa setiap orang harus mengabdi Tuhan dengan bahasa Arab, dan dengan cara Arab. Hal ini tentu saja tidak masuk akal.

KLAIM KEPEMILIKAN

Al Qur’an tetap sederhana dan mudah. Kebingungan yang menguasai sepenuhnya disebabkan oleh manusia. Hal yang tidak benar bila manusia mengambil kata-kata yang diwahyukan dan mengubah maknanya untuk disesuaikan dengan situasinya. Bangsa Arab mengembangkan Agama Arab temuan mereka dan bukan Islam yang diwahyukan kepada nabi terakhir. Hal ini dilakukan untuk mendukung klaim kepemilikan mereka atas Al Qur’an dan mengumumkan kepada dunia bahwa mereka adalah penjaga ‘agama’ yang benar. Kecerobohan semacam itu tidak kita lihat di manapun di dunia ini. Orang kemudian akan bertanya, apakah Setan juga berbicara bahasa Arab.

Saat ini, orang-orang yang hendak mengabdi Tuhan dengan berjalan di jalan Tuhan bahkan dijerumuskan ke dalam kerumitan Agama Arab. Dengan kata lain, mereka harus pergi ke Arab agar bertemu Tuhan. Nampaknya, orang-orang Arab telah mengangkat diri mereka sendiri sebagai juru selamat baru dan Pembawa pesan.

Ini merupakan dalil baru bagi orang-orang yang berserah diri ke jalan yang ditunjukkan Tuhan atau din-nil-lah (way of life/cara hidup) untuk beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang-orang beriman mengetahui hal ini dan mereka tahu Tuhan Yang Maha Esa telah mewahyukan kitab suci ini melalui banyak nabi untuk membimbing mereka. Pada satu saat, kita lengah terhadap musuh-musuh Tuhan yang selalu mengintai di sisi jalan untuk menyisihkan kita.

Seorang murid yang mempelajari bahasa Arab harus menghadapi interpretasi mullah untuk mematuhi Agama Arab yang diciptakan, yang tidak tercantum dalam Al Qur’an. (Contoh-contohnya diberikan dalam buku ini yang memperlihatkan betapa kata-kata yang sangat sederhana dalam Al Qur’an telah diselewengkan) .

Orang-orang ikhlas yang mencari kemurahan dan karunia Tuhan telah terbagi ke dalam konflik yang merusak dan sekte-sekte yang penuh kebencian di balik jubah Agama Arab. Mereka berjuang dan menentang terhadap hampir segala hal. Sebagai orang yang seharusnya penjaga keimanan Muslim, mereka mengemukakan kesaksian yang lemah agar dihormati.

Bangsa Arab terus membodohi setiap orang dengan menyuruh mereka mengeluarkan uang dalam jumlah sangat besar untuk berkunjung ke tanah Arab dan berjalan mengelilingi sebuah kubus. Bila hal ini bukan merupakan suatu bencana, maka ini merupakan lelucon.

MENCIPTAKAN PERPECAHAN DI ANTARA MANUSIA

Mereka yang percaya pada bangsa Arab tidak menyadari bahwa merupakan suatu kesalahan mendorong terjadinya perpecahan di jalan Tuhan. Anggapan yang salah bahwa perubahan-perubahan tersebut dibuat untuk mengembangkan Islam. Merupakan suatu kesalahan dengan berfikir bahwa konsep-konsep tersebut harus diinterpretasi ulang. Kita diharapkan untuk tidak mengacaukan segala sesuatu yang sudah sempurna dalam desain dan pelaksanaannya. Setiap tinjauan umum tentang Al Qur’an akan merujukkan peringatan akan perintah yang jelas yaitu bila hamba Tuhan mengikuti jalan hidup selain dari jalan Tuhan, maka ia tidak akan dimasukkan dalam golongan Rasul-Nya. Jika demikian, hal ini saja seharusnya memotivasi umat Muslim untuk menegaskan bahwa mereka menjadi golongan Rasul. Dengan melakukan hal tersebut, kebenaran pasti akan terungkap.

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang memisahkan din-Nya/cara hidup-Nya ke dalam agama-agama (shi-ya’an), kamu sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap mereka (Surat 6 Ayat 159).

Kita berharap bisa menjalani hidup sesuai dengan yang diperintahkan oleh Tuhan kita yang suatu saat pasti akan mengambil kembali hidup kita sebagaimana Dia menganugerahkan-Nya kepada kita. Agar kita menyatu dengan rencana yang mulia ini, Dia meminta agar kita percaya kepada Tuhan yang Tak Terlihat sehingga kita merasa yakin akan adanya kehidupan yang abadi setelah kematian. Kita diperintahkan untuk berbuat kebajikan sepanjang hidup kita sehingga Tuhan akan merasa senang. Sebagai manusia, tujuan kita sangatlah terhormat, namun kita gagal melaksanakan kewajiban tertinggi, yaitu membaca. Tak ada pernyataan yang begitu sempurna seperti ayat berikut ini:

‘Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakanmu. Ia menciptakan manusia dari tanah liat. Bacalah, Tuhanmu adalah Yang Maha Tinggi. Dia mengajarmu dengan pena. Dia membimbing manusia yang tidak pernah tahu’ (Surat 96 Ayat 1-5).

Alih-alih menjalani hidup dengan penuh kebajikan dan pelayanan, Islam saat ini menjalani hidup yang penuh penindasan dan telah direndahkan, menjadikan ritual sembahyang yang dogmatis, pemujaan berhala, adat-istiadat, tradisi, dan haji. Satu-satunya keuntungan yang penulis lihat dalam pengaturan ini adalah kian berkembangnya industri pariwisata Arab. Secara efektif, ‘ritual’ ini telah menghukum setiap muslim selama hidupnya menjadi budak Tuhan dengan cara yang sangat tidak efektif dan sia-sia. Dengan pengertian yang kabur, ‘agama’ telah menggantikan minyak sebagai ekspor terbesar Saudi Arabia. Tak terhitung banyaknya orang-orang beriman, yang tidak memiliki sarana untuk menunaikan ibadah haji, kendati telah bekerja keras, berhutang dan berkorban tiada akhir demi memenuhi ‘kewajiban’ ini. Anehnya, Saudi Arabia, yang tentunya memiliki prosentase jemaah haji terbesar yang telah menyempurnakan hajinya, justru tidak merujukkan contoh-contoh kasih Tuhan yang adil.

Praktek ini telah memecah belah umat manusia, menyebabkan perbedaan, memicu masalah ras dan kebencian agama di antara umat manusia. Mungkin yang terparah adalah, mereka membelokkan umat manusia dari jalan Tuhan. Prasyarat itu telah menyebarkan kejahatan ke seluruh dunia, dengan menciptakan beragam sekte agama guna mendukung adat-istiadat dan keyakinan keagamaan mereka, dan Arab menjadi pusatnya. Yang lebih penting, satu aspek paling buruk tentang penyebaran ‘Agama’ Arab adalah memecah belah dan mengendalikan semua umat Muslim. Saat ini, rasa permusuhan ini belum membuat agama lain peduli bahwa, sampai pada taraf tertentu atau yang lainnya, ada yang aneh dengan umat Muslim. Mengapa istilah Muslim Fundamentalis kini tidak dipandang sebagai istilah yang positif?

Kamu semua harus kembali dan patuh kepada Tuhanmu serta tegakkanlah komitmen dan janganlah menjadi di antara pemuja berhala, yaitu mereka yang membagi din ke dalam agama-agama (shi-ya’an) . Dan setiap golongan merasa bahagia dengan apa yang mereka miliki (Surat 30 Ayat 31 dan 32).

Para mahasiswa ‘Arab’ sejak dini dikondisikan untuk menerima ajaran para ulama agama Arab tanpa akal sehat, tanpa mempertimbangkan ketepatan dan kebenaran. Mereka semua tidak sadar akan tindakan salah serta penyebaran ajaran kepada setiap generasi Muslim yang baru. Bila diingatkan akan kebodohan tersebut, mereka akan merespon dengan mengatakan bahwa mereka yang hanya mengikuti Tuhan dan tidak mengikuti hadis itulah yang merupakan orang-orang kafir. Hal yang aneh bahwa menurut ‘Agama Arab’ mereka, ‘orang-orang kafir itu’ harus dilempari batu hingga mati. Penyimpangan ini saja sudah menjadi bukti adanya sikap kafir. Tuhan yang sesungguhnya tidak menerapkan standar ganda.

PEMUJA BATU

Yang diketahui tentang agama kafir orang Arab, sebagian besar terpusat pada tradisi-tradisi yang berkaitan dengan rumah batu persegi empat di Mekkah yang disebut Ka’bah dan lingkungannya. Bangsa Arab mewajibkan kaum muslim menyembahnya dan inilah sebabnya mengapa hingga saat ini, kaum Muslim di seluruh dunia membungkuk dan bersujud ke arah bangunan batu khusus itu lima kali sehari dimanapun mereka berada.

Bangsa Arab berkata ‘RUMAH BATU DI MEKKAH ADALAH RUMAH TUHAN!’ Mereka menyebut bangunan batu di Mekkah sebagai Baytul-lah atau ‘RUMAH TUHAN’. Istilah Rumah Tuhan atau baytul-lah tidak ada di dalam Al Qur’an. Jika gagasan ini begitu penting bagi umat Muslim, mengapa hal ini tidak disebutkan dalam Al Qur’an? Ini pastilah merupakan kepalsuan lain yang dibuat oleh bangsa Arab. Bagaimanapun, mereka mengklaim sebagai penjaga bahasa dan Al Qur’an.

Dari perspektif lain, jika anggapan ini benar, pastilah dengan alasan bahwa Tuhan, Penguasa Alam Semesta, tinggal di dalam kubus batu mungil berbentuk persegi empat yang berlubang berukuran 627 meter persegi di Mekkah. Hanya karena ‘baytul-lah’ disimbolkan sebagai istilah Arab tertentu, maka tak seorangpun yang peduli untuk memeriksa arti sebenarnya dari kata tersebut. Umat Muslim di seluruh dunia tidak sadar ketika mereka mengucapkan kata ‘Baytul-lah’ karena kata tersebut telah dianggap sebagai ‘agung’ sehingga maknanya tidak boleh dipertanyakan. Mempertanyakan ini akan menimbulkan tuduhan kafir.

Pujian harus diberikan kepada bangsa Arab karena telah melestarikan begitu banyak mitos. Bagi umat Muslim non-Arab istilah-istilah seperti ini akan selalu dianggap ‘agung’ dan diucapkan bersama kata-kata seperti ‘Allah’. Mereka akan menyembah segala sesuatu yang melekat pada nama tersebut. Mereka akan membungkuk dan bersujud pada sebuah rumah batu dengan mengatasnamakan Allah. Saya mengunjungi bangunan batu tersebut beberapa tahun lalu dan merasa malu pada Tuhan setelah membungkuk dan bersujud kepada batu itu. Setelah kembali ke negara saya, saya memohon ampun kepada Penguasa Alam Semesta dan berjanji kepada-Nya bahwa saya tidak akan pernah menginjakkan kaki saya ke tanah itu lagi. Tak dapat dibayangkan melihat betapa jutaan orang pandai dengan sangat mudahnya mengabaikan akal sehat mereka dengan mengabdi pada bangunan batu yang dibangun oleh bangsa Arab. Mekkah dan Medinah sebenarnya merupakan dua kota penyembahan berhala terbesar di dunia.

Orang-orang bodoh di antara orang-orang tersebut berkata, ‘Karena Tuhan tinggal di bumi, maka tidak ada salahnya mengatakan bahwa ada Rumah Tuhan’. Ini merupakan sikap manusia yang terlalu berani dan angkuh yang menganggap bahwa Pencipta Alam Semesta sudi tinggal di sebuah bangunan yang dibangun oleh kaum kafir, dengan bahan dasar bebatuan yang diambil dari pegunungan di sekitarnya. Dengan keyakinan ini saya mengatakan kepada penganut Katolik, bahwa Tuhan tidak tinggal di Vatikan. Orang-orang bodoh yang sama menuduh orang lain sebagai kafir karena menyembah berhala. Apakah mereka tidak melakukan hal yang sama dengan menyembah sebuah kubus batu?

Semuanya ini merupakan sentuhan Setan. Pertimbangkan pernyataan dalam Al Qur’an yang menggambarkan Setan sebagai ahli paling hebat dalam mengontrol otak manusia. Al Qur’an menyatakan bahwa Setan memperdaya manusia sehingga manusia mengira bahwa dia diberi petunjuk:

Kemudian syaitan-syaitan itu akan terus menjauhkan mereka dari jalan yang benar dan membuat mereka berpikir bahwa mereka diberi petunjuk (Surat 43 Ayat 37).

Semua keraguan bahasa dan kontekstual ini telah berhasil menyembunyikan satu kebenaran dan pesan sesungguhnya dalam Al Qur’an. Kitab Suci ini telah direndahkan hingga menjadi buku paduan suara yang hanya digunakan untuk berbicara dan menyanyi. Sampai saat ini, banyak orang tanpa arah mengikuti ‘resep’ yang ditetapkan dalam ‘aturan-aturan’ Muslim yang dijelaskan dalam bahasa yang asing untuk mereka dan terus menerus mengabadikan mitos. Banyak agama melakukan hal yang sama, namun tidak ada satupun yang begitu berbahaya dan meluas. Menyedihkan memang, begitu banyak kesalahpahaman ini yang mudah ditemukan hanya dengan menggunakan sedikit akal dan perhatian. Sekali lagi - akal sehat adalah komoditas umum.

MENYEMBAH BATU GUNUNG

Ritual yang dilestarikan di sekitar Ka’bah buatan manusia telah mengembangkan serangkaian ritual agama yang aneh. Kaum yang beriman membungkuk dan bersujud kepada rumah batu, mengitarinya sepuluh kali, mengucap dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, ‘Ya Allah aku telah berada di sini’ mengeraskan suara ketika mereka mendekati kubus batu ‘yang disucikan’. Mereka mencium berhala, menangis, dan meratap kepadanya. Mereka tidak menyangkal bahwa mereka menyembah Tuhan mereka MELALUI rumah batu. Namun agar terdengar pantas, mereka mengatakan inilah ‘rumah Tuhan’.

Bangunan batu persegi empat di Mekkah itu terus menerus dikelilingi oleh ribuan orang dari seluruh dunia sepanjang tahun, siang malam bahkan hingga larut malam. Selama musim haji setiap tahunnya sekitar dua juta orang dari seluruh dunia menyembahnya. Ini membuat Ka’bah menjadi berhala yang paling sukses di muka bumi. Pada halaman-halaman berikutnya, kami akan memperlihatkan bagaimana bangsa Arab berkonspirasi untuk mengubah Islam ’cara hidup’ menjadi agama penyembah berhala. Dalam melakukan itu, mereka dengan sengaja memanipulasi kata-kata Tuhan di dalam Al Qur’an dan menjualnya dengan harga yang sangat murah.

KONSPIRASI

Untuk mewujudkan rencana jahat mereka, daftar yang memuat 24 kata-kata penting yang ada dalam Al Qur’an (diantaranya) diputarbalikkan dan dimanipulasi oleh bangsa Arab guna menciptakan ‘Agama Arab’. Berikut kata-kata yang disertai dengan terjemahannya:

Kata Arab Manipulasi Orang Arab Makna Dasarnya
Sol-laa Sholat lima waktu Komitmen/Kewajiban/Perjanjian
Deen Agama Pandangan atau cara hidup yang teratur
Bayta Rumah Tuhan Sistem
Bayti-ya Rumah Tuhan Sistem saya
Baytal Harama Rumah suci Tuhan Sanksi pada sistem
Baytika-muharami Rumah suci Tuhan Sanksi anda pada sistem
Maqam Jejak kaki Ibrahim Status atau kedudukan
Musol-lan Tempat beribadah Manusia yang berkomitmen
Musol-leen Orang-orang yang beribadah secara ritual Orang-orang yang berkomitmen
Thor-iffin Mengitari rumah Sekelompok orang
A’kiffin Merenung dalam rumah batu Mengabdi
Wa-roka’is-sujud Membungkuk dan sujud Berserah diri dengan kerendahan hati
Ma-sajid Masjid Penyerahan diri
Masajidil-lah Masjid Allah Penyerahan diri yang ditentukan Tuhan
Masajidil-harami Masjid Suci Sanksi kepatuhan
Masajidil-aqsa Masjid yang jauh Dekatnya dengan penyerahan diri
Masajidi-lil-lah Masjid milik Tuhan Penyerahan diri kepada Tuhan
Hurumun Ikhram/Haji Dilarang
Ka’aba Rumah Tuhan Mata kaki atau kaki bagian bawah
Hayda Pengurbanan binatang Tuntunan
Qola-ida Kalungan di leher binatang Indikator larangan untuk berburu
U’mro-ata Mengunjungi Rumah Tuhan Kemakmuran atau memberi kehidupan
Haj Ibadah haji tahunan Tantangan atau ceramah
Zakat Membayar fitrah (agama) Menyucikan, atau menjaga kesucian

Penelitian dasar dan sederhana yang berdasarkan hanya pada Al Qur’an membuktikan bahwa makna kata-kata yang tertera di atas telah dengan sengaja didistorsi, disalah tafsirkan dan dipalsukan oleh bangsa Arab dengan tujuan untuk menundukkan cara hidup, demi keuntungan mereka dan kekuasaan, melawan kehendak Tuhan dan Rasul-Nya. Pengujian sederhana pada makna-makna terkait yang berulangkali muncul dalam Al Qur’an, seharusnya sudah cukup menjadi pendorong bagi orang yang benar-benar beriman atau ahli agama untuk menelaah kata yang benar dalam Al Qur’an dan melakukan studi pribadi dan tidak menyimpang tentang Al Qur’an, tanpa menghiraukan pendapat umum. Bagaimanapun, Al Qur’an telah menjadi dokumen yang tetap bagi umat Muslim yang beriman.

Al Qur’an juga menjelaskan bahwa bukti-bukti mutlak tertera dalam halaman-halamannya. Janji yang khusus ini muncul empat kali dalam satu surat saja:

Sesungguhnya Kami telah membuat Al Qur’an mudah untuk diingat. Adakah yang ingin mempelajarinya? (Surat 54 Ayat 17, 22, 32 dan 40).

Bangsa Arab telah menyalahgunakan empat ayat penting dari Al Qur’an untuk memperkuat klaim mereka. Setelah mencapai tujuan mereka, mereka memerlukan momentum dan reaksi berantai untuk menginterpretasikan kembali ayat-ayat dan kata-kata lain agar tetap konsisten. Akan tetapi, hasilnya tetap buatan manusia dengan begitu banyak ketidakkonsistenan, yang tidak seharusnya muncul dalam Firman Tuhan. Jelasnya, konsep berjalan sendiri dalam konteks ‘agama’ bisa menjadi bencana. Bukti akan hal ini muncul dengan jelas dalam kata-kata mulai dari Al Qur’an Surat 2 Ayat 124-129, Surat 5 Ayat 1-5, Surat 3 Ayat 95-97 dan Surat 9 Ayat 17-20.

Yang lainnya ditemukan dalam berbagai surat untuk mendukung distorsi tersebut. Kami mengajak pembaca untuk mengikuti kami dalam perjalanan membongkar konspirasi tersebut, merujuk hanya pada Al Qur’an, yang diterima oleh semua umat Muslim sebagai firman Allah di muka bumi ini.

Penelitian ini mempertahankan beberapa aturan fundamental dalam Al Qur’an, di antaranya:
1. Al Qur’an tetap konsisten dan tidak ada kontradiksi di dalam kitab tersebut.
Mengapa mereka tidak mempelajari Al Qur’an dengan cermat? Jika Al Qur’an tidak berasal dari Tuhan, maka mereka akan menemukan begitu banyak kontradiksi di dalamnya (Surat 4 ayat 82).
2. Al Qur’an merupakan pesan (Hadis) terbaik dan ia tetap konsisten.
Tuhan mengirimkan pesan (Hadis) yang terbaik yaitu sebuah kitab suci yang konsisten (Surat 39 Ayat 23).
Pesan (Hadis) yang mana selain Al Qur’an yang akan kamu percayai (Surat 77 Ayat 50).
3. Tidak ada keulamaan atau ustad dalam Islam.
Mereka telah menganggap ulama dan para ahli agama sebagai Tuhan selain Allah (Surat 9 Ayat 31).
4. Tak seorangpun dapat mengklaim diri mereka sebagai guru Al Qur’an.
Allah Maha Pemurah, Dialah yang mengajarkan Al Qur’an. Dialah yang menciptakan manusia (Surat 55 Ayat 2-3).
5. Hanya Allah yang dapat menjelaskan Al Qur’an karena Dialah yang menulisnya.
Janganlah kamu gerakkan lidahmu terburu-buru membaca ayat-ayat ini. Kamilah yang bertanggung jawab menyatukannya dalam Al Qur’an. Setelah Kami membacakannya, kamu harus mengikutinya. Selanjutnya Kami akan menjelaskannya (Surat 75 Ayat 16-19).
6. Al Qur’an menjelaskan sendiri dan memberikan interpretasi terbaik, di luar kemampuan manusia.
Apapun argumen yang mereka ajukan, Kami memberikan kepadamu kebenaran dan penjelasan terbaik (Surat 25 Ayat 33).
7. Tidak ada keraguan yang ditemukan dalam Al Qur’an.
Al Qur’an dalam bahasa Arab, tanpa keraguan sehingga mereka mudah mempelajarinya (Surat 39 Ayat 28).

Untuk menyimpulkan pendahuluan ini, saya harus nyatakan bahwa nama saya sebenarnya bukanlah Aidid Safar. Agama Arab saat ini penuh dengan kegilaan yang terkadang penuh kepura-puraan seperti lelucon panjang dengan akhir yang mengecewakan. Mulai dari Maroko hingga Filipina, lebih dari satu milyar orang telah dibodohi dengan senang hati menjadi bagian dari kegilaan ini.

Yang lainnya telah dijatuhi hukuman mati karena mengucapkan kata-kata yang tak jauh beda dengan yang saya ucapkan. Di berbagai negara ‘Islam’, karya tulis saya ini bisa berarti pelecehan, pendakwaan, pemenjaraan dan bahkan mungkin kematian di tangan para pengikut Agama Arab yang gila itu.

Akan tetapi, pesan itu lebih penting dari pada sang pembawa pesan. Menurut sejarah, para pembawa pesan dianggap sebagai yang buruk dan pantas dibunuh. Pada sisi lain, para pembawa pesan yang dianggap sebagai yang baik seringkali dipuja. Saya hendak menghindari kedua nasib ini. Saya tetap memakai nama Aidid Safar. Dan kami tetap di sini.

Saya harap Anda membaca buku ini dengan semangat seperti yang tertulis. Saya juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada mereka yang telah memberikan saya dukungan moral untuk melaksanakan pekerjaan ini. Saya sangat berhutang budi kepada teman-teman, kolega serta keluarga saya yang telah memberikan dorongan untuk mulai menulis buku ini. Terimalah salam damai saya. Terima Kasih.

faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:01 pm


KONSPIRASI ARAB

Assalamu’alaikum para pembaca.

Islam adalah kata yang banyak disalahgunakan dan disalahartikan saat ini. Secara harfiah, Islam berarti ‘sebuah pandangan hidup’. Akan tetapi, hal ini bukan berarti kesan yang muncul secara ajaib ketika seseorang mendengar orang lain mengucapkan kata Islam. Islam dianggap sebagai kehidupan realitas tanpa dibarengi dengan tahayul, mitos, atau ‘kesucian’. Meskipun demikian bangsa Arab secara sistematis telah menghancurkan realitas ideal, tidak dengan menghapuskannya, tetapi dengan mengubah bentuknya sehingga Islam tidak lagi seperti yang diinginkan oleh Pembuatnya. Pengenalan Agama Arab sangat menyesatkan dan saat ini agama itu telah memperkenalkan sebuah masyarakat yang mengalami kemunduran dan tidak berfungsi. Agama Arab tersebut mempropagandakan pandangan hidup dalam bentuk kekerasan, terorisme, ekstrim, pemujaan berhala, penyembahan, ritual, pengurbanan binatang, ritual haji, hukum kesukuan yang menindas, kasta, eksploitasi, sovinisme, dekadensi, kemiskinan dan hermitisme. Mereka mengklaimnya sebagai perintah Tuhan—Lembaga Islam yang dijelaskan dalam lembaran-lembaran Al Qur’an.

Buku ini membahas tentang aspek penyembahan berhala dari Agama Arab dan ingin merujukkan kepada pembaca bahwa kondisi menyesatkan saat ini sama sekali bukan seperti gambaran Islam sebagaimana yang diwahyukan kepada nabi terakhir. Buku ini disusun berdasarkan atas asumsi-asumsi tertentu.
1. Al Qur’an adalah firman Tuhan, yang secara harfiah dialihbahasakan menjadi ‘Bacaan’.
2. Al Qur’an adalah dokumen pilihan bagi orang-orang Islam.
3. Al Qur’an merupakan kebenaran tanpa kontradiksi, ditulis dengan jelas dan sempurna.
4. Al Qur’an dengan mudah mengungkapkan distorsi/penyimpangan dan anomali ini yang terus dipertahankan oleh manusia.

AL QUR’AN ATAU BACAAN

Distorsi pertama, bangsa Arab mengatakan, bahwa TIDAK MUNGKIN menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa lain karena akan mengubah makna intinya.
Pikirkan pernyataan tersebut.

Ini tidak benar dan merupakan konspirasi pertama yang dibuat oleh bangsa Arab guna mencegah manusia di dunia untuk mengetahui keberadaan Tuhan dalam bahasa mereka sendiri. Ini juga menempatkan bangsa Arab sebagai Penjaga Keimanan secara de facto, karena semua hal yang berhubungan dengan bahasa Arab harus merujuk kepada mereka. Setelah itu dilakukan, apapun yang mereka nyatakan akan dianggap sebagai Kebenaran Tuhan. Intinya mereka akan mengganti agama Tuhan dengan pelaksanaan ‘Agama Arab’ secara perlahan dan sangat membahayakan.

Kebanyakan dari kita mengetahui bahwa Orang Islam non-Arab di seluruh dunia menyebut kegiatan sholat ritual lima kali sehari dalam bahasa Arab sebagai salah satu persyaratan yang aneh dalam Agama Arab mereka. Orang Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Jepang, Cina, Afrika, dan masyarakat yang tidak berbahasa Arab harus melaksanakan sholat mengabdi Tuhan Arab yang khususnya menggunakan bahasa Arab. Tuhan ini pasti tidak memahami bahasa lain. Ini hal yang tidak masuk akal.

Bangsa Arab secara sengaja membangun rintangan bahasa untuk menggunakan pengaruh yang tidak semestinya terhadap agama dan secara luas terhadap masyarakat. Efeknya, mereka telah menciptakan budaya Arab dan budaya Muslim, seperti yang kita ketahui saat ini. Mereka mencegah orang-orang yang beriman untuk mengabdi Raja Semesta Alam dengan memisahkan mereka dari Al Qur’an. Pada saat ini, semua terjemahan Al Qur’an harus melalui pemeriksaan mereka sebelum diedarkan ke seluruh dunia. Perhatikan hal ini:
• Sangat membingungkan bahwa semua ahli bahasa yang berkualitas tinggal di Saudi Arabia.
• Jika ini persoalannya, mengapa mereka tidak menjadi pemasok terjemahan Al Qur’an yang terkemuka ke seluruh dunia?
• Mengapa mereka tidak mengambil inisiatif dengan memasok Al Qur’an terjemahan ke seluruh dunia ketimbang membuat kita orang non-Arab harus bersusah payah mempelajari bahasa asing?
• Jika hanya bangsa Arab yang mengetahui bahasa Arab, maka bagaimana mereka memposisikan diri mereka untuk meneliti setiap bahasa yang muncul dalam Al Qur’an?
Buku ini ditulis untuk menggali secara sistematis dan untuk menghancurkan ilusi orang Arab yang tidak logis tersebut. Kita akan mengacu kepada Al Qur’an, dengan berbekal akal pikiran yang logis dan sehat. Ini berarti bahwa siapapun dan setiap orang, Arab atau non-Arab dapat mengecek dan memeriksa argumen-argumen yang disajikan. Al Qur’an tidak akan tergoyahkan dengan segala pemeriksaan dan kritik. Al Qur’an memang firman Tuhan.

Konspirasi Arab telah terkuak. Para pengikut agama yang diciptakan orang Arab yang tanpa malu-malu menyebut diri mereka sebagai ‘Muslim’ adalah makhluk paling buruk di muka bumi saat ini. Tuhan mengutuk mereka yang tunduk kepada bangsa Arab secara membabi buta. Konspirasi ini bertentangan dengan tujuan Raja Semesta Alam, Pencipta tujuh Langit dan Bumi. Dengan kemurahan-Nya Dia mewahyukan Kitab-Nya kepada para Rasul seperti Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, Musa, Isa, dan nabi-nabi lain. Mereka masing-masing menerima wahyu dalam bahasa mereka sendiri, tetapi umat manusia tidak pernah diperintahkan untuk mengabdi Tuhan hanya dengan satu bahasa saja. Tujuan diturunkannya wahyu adalah untuk memudahkan kehidupan ini bagi setiap orang sehingga semuanya akan MENGABDI Tuhan.

MENGABDILAH HANYA KEPADA TUHANMU

Pesan dari Tuhan kepada para nabi-Nya sangat konsisten. Pesan itu sederhana dan jelas. Pesan tersebut hanya berupa sanksi nilai-nilai universal yang berkenaan dengan perbuatan baik yang harus dilakukan umat manusia. Dengan istilah yang sangat sederhana, pesan tersebut merupakan rencana bagi kehidupan yang produktif.

Janganlah lupa bahwa setan bertujuan menggoda dan mencampuri urusan manusia. Tuhan berulang kali mengingatkan semua hamba-Nya untuk TIDAK MENGABDI mereka yang menetapkan peraturan yang salah di luar sanksi-Nya sendiri. Wahyu Tuhan semuanya berkenaan dengan konsep ini - tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada lembaga agama. Tidak ada kewajiban agama atau doa sholat ritual. Tuhan tidak membuat ketentuan tentang haji yang bersifat keagamaan, pemungutan uang sistematis atas nama-Nya. Dia tidak memerintahkan para nabi-Nya atau rasul-Nya untuk memberhalakan-Nya. Tidak adn rujukan yang jelas tentang Lembaga Agama atau Kewajiban Agama di dalam Kitab Suci-Nya. Tidak ada sama sekali. Adakah cara yang lebih baik bagi Setan untuk menghapus sistem tersebut selain dengan meracuninya?
Jadi, bagaimana semua praktek tersebut menyusup ke dalam Islam modern saat ini? Dimana semua yang difirmankan dalam Al Qur’an? Marilah kita meneliti kitab suci tersebut untuk melihat apa yang telah Tuhan firmankan kepada kita.

Pada dasarnya, semua nabi, rasul, dan hamba-Nya, laki-laki dan perempuan semuanya wajib MENGABDI Tuhan melalui perilaku pribadi dalam SUBSTANSI dan PERILAKU. Islam berhubungan dengan perilaku kepatuhan yang dilakukan dengan sengaja kepada Tuhan, bukan perilaku otomatis tanpa pikiran. Pesan Allah yang disampaikan kepada kita oleh Rasul-Nya hanyalah mengatakan; ‘Janganlah kamu MENGABDI selain Dia’. Dalam kata-kata tersebut terkandung kebenaran Islam.

Kami tidak mengirim seorang rasulpun sebelum kamu melainkan pesan yang berbunyi ‘Tidak ada Tuhan selain Aku, maka MENGABDILAH kepadaKu (Surat 21 Ayat 25) .

Di dalam Al Qur’an tidak disebutkan kata MENGABDI atau Sembahyang Ritual tiga, empat, atau lima kali sehari atau seminggu. Ini merupakan konspirasi Arab terhadap Tuhan dan nabi terakhir untuk memperkenalkan lembaga agama, rumah ibadah, sembahyang ritual, dan hukum-hukum agama. Sebagai contoh, bangsa Arab telah memanipulasi makna istilah ‘pandangan hidup’ atau din dengan mengartikannya sebagai ‘agama’ dan kata mengabdi (ya’budu) diartikan menjadi ‘ibadat’. Meskipun ini perubahan kecil namun telah memberikan dampak kepada Islam seperti yang kita ketahui saat ini. Sungguh menyedihkan, para penjaga Keimanan juga terus mengulang berbagai distorsi lainnya. Di antaranya adalah Ka’bah di Mekkah dan kewajiban melakukan ibadah haji.

Tuhan telah menetapkan bangsa Arab tersebut sebagai orang kafir dan orang munafik yang sesungguhnya. Hal ini tidaklah mengejutkan bila pembaca membaca beberapa halaman lagi. Al Qur’an adalah benar, karena selalu dapat dipraktekkan.

Bangsa Arab memiliki sikap kafir dan munafik yang sangat kuat, dan kebanyakan tidak mengetahui hukum-hukum yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasul-Nya, dan Tuhan Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Surat 9 Ayat 97).

Dengan demikian kemungkinan bangsa Arab sebagai penjaga agama Tuhan mendekati nol. Tanggung jawab tersebut harus dipikul oleh Muslim sejati, di manapun dia berada. Meskipun demikian, kondisi yang ada saat ini memandang bangsa Arab sebagai pahlawan bagi agama mereka dan orang-orang non-Arab yang menaruh kepercayaan kepada bangsa Arab secara membabi buta. Saat ini kita dihadapkan pada keadaan bahwa orang-orang non-Arab mengakui Agama Arab yang dibuat tersebut, padahal bangsa Arab adalah pemilik dan penjaga berhala batu di Saudi Arabia.
TUHAN BUKANLAH BANGSA ARAB

Adalah salah bagi setiap orang yang mengajarkan bagaimana seseorang harus MENGABDI Raja Semesta Alam kecuali dalam bahasa Arab. Pertimbangkan hal berikut ini.
• Penguasa Semesta Alam BUKANLAH bangsa Arab.
• Penguasa Semesta Alam mengerti bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Jerman, Rusia, Thailand, Tamil, Jepang, Cina atau bahasa lainnya yang ada di langit dan bumi termasuk bahasa semut dan binatang.

Lantas mengapa, ada obsesi terhadap ‘kebenaran politik’ dan kelayakan dari bahasa dan budaya Arab? Al Qur’an menceritakan secara detail kehidupan orang-orang besar pada masa lalu seperti Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, Daud, Sulaiman, Musa, dan Isa dan banyak lagi yang mengabdi Tuhan. Mereka tidak berbahasa Arab, tetapi mereka adalah orang-orang baik dan hamba-hamba Tuhan terdahulu. Mereka tidak menyembah Tuhan. Hubungan mereka dengan Tuhan hanya seputar pemenuhan kewajiban dan menjaga komitmen yang murni serta mensucikannya melalui perbuatan. Semuanya dituntaskan tanpa mengucapkan bahasa Arab. Penyembahan adalah ritual orang-orang kafir. Musa, Ibrahim, Isa, Daud, dan Muhammad dikirim untuk mengajarkan kita agar menghentikan penyembahan melalui ritual. Adalah kehendak-Nya agar kita mulai mengabdi Tuhan dengan memenuhi segala kewajiban kita dan berbuat kebajikan. Dengan kata lain, dalam Islam berbicara itu murah.

Al Qur’an mengisahkan tentang Daud dan Sulaiman. Sulaiman diberkati dengan kemampuan memahami bahasa binatang, burung dan semut. Suatu hari ketika Sulaiman berjumpa sekumpulan semut ia tersenyum gembira saat mendengar kumpulan semut itu bercakap-cakap satu sama lain.

Ketika mereka sampai di lembah semut, seekor semut berkata: ‘Hai semut-semut masuklah ke dalam sarang-sarangmu, kalau tidak Sulaiman dan tentaranya bisa menginjakmu dengan tidak sengaja’ (Surat 27 Ayat 18).
Semut tersebut mungkin tidak saling berbicara dalam bahasa Arab. Ini hanyalah sekadar logika dengan berasumsi bahwa Tuhan menerjemahkan bahasa semut tersebut ke dalam bahasa Arab sebagaimana yang kita lihat dalam Al Qur’an karena nabi terakhir berasal dari Arab. Jika Tuhan memilih nabi dari Perancis, maka Dia akan menerjemahkan peringatan semut tersebut ke dalam bahasa Perancis.

Wahyu Tuhan dapat dimengerti dalam berbagai bahasa dan tidak ada keraguan bahwa pesan-Nyalah yang paling penting, BUKAN pembawa pesan, atau bahasa pembawa pesan. Akan tetapi, bagi mereka yang tidak mempercayainya akan menganggap bahasa sebagai beban dalam menerima pesan yang jelas. Al Qur’an mengajarkan bahwa bahasa kitab Tuhan bersifat non-material dan Tuhan akan meletakkan pesan-pesan-Nya di dalam hati yang tulus dari orang-orang beriman tanpa memandang bahasa ibu mereka. Al Qur’an mengatakan bahwa mereka yang tidak beriman akan berkutat dengan bahasa, bukan pesan-Nya. Al Qur’an memberikan satu contoh bagus mengenai orang-orang masa lalu yang berselisih tentang bahasa dalam kitab Taurat. Mereka adalah orang-orang yang mengklaim sebagai pengikut ajaran Musa, tetapi mereka terpecah dalam sekte-sekte agama; mereka berbeda dalam interpretasi dan pemahaman tentang Taurat dan hal yang sama terjadi dalam Agama Arab. Al Qur’an menyatakan orang-orang akan bertanya tentang wahyu Tuhan dengan bahasa apapun yang dipilih-Nya untuk diwahyukan.

Seandainya kita menjadikannya sebagai bacaan bukan dalam bahasa Arab, mereka akan mengatakan, ‘mengapa ayat-ayat-Nya tidak dijelaskan? Akankah kita mengungkapkan (Qur’an/bacaan) yang non-Arab ini ke dalam bahasa Arab? Katakanlah, ‘bagi mereka yang beriman, Al Qur’an itu merupakan suatu lentera dan petunjuk. Karena bagi orang-orang yang tidak beriman, mereka tuli dan buta terhadapnya, seakan-akan mereka dipanggil dari tempat yang jauh. Kami juga telah memberikan sebuah kitab kepada Musa, dan hal itu juga dipermasalahkan. Bila tidak ada keputusan yang telah ditentukan dari Tuhanmu, tentulah kitab-kitab itu segera akan diputuskan. Mereka dalam keraguan yang dalam (Surat 41 Ayat 44-45).

Bila disajikan dalam bahasa Arab kepada orang-orang non-Arab, mereka tidak mempercayainya ketika kitab itu dibacakan. Inilah cara kami memasukkannya ke dalam hati orang-orang yang zalim. Akibatnya, mereka tidak beriman hingga siksaan yang pedih mendera mereka (Surat 26 Ayat 198-201).

Meskipun Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, namun hal ini tidak berarti bahwa Tuhan lebih menyukai bangsa Arab ketimbang bangsa-bangsa lain. Sebaliknya, Dia menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa Dia mengutuk mereka dalam kitab berbahasa Arab dan menyebut mereka dengan istilah yang sangat keras bahwa mereka adalah orang kafir dan orang munafik yang sangat kuat. Dengan kata lain, Al Qur’an tidak memberikan keuntungan kepada bangsa Arab atas kitab suci Allah meskipun mereka memahami bahasanya. Sayangnya, begitu banyak orang non-Arab di seluruh dunia yang berupaya untuk menjadi orang Arab ketimbang orang Arab itu sendiri, bahkan Al Qur’an mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah beriman bila mereka bersikeras mengikuti petunjuk Tuhan dengan menggunakan bahasa selain dari bahasa ibu mereka, seberapapun cerdasnya mereka. Oleh karena itu, orang-orang non-Arab tidak bisa mengklaim bahwa mereka beriman dan berserah diri kepada Tuhan karena mereka memahami bahasa Arab; bahkan kegigihan mereka memperlihatkan kejahatan mereka.

Jika Tuhan bisa berbicara dalam berbagai bahasa, maka bahasa TIDAK menjadi halangan bagi setiap makhluk hidup di langit dan bumi untuk mengagungkan Penciptanya. Tuhan berfirman bahwa langit, bumi dan gunung-gunung sekalipun dapat memahami apa yang diucapkan manusia. Setiap kali manusia berkata Tuhan memiliki anak - langit, bumi dan gunung-gunung bereaksi atas ucapan yang bernada hina seperti itu. Saya tidak berfikir ayat ini menyindir bahwa langit, bumi, dan gunung-gunung hanya dapat mengerti ucapan-ucapan hina tersebut dalam bahasa Arab.

Langit hampir runtuh, bumi akan meledak dan gunung-gunung seakan hancur saat mendengar pernyataan semacam itu tentang Allah Yang Maha Pengasih (Surat 19 ayat 90-91).

Sederhananya, konspirasi Arab kukuh berpendapat bahwa setiap orang harus mengabdi Tuhan dengan bahasa Arab, dan dengan cara Arab. Hal ini tentu saja tidak masuk akal.

KLAIM KEPEMILIKAN

Al Qur’an tetap sederhana dan mudah. Kebingungan yang menguasai sepenuhnya disebabkan oleh manusia. Hal yang tidak benar bila manusia mengambil kata-kata yang diwahyukan dan mengubah maknanya untuk disesuaikan dengan situasinya. Bangsa Arab mengembangkan Agama Arab temuan mereka dan bukan Islam yang diwahyukan kepada nabi terakhir. Hal ini dilakukan untuk mendukung klaim kepemilikan mereka atas Al Qur’an dan mengumumkan kepada dunia bahwa mereka adalah penjaga ‘agama’ yang benar. Kecerobohan semacam itu tidak kita lihat di manapun di dunia ini. Orang kemudian akan bertanya, apakah Setan juga berbicara bahasa Arab.

Saat ini, orang-orang yang hendak mengabdi Tuhan dengan berjalan di jalan Tuhan bahkan dijerumuskan ke dalam kerumitan Agama Arab. Dengan kata lain, mereka harus pergi ke Arab agar bertemu Tuhan. Nampaknya, orang-orang Arab telah mengangkat diri mereka sendiri sebagai juru selamat baru dan Pembawa pesan.

Ini merupakan dalil baru bagi orang-orang yang berserah diri ke jalan yang ditunjukkan Tuhan atau din-nil-lah (way of life/cara hidup) untuk beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang-orang beriman mengetahui hal ini dan mereka tahu Tuhan Yang Maha Esa telah mewahyukan kitab suci ini melalui banyak nabi untuk membimbing mereka. Pada satu saat, kita lengah terhadap musuh-musuh Tuhan yang selalu mengintai di sisi jalan untuk menyisihkan kita.

Seorang murid yang mempelajari bahasa Arab harus menghadapi interpretasi mullah untuk mematuhi Agama Arab yang diciptakan, yang tidak tercantum dalam Al Qur’an. (Contoh-contohnya diberikan dalam buku ini yang memperlihatkan betapa kata-kata yang sangat sederhana dalam Al Qur’an telah diselewengkan) .

Orang-orang ikhlas yang mencari kemurahan dan karunia Tuhan telah terbagi ke dalam konflik yang merusak dan sekte-sekte yang penuh kebencian di balik jubah Agama Arab. Mereka berjuang dan menentang terhadap hampir segala hal. Sebagai orang yang seharusnya penjaga keimanan Muslim, mereka mengemukakan kesaksian yang lemah agar dihormati.

Bangsa Arab terus membodohi setiap orang dengan menyuruh mereka mengeluarkan uang dalam jumlah sangat besar untuk berkunjung ke tanah Arab dan berjalan mengelilingi sebuah kubus. Bila hal ini bukan merupakan suatu bencana, maka ini merupakan lelucon.

MENCIPTAKAN PERPECAHAN DI ANTARA MANUSIA

Mereka yang percaya pada bangsa Arab tidak menyadari bahwa merupakan suatu kesalahan mendorong terjadinya perpecahan di jalan Tuhan. Anggapan yang salah bahwa perubahan-perubahan tersebut dibuat untuk mengembangkan Islam. Merupakan suatu kesalahan dengan berfikir bahwa konsep-konsep tersebut harus diinterpretasi ulang. Kita diharapkan untuk tidak mengacaukan segala sesuatu yang sudah sempurna dalam desain dan pelaksanaannya. Setiap tinjauan umum tentang Al Qur’an akan merujukkan peringatan akan perintah yang jelas yaitu bila hamba Tuhan mengikuti jalan hidup selain dari jalan Tuhan, maka ia tidak akan dimasukkan dalam golongan Rasul-Nya. Jika demikian, hal ini saja seharusnya memotivasi umat Muslim untuk menegaskan bahwa mereka menjadi golongan Rasul. Dengan melakukan hal tersebut, kebenaran pasti akan terungkap.

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang memisahkan din-Nya/cara hidup-Nya ke dalam agama-agama (shi-ya’an), kamu sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap mereka (Surat 6 Ayat 159).

Kita berharap bisa menjalani hidup sesuai dengan yang diperintahkan oleh Tuhan kita yang suatu saat pasti akan mengambil kembali hidup kita sebagaimana Dia menganugerahkan-Nya kepada kita. Agar kita menyatu dengan rencana yang mulia ini, Dia meminta agar kita percaya kepada Tuhan yang Tak Terlihat sehingga kita merasa yakin akan adanya kehidupan yang abadi setelah kematian. Kita diperintahkan untuk berbuat kebajikan sepanjang hidup kita sehingga Tuhan akan merasa senang. Sebagai manusia, tujuan kita sangatlah terhormat, namun kita gagal melaksanakan kewajiban tertinggi, yaitu membaca. Tak ada pernyataan yang begitu sempurna seperti ayat berikut ini:

‘Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakanmu. Ia menciptakan manusia dari tanah liat. Bacalah, Tuhanmu adalah Yang Maha Tinggi. Dia mengajarmu dengan pena. Dia membimbing manusia yang tidak pernah tahu’ (Surat 96 Ayat 1-5).

Alih-alih menjalani hidup dengan penuh kebajikan dan pelayanan, Islam saat ini menjalani hidup yang penuh penindasan dan telah direndahkan, menjadikan ritual sembahyang yang dogmatis, pemujaan berhala, adat-istiadat, tradisi, dan haji. Satu-satunya keuntungan yang penulis lihat dalam pengaturan ini adalah kian berkembangnya industri pariwisata Arab. Secara efektif, ‘ritual’ ini telah menghukum setiap muslim selama hidupnya menjadi budak Tuhan dengan cara yang sangat tidak efektif dan sia-sia. Dengan pengertian yang kabur, ‘agama’ telah menggantikan minyak sebagai ekspor terbesar Saudi Arabia. Tak terhitung banyaknya orang-orang beriman, yang tidak memiliki sarana untuk menunaikan ibadah haji, kendati telah bekerja keras, berhutang dan berkorban tiada akhir demi memenuhi ‘kewajiban’ ini. Anehnya, Saudi Arabia, yang tentunya memiliki prosentase jemaah haji terbesar yang telah menyempurnakan hajinya, justru tidak merujukkan contoh-contoh kasih Tuhan yang adil.

Praktek ini telah memecah belah umat manusia, menyebabkan perbedaan, memicu masalah ras dan kebencian agama di antara umat manusia. Mungkin yang terparah adalah, mereka membelokkan umat manusia dari jalan Tuhan. Prasyarat itu telah menyebarkan kejahatan ke seluruh dunia, dengan menciptakan beragam sekte agama guna mendukung adat-istiadat dan keyakinan keagamaan mereka, dan Arab menjadi pusatnya. Yang lebih penting, satu aspek paling buruk tentang penyebaran ‘Agama’ Arab adalah memecah belah dan mengendalikan semua umat Muslim. Saat ini, rasa permusuhan ini belum membuat agama lain peduli bahwa, sampai pada taraf tertentu atau yang lainnya, ada yang aneh dengan umat Muslim. Mengapa istilah Muslim Fundamentalis kini tidak dipandang sebagai istilah yang positif?

Kamu semua harus kembali dan patuh kepada Tuhanmu serta tegakkanlah komitmen dan janganlah menjadi di antara pemuja berhala, yaitu mereka yang membagi din ke dalam agama-agama (shi-ya’an) . Dan setiap golongan merasa bahagia dengan apa yang mereka miliki (Surat 30 Ayat 31 dan 32).

Para mahasiswa ‘Arab’ sejak dini dikondisikan untuk menerima ajaran para ulama agama Arab tanpa akal sehat, tanpa mempertimbangkan ketepatan dan kebenaran. Mereka semua tidak sadar akan tindakan salah serta penyebaran ajaran kepada setiap generasi Muslim yang baru. Bila diingatkan akan kebodohan tersebut, mereka akan merespon dengan mengatakan bahwa mereka yang hanya mengikuti Tuhan dan tidak mengikuti hadis itulah yang merupakan orang-orang kafir. Hal yang aneh bahwa menurut ‘Agama Arab’ mereka, ‘orang-orang kafir itu’ harus dilempari batu hingga mati. Penyimpangan ini saja sudah menjadi bukti adanya sikap kafir. Tuhan yang sesungguhnya tidak menerapkan standar ganda.

PEMUJA BATU

Yang diketahui tentang agama kafir orang Arab, sebagian besar terpusat pada tradisi-tradisi yang berkaitan dengan rumah batu persegi empat di Mekkah yang disebut Ka’bah dan lingkungannya. Bangsa Arab mewajibkan kaum muslim menyembahnya dan inilah sebabnya mengapa hingga saat ini, kaum Muslim di seluruh dunia membungkuk dan bersujud ke arah bangunan batu khusus itu lima kali sehari dimanapun mereka berada.

Bangsa Arab berkata ‘RUMAH BATU DI MEKKAH ADALAH RUMAH TUHAN!’ Mereka menyebut bangunan batu di Mekkah sebagai Baytul-lah atau ‘RUMAH TUHAN’. Istilah Rumah Tuhan atau baytul-lah tidak ada di dalam Al Qur’an. Jika gagasan ini begitu penting bagi umat Muslim, mengapa hal ini tidak disebutkan dalam Al Qur’an? Ini pastilah merupakan kepalsuan lain yang dibuat oleh bangsa Arab. Bagaimanapun, mereka mengklaim sebagai penjaga bahasa dan Al Qur’an.

Dari perspektif lain, jika anggapan ini benar, pastilah dengan alasan bahwa Tuhan, Penguasa Alam Semesta, tinggal di dalam kubus batu mungil berbentuk persegi empat yang berlubang berukuran 627 meter persegi di Mekkah. Hanya karena ‘baytul-lah’ disimbolkan sebagai istilah Arab tertentu, maka tak seorangpun yang peduli untuk memeriksa arti sebenarnya dari kata tersebut. Umat Muslim di seluruh dunia tidak sadar ketika mereka mengucapkan kata ‘Baytul-lah’ karena kata tersebut telah dianggap sebagai ‘agung’ sehingga maknanya tidak boleh dipertanyakan. Mempertanyakan ini akan menimbulkan tuduhan kafir.

Pujian harus diberikan kepada bangsa Arab karena telah melestarikan begitu banyak mitos. Bagi umat Muslim non-Arab istilah-istilah seperti ini akan selalu dianggap ‘agung’ dan diucapkan bersama kata-kata seperti ‘Allah’. Mereka akan menyembah segala sesuatu yang melekat pada nama tersebut. Mereka akan membungkuk dan bersujud pada sebuah rumah batu dengan mengatasnamakan Allah. Saya mengunjungi bangunan batu tersebut beberapa tahun lalu dan merasa malu pada Tuhan setelah membungkuk dan bersujud kepada batu itu. Setelah kembali ke negara saya, saya memohon ampun kepada Penguasa Alam Semesta dan berjanji kepada-Nya bahwa saya tidak akan pernah menginjakkan kaki saya ke tanah itu lagi. Tak dapat dibayangkan melihat betapa jutaan orang pandai dengan sangat mudahnya mengabaikan akal sehat mereka dengan mengabdi pada bangunan batu yang dibangun oleh bangsa Arab. Mekkah dan Medinah sebenarnya merupakan dua kota penyembahan berhala terbesar di dunia.

Orang-orang bodoh di antara orang-orang tersebut berkata, ‘Karena Tuhan tinggal di bumi, maka tidak ada salahnya mengatakan bahwa ada Rumah Tuhan’. Ini merupakan sikap manusia yang terlalu berani dan angkuh yang menganggap bahwa Pencipta Alam Semesta sudi tinggal di sebuah bangunan yang dibangun oleh kaum kafir, dengan bahan dasar bebatuan yang diambil dari pegunungan di sekitarnya. Dengan keyakinan ini saya mengatakan kepada penganut Katolik, bahwa Tuhan tidak tinggal di Vatikan. Orang-orang bodoh yang sama menuduh orang lain sebagai kafir karena menyembah berhala. Apakah mereka tidak melakukan hal yang sama dengan menyembah sebuah kubus batu?

Semuanya ini merupakan sentuhan Setan. Pertimbangkan pernyataan dalam Al Qur’an yang menggambarkan Setan sebagai ahli paling hebat dalam mengontrol otak manusia. Al Qur’an menyatakan bahwa Setan memperdaya manusia sehingga manusia mengira bahwa dia diberi petunjuk:

Kemudian syaitan-syaitan itu akan terus menjauhkan mereka dari jalan yang benar dan membuat mereka berpikir bahwa mereka diberi petunjuk (Surat 43 Ayat 37).

Semua keraguan bahasa dan kontekstual ini telah berhasil menyembunyikan satu kebenaran dan pesan sesungguhnya dalam Al Qur’an. Kitab Suci ini telah direndahkan hingga menjadi buku paduan suara yang hanya digunakan untuk berbicara dan menyanyi. Sampai saat ini, banyak orang tanpa arah mengikuti ‘resep’ yang ditetapkan dalam ‘aturan-aturan’ Muslim yang dijelaskan dalam bahasa yang asing untuk mereka dan terus menerus mengabadikan mitos. Banyak agama melakukan hal yang sama, namun tidak ada satupun yang begitu berbahaya dan meluas. Menyedihkan memang, begitu banyak kesalahpahaman ini yang mudah ditemukan hanya dengan menggunakan sedikit akal dan perhatian. Sekali lagi - akal sehat adalah komoditas umum.

MENYEMBAH BATU GUNUNG

Ritual yang dilestarikan di sekitar Ka’bah buatan manusia telah mengembangkan serangkaian ritual agama yang aneh. Kaum yang beriman membungkuk dan bersujud kepada rumah batu, mengitarinya sepuluh kali, mengucap dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, ‘Ya Allah aku telah berada di sini’ mengeraskan suara ketika mereka mendekati kubus batu ‘yang disucikan’. Mereka mencium berhala, menangis, dan meratap kepadanya. Mereka tidak menyangkal bahwa mereka menyembah Tuhan mereka MELALUI rumah batu. Namun agar terdengar pantas, mereka mengatakan inilah ‘rumah Tuhan’.

Bangunan batu persegi empat di Mekkah itu terus menerus dikelilingi oleh ribuan orang dari seluruh dunia sepanjang tahun, siang malam bahkan hingga larut malam. Selama musim haji setiap tahunnya sekitar dua juta orang dari seluruh dunia menyembahnya. Ini membuat Ka’bah menjadi berhala yang paling sukses di muka bumi. Pada halaman-halaman berikutnya, kami akan memperlihatkan bagaimana bangsa Arab berkonspirasi untuk mengubah Islam ’cara hidup’ menjadi agama penyembah berhala. Dalam melakukan itu, mereka dengan sengaja memanipulasi kata-kata Tuhan di dalam Al Qur’an dan menjualnya dengan harga yang sangat murah.

KONSPIRASI

Untuk mewujudkan rencana jahat mereka, daftar yang memuat 24 kata-kata penting yang ada dalam Al Qur’an (diantaranya) diputarbalikkan dan dimanipulasi oleh bangsa Arab guna menciptakan ‘Agama Arab’. Berikut kata-kata yang disertai dengan terjemahannya:

Kata Arab Manipulasi Orang Arab Makna Dasarnya
Sol-laa Sholat lima waktu Komitmen/Kewajiban/Perjanjian
Deen Agama Pandangan atau cara hidup yang teratur
Bayta Rumah Tuhan Sistem
Bayti-ya Rumah Tuhan Sistem saya
Baytal Harama Rumah suci Tuhan Sanksi pada sistem
Baytika-muharami Rumah suci Tuhan Sanksi anda pada sistem
Maqam Jejak kaki Ibrahim Status atau kedudukan
Musol-lan Tempat beribadah Manusia yang berkomitmen
Musol-leen Orang-orang yang beribadah secara ritual Orang-orang yang berkomitmen
Thor-iffin Mengitari rumah Sekelompok orang
A’kiffin Merenung dalam rumah batu Mengabdi
Wa-roka’is-sujud Membungkuk dan sujud Berserah diri dengan kerendahan hati
Ma-sajid Masjid Penyerahan diri
Masajidil-lah Masjid Allah Penyerahan diri yang ditentukan Tuhan
Masajidil-harami Masjid Suci Sanksi kepatuhan
Masajidil-aqsa Masjid yang jauh Dekatnya dengan penyerahan diri
Masajidi-lil-lah Masjid milik Tuhan Penyerahan diri kepada Tuhan
Hurumun Ikhram/Haji Dilarang
Ka’aba Rumah Tuhan Mata kaki atau kaki bagian bawah
Hayda Pengurbanan binatang Tuntunan
Qola-ida Kalungan di leher binatang Indikator larangan untuk berburu
U’mro-ata Mengunjungi Rumah Tuhan Kemakmuran atau memberi kehidupan
Haj Ibadah haji tahunan Tantangan atau ceramah
Zakat Membayar fitrah (agama) Menyucikan, atau menjaga kesucian

Penelitian dasar dan sederhana yang berdasarkan hanya pada Al Qur’an membuktikan bahwa makna kata-kata yang tertera di atas telah dengan sengaja didistorsi, disalah tafsirkan dan dipalsukan oleh bangsa Arab dengan tujuan untuk menundukkan cara hidup, demi keuntungan mereka dan kekuasaan, melawan kehendak Tuhan dan Rasul-Nya. Pengujian sederhana pada makna-makna terkait yang berulangkali muncul dalam Al Qur’an, seharusnya sudah cukup menjadi pendorong bagi orang yang benar-benar beriman atau ahli agama untuk menelaah kata yang benar dalam Al Qur’an dan melakukan studi pribadi dan tidak menyimpang tentang Al Qur’an, tanpa menghiraukan pendapat umum. Bagaimanapun, Al Qur’an telah menjadi dokumen yang tetap bagi umat Muslim yang beriman.

Al Qur’an juga menjelaskan bahwa bukti-bukti mutlak tertera dalam halaman-halamannya. Janji yang khusus ini muncul empat kali dalam satu surat saja:

Sesungguhnya Kami telah membuat Al Qur’an mudah untuk diingat. Adakah yang ingin mempelajarinya? (Surat 54 Ayat 17, 22, 32 dan 40).

Bangsa Arab telah menyalahgunakan empat ayat penting dari Al Qur’an untuk memperkuat klaim mereka. Setelah mencapai tujuan mereka, mereka memerlukan momentum dan reaksi berantai untuk menginterpretasikan kembali ayat-ayat dan kata-kata lain agar tetap konsisten. Akan tetapi, hasilnya tetap buatan manusia dengan begitu banyak ketidakkonsistenan, yang tidak seharusnya muncul dalam Firman Tuhan. Jelasnya, konsep berjalan sendiri dalam konteks ‘agama’ bisa menjadi bencana. Bukti akan hal ini muncul dengan jelas dalam kata-kata mulai dari Al Qur’an Surat 2 Ayat 124-129, Surat 5 Ayat 1-5, Surat 3 Ayat 95-97 dan Surat 9 Ayat 17-20.

Yang lainnya ditemukan dalam berbagai surat untuk mendukung distorsi tersebut. Kami mengajak pembaca untuk mengikuti kami dalam perjalanan membongkar konspirasi tersebut, merujuk hanya pada Al Qur’an, yang diterima oleh semua umat Muslim sebagai firman Allah di muka bumi ini.

Penelitian ini mempertahankan beberapa aturan fundamental dalam Al Qur’an, di antaranya:
1. Al Qur’an tetap konsisten dan tidak ada kontradiksi di dalam kitab tersebut.
Mengapa mereka tidak mempelajari Al Qur’an dengan cermat? Jika Al Qur’an tidak berasal dari Tuhan, maka mereka akan menemukan begitu banyak kontradiksi di dalamnya (Surat 4 ayat 82).
2. Al Qur’an merupakan pesan (Hadis) terbaik dan ia tetap konsisten.
Tuhan mengirimkan pesan (Hadis) yang terbaik yaitu sebuah kitab suci yang konsisten (Surat 39 Ayat 23).
Pesan (Hadis) yang mana selain Al Qur’an yang akan kamu percayai (Surat 77 Ayat 50).
3. Tidak ada keulamaan atau ustad dalam Islam.
Mereka telah menganggap ulama dan para ahli agama sebagai Tuhan selain Allah (Surat 9 Ayat 31).
4. Tak seorangpun dapat mengklaim diri mereka sebagai guru Al Qur’an.
Allah Maha Pemurah, Dialah yang mengajarkan Al Qur’an. Dialah yang menciptakan manusia (Surat 55 Ayat 2-3).
5. Hanya Allah yang dapat menjelaskan Al Qur’an karena Dialah yang menulisnya.
Janganlah kamu gerakkan lidahmu terburu-buru membaca ayat-ayat ini. Kamilah yang bertanggung jawab menyatukannya dalam Al Qur’an. Setelah Kami membacakannya, kamu harus mengikutinya. Selanjutnya Kami akan menjelaskannya (Surat 75 Ayat 16-19).
6. Al Qur’an menjelaskan sendiri dan memberikan interpretasi terbaik, di luar kemampuan manusia.
Apapun argumen yang mereka ajukan, Kami memberikan kepadamu kebenaran dan penjelasan terbaik (Surat 25 Ayat 33).
7. Tidak ada keraguan yang ditemukan dalam Al Qur’an.
Al Qur’an dalam bahasa Arab, tanpa keraguan sehingga mereka mudah mempelajarinya (Surat 39 Ayat 28).

Untuk menyimpulkan pendahuluan ini, saya harus nyatakan bahwa nama saya sebenarnya bukanlah Aidid Safar. Agama Arab saat ini penuh dengan kegilaan yang terkadang penuh kepura-puraan seperti lelucon panjang dengan akhir yang mengecewakan. Mulai dari Maroko hingga Filipina, lebih dari satu milyar orang telah dibodohi dengan senang hati menjadi bagian dari kegilaan ini.

Yang lainnya telah dijatuhi hukuman mati karena mengucapkan kata-kata yang tak jauh beda dengan yang saya ucapkan. Di berbagai negara ‘Islam’, karya tulis saya ini bisa berarti pelecehan, pendakwaan, pemenjaraan dan bahkan mungkin kematian di tangan para pengikut Agama Arab yang gila itu.

Akan tetapi, pesan itu lebih penting dari pada sang pembawa pesan. Menurut sejarah, para pembawa pesan dianggap sebagai yang buruk dan pantas dibunuh. Pada sisi lain, para pembawa pesan yang dianggap sebagai yang baik seringkali dipuja. Saya hendak menghindari kedua nasib ini. Saya tetap memakai nama Aidid Safar. Dan kami tetap di sini.

Saya harap Anda membaca buku ini dengan semangat seperti yang tertulis. Saya juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada mereka yang telah memberikan saya dukungan moral untuk melaksanakan pekerjaan ini. Saya sangat berhutang budi kepada teman-teman, kolega serta keluarga saya yang telah memberikan dorongan untuk mulai menulis buku ini. Terimalah salam damai saya. Terima Kasih.

PESAN KEPADA ULAMA
Ini adalah pesan khusus kepada para ulama Agama Arab yang mengklaim bahwa mereka mengikuti Al Qur’an. Pertanyaan pertama dan terpenting yang saya ajukan adalah seputar empat pertanyaan mendasar:
• Apakah Allah, Penguasa Alam Semesta, tinggal di sebuah rumah di Mekah?
• Apakah anda yakin bangunan batu persegi empat yang kosong di Mekah dibuat oleh Tuhan?
• Mengapa anda rukuk dan sujud kepada berhala batu setiap hari?
• Apakah anda akan terus melawan Tuhan dan menghancurkan Cara Hidup yang telah diatur oleh-Nya atau apakah Anda ingin menjaga cara hidup yang telah diatur oleh Tuhan sebagaimana diwahyukan kepada Rasul-Nya?
Lantasi,
BAGAIMANA BISA ANDA ‘MENGABDI’ BANGUNAN BATU YANG DIPAHAT OLEH BANGSA ARAB? BUKANKAH ALLAH YANG TELAH MENCIPTAKAN ORANG-ORANG ARAB DAN BATU-BATU ITU?

Mengapa anda terus mengarahkan orang untuk ‘menyembahnya’?

Yang mendasar dan paling penting dalam Agama Arab terletak pada bongkahan batu yang secara salah disebut Ka’aba. Tanpa adanya rumah batu ini, ‘agama’ tidak ada. Saya ingin mengutip kata-kata nabi Saleh yang mengatakan kepada pengikutnya:

Kamu harus memohon ampun kepadanya, dan bertobatlah kepada-Nya (Surat 11 Ayat 61).

Tantangan saya selanjutnya kepada para ulama adalah untuk:
• Bekerja demi kepentingan masyarakat dan junjung tinggilah komitmen anda untuk mematuhi Tuhan dan Rasul-Nya serta jagalah kemurniannya.
• Patuhilah Tuhan dan serahkan dirimu ke Jalan Tuhan atau cara hidup yang sesuai dengan Al Qur’an, Al Qur’an semata.

Akan tetapi, bagi mereka yang memiliki pendapat berbeda dan telah berjanji untuk membimbing kelompok mereka ke jalan yang benar, dan memiliki dasar dari kitab Al Qur’an untuk mendukung Islam yang sah, seperti yang kita ketahui saat ini, tolong tunjukkan bukti-buktinya dari Al Qur’an.

Dalil yang mendasar dari Al Qur’an adalah mempertahankan ucapan ‘Tunjukkan bukti-bukti itu jika kalian orang-orang yang benar’ dan dikatakan juga: ‘Pendapat bukanlah pengganti kebenaran’. Mereka yang membimbing kelompoknya menuju bebatuan gunung, seharusnya mempertimbangkan adanya ‘batu’ lain di kehidupan akhirat.

Waspadalah terhadap api nereka yang bahan bakarnya manusia dan batu. Yang menanti orang-orang kafir (Surat 2 Ayat 24).

Bagi orang beriman dan cerdas, hari-hari akrobatis retoris dan pembengkokan lidah ini telah berakhir. Jika nabi tidak bisa membimbing seseorang termasuk mereka yang dicintainya (Surat 28 Ayat 56), bagaimana anda akan membimbing orang-orang kalau dirimu sendiri memerlukan Tuhan untuk membimbingmu?

Saya merasa muak kepada mereka yang menyamarkan diri di balik pakaian keagaman dan teologi palsu. Dalam kitab Tuhan tidak ada ‘teologi’ seperti itu. Anda telah membelokkan wahyu Tuhan yang telah dibacakan kepadamu untuk menyesatkan orang-orang dari jalan Tuhan dan menghinanya, padahal anda telah menyaksikan bahwa itu merupakan kebenaran. Bukan begini caranya untuk memenuhi perjanjian anda dengan Tuhan menurut Al Qur’an.

Bagi mereka yang memilih untuk mengabaikan peringatan yang begitu jelas dinyatakan dalam Al Qur’an, tepat kiranya untuk mengingat apa yang dikatakan Al Qur’an:

Sebenarnya, ayat-ayat ini jelas dalam hati orang-orang yang berpengetahuan. Hanya orang-orang zalim yang mengingkari ayat-ayat Kami (Surat 29 Ayat 49).

Beberapa manusia berdebat tentang Allah tanpa memiliki pengetahuan, bimbingan dan kitab suci yang mencerahkan (Surat 22 Ayat 8).

Kamu tidak dapat membimbing orang yang kamu kasihi. Allah memberi petunjuk kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Allah sangat mengetahui orang-orang yang pantas menerima petunjuk tersebut (Surat 28 Ayat 56).
Masa lalu dan masa depan adalah kepunyaan Allah, dan tak seorangpun mampu mendapatkan ilmu dari-Nya sesuai dengan yang dikehendakinya (Surat 2 Ayat 255).

Apakah Tuhan ada dalam diri anda? Apakah anda merupakan saksi atas Tuhan, Kehendak-Nya dan Keagungan-Nya? Apakah anda masih ingin membimbing orang-orang bila Allah dengan pasti mengatakan bahwa tak ada ketentuan untuk hal ini? Tidakkah anda mengetahui bahwa pandangan hidup atau cara hidup yang diatur oleh Allah tidak tergantung pada budaya Arab atau pakaian atau bahasa Arab?

Banyak yang mempelajari Agama Arab, tetapi mengabaikan kata din. Kata din ini sekarang penuh dengan ’ritual, mantera, aturan beribadah, gerakan fisik tubuh dan agama’, yang telah anda saksikan sendiri. Anda terus ‘menyembah’. Tuhan tidak membutuhkan penyembahan. Dia menginginkan setiap orang mengabdi kepada-Nya melalui komitmen pribadi untuk melakukan hal-hal yang baik. Semua Rasul Tuhan diutus untuk menghapuskan agama, penyembahan, ritual-ritual pemujaan berhala, dan upacara-upacara. Dengan cara ini, dan dalam segala hal, anda menentang Tuhan dan Rasul-Nya dengan mengembangkan cara hidup menyembah berhala. Berhati-hatilah; anda telah memilih musuh yang menakutkan.

Banyak pembela keimanan seperti Nabi Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, Yusuf, Musa, Harun dan Isa telah menjadi pelopor dalam menjalani cara hidup Tuhan atau cara hidup yang diatur oleh Tuhan (deen-ni-lah) . Mereka menghapuskan agama. Begitupula dengan misi nabi terakhir.

Semuanya memiliki SATU tujuan umum; ’Mengabdi Tuhan Penguasa Alam Semesta dan patuh kepada din sesuai dengan hukum yang dibuat-Nya’. Ayat berikut diulang empat kali dalam Al Qur’an. Banyak contoh keyakinan dalam sejarah orang-orang yang hidup sesuai dengan din yang telah diperintahkan yang seharusnya menjadi pelajaran bagi kita:

Dalam Al Qur’an ini telah Kami sebutkan setiap macam contoh, agar mereka waspada (Surat 39 Ayat 27, Surat 17 Ayat 89, Surat 18 Ayat 54 dan Surat 30 Ayat 58) .

Para ulama Agama Arab merupakan hasil dari upaya bangsa Arab yang kafir yang berusaha untuk menerapkan symbol agama mereka pada orang-orang yang tidak berdosa dan ikhlas. Sifat “program” mereka tidak membolehkan perbedaan pendapat atau ketidakcocokan dan telah menghasilkan generasi-generasi dengan jaminan perilaku yang tidak terarah untuk mendukung dan menyampaikan nilai-nilai dan ajaran mereka. Sejarah mengatakan kepada kita bahwa bangsa Arab telah memfitnah Nabi Ibrahim, pemimpin umat manusia yang terpilih, yang sepenuhnya berkomitmen untuk berserah diri kepada Tuhan melalui Cara Hidup yang telah diaturnya. Malah sebaliknya, bangsa Arab yang tidak bertanggung jawab mengarang cerita bahwa Nabi Ibrahim adalah orang pertama yang memuja berhala batu tersebut. Bahkan Nabi Muhammad pun tidak terhindar dari fitnahan.

Oleh karena itu, penulis tetap berpendapat adalah sangat tidak bijaksana bila anda mengikuti pemikiran ini dan bersikap arogan terhadap Cara Hidup yang telah ditentukan oleh Tuhan. Perilaku seperti itu adalah sikap yang menghancurkan diri sendiri dalam kehidupan kini dan yang akan datang.
faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:04 pm


BAGIAN SATU

TUHAN TIDAK MENGHENDAKI ADANYA AGAMA
Ada perbedaan antara definisi kata Islam yang diperintahkan oleh Tuhan dan Agama Arab yang diciptakan oleh bangsa Arab. Kata ‘Islam’ mungkin merupakan kata yang paling disalahgunakan di dunia saat ini.

ISLAM ADALAH CARA HIDUP ATAU ‘DIN’
Al Qur’an menyatakan:

Sesungguhnya, din menurut Allah adalah Islam (Surat 3 Ayat 19).

Dalam sebuah kalimat yang sederhana dan jelas, ‘Islam adalah Din’. Kata ‘Ad-Din’ berarti ‘Cara’ atau ‘Aturan’. Tuhan tidak mentasbihkan Islam sebagai ‘Agama’. (Ini merupakan hal yang penting sekali untuk dipertimbangkan).

Apakah perbedaan antara agama dan din?
• Agama[ ] merupakan keyakinan kepada satu tuhan atau banyak tuhan dan semua kegiatan yang berkaitan dengan keyakinan seperti sembahyang atau penyembahan atau upacara di kuil, gereja, gereja kaum Yahudi, atau masjid.
• Din merujuk pada suatu ‘Cara’ atau metode melakukan sesuatu, atau metode yang teratur untuk melakukan sesuatu yang dirancang untuk melakukan tindakan, atau serangkaian tindakan guna mencapai misi sepenuhnya.

Menurut Al Qur’an:

Agama disebut shi’ah. Ini merupakan suatu sistem yang melekat pada Cara Hidup yang diatur Tuhan atau din-ni-lah. Agama dibuat oleh manusia agar orang-orang mengabdikan diri kepada suatu badan umum dan yang sejenisnya, namun tidak terbatas pada badan-badan fisik yang terbuat dari kayu, batu, batu karang, logam, atau segala sesuatu yang berwujud. Orang-orang mengabdi kepada berhala-berhala atau patung-patung dengan menyembah mereka melalui sembahyang atau upacara-upacara keagamaan, yang pada akhirnya melembaga dan diatur sebagai kewajiban-kewajiban agama.

Din merupakan sistem yang diciptakan oleh Yang Maha Tahu yang membuat manusia mengabdikan diri kepada Tuhan Yang Tak Terlihat melalui kitab yang diwahyukannya. Penganut sejati sistem ini mengabdi Tuhan dengan berkomitmen untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang diperintahkan olehnya melalui sistem-Nya. Kewajiban-kewajiban ini memerlukan pengorbanan tanpa melakukan praktek-praktek dogmatik penyembahan ritual atau upacara. Orang-orang yang menyerahkan diri kepada din Tuhan disebut Muslim atau ‘orang-orang yang berserah diri’.

Di dalam Al Qur’an riwayat Nabi Nuh disebutkan dalam surat tersendiri. Nama Surat 71 itu adalah ‘Nuh’.

Kisah banjir bah yang dikenal oleh semua yang menerima kitab Tuhan. Nabi Nuh diperintahkan oleh Tuhan untuk memperbaiki masyarakat yang memanjakan diri mereka dengan mengabdi Tuhan yang salah. Masyarakatnya pada waktu itu menganut suatu agama.

Pada zaman Nabi Nuh ada dua sistem. Masyarakat pada waktu itu mempertahankan pelestarian dan pengembangan-pengembangan sistem tradisional dengan melakukan sembahyang dan pemujaan sebagai Cara Hidup mereka. Namun demikian, Nabi Nuh menjalankan din Tuhan tanpa sembahyang dan pemujaan yang melembaga. Tak lama setelah rumahnya kebanjiran, ia memohon kepada Tuhan:

Ya Tuhanku! Ampunilah aku dan orang tuaku, dan setiap orang yang masuk dalam ‘sistemku/bayti-ya’ sebagai orang yang beriman, dan semua laki-laki dan perempuan yang beriman. Dan bagi orang-orang zalim, janganlah engkau tambahkan kepada mereka selain kebinasaan’ (Surat 71 Ayat 28).

Bangsa Arab mengatakan kata Bayti-ya dalam ayat ini diterjemahkan menjadi… ‘setiap orang yang masuk ke rumahku’. Anehnya, Nabi Nuh memohon dengan kerendahan hati dari Perahu yang dibangunnya saat banjir bah datang. Pada waktu itu, rumahnya terancam tenggelam oleh air yang dikirim Tuhan. Sama jelasnya bahwa ketika semua orang telah tenggelam, tak seorangpun masuk ke rumahnya. Oleh karena itu, kata bayti-ya yang kita ketahui pasti bermakna sistem yang dianut Nabi Nuh. Kata kapal di dalam Al Qur’an adalah fulk (harap baca Bagian 7 dengan judul Bayta untuk mendapatkan informasi lebih jauh tentang persoalan ini) .

Al Qur’an mengatakan mereka yang mematuhi Cara Hidup yang ditandai dengan ibadah ritual dan penyembahan adalah penganut shi-ya’an, atau agama. Mereka yang setia kepada agama disebut sebagai penyembah berhala atau orang-orang musyrik.

Kisah Nabi Nuh disebutkan lagi dalam Surat 37 bersamaan dengan riwayat Nabi Ibrahim. Di dalamnya dikatakan:

Nuh memohon kepada Kami, dan Kami mengabulkannya. Kami menyelamatkannya dari bencana yang besar, dan Kami menjadikan dia dan keluarganya sebagai orang-orang selamat dan meninggalkan kisah mereka untuk generasi yang akan datang (Surat 37 Ayat 75-78).

Kisah hukuman yang diberikan Tuhan kepada umat Nabi Nuh juga dipertahankan untuk generasi yang akan datang sebagai contoh bagi orang-orang pada masa Nabi Ibrahim. Namun demikian, orang-orang pada masa Nabi Ibrahim melakukan kesalahan yang sama dengan mengabdi tuhan yang salah. Mereka menyembah dan berdoa kepada tuhan yang mereka ciptakan seperti halnya yang dilakukan oleh Umat Nabi Nuh.

Umat Nabi Nuh pengikut shi-a’tihi (penganut suatu agama) ditenggelamkan oleh banjir. Sama halnya dengan umat nabi Ibrahim yang menyembah dan berdoa kepada berhala. Mereka juga termasuk shi-a’tihi.

Kesejahteraan dilimpahkan atas Nabi Nuh, melalui riwayatnya. Oleh karenanya Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang ikhlas dan mereka termasuk orang-orang yang beriman dan kemudian Kami menenggelamkan yang lainnya. Begitupula, orang-orang Ibrahim pengikut shi-a’tihi. Ia mengatakan kepada ayahnya dan juga umatnya, ‘Apakah yang kamu sembah itu? Apakah tuhan palsu selain Allah yang kamu inginkan? Tidakkah kamu memikirkan Tuhan Alam Semesta? (Surat 37 Ayat 79-87).

Konsep agama membutuhkan ritual atau upacara yang terfokus pada patung fisik yang memungkinkan orang untuk MELIHAT apa yang mereka sembah. Atribut tunggal ini, menurut Al Qur’an, merupakan tanda suatu agama. Akhirnya, siapa yang akan memilih untuk menunjukkan Keagungan Tuhan dalam sesuatu yang berwujud dan merupakan buatan manusia?

Din menurut Tuhan merupakan larangan atau sanksi yang ditetapkan olehnya. Din Tuhan mengharuskan para hambanya untuk mewujudkan keimanan mereka dalam tindakan praktis dalam bentuk amal dan perbuatan. Jalan-Nya merupakan rangkaian peraturan yang harus dipatuhi untuk mendapatkan kedamaian hidup. Sebagai contoh, perjanjian Tuhan mensyaratkan para hamba-Nya untuk mematuhi hal-hal berikut.
• Tuhanmu telah memerintahkan bahwa kamu TIDAK BOLEH MENGABDI selain Dia.
• Hormatilah orang tuamu selama masih hidup, satu diantara mereka atau keduanya. Janganlah kamu berbicara kasar atau membentak mereka.
• Berbicaralah dengan lemah lembut kepada orang lain.
• Kamu harus mengasihi saudara-saudaramu, anak yatim, dan orang-orang miskin.
• Janganlah kau bunuh anakmu karena takut miskin.
• Janganlah kamu melakukan zinah karena itu adalah hal yang buruk.
• Janganlah membunuh orang lain, karena mengakhiri kehidupan itu dilarang.
• Janganlah kamu gunakan uang anak-anak yatim kecuali untuk keperluan mereka sendiri.
• Bersikaplah adil dalam berdagang dan timbanglah dengan seimbang.
• Janganlah mengikuti sesuatu yang kamu sendiri belum tahu kepastiannya.
• Bersikaplah jujur jika kamu menjadi saksi, meskipun hal itu menyangkut dirimu sendiri, orang tuamu atau saudara-saudaramu apakah tergugat itu orang kaya maupun orang miskin.
• Berbuat amal dengan yang diberikan oleh Tuhan, yang telah Ia percayakan kepadamu.
• Berjuanglah di jalan Allah (fi-sabi-lil-lah) terhadap mereka yang memusuhi kamu, dan jangan bersikap berlebihan.
• Patuhilah komitmen itu dan bersikaplah rendah hati kepada mereka yang rendah hati.
• Janganlah bersikap congkak, dan janganlah berjalan dengan angkuh. Tuhan tidak menyukai orang-orang yang sombong, angkuh. Tundukkanlah dirimu saat berjalan dan pelankan suaramu saat berbicara.
• Makanlah segala sesuatu yang halal dan bergizi, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan adalah musuhmu yang kuat. Dia membimbingmu ke jalan keburukan dan kejahatan untuk membuat kebohongan dan menyamakannya dengan Tuhan.

Demikian itu adalah bagian dari cara hidup yang diperintahkan oleh Tuhan dari Al Qur’an. Manusia, dari masa Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhamad diminta untuk mematuhi mereka dengan cara yang teratur. Manusia diwajibkan mengabdi Tuhan dengan menjunjung tinggi komitmen. Komitmen ini tidak termasuk konsep dan praktek penyembahan atau sembahyang ritual.

Dengan demikian Agama dan Din tidaklah sama.

Manusia diwajibkan untuk mengabdi sang Pencipta dengan mematuhi jalan yang telah ditetapkan.

Dia telah memerintahkan din yang sama seperti diperintahkan kepada Nuh dan apa yang diwahyukan di dalamnya, dan apa yang telah diperintahkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa. Kamu harus menjunjung tinggi din yang SATU dan janganlah memisahkannya. Hal yang sangat sulit bagi kaum penyembah berhala untuk menerima apa yang dianjurkan kepadamu (Surat 42 Ayat 13).

Kamu harus berserah diri kepada Tuhan, bertakwa kepadanya, menjunjung tinggi komitmen dan janganlah menjadi penyembah berhala dan janganlah bersama mereka yang memisahkan din ke dalam agama (shi-ya-‘an). Setiap golongan (hizbul) merasa puas dengan apa yang mereka miliki (Surat 30 Ayat 31-32).

Banyak yang berpendapat bahwa arti kata shi’ah sama dengan sekte. Sekte telah lama berkaitan dengan perbedaan prinsip dalam konteks keagamaan. Namun, Tuhan tidak menghendaki adanya sekterianisme. Semua agama di dunia ini sama. Orang-orang beriman berkumpul bersama. Mereka membentuk kelompok-kelompok yang merupakan hal umum di dalam masyarakat. Mereka menyembah dan berdoa secara ritual pada benda-benda berhala yang berbeda seperti dinding, salib, bintang, bulan sabit atau rumah persegi empat atau gambar-gambar yang terbuat dari bahan-bahan yang diciptakan oleh Tuhan sejati.

Itulah definisi agama dan din secara lebih luas sejauh yang berhubungan dengan Al Qur’an.

Sebagai contoh, saat menetapkan makanan yang halal dan bergizi Tuhan menyatakan bahwa Dia telah menyempurnakan din tersebut. Dia berfirman:

Pada hari ini telah Aku sempurnakan din untukmu dan aku lengkapi rahmatKu kepadamu, dan Aku tetapkan ‘Islam’ sebagai din di tengah persoalan tentang makanan. Dengan mengartikannya secara harfiah dan menggantikan konsep din menjadi ‘agama’, hukum yang dibuat Tuhan ini kedengaran tidak masuk akal. Surat 26 Ayat 195 dan 196, mengatakan:

Telah jelas dalam bahasa Arab dan berisi pesan yang sama seperti kitab-kitab terdahulu, yang berarti pesan di dalam Al Qur’an adalah konsisten dengan kitab-kitab suci sebelumnya. Tuhan telah menyempurnakan din untuk hamba-Nya setelah menjelaskan secara detail janji-Nya tentang makanan. Tuhan tidak melarang semua makanan di dunia ini kecuali daging babi, darah, bangkai binatang, binatang yang mati karena kekerasan dan makanan yang diberikan untuk berhala. Itulah batasan dari din yang ditetapkan Tuhan. Tidak ada bersifat keagamaan dalam hal ini. Semuanya hanyalah batasan dalam mengkonsumi makanan, demi kesehatan yang baik.

Dilarang atas dirimu daging dari binatang yang mati dengan sendirinya, darah, daging babi, dan makanan yang diperuntukkan bagi tuhan selain Allah. Juga binatang yang dicekik sampai mati, binatang yang dipukul dengan benda, binatang yang mati jatuh dari ketinggian, binatang yang mati tertanduk, binatang yang mati dimakan predator kecuali kamu menyelamatkannya. Makanan yang diperuntukkan bagi altar berhala dan membagi binatang melalui pengundian. Semua itu menjijikkan. HARI INI, orang-orang yang tidak beriman merasa putus asa tentang dinmu. Janganlah takut padanya dan takutlah hanya kepada-Ku. HARI INI, telah Aku sempurnakan din kepadamu dan aku lengkapi rahmat-Ku kepadamu, dan Aku menyatakan ISLAM sebagai dinmu (Surat 5 ayat 3).

Kata din yang disebutkan tiga kali dalam ayat di atas, hanya memerintahkan dengan jelas, bagi orang-orang beriman untuk mematuhi din tersebut. Tak ada yang bersifat keagamaan tentang larangan memakan bangkai atau binatang yang mati karena ditanduk. Begitupula, tak ada hal yang berhubungan dengan agama berkaitan dengan memakan atau tidak memakan daging babi. Itu hanya merupakan perintah dari Dia yang menciptakan Anda, demi kebaikan Anda sendiri. Perintah ini menggantikan semua larangan berdiet lain sebelumnya. Itulah ‘peraturan’ hidup yang sempurna, Islam yang sejati.

Kami telah mewahyukan kitab suci yang sesungguhnya ini kepadamu, karenanya MENGABDILAH kepada Allah. Bersikaplah tulus kepadanya dalam din tersebut (Surat 39 Ayat 2).

Patuhilah sanksi-sanksi larangan yang telah ditetapkan-Nya dengan ikhlas sebagai din untuk MENGABDI kepada-Nya. Itu saja yang dikatakan. Sederhana. Dalam hukum yang sederhana ini, Tuhan telah menguatkan konsep Firman-Nya kepada hamba-Nya tanpa memandang warna kulit atau bahasa di seluruh dunia. Islam itu sederhana. Al Qur’an sederhana. Camkan dalam pikiran, hal ini bukan berarti mudah.

Saya tekankan sekali lagi bahwa tidak ada hal-hal seperti agama Islam. Tidak diragukan lagi cara hidup teratur yang ditetapkan oleh Tuhan. Itu hanya merupakan tanggung jawab kita sebagai hamba-Nya untuk mengikuti kehendak-Nya dengan mematuhi Jalan yang telah ditetapkan oleh-Nya. Sederhana. Marilah kita temukan alasan di balik persyaratan dalam Islam ini.
• Tuhanlah yang memberikan kehidupan dan kematian.
• Dia menguasai bumi dan langit
• Tidak ada tuhan selain Allah.

Seperti yang tertulis:

Hai Manusia, kamu harus MENGABDI kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu semua bertakwa (Surat 2 Ayat 21).

Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk MENGABDI kepada-Ku (Surat 51 Ayat 56).

Telah ditetapkan bahwa mereka yang menambah satu peraturan di luar dari apa yang perintahkan adalah musuh Tuhan. Mereka menolak sanksi Tuhan. Dan mereka yang mematuhi peraturan tambahan ini TIDAK mentaati hukum-hukum Allah, namun telah disesatkan oleh Setan. Al Qur’an sangat jelas dalam hal ini. Sederhana. Allah berfirman:

Janganlah bersaksi atas apa yang mereka lakukan, dan janganlah mengikuti pendapat mereka.[ ] Ajukanlah saksi-saksimu yang menyaksikan bahwa Allah telah mengharamkan ini atau itu. Meskipun mereka bersaksi, janganlah kamu bersaksi atas apa yang mereka lakukan, dan jangan ikuti kemauan mereka yang menentang ayat-ayat kami, yaitu orang-orang yang tidak percaya akan kehidupan di akhirat, dan memuja berhala serta menyamakannya dengan Tuhan (Surat 6 ayat 150).

Mereka yang menyerahkan diri kepada Tuhan harus memegang janji mereka dan mereka boleh memakan apapun termasuk daging binatang ternak kecuali yang dilarang di dalam kitab-Nya.

KATA DIN BUKAN BERARTI AGAMA

Gagasan utama di balik pengubahan kata din Islam ke dalam makna Agama yang diterima secara luas berasal dari orang-orang Arab. Oleh karena itu, dengan cara yang tidak jelas, orang-orang Arab mentasbihkan diri mereka sebagai pengendali kunci ke surga. Hal yang sama terlihat dalam konteks Yahudi dan Kristen. Agama dalam pengertian bahasa sehari-hari seharusnya diperuntukkan bagi Manusia. Bukan oleh Manusia.

Menurut perspektif Arab, Surat 5 Ayat 3 berbunyi sebagai berikut:

Pada hari ini telah Aku sempurnakan ‘Agama’ untukmu dan aku lengkapi rahmat-Ku kepadamu, dan Aku tetapkan Islam sebagai ‘Agama’.

Dengan tipu muslihat yang sederhana ini, umat Muslim saat ini telah diperbudak oleh konsep ‘Agama Arab’.

Selain yang telah disampaikan dalam Surat 5 Ayat 3, tidak ada hukum lain yang membatasi manusia untuk mematuhi cara hidup kecuali, hanya:

- Kamu dilarang untuk menikahi ibumu sendiri, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu. Anak-anak perempuan dari saudara-saudara lelakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu angkat yang menyusuimu, anak perempuan yang diasuh oleh wanita sama yang mengasuhmu, ibu mertuamu, saudara tirimu, dan wanita yang sebelumnya menikah dengan anak laki-laki kandungmu (Surat 4 Ayat 23).

- Kamu dilarang untuk mempersekutukan Tuhan dengan segala sesuatu, kamu juga dilarang membunuh bayimu hanya karena takut miskin. Kamu dilarang berbuat dosa, baik yang nampak maupun tersembunyi, janganlah membunuh manusia lain, dan janganlah memanfaatkan harta anak yatim, janganlah kamu mengambil keuntungan yang terlalu besar, dan janganlah kamu memberikan kesaksian palsu untuk kepentinganmu sendiri atau untuk saudaramu (Surat 6 Ayat 151-152).

- Janganlah kamu melakukan perbuatan yang keji baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Janganlah mempersekutukan Allah dengan berhala dan berbohong kepada Allah (Surat 7 Ayat 33).

Bila Anda mengikuti berita-berita dunia saat ini, Anda akan menemukan bahwa bangsa Arab telah melanggar janji-janji ini. Yang mengejutkan, ini satu-satunya yang mengungkapkan hal-hal terlarang yang secara jelas diuraikan dalam cara yang ditetapkan Allah dalam Al Qur’an. Keempat ayat tersebut menyebutkan semua larangan atau hal-hal yang ‘haram’ dari Penguasa Alam Semesta. Larangan tentang makanan diulang dalam dua ayat lain dari total sebanyak 6348 Ayat. Tidak ada larangan lain selain ayat-ayat yang dikutip di sini.

Kita terus menerus diingatkan oleh Tuhan untuk TIDAK mematuhi sumber-sumber lain kecuali dari sumbernya.

Dia memiliki segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, dan din itu untuk-Nya selamanya. Akankah kamu mematuhi selain dari Allah? (Surat 16 Ayat 52).

Kamu harus mematuhi apa yang telah dikirimkan kepadamu oleh Tuhanmu, dan janganlah mematuhi segala hal selain Dia. Hanya sedikit di antara kamu yang memperhatikannya (Surat 7 Ayat 3).

Sedihnya, mereka yang sudah dibodohi oleh Agama Arab mematuhi keseluruhan hal-hal yang dilarang atau haram. Jelas itu tidak benar. Secara logika, din itu adalah katalisator yang memungkinkan manusia untuk menilai muslim sejati dengan mematuhi teman seagamanya. Jika dengan mematuhi beberapa larangan sederhana tersebut, kita akan terbebas dari penyembah berhala, maka, gagal dalam mematuhi persyaratan-persyaratan tersebut pastilah merupakan ciri-ciri para penyembah berhala. Nilai-nilai Tuhan bersifat universal yang sangat sempurna dalam bentuk maupun fungsinya. Setiap orang tidak perlu menambahkan sesuatu pada nilai-nilai tersebut. Menambah atau menghilangkan peraturan yang telah ditetapkan jelas membuat peraturan itu menjadi tidak sempurna dan bersifat manusiawi.

Situasi yang sedang dialami manusia sekarang ini adalah sederhana. Manusia harus hidup UNTUK Tuhan karena hanya Dialah yang memiliki keadilan sejati. Manusia haruslah bersikap ikhlas dan berkonsentrasi untuk menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Perubahan dari persamaan ini adalah bahwa manusia diberikan kebebasan penuh untuk memilih selama mereka tidak menciptakan kebohongan dan menghubungkannya dengan Tuhan. Sederhana bukan?

KEBEBASAN PENUH

Setiap orang diberikan kebebasan penuh untuk memilih Cara Hidupnya mulai dari saat Tuhan memberikan kehidupan kepada kita hingga saat Dia mengambilnya kembali. Merupakan hak dan tanggung jawab kita untuk memilih secara bijaksana. Ringkasnya, kita memiliki dua pilihan yang berbeda.

Kita bisa memilih
• Cara Hidup UNTUK Tuhan yang diperintahkan oleh-Nya (Din-nil-lah) atau
• Cara Hidup yang BUKAN UNTUK Tuhan (Tho-ghut)

Tuhan tidak memaksakan Din-Nya pada setiap orang. Dia menggambarkan Al Qur’an sebagai kriteria antara baik dan buruk. Dia telah berfirman bahwa Al Qur’an sudah sangat sempurna dan Dia tidak menghapuskan apapun darinya. Anehnya, banyak orang berfikir bahwa Islam sebagai satu satunya agama pilihan, namun penuh dengan kewajiban. Pilihannya adalah mentaati Tuhan itulah tugas yang sepenuhnya dilakukan oleh hamba-Nya. Tidak ada kewajiban. Dengan semangat ini pembaca harus menggunakan logika dan kearifannya saat menilai apakah din yang khusus itu memang suatu yang mulia atau murtad. Bagaimana cara anda memilih akan menentukan apakah anda bepergian dengan menggunakan penerbangan kelas utama atau kelas ekonomi dalam hidup ini dan menuju kehidupan berikutnya.

Tidak ada kewajiban dalam din. Namun demikian, kini telah jelas antara yang salah dan benar. Oleh karena itu, siapapun yang menentang (thogut) berhala dan beriman kepada Tuhan, tentu mereka berpegang pada tali yang amat kuat dan tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Surat 2 Ayat 256).

Tidak ada mahluk di bumi dan tidak ada burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya namun mereka semua adalah umat juga seperti kamu. Kami tidak melupakan apapun di dalam kitab suci. Kepada Tuhan mereka semua akan kembali (Surat 6 Ayat 38).

Bagi mereka yang beriman kepada Tuhan dan Rasul-Nya, mereka harus secara tulus memusatkan perhatian dan mematuhi jalan yang telah ditetapkan Tuhan.

Katakanlah, Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan. Patuhilah fokus penyerahan dirimu dan memohonlah kepada-Nya secara ikhlas sebagai din, sebagaimana Dia telah menciptakan kamu dan kamu akan kembali kepada-Nya (Surat 7 Ayat 29).

Hal baik apapun yang kamu terima adalah berasal dari Tuhan. Hal buruk apapun yang terjadi pada dirimu adalah akibat dari perilakumu (Surat 4 Ayat 79).

Dengan kata lain, Tuhan mengatakan bahwa meskipun manusia diberikan kebebasan penuh untuk memilih jalannya sendiri, namun Dia menekankan perbedaan antara yang benar dan yang salah. Kaidah kencana diterapkan. Tuhan hanya dapat menyuruh menjalankan keadilan.

BERHALA YANG SESUNGGUHNYA

Berhala muncul dalam berbagai bentuk. Jika seseorang memilih kehebatan egonya, maka hidupnya dikendalikan oleh egonya. Dia mengidolakan dirinya sendiri. Jika seseorang memilih untuk mengumpulkan kekayaan, maka hidupnya akan dikendalikan oleh keserakahan, dan dia akan memuja kekayaan. Jika seseorang memilih mengidolakan manusia lain, maka jalan hidupnya akan dikendalikan oleh keyakinannya tersebut dan yang lain akan mengatur Cara Hidupnya. Begitupula, seandainya seseorang memilih untuk mengakui agama, maka dia akan mengidolakan pemimpin agama dan pemimpin ritual keagamaan akan mengatur Cara Hidup ciptaannya. Persamaan di sini adalah bahwa semua yang disebutkan di atas adalah para penyembah berhala. Al Qur’an sangat jelas dalam hal ini.

Mereka menjadikan para pemimpin agama dan kalangan terpelajar sebagai tuhan selain Allah (Surat 9 Ayat 31).

Bagaimana dengan orang yang mengidolakan egonya sendiri? Apa yang bisa kamu lakukan terhadapnya? (Surat 25 Ayat 43).

Orang-orang yang egois tersebut telah diperingatkan dalam ayat berikut. Jawaban Tuhan atas pertanyaan itu sangat sederhana:

Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Sungguh, mereka itu seperti binatang. Tidak! Mereka lebih buruk ketimbang binatang (Surat 25 Ayat 44).

Bahwa Al Qur’an disusun dalam rangkaian nada yang sangat halus saat merujuk mereka yang beriman kepada Tuhan dan Hari Pembalasan, seharusnya menjadi indikasi bagi keseriusan penyimpangan dari Jalan Kebenaran. Nada tersebut mendadak berubah ketika Tuhan merujuk orang-orang yang memilih sebaliknya. Dia mengatakan kepada mereka,

Al Qur’an ini penuh dengan kebijaksanaan (Surat 36 Ayat 2).

Al Qur’an meminta manusia untuk memikirkan semua ciptaan di sekitar mereka dan apa yang mereka lihat di langit dan di bumi:

Dan matahari bergerak dalam orbit yang khusus. Itulah rancangan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, dan Kami ciptakan bulan yang muncul secara bertahap hingga membentuk lengkungan tipis. Matahari tidak mungkin mendahului bulan, dan malam tidak mungkin mendahului siang. Masing-masing berada pada garis orbitnya (Surat 36 Ayat 38-40).

Dengan melihat ke masa lalu, jika saja seseorang memberitahu saya bahwa serangkaian perintah yang datang dari sesuatu yang menciptakan matahari dan bulan serta mengaturnya dalam orbit, maka saya akan mengikutinya tanpa ragu. Meragukan kebijaksanaan dan kemampuan semacam itu adalah hal yang sia-sia. Agar sesuai dengan konteksnya, imam utama masjid agung di Mekkah pada tahun 1991 pernah mengatakan bahwa bumi itu datar dan orang yang mengakui yang sebaliknya adalah kafir. Hal ini merupakan informasi baru tentang hal terpenting dari permasalahan Islam modern. Satu kebodohan.



Al Qur’an mengatakan:

Apakah mereka akan mencari din selain dari yang dimiliki Allah, padahal segala sesuatu di langit dan di bumi menyerahkan diri (aslama) kepada-Nya, secara sukarela maupun terpaksa? (Surat 3 Ayat 83).

Kata aslama sama dengan kata Islam. Segala sesuatu yang ada di tujuh langit mulai dari milyaran bintang dan semua planet di langit, segala sesuatu di bumi mulai dari tumbuh-tumbuhan yang menjalar, tanaman, pohon, setiap jenis binatang dan serangga, setiap jenis burung, setiap jenis mahluk laut semuanya menyerahkan diri kepada Tuhan secara sukarela maupun terpaksa. Kemudian, Tuhan mengajukan pertanyaan dengan meminta jawaban. Apakah mereka akan memilih din selain dari Din Allah?

Din-ni-lah atau Jalan Tuhan telah diwahyukan kepada semua Nabi-Nya (Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, Musa, Isa, Muhammad, dan lain-lain). Pesan-Nya jelas, sederhana dan sama dalam setiap contohnya. Tak satupun dari para nabi-Nya dikirim untuk memberikan atau memulai sebuah ‘agama’. Tugas mereka, sangat jelas, menyampaikan pesan Tuhan, inti yang terkandung yaitu din.

MENGABDILAH KEPADA TUHAN MELALUI KOMITMEN

Lagi, ini konsep yang sangat sederhana. Kita didorong untuk mengingatkan diri sendiri bahwa,

Komitmen kami, pengorbanan kami, hidup dan mati kami hanyalah UNTUK Tuhan Penguasa Alam Semesta (Surat 6 Ayat 162).

Manusia pada dasarnya cenderung bersifat egois. Adalah aneh bila binatang tidak menimbun makanan, namun manusia itu sendiri telah mengembangkan kemampuan menguasai yang mendorong mereka untuk mengumpulkan kekayaan dan harta. Inilah kesempatan kita dalam kehidupan ini untuk mengingat bahwa Islam merupakan cara hidup yang mendukung pengorbanan demi kepentingan semua yang ada di sekitar kita. Ini berlawanan dengan insting dasar manusia, dan oleh karenanya manusia merasa ini berlawanan dengan sifatnya untuk berserah diri kepada cara yang diberikan Tuhan. Manusia enggan mengorbankan ego, ketamakan, dan keangkuhannya dengan mematuhi kewajiban-kewajiban untuk berbuat baik terhadap sesama, teman-teman, tetangga dekat maupun jauh, kerabat, orang-orang miskin, orang-orang yang membutuhkan dan orang-orang yang tertindas.

Penguasa Alam Semesta ini tidak menurunkan wahyu-Nya secara percuma. Wahyu tersebut merupakan tanda-tanda-Nya, berita-Nya yang bagus, dan bimbingan-Nya kepada manusia. Kitab suci tidak bisa dinegosiasikan dan tidak pula dapat dimanipulasi seperti rekening bank. Tidak ada fasilitas over draft penarikan uang seperti itu di sini.

Inilah tanda-tanda bacaan, kitab yang agung, petunjuk dan berita baik bagi mereka yang beriman. Mereka menjunjung tinggi komitmen dan tetap menjaga kemurniannya. Dan mereka merasa sangat pasti terhadap hari akhir (Surat 27 Ayat 2-3).

Mereka yang membaca kitab Allah dan menjunjung tinggi komitmen serta memberikan derma dari rezeki yang Kami berikan, secara rahasia atau terang-terangan, mereka mencari perdagangan yang tidak pernah merugi (Surat 35 Ayat 29).

Amal, infak, berbuat baik kepada orang lain, berdagang secara adil, disiplin moral, pemenuhan janji-janji adalah hanya beberapa petunjuk yang terangkum dalam jalan Tuhan. Hal ini, tentu saja, merupakan resep yang sempurna bagi manusia. Sayangnya, manusia tidak menganut nilai-nilai yang telah ditetapkan ini.

Orang-orang kafir di antara pengikut kitab-kitab terdahulu dan penyembah berhala tidak akan pernah beriman bahkan setelah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata (Surat 98 Ayat 1).

Diperintahkan bagi mereka untuk beriman kepada Allah dengan menyerahkan diri mereka untuk MENGABDI melalui din Allah dengan ketulusan, dan menjunjung tinggi komitmen serta menjaga kemurniannya. Itulah Jalan yang lurus (din-nan-hunafa) (Surat 98 Ayat 5).

Jalan yang lurus diukur dengan komitmen pribadi untuk berbuat baik sebagaimana diuraikan secara detail dalam kitab-Nya. Kita mengetahui hal ini dari Surat 98 Ayat 5. Satu jalan yang diperintahkan untuk menjunjung tinggi komitmen yaitu patuh kepadea-Nya.

Tuhanmu telah memerintahkan kamu agar kamu TIDAK MENGABDI selain Dia, dan hormati kedua orang tuamu selama mereka hidup, salah satu dari mereka atau keduanya. Janganlah kamu berbicara kasar kepada mereka, dan jangan pula kamu bersikap keras kepada mereka; bersikaplah rendah hati dan baik serta katakanlah, ‘Ya Tuhan kasihanilah mereka, sebagaimana mereka telah mengasuhku sejak aku kecil’ (Surat 17 Ayat 23-24).

Jika kita mengabdi Tuhan dan memegang satu janji yang sederhana ini, maka cobalah membayangkan dampak global dari gerakan semacam itu. Inilah Islam yang diimpikan oleh seluruh dunia. Oleh karena itu, dalam upaya mencapai tujuan ini, kita harus berserah diri terhadap apa yang telah ditetapkan oleh-Nya, selanjutnya kita harus menjunjung tinggi komitmen dan menjaga kemurniannya. Hukum ini bukanlah wahyu baru yang diturunkan kepada nabi terakhir karena hukum yang sama juga diberikan kepada Musa untuk Bani Israil. Mereka diperintahkan untuk menjunjung tinggi komitmen dan menjaga kemurnian pada saat hukum yang sama ditetapkan untuk mereka.

Kami membuat janji dengan Bani Israil: ‘Janganlah kamu mengabdi selain Allah. Kamu harus menghormati orang tuamu, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada mereka. Kamu harus menjunjung tinggi komitmen serta jagalah kemurniannya. Namun, kamu berpaling dari janji itu, kecuali sebagian kecil darimu, dan kamu selalu berpaling’ (Surat 2 Ayat 83).

Dalam nada yang sama, kita diharapkan untuk menjunjung tinggi komitmen jika kita berserah diri kepada Tuhan dengan patuh:

Patuhlah kepada Tuhanmu, kepada-Nya kamu berjanji, dan hormati kerabatmu. Allah selalu mengawasimu. Dan berikanlah anak-anak yatim harta mereka, dan janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangan pula kamu memanfaatkan harta mereka dengan mencampur harta mereka dengan milikmu. Ini adalah perbuatan yang tidak adil (Surat 4 akhir dari ayat 1 dan Ayat 2).

Hukum apapun yang diwahyukan Tuhan kepada Bani Israil diwahyukan lagi kepada nabi terakhir dan mereka yang berserah diri diingatkan untuk menjunjung tinggi komitmen dan menjaga kemurniannya. Dia mengulanginya di berbagai surat dalam Al Qur’an bahwa mereka yang beriman kepada-Nya harus MENGABDI kepada-Nya dan mematuhi-Nya melalui komitmen dan mereka harus menjaga kemurniannya. Janji Tuhan adalah apa yang Dia tetapkan dalam kitab suci. Dia mengingatkan kita tentang kewajiban para hamba-Nya untuk memenuhi janji itu setiap waktu:

Janganlah kamu menggunakan harta anak yatim, kecuali demi keperluan mereka hingga mereka dewasa. Dan penuhilah janjimu. Kamu bertanggung jawab atas janjimu itu. Kamu harus jujur dalam berdagang, dan timbanglah dengan ukuran yang benar. Itu hal yang baik dan benar. Janganlah kamu mengikuti apapun bila kamu tidak yakin. Kamu dikaruniai pendengaran, penglihatan, dan pikiran untuk memeriksa dan membuktikannya (Surat 17 Ayat 34-36).

Klaim umat Muslim tentang penyerahan diri mereka kepada Tuhan dapat diuji dengan cara sederhana yaitu mengamati komitmen mereka terhadap janji-janji mereka. Islam yang dirancang oleh sang pencipta, merupakan Cara Hidup yang ditandai dengan perbuatan dan sifat-sifat baik, dan dengan perilaku tersebut Anda bisa mengenalinya.

Bangsa Arab yang memaksa para pengikutnya untuk melanjutkan membaca kitab Tuhan dalam bahasa Arab akan menjadikan mereka sekadar mengulang ayat-ayat Al Qur’an tanpa memenuhi komitmen atau memperoleh segala kebaikan. Sembahyang ritual bukanlah termasuk Islam yang diwahyukan oleh Tuhan. Jalan yang ditetapkannya menuntut pelayanan dan pengorbanan. Setiap orang bisa saja melakukan sholat.

Pencipta Agama Arab bersikeras bahwa seorang Muslim yang baik harus sembahyang secara ritual lima kali sehari dengan menghadap ke Mekkah. Ini merupakan komitmen paling penting dan pilar pertama keimanan mereka. Hal ini memang masih terbukti hingga hari ini. Al Qur’an tidak menyatakan perlunya memenuhi komitmen dengan sembahyang. Al Qur’an tidak pernah memerintahkan dan tidak akan pernah.

Oleh karena itu, mereka telah memanipulasi salah satu kata terpenting dalam Al Qur’an dan berikutnya satu konsep terpenting dalam Islam. Mereka mencegah orang-orang untuk menjunjung tinggi komitmen sesuai dengan janji-janji yang ditetapkan Tuhan dalam kitab suci. Mereka mengubah kata Sol-laa yang berarti komitmen menjadi sembahyang ritual.

Sebelum meneliti tentang kesalahan interpretasi kata Sol-laa, marilah kita meneliti Al Qur’an dan instruksi-instruksinya tentang penyembahan. Penulis percaya bahwa pembaca mampu menarik kesimpulan dari buku dengan kutipan-kutipan yang lebih banyak ketimbang buku yang ditulisnya.
TUHAN BUKAN UNTUK ‘DISEMBAH’

Konsep ini membuat Kitab Taurat, Injil, dan Al Qur’an berbeda dengan setiap buku yang dikarang oleh manusia.

Semua manusia harus menempuh Cara Hidup yang benar sesuai dengan janji yang ditetapkan dengan menjunjung tinggi komitmen dan menjaga kemurniannya. Tak satupun dari mereka yang mampu memenuhi komitmen-komitmen ini melalui tindakan penyembahan atau sembahyang ritual. Mereka harus mematuhi komitmen mereka melalui penyerahan diri secara individu untuk MENGABDI Penguasa Alam Semesta.

(Wama qolaq-tul jin-ni wal-ain-sa il-laa li-ya’budun).
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk MENGABDI kepadaKu (Surat 51 Ayat 56).

Jadi, jelasnya, Al Qur’an telah menjelaskan tujuan kita di bumi ini. Kita diciptakan untuk mengabdi, bukan menyembah. Kita telah diciptakan dengan bentuk yang sangat sempurna sehingga kita mengabdi dengan melakukan perbuatan baik, bukan dengan pikiran. Kesalahan interpretasi dari kata MENGABDI (ta’budu) menjadi menyembah telah menimbulkan dampak yang sangat buruk dalam perspektif Islam.

Kata mengabdi, ta’budu atau ya’budun berasal dari kata ‘Abd yang berarti hamba BUKAN menyembah. Semua manusia adalah hamba-hamba Tuhan. Oleh karena itu, mereka harus Mengabdi dan patuh atau berserah diri (sujud) hanya kepada-Nya. Ada beberapa turunan dari kata ‘Abd (hamba). Sebagai contoh, ayat berikut ini mengacu pada Isa anak Maryam dan malaikat yang paling dekat dengan Tuhan.

Laiyas-tabkifu masih’u ai-yakuna a’bdan lil-lah wa-lal-malaikatu muqo-robun. Waman-yas-tankifu ‘an-‘ibada-tihi was-yastakbir-fa-sayah shuru-hum ilai-hi jami’an.
Al Masih tidak pernah menolak menjadi hamba (a’bdan) bagi Allah maupun malaikat-malaikat yang dekat dengan Allah. Siapapun yang menolak untuk Mengabdi kepada-Nya (ibada-tihi) dan bersikap angkuh, maka Allah akan mengumpulkan mereka kepada-Nya, semuanya (Surat 4 Ayat 172).

Al Masih adalah orang yang suci, tetapi dia tidak menolak untuk menjadi hamba Allah, ini merupakan kewajiban seorang hamba untuk MENGABDI tuannya. Kewajiban itu adalah MENGABDI bukan menyembah. Hal yang aneh jika setiap keluarga memiliki banyak pembantu yang menyembah tuannya. Di mana logikanya?

Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Saya bertaruh bahwa Dia tidak membutuhkan apapun dari kita. Dia tidak membutuhkan pengorbanan makanan kita yang sedikit atau ibadah haji yang diwajibkan. Dia tidak memerlukan janji-janji. Namun bila kita telah membuat janji, maka kita wajib untuk memenuhi janji itu. Dia menghendaki kita mengaktualisasikan ucapan-ucapan-Nya melalui tindakan dan kelakuan Saja. Seorang hamba harus mematuhi komitmennya atau menjadi tidak berguna.

Begitu pula ada malaikat-malaikat yang dekat dengan Tuhan, dan mereka juga MENGABDI Tuannya. Kata ‘abdan’ dalam ayat ini berarti hamba. Ayat yang sama juga menggunakan bentukan kata lain, yaitu ibada-tihi yang artinya MENGABDI kepada-Nya. Al Masih dan para malaikat yang terdekat dengan Tuhan tidak menyembah Tuhan mereka. Mereka terlalu sibuk melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Tuhan dalam MENGABDI kepada-Nya.

Berikut ini kata turunan lain dari akar kata ‘Abd yang tertulis dalam Al Qur’an yang berarti Mengabdi dan bukan menyembah :

(Wa-nah-nu lahu a’bidun).
Dan kepada-Nya lah kami Mengabdi (Surat 2 Ayat 138).

(Was-alman arsalna min qoblika min-rosulina aj’alna min-dunir-rohman ali-hatan ya’budun).
Dan tanyakan kepada mereka yang telah Kami utus sebelum kamu di antara para nabi apakah Kami menentukan selain dari Tuhan Yang Maha Pemurah bagi mereka untuk diabdi (Surat 43 Ayat 45).

Ringkasnya, semua pengabdian harus ditunjukkan melalui perilaku yang baik. Dunia ini penuh dengan maksud-maksud baik.

Ada ayat di dalam Al Qur’an, yang setiap hari dilantunkan oleh para pengikut Agama Arab selama sembahyang ritual mereka. Bangsa Arab telah menipu mereka dengan mengatakan bahwa kata na’budu (Mengabdi) adalah turunan dari kata ‘Abd yang berarti menyembah. Setiap saat berdoa mereka mengatakan, ‘Hanya Engkau yang kami Sembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan’; meskipun kenyataannya Tuhan tidak pernah mengatakan kepada setiap orang untuk menyembahnya, setiap hari kelompok orang itu terus berucap, Hanya kepada-Mu lah kami Menyembah. Yang sebenarnya diperintahkan adalah, kita didorong mengingatkan diri kita untuk terus mengabdi Yang Maha Esa yang telah menciptakan kita dan kita mencari karunia serta rahmat hanya kepada--Nya.

Eiya-ka-na’budu wa-eiya kanas-ta’ain.
Hanya kepada-Mu kami Mengabdi dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan (Surat 1 Ayat 5).

Kita tidak bisa menyenangkan Tuhan dengan melakukan ritual. Tidak ada sistem pertukaran. Kita menerima petunjuk dari Tuhan karena kemurahan-Nya yang kita TIDAK pantas menerimanya. Agar memenuhi syarat, kita hanya diharuskan untuk MENGABDI kepada-Nya dengan memenuhi janji kita kepada Tuhan. Itulah kontraknya.

MUSA DAN ISA TIDAK MENYEMBAH TUHAN

Menurut Al Qur’an, semua kitab suci yang diturunkan menekankan satu pesan tunggal yang penting – JANGAN MENGABDI kecuali hanya kepada Dia. Riwayat Nabi Musa secara jelas digambarkan di seluruh bagian Al Qur’an dan selanjutnya, Isa putra Maryam dikirim kepada masyarakat yang sama untuk menegaskan apa yang diwahyukan kepada Nabi Musa. Keduanya diminta untuk menyatakan kepada orang-orang itu - Patuhilah Tuhan dan taatilah Aku.

Dan Kami berikan kepada Musa sebuah kitab suci, dan menjadikannya petunjuk bagi Bani Israil, katakanlah: ’Janganlah kamu mencari penolong selain Aku’ (Surat 17 Ayat 2).

Kemudian Isa putra Maryam pergi menemui mereka, dan ia berkata:

Aku datang kepadamu untuk menegaskan apa yang ada dalam Taurat, dan untuk memperkenankan bagimu apa yang telah dilarang terhadap dirimu dan aku datang kepadamu dengan membawa tanda-tanda dari Tuhanmu, oleh karena itu taatlah kepada Allah dan patuhilah aku. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, oleh karena itu mengabdilah kepada-Nya dan ini adalah jalan yang benar (Surat 3 Ayat 50-51).

Baik Musa maupun Isa tidak memerintahkan kepada pengikutnya untuk menyembah Tuhan mereka. Mungkin nabi terakhir bukanlah satu-satunya nabi yang dikelilingi oleh musuh-musuhnya yang menciptakan Agama Arab. Isa mengatakan kepada Bani Israil untuk mematuhi dan mengabdi Satu Tuhan, namun hari ini para pengikutnya secara jelas mengabdi orang yang sama yang memerintahkan mereka untuk mematuhi dan mengabdi Satu Tuhan. Setiap orang tampaknya membutuhkan Agama agar mereka dapat menyembah sesuatu.

Menurut Al Qur’an, Bani Israil lah yang melakukan konspirasi terhadap Tuhan dan Isa, putra Maryam. Bani Israil menciptakan budaya menyembah hamba Tuhan. Hari ini, semua orang yang memeluk Agama Kristen tidak begitu yakin apakah Isa itu putra Maryam atau dia itu putra Allah atau Allah itu sendiri. Bani Israil hanya memaku namanya pada tiang salib.

Karena mereka berkata: ‘Kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah’. Padahal mereka tidak pernah membunuhnya. Mereka tidak pernah menyalibnya. Namun mereka DIARAHKAN agar percaya bahwa memang mereka telah melakukannya. Orang-orang yang berselisih tentang hal ini benar-benar merasa ragu. Mereka tidak tahu yang sesungguhnya. Mereka hanya mengikuti prasangka belaka. Mereka tidak pernah membunuhnya, itu pasti (Surat 4 Ayat 157).

Semua pemeluk Agama Kristen DIARAHKAN untuk mempercayai bahwa Isa disalib, namun mereka tidak yakin tentang hal itu. Semua pendeta Kristen hanya berkata “Kamu harus percaya!’ Namun keyakinan terhadap informasi yang bersifat retorika hanya akan mendukung Cara Hidup yang penuh dengan mitos dan tradisi. Kehidupan yang sejati adalah kehidupan tentang komitmen diri sendiri terhadap teman-teman, orang tua, keluarga, kerabat, orang-orang miskin, dan anak-anak yatim. Retorik/kepandaian berpidato atau berbicara, penyembahan, sholat ritual, atau agama tidak mampu memenuhi semuanya.

Ketika Al Qur’an diturunkan kepada nabi terakhir, pesan yang dibawanya sama dengan pesan yang diberikan oleh Musa dan Isa. Tak ada satupun ayat dalam Al Qur’an yang mengatakan, ‘Janganlah ‘menyembah’ kecuali kepada Tuhan’, namun dalam banyak ayat peraturan mengatakan Janganlah kamu mengabdi selain kepada Allah:

Alla ta’budu illaa iyahu
Janganlah kamu Mengabdi selain Dia (Surat 17 Ayat 23).

Oleh karena itu adalah aneh dan menghina Tuhan dengan mengasosiasikan abd (na’budu) dengan penyembahan disertai dengan gerakan tubuh dengan cara tertentu, menghadap ke arah tertentu, atau patung, atau dinding, atau bangunan batu, atau gambar, berjalan mengitari bangunan batu dan sebagainya. Semua ini merupakan ritual penyembahan berhala, yang diciptakan oleh manusia untuk menyederhanakan apa yang tidak bisa mereka pahami.

Dalam Islam yang ideal, ‘Abd adalah hamba yang MENGABDI ‘na’budu’ Tuhan-Nya dengan memenuhi janji yang ditentukan melalui komitmen. Dia tidak memenuhi janjinya dengan melakukan penyembahan. Perbuatan ‘amal’ adalah pengabdian atau ‘ibadah’. Karenanya, ‘Na’budu’ berarti ‘Kami Mengabdi’ dan ‘ibadah’ adalah pengabdian yang kita berikan saat kita menjunjung tinggi komitmen dengan menjalankan perintah yang telah ditentukan. Semua penyerahan diri ini adalah pengabdian kepada Allah.

Dan berjuanglah kamu di jalan Allah dengan perjuangan yang sesungguhnya. Dia telah memilih kamu tanpa membebankan kesulitan terhadap dirimu sebagai din, prinsip dari leluhurmu Ibrahim. Dialah orang yang telah menamai kamu sebagai Muslim (orang-orang yang berserah diri). Oleh karena itu, para utusan itu akan menjadi saksi atas kamu dan kamu menjadi saksi atas segenap manusia. Karena itu junjung tinggi komitmen dan jagalah kemurniannya, (solaa-ta-wa-atu-Zakaa) dan berpegang teguh kepada Allah. Dialah pelindung mu, pendukung yang paling baik (Surat 22 Ayat 78).

Inilah pengabdian yang harus diberikan para hamba Allah kepada Allah. Tindakan memenuhi janji yang ditetapkan dan berjuang demi Allah melalui komitmen dan menjaga kemurniannya adalah Solaa-ta wa-atu-Zakaa.

Oleh karena itu ya’budu bukanlah menyembah namun mengabdi.

AGAMA ADALAH BUATAN MANUSIA

Agama dibuat oleh manusia. Tuhan tidak menghendaki adanya banyak agama. Hanya ada satu cara dan tidak ada yang lain, jadi tidak perlu mendefinisikannya sebagai agama. Konsekuensinya, tidak ada nabi atau rasul yang membawa agama dari Tuhan. Dia mewahyukan din kepada mereka sehingga manusia di sekitarnya akan MENGABDI Tuhan mereka yang tidak terlihat dengan berbuat kebajikan terhadap orang lain demi kepentingan mereka sendiri di dunia ini dan di hari akhir. Dan setelah mengetahuinya, manusia akan memahami ketidaksucian agama yang mereka anut dan praktekkan.

Dalam salah satu surat Al Qur’an tentang Nabi Nuh mengatakan bahwa dia bekerja siang dan malam untuk menasehati orang-orang agar meninggalkan agamanya. Nuh mengatakan kepada mereka bahwa mereka tidak boleh MENGABDI selain Tuhan. Mereka harus mematuhi cara hidup UNTUK Tuhan. Tetangga dan teman-temannya tidak menghiraukan nasehatnya ini.

Hai kaumku, sesungguhnya aku datang sebagai Pengingat [ ]. Kamu harus MENGABDI Tuhan dan berbuat baik serta patuhlah kepadaku (Surat 71 Ayat 2-3).

Mereka berkata, jangan abaikan berhalamu, jangan tinggalkan Wadd, atau Suwa, atau Yagut, atau Ya’uq dan Nasr’ (Surat 71 Ayat 23).

Pengikut Nuh adalah orang-orang kaya dan makmur. Mereka merasa nyaman dengan Cara Hidup mereka. Mereka tidak pernah mengalami kemiskinan dalam ‘agama’ ‘penyembahan’ berhala mereka. Nuh sangat menentang hal ini. Al Qur’an mengajarkan kita bahwa aliran itu tidak benar.

Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka hanya mengikuti dugaan. Mereka adalah pendusta (Surat 6 Ayat 116).

Nabi Muhammad mengemban pesan yang sama seperti halnya Nabi Nuh. Dia hanyalah sekadar Pembawa Pesan. Dia bukanlah Penyembah. Dia hanya dikenal untuk menyebarkan firman Allah. Nampaknya logis bahwa umat Muslim di seluruh dunia harus berusaha meniru Nabi terakhir.

Kami telah memerintahkan kepadamu din yang sama seperti yang diperintahkan kepada Nuh dan apa yang diwahyukan kepadamu di dalamnya, dan juga apa yang diperintahkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa. Kamu harus menjunjung tinggi SATU Din dan janganlah kamu memecahbelahnya. Hal yang sangat sulit bagi para penyembah berhala menerima apa yang kamu sarankan. Tuhanlah yang membawa kepada-Nya siapa saja yang Dia kehendaki dan Dia akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang kembali (Surat 42 Ayat 13).
Ayat ini mengatakan:

Sangat sulit bagi para penyembah berhala untuk menerima apa yang kamu sarankan.

Yaitu, di dalamnya, ayat ini sudah menjelaskan sendiri. Sederhana.



faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:07 pm


BAGIAN DUA

SOL-LAA (KOMITMEN) BUKANLAH SEMBAHYANG RITUAL

SOL-LAA MENURUT AL QUR’AN

Kata Sol-laa[ ] (yang berarti komitmen/kewajiban) atau setiap turunan dari akar kata yang sama TIDAK PERNAH digunakan untuk merujuk pada tindakan penyembahan atau pelaksanaan serangkaian gerakan tubuh. Kata itu selamanya merujuk pada menjunjung tinggi atau mematuhi komitmen atau kewajiban.

Akar kata Sol-laa adalah Sod Lam atau S L. Akar kata ini muncul dalam Al Qur’an dua kali pada Surat 75 Ayat 31 dan Surat 96 Ayat 10. Kata-kata itu secara berturut-turut ditulis dalam kalimat-kalimat pendek Falla sod-daqo, walaa Sol-laa dan A’bdan izaa Sol-laa. Para penerjemah mengatakan kata Sol-laa pada kedua ayat tersebut merujuk pada Sembahyang Ritual. Padahal tidak demikian. Paragraf-paragraf berikut akan menjelaskan kebiasaan dalam tingkah laku yang khusus ini.

Bahasa Arab memiliki kosa kata yang berasal dari akar kata. Bentuk berbeda dari akar kata tersebut menghasilkan turunan-turunan kata baru dan umumnya, turunan kata ini tersusun sesuai dengan wadah atau pola vokal yang telah terbentuk yang ditambah dengan awalan atau akhiran tertentu. Kata kerja bahasa Arab memiliki dua ‘suara’- aktif dan pasif.

Awalan digunakan dalam tata bahasa selain kata kepala atau judul, yang biasanya tidak bisa berdiri sendiri. Hal yang umum ditemukan di dalam Al Qur’an awalan seperti ‘Ma’ atau ‘Mu’ diletakkan sebelum tanda tata bahasa untuk membentuk kata baru dalam kelompok yang sama. Dua bagian yang digabungkan tersebut ditulis sebagai satu kata.

Akhiran yang digunakan dalam tata bahasa diletakkan setelah kata lain sehingga terbentuklah kata baru. Akhiran menentukan termasuk ke dalam pengelompokan mana kata baru tersebut.

Hal ini muncul hanya dalam bentuk perfek dan imperfek dan kata-kata tersebut tersusun sesuai dengan wadah atau pola yang telah terbentuk. Kalimat tak sempurna dibentuk dengan menambahkan awalan dan akhiran yang menunjukkan bentuk kata kerja juga sesuai dengan jenis kelamin dan jumlah pelaku tindakan itu. Dengan demikian tidak ada kelemahan maupun keraguan dalam bahasa Arab.

Bahasa Arab yang digunakan dalam Al Qur’an sangat jelas dan ringkas, namun ada yang berpendapat bahwa bahasa Arab yang ada di dalam Al Qur’an rendah mutunya sebagai bahasa yang definitif/pasti. Sebaiknya perlu diingat bahwa pada saat penulisannya, bahasa Arab adalah bahasa yang paling berkembang pada saat itu. Dari perspektif lain, Tuhan telah menggunakan bahasa yang paling mutakhir dan aktual pada masa itu untuk menjelaskan pesan berarti yang sederhana dan sempurna. Bagaimanapun, saya ragu setiap orang di bumi ini menggunakan bahasa Tuhan, oleh karenanya dengan bijaksana Dia memilih menggunakan bahasa yang umum pada saat itu. Namun demikian, selanjutnya, pemutar-balikkan kata dan makna dalam bahasa Arab telah mengotori penggunaannya dalam Al Qur’an. Beberapa contoh diantaranya adalah:

(1) Ini akan diucapkan kepada semua umat manusia di akhirat:

Falaa sod-daqor walaa Sol-laa.
Para penganut Agama Arab mengatakan, ‘Dia tidak jujur dan tidak sembahyang’ (Surat 75 Ayat 31).

Makna yang benar adalah ‘Dia tidak jujur dan tidak berkomitmen’.

(2) Tuhan merujuk kepada Bani Israil:

Wa-aqimus-Solaa-ta wa-atuz zakaa[ ]
Orang Arab berkata, “Tunaikanlah sholat dan bayarlah zakat’ (Surat 2 Ayat 43)

Makna sebenarnya adalah ‘Junjung tinggi komitmen dan jagalah kemurniannya’.

(3) Ini diucapkan oleh nabi terakhir:-

In-naa Solaa-ti wa-nusuki.
Mereka memutar lidah mereka dan mengatakan, ‘Sholatku dan pengorbananku’ (Surat 6 Ayat 162).

Makna yang sebenarnya adalah ‘Komitmenku dan pengorbananku’.

(4) Ini diucapkan oleh orang-orang Shuaib pada masanya:

Ya-shu-‘aib aa-Solaa-tu-ka.
Agama Arab mengatakan, ‘O Shuaib, tegakkanlah sholatmu’ (Surat 11 Ayat 87).

Makna yang benar adalah, ‘O Shuaib, junjung tinggi komitmenmu’.

(5) Ini diucapkan oleh Isa putra Maryam saat dia masih bayi:

Wa ausaa-ni bi-Solaa-ti.
Akan tetapi, orang-orang Arab itu mengatakan, ‘Saya diperintahkan menegakkan sholat’ (Surat 19 Ayat 31).

Makna yang benar adalah, ‘Saya diperintahkan menjunjung tinggi komitmen’.

Kata-kata berbeda digunakan dalam bahasa lain pada masa nabi-nabi lain untuk ‘Komitmen’ atau ‘Kewajiban’. Dalam bahasa nabi terakhir, komitmen itu disebut Sol-laa atau terkadang Solaa atau sama dengan turunan kata dengan akar kata yang sama. Orang-orang Midyan, Bani Israil dan Isa putra Maryam bukanlah orang Arab, tetapi Tuhan berfirman bahwa mereka mengucapkan kata Sol-laa yang sama dalam bahasa mereka.

Tak satupun nabi sebelum Muhammad berbicara tentang sembahyang ritual saat mereka mengucapkan padanan kata Sol-laa dalam bahasa mereka. Oleh karena itu, kata Sol-laa atau turunannya tidak dapat dialihkan maknanya menjadi sholat. Berfikir sebaliknya adalah salah dalam konteks dengan skala yang sangat besar. Kata Sol-laa (komitmen) dan turunannya muncul di berbagai ayat dalam Al Qur’an. Terjemahan Arab modern membuat kita percaya bahwa ada banyak perbedaan makna untuk kata yang sama dalam ayat-ayat yang berbeda.

Hasil dari keraguan ini telah menimbulkan banyak kebingungan. Orang yang memegang tradisi tetap bersikeras bahwa sol-laa yang kita ketahui saat ini merupakan sholat yang sama yang dijalankan sesuai waktu tertentu yang disertai dengan ritual gerakan fisik. Tidak pantas rasanya bila berpikir bahwa Tuhan menyarankan sesuatu yang bersifat duniawi dan membosankan.

Salah satu perdebatan besar antara Sunni dan Shiah[ ] adalah seputar sholat ritualistik yang ideal dalam Al Qur’an. Para ulama Arab akan bertanya, ‘Lalu bagaimana kita akan sholat jika kita hanya tergantung pada Al Qur’an saja’? Ini sama sekali bukanlah pokok persoalannya. Apakah masih perlu dipertanyakan bahwa kita memerlukan yang lain selain dari Qur’an?

Banyak agama di dunia ini memiliki satu kesamaan. Semua imam mereka memiliki hak penuh untuk meragukan para pengikutnya, namun para pengikutnya tidak berhak meragukan mereka akan hal-hal yang bersifat keagamaan. Kenyataan bahwa ini berhasil tidak menunjukkan kebenarannya. Banyak bentuk pemerintahan mengikuti resep ini untuk mencapai kesuksesan besar.

Jika kita bertanya kepada pendeta Kristen mengapa mereka mengatakan bahwa Isa itu adalah Tuhan padahal Kitab Injil mengatakan bahwa dia mengabdi Tuhan yang menciptakannya? Pendeta Kristen akan mengelak dari pertanyaan itu. Begitupula, bila kita bertanya kepada pemuka Agama Arab mengapa mereka melakuan ritual sembahyang lima kali sehari dan menghadap berhala batu di Mekkah padahal hal ini tidak dinyatakan dalam Al Qur’an? Mereka akan mengelak seperti halnya pendeta Kristen. Memang, dengan begitu banyaknya orang yang mengelak tentunya menunjukkan ketidakkonsistenan yang sangat besar. Bagaimanapun, jika anda tidak dapat menjelaskan apa yang anda akui adalah benar dan tertulis, maka itu pasti merupakan ciptaan atau tidak benar. Jawaban yang umum bahwa keimanan merupakan komponen yang hilang yang diperlukan dalam memahami situasi adalah tidak tepat. Bagaimanapun, keimanan adalah pengakuan terhadap sesuatu yang belum terjadi, bukan jawaban atas pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan tepat. Gagasan-gagasan yang sejauh ini telah dikemukakan merupakan lompatan keimanan dalam menghadapi ketidakkonsistenan.

Memang ini adalah pengakuan dari para pemuka Agama Arab bahwa tidak ada sholat ritual di dalam Al Qur’an. Yang benar adalah sholat ritual mereka TIDAK diwahyukan kepada nabi terakhir sesuai dengan Cara Hidup yang ditentukan oleh Tuhan. Kita tahu karena kita membaca Kitab itu.

Sol-laa sebagaimana yang muncul dalam Al Qur’an hanya menunjukkan kewajiban, ikatan, dan komitmen, yaitu hal-hal yang harus dijunjung tinggi manusia atau hal-hal yang harus mereka patuhi di antara mereka sebagaimana ditentukan dalam Al Qur’an. Titik. Akan tetapi perbedaan harus dibuat bahwa tidak ada dalam Al Qur’an yang menyatakan bahwa sol-laa adalah sebuah ritual yang dilaksanakan oleh manusia UNTUK Tuhan. Oleh karena itu, kebenaran yang tidak dapat disangkal ini harus dicamkan oleh umat Muslim.

KOMITMEN DI ANTARA SESAMA MANUSIA

Surat 5 Ayat 106 menyatakan:

Hai orang-orang yang beriman, kamu harus menghadirkan saksi bila kematian menjelang; untuk membacakan warisanmu yang dilakukan oleh dua orang yang setara di antara kamu; atau orang asing bila nyawamu terancam saat kamu bepergian. Bila kamu tidak merasa yakin terhadap mereka, tahanlah mereka setelah mereka berkomitmen pada diri mereka (solaa-ti) yang menjadikan mereka berdua berjanji demi Allah. ‘Kami tidak akan mengambil kesempatan untuk mendukung siapapun bahkan untuk kerabat terdekat sekalipun. Kami tidak akan menyembunyikan bukti-bukti di hadapan Allah. Jika kami melakukannya, maka dosa itu akan ditimpakan kepada kami[ ].

Ayat itu menyatakan, ‘Setelah dua orang asing yang bisa saja orang Yahudi atau Nasrani berkomitmen kepada diri mereka/solaa-ti, suruhlah mereka bersumpah atas nama Tuhan’. Ini tidak membutuhkan pelaksanaan sholat ritual di hadapan orang yang sekarat itu. Sebaliknya mereka diminta untuk berjanji dengan sungguh-sungguh kepada orang itu di hadapan Tuhan. Ini merupakan contoh solaa-ti (komitmen) antara sesama manusia.

Komitmen sesama manusia adalah untuk memenuhi kewajiban atas janji-janji mereka di hadapan Tuhan Yang Esa. Sederhana. Surat 9 Ayat 4 sampai 6 mengatakan:

Kecuali kamu mengadakan perjanjian dengan para penyembah berhala dan kemudian mereka tidak melanggar segala sesuatu dengan kamu dan mereka tidak membantu siapapun untuk melawan kamu, maka selesaikan perjanjian kamu dengan mereka hingga tiba batas waktunya. Tentu Allah mencintai mereka yang takut kepadanya (Surat 9 Ayat 4).

Dan bila bulan-bulan yang dilarang telah berlalu, maka kamu diperbolehkan untuk memerangi para penyembah berhala itu dimanapun kamu menjumpai mereka. Tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka di setiap tempat dan bila mereka bertobat dan menjunjung tinggi kewajiban (sol-laa-ta wa-atu-zakaa) dan menjaga kemurnian, maka berilah mereka (orang musyrik) kebebasan untuk bergerak. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang (Surat 9 Ayat 5).

Dan bila salah satu di antara para penyembah berhala itu meminta pertolongan darimu, lindungilah dia kemudian biarkan ia mendengar firman-firman Allah, selanjutnya antarkanlah mereka ke tempat yang aman; ini karena mereka adalah orang-orang yang tidak tahu (Surat 9 Ayat 6) .

Surat 9 Ayat 4-6 membimbing kita untuk memperlakukan para penyembah berhala dengan baik dan bahkan mengantarkan mereka ke tempat yang aman. Dengan pemikiran inilah penulis hendak menyatakan kembali sikapnya terhadap upaya pencarian kebenaran. Mereka yang kita lindungi mungkin masih tetap menjadi penyembah berhala. Kita diperintahkan untuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan prasangka itu; tetapi, kita diperintahkan untuk memberikan seberkas cahaya dan pemahaman. Dengan memahami dan MELAKSANAKAN perintah dalam ayat ini sendiri akan mengubah seluruh wajah Islam, sebagaimana yang kita ketahui. Siapa lagi kecuali Tuhan yang dapat menciptakan dunia seperti ini yang berlawanan dengan dunia yang kita tinggali saat ini (Surat 9 Ayat 5).

Inti dari ayat ini yang berhubungan dengan riwayat para penyembah berhala menyebutkan kewajiban-kewajiban umat Muslim. Bila dan kapanpun para penyembah berhala bertobat dan mengharapkan kedamaian, maka menjadi kewajiban umat Muslim untuk menjunjung tinggi kedamaian dan memberikan kebebasan kepada mereka. Sekali lagi, Al Qur’an menunjukkan kesopanan dan kebaikan di hadapan musuh-musuhnya. Islam tidak memaafkan perlakuan buruk terhadap orang-orang yang mengancam atau menganiaya dirimu (Surat 9 Ayat 5). Pada akhirnya, solaa-ta dalam contoh ini merujuk pada konsep penyembahan berhala yang disepakati untuk mempertahankan penawaran akhir mereka.

Contoh lain seputar kisah Nabi Syuaib yang berkomitmen untuk mengubah umatnya. Mereka yang menolak komitmen itu menentangnya. Surat 11 Ayat 85-87 menguraikan:

Hai kaumku, berikanlah takaran dan timbangan dengan adil. Janganlah kamu merugikan orang-orang terhadap barang-barang mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi. Persediaan yang lebih sedikit dari Tuhan akan lebih baik bagimu, jika kalian benar-benar beriman. Aku bukanlah penjagamu. Mereka berkata, ‘Oh Syuaib, apakah komitmenmu (Solaa-tu-ka) melarang kita untuk memuja apa yang dipuja orang tua kami, dan melakukan apapun yang kami inginkan dengan uang kami? Sesungguhnya kamu sangat baik dan bijaksana.
Itu adalah riwayat Nabi Syuaib dalam Al Qur’an. Komitmen yang coba dijalin oleh Shuaib terhadap pengikutnya adalah jangan menipu dan jangan merusak bumi. Ini adalah perilaku sederhana yang tidak diterima oleh rekan-rekannya. Oleh karena itu, mereka berkata kepada Syuaib.

‘Oh Syuaib, apakah komitmenmu (Solaa-tu-ka) melarang kita untuk memuja apa yang dipuja oleh orang tua kami, dan melakukan apapun yang kami inginkan dengan uang kami?[ ]

SOL-LAA di sini dengan jelas merujuk pada komitmen untuk berbuat baik dan bermoral. Komitmen yang diperintahkan kepada manusia adalah jangan menipu, jangan merusak bumi, dan bersikaplah adil. Sangatlah jelas bahwa istilah itu telah disalahgunakan dengan amat terlalu. Ini menjelaskan mengapa para pemuka Agama Arab secara empati menyatakan bahwa tidak ada informasi sama sekali mengenai sembahyang lima kali dalam sehari di dalam Al Qur’an dan oleh karenanya bertentangan dengan mereka sendiri tentang apa yang mereka nyatakan sebagai pilar yang mutlak bagi Agama Islam. Mereka menyalahkan diri mereka dengan kata-kata mereka sendiri. Tidak ada hal mengenai sembahyang lima kali dalam sehari. Betapa menyedihkannya mereka melakukan kebenaran dan kesalahan pada saat yang sama.

KOMITMEN MANUSIA PADA DIRI SENDIRI

Surat 2 Ayat 276-278 mengatakan:

Allah meniadakan pengambilan keuntungan secara tidak sah (riba) tetapi mendorong pemberian sedekah dan Tuhan tidak menyukai orang-orang kafir yang selalu berbuat dosa. Tentunya bagi orang-orang yang berbuat kebajikan dan menjunjung tinggi komitmen (solaa-ta) serta menjaga kemurnian (wa-a-tuz-zakaa), Allah akan memberikan pahala. Dan tidak akan ada ketakutan bagi mereka, dan mereka juga tidak akan bersedih. Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah, janganlah engkau mengambil sisa dari perbuatan riba itu, jika memang kamu orang-orang yang beriman kepada Allah.

Persoalan riba atau pengambilan keuntungan yang tidak sah ini dimulai dari Surat 2 Ayat 275 dan diakhiri dalam Surat 2 Ayat 281. Riba adalah perbuatan buruk dan janganlah kamu 75melakukannya (Surat 2 Ayat 275) . Tuhan mendukung pemberian sedekah dan Dia membenci orang-orang yang melakukan riba (Surat 2 Ayat 276) . Orang-orang yang beriman tidak boleh melakukan riba dan mereka wajib mematuhi komitmen mereka (Solaa-ta), dan menjaga kemurnian dengan tidak melakukan perbuatan itu (Surat 2 Ayat 277) dan mereka harus segera menghentikan jika mereka melakukannya, meskipun ada hutang yang harus dibayar (Surat 2 Ayat 278). Jika tidak, Tuhan dan Rasulnya akan memerangi mereka (Surat 2 Ayat 279). Bila seorang debitur sedang dalam kesulitan, berilah dia waktu, jika tidak maka anggap hutang itu sebagai sedekah (Surat 2 Ayat 280). Apapun yang kamu lakukan, Tuhan mengetahui segalanya dan bertakwalah pada hari yang besar (Surat 2 Ayat 281).

Solaa-ta[ ] yang disebutkan pada Surat 2 Ayat 277 adalah komitmen kita untuk berhenti mendapatkan penghasilan dari riba (memperoleh keuntungan yang tidak sah) dan mempertahankan komitmen kita dengan mencegah diri kita melakukan perbuatan tersebut. Kita tidak melakukan sholat ritual untuk mencegah perbuatan riba, tetapi kita harus berkomitmen pada diri sendiri dengan mengorbankan ketamakan dan berbuat kebajikan sebagaimana yang diperintahkan oleh Tuhan. Di sini kita membuat solaa-ta untuk diri sendiri.

Kata sol-laa adalah tidak meragukan ajaran Tuhan dalam Al Qur’an, yang merupakan kewajiban bagi segenap umat manusia. Semua manusia harus menjunjung tinggi sol-laa mereka. Bahkan orang-orang musyrikin sekalipun harus menjunjung tinggi komitmen mereka, sol-laa (ayat-ayat tetang hal itu disajikan dalam paragraf-paragraf berikut).

Dengan menjunjung tinggi komitmen sol-laa di antara kita sendiri, kita mengorbankan ego kita, musuh dalam diri kita untuk mematuhi din yang diperintahkan. Oleh karena itu, dalam Surat 6 Ayat 162 kita diminta untuk mengatakan:

Katakanlah, ‘Komitmenku (solaa-ti) , pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Tuhan Alam Semesta’.

KOMITMEN TENTANG KEYAKINAN

Segala sesuatu yang dilakukan manusia haruslah karena Allah dan mereka tidak diperintahkan untuk melaksanakan ritual apapun untuk berdoa kepada-Nya atau menyembah-Nya. Semua yang diperintahkan kepada mereka adalah beriman kepada Tuhan, bersikap tulus dalam mengabdi kepada-Nya serta menjunjung tinggi komitmen dalam menjalankan kehidupan yang selayaknya dengan melakukan kebajikan dan kerja yang baik. Sholat ritual dan penyembahan adalah cara singkat para penyembah berhala untuk memberikan kepuasan kepada para penyembah berhala sehingga mereka telah melepaskan kewajiban mereka kepada Tuhan ketika mereka harus benar-benar melepaskan sol-laa mereka di antara sesama manusia.

Tuhan akan mencatat setiap perilaku hamba-Nya setiap hari termasuk apa yang mereka ucapkan. Setiap menit pikiran dan perilaku dipertimbangkan dan dicatat. Dia mencatat PERILAKU dan bukan sejumlah besar komat-kamit yang dilontarkan oleh para hamba-Nya.

Karena Kami menciptakan manusia, maka Kami sangat memahami pikiran-pikirannya yang terdalam. Kami lebih dekat kepadanya ketimbang saluran tenggorokannya. Dua malaikat di sebelah kanan dan kiri mencatat semua perbuatannya. Tak satupun ucapannya yang lepas dari pengamatan (Surat 50 ayat 16-18).

Di akhirat kita diperintahkan untuk membaca sendiri catatan-catatan perilaku kita:

Dan Kamu akan melihat tiap-tiap umat berlutut. Setiap umat dipanggil untuk melihat catatan mereka sendiri. Pada hari ini kamu akan mendapatkan balasan atas perbuatanmu. Inilah kitab kami yang menuturkan kebenaran kepadamu. Ini adalah catatan yang menyampaikan kebenaran tentang dirimu. Sesungguhnya Kami telah mencatat semua perbuatanmu (Surat 45 Ayat 28-29).

Manusia diperintahkan untuk menjunjung tinggi komitmen mereka melalui perilaku seperti yang ditentukan dalam wahyu. Sembahyang ritual tidak dapat memenuhi komitmen ini. Sungguh tidak masuk akal untuk menyulap dunia dimana kelompok pendoa dalam jumlah besar telah lebih diutamakan daripada berbuat baik.

Kamu harus menjunjung tinggi sesuai apa yang diperintahkan, dan juga mereka yang berlawanan denganmu, dan janganlah kamu melanggar batas. Sesungguhnya, Dia mengetahui apapun perilakumu, Dia mengawasimu. Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang akan membuatmu merasakan Api Neraka, dan tak satupun kecuali Allah sebagai pelindungmu, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. Dan junjung tinggilah komitmenmu (Aqimi-solaa-ta) pada siang hari dan sebagian malam. Sesungguhnya, perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. Kamu harus tabah. Tuhan akan memberikan pahala kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (Surat 11 Ayat 112-114).

Ayat tersebut dengan jelas menyatakan apa yang telah diperintahkan, jangan melampaui batas. Tuhan mencatat semua perilaku. Orang-orang harus memenuhi komitmen mereka untuk berbuat baik pada siang hari dan sebagian malam. Konsep ini sederhana. Perbuatan-perbuatan baik akan menghapuskan perbuatan buruk, dan ini adalah satu cara untuk mengingat Tuhan. Perbuatan baik tidak akan pernah dipenuhi melalui sembahyang ritual. Jika konsep din sudah benar-benar dipahami, maka jelas bagi Muslim beriman bahwa merupakan kewajibannya untuk berkomitmen melaksanakan perintah-perintah ini, menjunjung tinggi dan mematuhinya.

Permasalahan muncul ketika pikiran diatur dan diprogram pada kondisi bahwa Sol-laa berarti sholat, dan dengan menghilangkannya, komitmen yang sebenarnya diabaikan. Kemudian mereka mengajarkan nilai-nilai mereka kepada yang lain yang mendengarkan tanpa mengajukan pertanyaan, seperti yang telah mereka lakukan.

Surat 107 adalah surat yang sangat pendek yang hanya berisi tujuh ayat. Nama Surat itu adalah Sedekah (Al Maa’uun). Seseorang yang berkomitmen pada dirinya untuk menjalani din yang diperintahkan seharusnya tidak mengabaikan komitmen-komitmennya untuk berbuat kebaikan.

Tahukah kamu orang yang menolak keimanan itu? Mereka menelantarkan anak yatim. Mereka tidak memberikan makan kepada orang-orang miskin. Maka terkutuklah orang-orang yang berkomitmen, namun tidak mempedulikan komitmennya. Mereka itu hanya pamer. Dan mereka enggan Bersedekah (Surat 107 Ayat 1-7).

Bandingkan dengan semua terjemahan yang sejalan dengan budaya Arab yang diputarbalikkan:

Tahukah kamu orang yang menentang keimanan itu? Mereka melupakan anak-anak yatim. Mereka tidak memberikan makan kepada orang-orang miskin. Maka terkutuklah orang-orang yang sembahyang secara ritual, namun meninggalkan sembahyang ritual mereka. Mereka hanya pamer. Dan mereka enggan Bersedekah (Surat 107 Ayat 1-7).

Ketujuh ayat itu saling berkaitan. Memperhatikan anak yatim, memberi makan orang miskin dan berbuat amal yang hanya dapat dipenuhi oleh perbuatan orang yang berkomitmen. Tetapi bangsa Arab mendorong para pengikutnya untuk bersembahyang secara ritual guna memecahkan permasalahan anak yatim, orang-orang miskin dan pekerjaan-pekerjaan amal.

Alih-alih berkomitmen pada diri mereka secara individual dan kelompok memperhatikan anak yatim, orang miskin dan bersedekah dari pendapatan mereka, orang-orang Arab melatih para pemuka agama mereka dalam Agama Arab untuk menjadi generator pendapatan. Mereka melakukan pungutan ilegal dari masyarakat dengan memanipulasi kata Zakaa dalam Al Qur’an menjadi zakat keagamaan (bacalah bagian Empat dari buku ini).

Al Qur’an memberikan beberapa contoh lain perbuatan baik yang harus dipatuhi oleh mereka yang berkomitmen kepada Cara Hidup yang ditentukan oleh Allah:

Sungguh beruntung bagi orang-orang beriman, yang menjunjung tinggi komitmen, yaitu orang-orang yang menjauhkan diri dari perkataan yang tidak berguna, mereka yang menjaga kesucian kecuali dengan istri-istri mereka dan mereka yang menjadi miliknya secara sah, apakah mereka melakukan hubungan seks tanpa disalahkan’ (Surat 23 ayat 1-6), dan kemudian dilanjutkan, ‘Mereka dapat dipercaya bila menyangkut deposit yang dipercayakan kepadanya, atau janji-janji yang dibuatnya, dan mereka terus mematuhi komitmen-komitmen mereka.

(Ayat 8-9 dari surat yang sama).

Menurut ayat ini mereka yang mematuhi setiap komitmen-komitmen adalah orang-orang beriman yang beruntung. Tak seorangpun dapat menghindari perkataan yang sia-sia, menjaga kesucian, dapat dipercaya, dan memenuhi janji mereka melalui sholat ritual. Setiap saat kata Sol-laa atau turunan dari akar kata ini muncul dalam Al Qur’an, dan selalu dikutip dalam beberapa konteks perbuatan baik yang harus dilakukan manusia.

Namun orang-orang Arab dengan sengaja membajak kata ini. Mereka melatih para pengikut mereka yang tidak paham untuk mengabaikan konteks subyek tersebut sepenuhnya. Kita lihat contoh lain dari Al Qur’an tentang menjunjung tinggi komitmen ‘Sol-laa’.

Mereka memenuhi janji mereka kepada Tuhan, dan mereka tidak melanggar janji, dan mereka menjunjung tinggi apa yang diperintahkan Tuhan untuk ditegakkan, mereka menghormati Tuhannya, dan mereka takut akan hukuman yang berat. Dan mereka tetap bersabar dalam mencari karunia Tuhannya, mereka menjunjung tinggi komitmen dan mereka beramal dari rezeki yang diperolehnya untuk mereka secara rahasia atau terbuka. Mereka menghadapi kejahatan dengan kebaikan. Mereka pantas mendapatkan tempat yang mewah (Surat 13 Ayat 21-22).

Dalam hal ini tak seorangpun mampu memenuhi semua janji hanya dengan melakukan sembahyang ritual. Seseorang harus berkomitmen pada dirinya sendiri untuk melakukan semua perbuatan melalui keyakinannya sesuai dengan din yang diperintahkan.

Ada begitu banyak surat dalam Al Qur’an dimana kata sol-laa jelas dalam maksud dan maknanya. Makna itu meliputi komitmen, kewajiban, janji dan kata-kata dari esensi yang sama. Tuhan mengatakan setiap orang harus menjunjung tinggi komitmen melalui perbuatan mereka dan bukan penyembahan, bangkit dan bersujud setiap hari. Para pembaca Al Qur’an akan berada di bawah tekanan menemukan referensi ritual-ritual yang berhubungan dengan sembahyang umat Muslim yang teratur.

SEJARAH

KOMITMEN IBRAHIM

Tidak ada sesuatu yang baru mengenai menjunjung tinggi komitmen oleh orang-orang beriman untuk melakukan perbuatan baik sebagaimana Cara hidup yang ditetapkan oleh Tuhan dalam Al Qur’an. Hal itu tidak diperkenalkan pada masa nabi terakhir. Umat manusia diperintahkan untuk mematuhi komitmen mereka pada masa Ibrahim. Allah menyebutnya orang yang berkomitmen yang mengabdi Satu Tuhan dengan menjunjung tinggi kewajiban melalui Cara Hidup atau din-nil-lah yang ditentukan oleh Tuhan.

Wat-taqizu min-maqam-mi Ibrahim-ma Mu-Sol-lan.
Belajarlah dari status Ibrahim Orang yang Berkomitmen (Surat 2 Ayat 125).

Ibrahim dan anak cucunya tinggal di lembah tandus dan berharap anak cucunya menjalani hidup sesuai dengan perintah-perintah Allah sehingga mereka juga dapat menjunjung tinggi komitmen atau ‘Sol-laa-ta’.

Rob-bana inni askantu min-zuriati bawadi ghoi-ri zar-ghain I’nda-baiti-kal mu-harami. Rob-bana li-yu-qimus-Solaa-ta.
Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah tinggal bersama keluargaku di lembah yang tandus ini sesuai dengan perintahMu dalam sistem itu. Ya Tuhan kami, biarkan mereka menjunjung tinggi Komitmen mereka (Solaa-ta) (Surat 14 Ayat 37).

KOMITMEN MUSA
Musa dipilih di antara Bani Israil untuk membebaskan mereka dari penindasan Firaun. Sebelum mereka ke luar dari Mesir, mereka diperintahkan untuk bersikap rendah hati dan menggunakan rumah mereka sebagai tempat tinggal sambil tetap menjunjung tinggi komitmen mereka. Sekali lagi kata Sol-laa digunakan untuk komitmen.

Kami memberikan semangat kepada Musa dan saudaranya. ‘Biarkan kaummu menempati rumah-rumah mereka di Mesir, dan biarkan mereka menjadikan rumah-rumah itu sebagai tempat tinggal, dan biarkan mereka menjunjung tinggi komitmen (solaa-ta), serta sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman’ (Surat 10 Ayat 87).

Setelah mereka diselamatkan, Taurat diwahyukan kepada Musa dan kaumnya diperintahkan untuk memenuhi janjinya dengan menjunjung tinggi komitmen dan menjaga kemurnian mereka. Kata yang sama ‘Solaa-ta wa-atu-zakaa’ digunakan dalam ayat ini:

Wa-iz aqodz-na misha qor Bani-Israela la-ta’budu-na ilal-lah wa-bil-walidai-ni ih-sanan wa-zil-qurba, wal yatama, wal-masakini, wa-qulu-lin-nas husnan, wa-aqimus-Solaa-ta wa-atu-zakaa-ta.

Dan saat Kami membuat janji dengan Bani Israil yaitu janganlah kamu Mengabdi selain Allah. Berbuat baiklah kepada orang tuamu, sanak saudaramu, anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, serta junjung tinggi komitmen dan jagalah kemurnian mereka (solaa-ta-wa-atu-zakaa) (Surat 2 Ayat 83).

Bani Israil diperintahkan untuk mengabdi Tuhan dengan menghormati orang tua dan sanak saudara mereka serta memperhatikan anak-anak yatim dan orang-orang miskin serta berbicara dengan sopan kepada sesama manusia. Ini adalah komitmen-komitmen mereka. Mereka harus menjunjung tinggi komitmen itu dan menjaga kemurniannya. Tuhan tidak memerintahkan kepada mereka untuk bersembahyang secara ritual dan membayar zakat guna memenuhi tanggung jawab ini.

KOMITMEN ISA

Dan Isa putra Maryam dikirim kepada mereka dengan Tanda-tanda yang sangat hebat untuk menegaskan apa yang diberikan kepada Musa. Bahkan ketika dia masih bayi, Isa mengatakan kepada umatnya bahwa ia diperintahkan untuk menjunjung tinggi kewajiban/ komitmen dan menjaga kemurniannya atau Solaa-ti-wa-Zakaa-ti:

Waja’al-lani mubarokah ainama kontu wa-ausorni bis-Solaa-ti wa-Zakaa-ti ma-dumtu hiya. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati kemana saja aku pergi dan Dia memerintahkan aku untuk memenuhi Kewajiban dan Kemurnian selama aku hidup (Surat 19 Ayat 31).

Ketika Isa putra Maryam mengatakan Wa-ausomi bis-solaa-ti ia tidak bermaksud mengatakan ‘Saya diperintahkan untuk bersembahyang secara ritual’, tetapi ia mengatakan bahwa ia diperintahkan dengan komitmennya untuk memperbaiki Bani Israil. Karena mengatakan hal itu, namanya dipaku di salib.

KOMITMEN NABI TERAKHIR

Al Qur’an bukanlah wahyu baru atau serangkaian petunjuk baru dari Tuhan. Al Qur’an adalah serangkaian peraturan yang sama yang diperintahkan kepada Ibrahim dan Musa. Inti dari semua kitab adalah sama.

In-naa haza lafi suhufil ulaa, suhufi Ibrohim wa-musaa.
Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa (Surat 87 Ayat 18-19).

Kita telah melihat Ibrahim mengucapkan kata Sol-laa dalam bahasanya. Tuhan menggunakan kata sol-laa untuk Musa dan umatnya dalam bahasa mereka. Isa juga mengucapkan kata sol-laa yang sama dalam bahasanya. Kata yang sama diulang dalam Al Qur’an berbahasa Arab. Setiap orang yang membaca Al Qur’an akan menemukan kata sol-laa untuk pertama kali pada ayat 3 Surat 2 pada kitab tersebut.

Kitab ini bisa dipercaya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, mereka percaya pada hal yang tak terlihat, dan menjunjung tinggi komitmen (solaa-ta) serta memberikan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka (Surat 2 Ayat 2-3).

Oleh karena itu, kata Sol-laa merujuk pada komitmen atau kewajiban dari masa Ibrahim dan bukan sembahyang ritual.

Kata Sol-laa pada awal surat 2 dalam Al Qur’an merujuk kepada mereka yang bertaqwa dan beriman kepada Tuhan yang tak terlihat; mereka menjunjung tinggi komitmen dengan menafkahkan sebagian harta dari yang diberikan oleh Tuhan. Ini merupakan bagian dari komitmen. Bila mereka terus membaca, mereka akan menemukan lebih banyak ayat-ayat yang mengupas secara detail tentang komitmen tambahan.

Mereka percaya kepada kitab yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan kitab-kitab yang diturunkan sebelummu, dan mereka yakin akan hari akhirat (Surat 2 Ayat 4).

Mereka yang percaya pada Tuhan berkomitmen untuk meyakini ini. Kata sol-laa pada ayat 3 tidak berarti sembahyang ritual karena kita tidak bisa beramal melalui ‘sembahyang ritual’ dan kita tidak bisa meyakini kitab-kitab Tuhan melalui ‘sembahyang ritual’.

Jika kita meyakini kitab ini maka kita akan melihat semua hukum-hukum yang ditentukan dalam kitab ini. Dengan rahmat Allah, Dia akan membukakan hati kita kepada penyerahan diri saat hati kita berkata, ‘Kami mendengar dan kami mematuhi’. Inilah saatnya bahwa kita telah mengadakan perjanjian dengan Tuhan:

Kamu harus bersyukur atas karunia Allah yang diberikan kepadamu dan peganglah janji yang telah Allah buat denganmu saat kamu mengatakan, ‘Kami mendengar dan kami mematuhi’. Kamu harus takwa kepada Tuhanmu dan Allah sangat mengetahui pikiranmu yang paling dalam (Surat 5 Ayat 7).

Kita tidak melihat Tuhan, tetapi Dia mendengar pikiran kita yang paling dalam. Pada saat hati kita mengatakan ‘kami mendengar dan kami mematuhi’ jalan yang ditetapkan-Nya maka kita telah setuju untuk menjunjung tinggi sol-laa kita.

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Kitab suci dan junjung tinggi komitmen. Sesungguhnya komitmenmu itu akan menjauhkanmu dari perbuatan keji dan mungkar dan juga agar kamu mengingat Allah, yang Maha Besar (Surat 29 Ayat 45).

Komitmen kita merupakan proses yang terus berlangsung sebagai Cara Hidup mulai dari terbit matahari hingga tenggelamnya matahari dan selama bagian-bagian malam.

Kamu harus menjunjung tinggi sesuai apa yang diperintahkan, dan juga mereka yang bertobat denganmu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya, Dia mengetahui apapun perbuatanmu, dia mengawasimu. Dan janganlah kamu berpihak kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kamu masuk dalam api Neraka, dan tak ada selain Allah sebagai pelindungmu, kemudian kamu tidak akan ditolong. Dan junjung tinggi komitmenmu (Aqimi-solaa-ta) sampai akhir siang hari dan sebagian dari malam. Sesungguhnya, perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan yang buruk. Itulah pengingat bagi orang-orang yang ingat. Kamu harus tabah. Tuhan akan memberikan pahala kepada orang-orang yang beriman (Surat 11 Ayat 112-114).

MEMOHON PERTOLONGAN ALLAH TANPA MELAKUKAN RITUAL

Allah selalu dekat dengan semua manusia. Mereka diperintahkan untuk meminta pertolongannya secara langsung dan mereka diminta untuk bersabar sambil terus berkomitmen melakukan hal-hal yang baik.

Apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, katakan kepada mereka, ‘Aku sangat dekat. Aku menjawab doa SETIAP orang yang berdoa kepada-Ku. Oleh karena itu, hendaklah mereka memenuhi segala perintah-Ku, dan beriman kepada-Ku, agar mereka mendapatkan petunjuk (Surat 2 Ayat 186).
Mencari pertolongan melalui ketabahan dan komitmen, ini memang sulit, tetapi tidak sulit bagi mereka yang gigih dan menyadari bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan-Nya. Pada akhirnya mereka akan kembali pada-Nya (Surat 2 Ayat 45-46).

Manusia itu pada dasarnya merupakan makhluk lemah yang rapuh dan merasa tidak aman. Ritual, adat istiadat, dan tradisi memberikan daya tarik yang melegakan dan meyakinkan buat mereka. Fungsinya seperti pembawa perdamaian. Mereka mengarah pada penyembahan. Keyakinan itu selanjutnya mewujudkan ketakutan, harapan, mimpi dan keinginan-keinginan mereka ke dalam sesuatu yang nyata. Bagaimanapun juga konsep Tuhan yang Tak Terlihat sepenuhnya bertolak belakang dengan penyembahan berhala. Jauh lebih mudah melakukan sembahyang ritual daripada berbicara langsung, dari hati ke hati, dengan Tuhan.

Para pemuja berhala menempatkan keyakinan mereka pada sepotong kayu, salib, bulan baru dengan bintang, batu, dinding, rumah batu dll untuk membantu berkonsentrasi pada gagasan bersama. Ada orang-orang yang meletakkan kepercayaan pada orang lain. Mereka akan mengagungkan setengah dewa dan berhala ini melalui tindakan penyembahan fisik. Ironis memang bahwa banyak yang tidak menyadari bahwa mereka bisa mengagungkan dan bersaksi kepada Tuhan yang tak nampak hanya dengan menjunjung tinggi komitmen untuk berbuat baik dan budiman. Sederhana. Apa yang lebih sederhana ketimbang menjadi saksi bagi Tuhan dengan berbuat kebajikan? Jadilah saksi sambil memberikan contoh. Tidak perlu banyak bicara. Lakukan saja.

Ketika manusia membutuhkan pertolongan Allah atau memohon kepada Allah, mereka dapat meminta atau memohon setiap saat, siang atau malam hari, di mana saja di dunia ini atau di luar angkasa. Wudhu ritual dan prosesnya tidaklah penting. Bahkan Al Qur’an mengingatkan kita bahwa mereka yang terlalu bangga memohon kepada Allah, akan terbakar dalam api neraka. Kita harus mengingat Tuhan sehingga Dia akan mengingat kita. Dengan demikian ini merupakan hubungan timbal balik.

Tuhanmu berfirman, ‘Memohonlah kepadaKu’[ ], dan Aku akan menjawab permohonanmu. Bagi orang-orang yang terlalu sombong untuk mengabdi kepada-Ku, mereka akan masuk neraka (Surat 40 ayat 60).

Karena itu, kamu harus mengingat-Ku, niscaya Aku akan mengingatmu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari-Ku (Surat 2 Ayat 152).

Permohonan atau doa kepada Tuhan untuk memohon pertolongan, kebijaksanaan, perlindungan, bantuan, kekayaan, petunjuk, atau segala sesuatu semuanya merupakan bagian dari kondisi manusia dalam mengabdi Tuhan. Tawaran bantuan dan petunjuk telah diberikan, namun banyak yang memohon kepada rasul-Nya, orang suci, pujaan-Nya yang sudah wafat, dan beberapa bahkan meminta kepada jin[ ]. Kendati tawaran bantuan telah diperpanjang, sangatlah berlebihan bila memohon kepada Tuhan hanya pada saat membutuhkan saja. Oleh karena itu, kita harus ingat untuk mengagungkan-Nya setiap saat dan memuliakan-Nya, terutama di saat kita sedang tidak membutuhkan pertolongan.

Dalam menciptakan langit dan bumi, dan perubahan siang dan malam, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang berakal yang mengingat Tuhannya sambil berdiri, duduk dan dalam keadaan berbaring. Mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, Engkau tidaklah menciptakan ini semua dengan sia-sia. Maha Mulia Engkau, maka jauhkanlah kami dari siksa api neraka (Surat 3 Ayat 190-191).

Hamba Tuhan diminta untuk mengingat Tuhannya dengan memuji dan mengagungkan-Nya, Kemahakuasaan-Nya dan Keberadaan-Nya sesering mungkin. Mereka yang dekat dengan-Nya, mengagungkan nama-Nya siang dan malam dan mereka tidak dapat mencapai ini hanya dengan melakukan gerakan pantomim yang tidak beraturan. Mereka melakukan ini dengan mengikuti peraturan perilaku yang lebih tinggi dan menjadi saksi bagi Tuhan mereka.

Allah memiliki segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, dan mereka yang berada di sisi-Nya tidak pernah merasa angkuh dalam MENGABDI-Nya, dan tiada pula merasa letih. Mereka mengagungkan-Nya siang dan malam (Surat 21 Ayat 19).

Nabi Zakaria memohon secara khusus kepada Tuhan agar dikaruniai anak laki-laki. Setelah permohonan itu dikabulkan, malaikat yang menyampaikan berita kepadanya memerintahkannya untuk mengingat dan mengagungkan Tuhan siang dan malam. Tuhan tidak meminta dia untuk bersembahyang secara ritual.


Dia berkata, ‘Ya, Tuhanku berilah aku suatu tanda’. Allah berfirman, ‘Tandanya adalah kamu tidak akan dapat berbicara kepada manusia selama tiga hari kecuali dengan isyarat. Dan kamu harus sering mengingat Tuhanmu dan mengagungkan Dia siang dan malam’ (Surat 3 Ayat 41).

Dalam rutinitas kita sehari-hari, kita diperintahkan untuk mengagungkan Tuhan yang berarti MENGABDI kepada-Nya.

Karena itu bersabarlah dengan ucapan mereka, dan pujilah keagungan Tuhanmu sebelum matahari terbit dan sebelum matahari tenggelam, juga pada sebagian malam dan pada kedua ujung hari, sehingga kamu akan memperoleh kebahagiaan (Surat 20 Ayat 130).

Kita tidak perlu meritualkan metode memanggil, memuji, mengingat atau mengagungkan Tuhan. Kita mengagungkan Dia di dalam hati kita secara terus menerus atau berbicara lembut kepada-Nya. Kita bisa mengingat-Nya saat berkendaraan, berjalan, berdiri, duduk atau berbaring setiap saat setiap hari.

MENGAGUNGKAN ALLAH MELALUI KOMITMEN

Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi mengagungkan dan memuji Tuhan. Masing-masing mengetahui komitmen mereka. Oleh karena itu, manusia tidak boleh angkuh dalam mengagungkan Penguasa Alam Semesta:

Mengagungkan Allah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dia adalah Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana (Surat 62 Ayat 1).

Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah diagungkan oleh setiap mahluk di langit dan di bumi dan juga burung-burung yang sedang terbang? Sungguh, setiap dari mereka mengetahui ‘komitmen’ (solaa-ta-hu) dan pujian mereka. Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan (Surat 24 Ayat 41).

Mengagungkan Dia tujuh langit dan bumi serta segala sesuatu yang berada di dalamnya. Dan tak ada yang tak memuji keagungan-Nya, tetapi kamu tidak mengerti pujian mereka. Dia adalah Pemaaf (Surat 17 Ayat 44).

Manusia dituntun untuk mempercayai bahwa mereka harus membungkuk dan bersujud secara fisik kepada Tuhan sebagai metode penyembahan kepada Tuhan. Orang Arab mengatakan kata sujud[ ] dalam Al Qur’an berarti menempelkan wajahnya ke tanah. Akan tetapi, kata sujud di dalam Al Qur’an tidak merujuk pada gerakan fisik. Arti sujud adalah dalam keadaan patuh.

SEMBAHYANG RITUAL TIDAK ADA DI DALAM AL QUR’AN
• Allah tidak memerintahkan sembahyang ritual kepada nabi terakhir atau kepada semua nabi sebelumnya.
• Al Qur’an memiliki 114 surat dan 6348 ayat. Tak satu ayatpun yang menyuruh manusia, ‘Kamu harus melaksanakan sembahyang ritual kepada Allah’.
• Sembahyang ritual merupakan tindakan penyembahan. Allah TIDAK PERNAH memerintahkan kepada setiap hamba-Nya untuk memuja-Nya.
• Wahyu yang diturunkan kepada nabi terakhir bukanlah wahyu yang baru dari Allah. Kitab ini BUKAN mengenai agama atau menyembah Tuhan.
• Semua pemuka Agama Arab sampai saat ini bersikeras bahwa tidak ada keterangan sama sekali tentang sembahyang ritual secara detail dalam Al Qur’an. Mereka adalah pembual yang bodoh, jika kita hanya mematuhi Al Qur’an, maka kita tidak perlu melakukan sholat lima waktu sehari karena Al Qur’an tidak memerintahkan kepada kita untuk melakukan ibadah ritual, yang kita laksanakan sekarang. Ini adalah kesaksian dari para pemuka agama Arab sendiri. Mereka sangat bangga membungkuk dan bersujud kepada berhala batu setiap hari. Mereka sangat bangga akan agama ciptaan yang mereka kembangkan.


‘SEMBAHYANG RITUAL ADALAH SEBUAH KONSPIRASI’
Orang-orang Arab melakukan konspirasi terhadap Islam dengan menghancurkan tujuan wahyu yang diturunkan sebagai sumber komitmen yang diperintahkan antara Tuhan dan manusia. Mereka menggantinya dengan ‘jalan pintas’ ritual kafir, yang membuat orang merasa bersalah dengan menjunjung tinggi kewajiban mereka tanpa harus melakukan perbuatan yang baik. Mereka yang mematuhi sholat lima, empat, tiga, dua kali atau sekali sehari melakukannya untuk orang Arab dan BUKAN untuk Tuhan.

Penulis telah berusaha untuk mengatakan bahwa Islam adalah Cara Hidup yang sederhana. Al Qur’an ditulis dengan sederhana. Al Qur’an diperuntukkan bagi manusia di seluruh dunia, diperuntukkan bagi semua warna kulit dan ras. Namun pembaca seharusnya tidak menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya menyerahkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa itu mudah; meskipun Cara Hidup itu sederhana dan mudah.

Tanpa berdasarkan pada kitab suci, tradisi Arab mengatakan bahwa nabi terakhir berbicara kepada Tuhan di langit ketujuh untuk bernegosiasi tentang sembahyang ritual. Aneh rasanya bahwa Rasul Allah harus mempertanyakan isi dari pesan Allah. Sama anehnya bahwa seorang Rasul memilih untuk menengahi atas nama si penerima pesan tersebut. Rasanya kurang pantas bahwa seorang Rasul harus memilih untuk melawan kehendak Allah, namun orang-orang Arab itu telah mengarang cerita dengan menjadikan Musa penghasut yang menyangkal para Muslim bisa sembahyang 50 kali sehari. Dengan menganggap 16 jam terjaga sehari, yang berarti Anda harus sembahyang kira-kira setiap 19 menit sekali. Dengan menganggap seseorang harus membungkuk dan bersujud ke arah batu berhala tujuh belas kali sehari, berarti orang-orang beriman membungkuk dan bersujud sebanyak 850 kali per hari. Nampaknya orang-orang Arab menjadi yang terdepan dalam olah raga aerobik. Makanya tidaklah mengherankan sementara banyak negara-negara Muslim, yang kendati memiliki sumber daya alam berlimpah, namun tetap belum mampu menjadi negara maju. Mereka terlalu sibuk mencoba mencari cara-cara baru untuk bersembahyang.

Bagaimana ini dilakukan? Bagaimana kamu memperdaya begitu banyak orang-orang beriman ke dalam ‘kebenaranmu’ yang aneh? Ini tercapai dengan manipulasi Surat 17 Ayat 1. Menjauhkan diri, tampaknya tak ada yang keliru. Memeriksa ayat ini dilanjutkan dengan ayat-ayat berikutnya akan menantang logika. Pengujian kebenaran yang paling sederhana dalam Surat 17:1 sampai 17:7 adalah tentang riwayat Bani Israil dan kisah Musa yang bertemu dengan Tuhan pada suatu malam untuk menyaksikan tanda-tanda Tuhan[ ]. Kata sol-laa bahkan tidak disebutkan dalam ayat ini. Sangat disayangkan bahwa Nabi terakhir menjadi korban yang malang dari orang-orang Arab yang berkhianat.














faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:11 pm

BAGIAN TIGA

PENGUBAHAN KATA SOL-LAA DAN PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG SERING DIAJUKAN

Dalam bagian ini saya akan menunjukkan betapa kata yang sederhana dari Al Qur’an telah dimanipulasi. Mungkin saya harus menyebutkannya lagi, kosa kata bahasa Arab berasal dari ‘akar katanya’. Ini bisa berarti kumpulan dua, tiga atau empat konsonan darimana kata-kata itu berasal. Turunan kata-kata itu, sebagian besar tersusun sesuai dengan wadah atau pola vocal yang telah terbentuk dimana ditambahkan awalan, sisipan atau akhiran. Ini adalah landasan dasar dari tata bahasa Arab.

Menurut teori, akar kata tersebut bisa mewakili setiap konsonan dalam bahasa dengan penambahan huruf hidup ‘a’, ‘i’ atau ‘u’ setelah masing-masing konsonan menghasilkan bentuk dasar. Bentuk dasar yang dihasilkan umumnya membentuk kata kerja yang menunjukkan kata aktif perfek, orang ketiga, sifat maskulin dan tunggal. Makna dari kata kerja ini ditentukan oleh konsonan. Kata benda verbal lainnya dapat dikembangkan dari akar kata yang sama.

Bentuk kata kerja muncul dalam tiga keadaan, dua diantaranya bentuk ‘Perfek’ dan ‘Imperfek’ adalah kata keterangan waktu, sementara yang ketiga ‘Imperatif (kalimat perintah), adalah ‘modus’. Bentuk ‘Perfek’ biasanya menandai suatu tindakan yang telah dilakukan dan sudah selesai. Bentuk imperfek menandai suatu tindakan yang sedang dilaksanakan atau sudah selesai dan bentuk Imperatif merupakan suatu perintah atau komando.

Vokalisasi pada bentuk kata kerja disusun sesuai dengan pola-pola yang ada. Kata imperfek dibentuk dengan menambahkan awalan dan akhiran khusus untuk menunjukkan dan ditentukan dengan membentuk kata kerja begitupula oleh jenis kelamin dan jumlah pelaku tindakan.

Adapula beberapa bentuk tata bahasa yang berasal dari akar kata untuk menunjukkan kalimat aktif perfek, aktif imperfek, kalimat perintah, pasif perfek, pasif imperfek, dan kata benda verbal, bentuk aktif participle dan pasif participle. Selain dari tiga bentuk tunggal, ganda, dan jamak, bahasa Arab juga mengenal bentuk orang ke tiga. Orang pertama adalah pembicara, orang kedua adalah orang yang diajak bicara, dan orang ketiga adalah orang yang dibicarakan.
HANYA ada dua jenis kelamin dalam bahasa Arab, yaitu maskulin atau feminin. Jenis kelamin netral dari bahasa lain yang ditandai dengan kata ganti ‘it’ tidak ada dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, setiap kali kata Tuhan muncul sebagai orang ketiga maka selalu disebut sebagai ‘Him’, ‘His’, atau ‘He’. Tuhan bergender netral, tetapi secara gramatikal kata itu bersifat maskulin. Saat kita mengatakan, ’There is no god except Him’ (Tidak ada tuhan kecuali Dia), ini tidak berarti bahwa Tuhan itu laki-laki.

Agar masuk ke dalam permasalahannya, saya ingin menunjukkan betapa kata sederhana seperti Sol-laa yang secara harfiah berarti ‘hubungan’ atau ‘ikatan’ dapat menghasilkan banyak kata turunan yang berarti janji, kewajiban, komitmen, dan bentuk dasar lainnya dan kata benda verbal yang memiliki inti makna yang sama. Namun demikian, orang-orang Arab mengubah kata yang sederhana ini dan mengacaknya dengan seenaknya untuk menyesatkan orang.

BAGAIMANA ORANG ARAB ‘MENGUBAH KATA SOL-LAA’

Kata sol-laa dan turunannya banyak sekali muncul dalam Al Qur’an dan lihatlah bagaimana para penerjemah dipaksa melompat dari satu makna ke makna lain untuk kata yang sama atau turunannya. Saya menyebutnya‘Pengubahan/pengacakan kata Sol-laa’.
• Kata Sol-laa disebutkan dua kali dalam Surat 75 Ayat 31 dan Surat 96 Ayat 10, kata itu diterjemahkan sebagai ‘Salat Ritual’.
• Fa-sol-laa disebutkan Sekali dalam Surat 87 Ayat 15, kata itu diterjemahkan menjadi ‘Salat Ritual’.
• Yu-sol-laa disebutkan Tiga Kali dalam Surat 2 Ayat 27, Surat 13 Ayat 21 dan Surat 13 Ayat 25, kata-kata itu diterjemahkan menjadi ‘Harus mengikat atau menjalin hubungan dengan Tuhan‘ BUKAN Salat Ritual’.
• Sol-lee disebutkan Sekali dalam Surat 9 Ayat 103, kata itu diterjemahkan menjadi permohonan nabi atau doa nabi untuk umatnya. BUKAN Salat Ritual.
• Tu-Sol-lee disebutkan Sekali dalam Surat 9 Ayat 84, kata itu diterjemahkan menjadi ‘Salat Ritual’ (Janganlah berdoa untuk orang-orang yang munafik).

• Fa-Sol-lee disebutkan Sekali dalam Surat 108 Ayat 2, kata itu diterjemahkan menjadi ‘Salat secara ritual’ kepada Tuhanmu, namun dalam bahasa Arab ’Fa-sol-laa li-rob-bika’ berarti tegakkan komitmen kepada Tuhanmu.
• Yu-Sol-lee disebutkan Dua Kali dalam Surat 3 Ayat 39 dan Surat 33 Ayat 43.

(a) Dalam Surat 33 Ayat 43, kata itu diterjemahkan sebagai Tuhan dan para Malaikat-Nya ‘Memberkati’ orang-orang yang beriman. BUKAN ‘Salat Ritual’.

(b) Tetapi dalam Surat 3 Ayat 39, kata itu diterjemahkan menjadi Zakariah sedang melaksanakan ‘Sembahyang Ritual’.
• Sol-luu disebutkan Sekali dalam Surat 33 Ayat 56, kata itu diterjemahkan sebagai orang harus sol-luu atau menghormati nabi. BUKAN ‘Salat Ritual’.
• Yu-Sol-lu disebutkan tiga Kali dalam Surat 4 Ayat 102 (2 kali) dan Sekali dalam Surat 33 Ayat 56).

(a) Dalam Surat 33 Ayat 56, kata itu diterjemahkan sebagai Tuhan dan para malaikat ‘memberkati’ nabi untuk kata ‘Yu-so-lu’.

(b) Tetapi dalam Surat 4 Ayat 102, kata yang sama diterjemahkan sebagai ‘Salat Ritual’ (Yusollu) untuk kedua hal.
• Ya-sil-lu disebutkan 5 Kali dalam Surat 4 Ayat 90, Surat 6 Ayat 136 (2) , Surat 11 Ayat 81 dan Surat 13 Ayat 21, kata-kata itu diterjemahkan sebagai ini adalah orang-orang yang menjalin hubungan dengan Tuhan. BUKAN Salat Ritual.
• Mu-Sol-lan disebutkan Sekali dalam Surat 2 Ayat 125, kata itu diterjemahkan sebagai (tunggal) ‘tempat penyembahan’. BUKAN ‘orang-orang yang melakukan salat ritual’.
• Mu-Sol-leen Tiga kali dalam Surat 70 Ayat 22, Surat 74 Ayat 43 dan Surat 107 Ayat 4, kata itu TIDAK diterjemahkan sebagai Tempat penyembahan’, tapi ‘orang-orang yang melakukan Salat Ritual’.
• Sol-laa-ta 46 kali
• Sol-laa-tee 20 kali
• Sol-laa-tu Sekali dalam Surat 62 Ayat 10, kata itu diterjemahkan sebagai ‘Salat Ritual’.
• Sol-laa-ta-ka Sekali dalam Surat 9 Ayat 103, kata itu diterjemahkan sebagai Sembahyang Ritual oleh Nabi yang membuat orang bahagia. Al Qur’an dengan jelas mengatakan bahwa tidak ada jiwa yang terbebani akan menanggung dosa orang lain. Jadi, bagaimana ini bisa terjadi?
• Sol-laa-ti-ka Sekali dalam Surat 17 Ayat 110 diterjemahkan sebagai ‘lakukan salat ritual dengan suara pelan. Tetapi kini, salat pada sore dan malam hari atau Agama Arab dilakukan tanpa suara sama sekali.
• Sol-laa-tu-ka Sekali dalam Surat 11 Ayat 87, kata ini diterjemahkan sebagai ‘Salat Ritual’ yang dilakukan oleh Nabi Shuaib akan mampu mengubah sistem ekonomi. Mungkin, ini hanya salah satu ilusi bangsa Arab.
• Sol-laa-ta-hu Sekali dalam Surat 24 Ayat 41 dalam Agama Arab diterjemahkan sebagai burung-burung pun melaksanakan ‘salat ritual’. Inilah yang tidak ada dalam agama lain.
• Sol-laa-te-him 5 kali dalam Surat 6 Ayat 92, Surat 23 Ayat 2, Surat 70 Ayat 23, Surat 70 Ayat 34 dan Surat 107 Ayat 5, kata itu diterjemahkan menjadi kamu dapat mempercayai orang-orang yang melakukan ‘salat ritual’ dan mereka juga membuat orang lain mengerti bahwa orang-orang yang melakukan ‘salat ritual’ akan selalu memenuhi janji-janji mereka dalam Surat 70 Ayat 32-35. Ini bisa menjadi terlalu ambisius.
• Sol-laa-tu-hum Sekali dalam Surat 8 Ayat 35 diterjemahkan sebagai ‘Salat Ritual’ mereka tidaklah berarti namun hanya merupakan kontroversi dan pemberontakan. Dalam konteks Agama Arab hal ini bisa jadi sangat benar.
• Solaa-waa-ti Dua kali dalam Surat 2 Ayat 238 dan Surat 9 Ayat 99. Perhatikan konteks ke dua Ayat itu:

(a) Dalam Surat 9 Ayat 99, kata itu diterjemahkan sebagai perbuatan baik akan lebih mendekatkan mereka kepada Tuhan dan juga ‘solawaatee’ (sembahyang ritual?) Nabi. Pernyataan lain yang tidak masuk akal. Jika kita memberikan makanan kepada orang yang lapar, bagaimana perbuatan tersebut bisa lebih mendekatkan kita kepada ‘salat ritual’ nabi?

(b) Dalam Surat 2 Ayat 238, diterjemahkan sebagai kita diharuskan untuk menjaga solaawati ‘Salat Ritual’ kita.

Dalam Surat 22 Ayat 40 ‘wa biyaa un, wa solawaatun, wa Masaajidu’—dan rumah ibadat orang Yahudi (?) Dan gereja-gereja (?) dan sembahyang ritual (?) dan Masaajidu (?). Kini dikatakan salat ritualnya Tuhan adalah ‘Gereja’.

Beberapa ahli bahasa Arab bahkan mengatakan solaawaatun dalam Surat 22 Ayat 40 adalah ‘pidato-pidato’. Apakah maksud pidato dalam konteks ini?

Akan tampak sangat tidak konsisten bahwa mengkonjugasikan satu akar kata dalam istilah Al Qur’an akan menghasilkan begitu banyak definisi yang berbeda, beberapa di antaranya bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan akar katanya. Tak satupun dari para pemuka agama di Arab saat ini yang dapat menjelaskan secara logis ketidakkonsistenan ini. Mereka hanya mengulang ‘pengubahan Sol-laa’ sebagai reaksi otomatis terhadap segala pertanyaan.

PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG SERING DIAJUKAN

Berikut adalah beberapa ayat dari Al Qur’an yang mengandung kata Sol-laa, solaa-ti, solaa-tika, dan lain-lain. Para pendukung sembahyang ritual dengan senang mengatakan bahwa semua ayat-ayat ini membuktikan adanya sembahyang ritual. Mereka akan mengutip ayat-ayat dari Al Qur’an sebagai berikut:

1. Bagaimana dengan Surat 5 Ayat 6 yaitu jika kamu diharuskan melakukan pembersihan ritual yang mereka sebut‘wudhu’ sebelum sembahyang ritual/so-la-ti?

Pertama, Surat 5 harus dibaca dari Ayat 1 sampai 7. Ayat 6 yaitu tentang kebersihan. Dua ayat pertama berbicara tentang makanan. Manusia harus mematuhi keselarasan yang diperkenankan oleh Allah dalam sistem itu. Ayat ketiga membahas lebih detail tentang makanan, dan kemudian dikatakan, ‘Hari ini Cara Hidup atau din disempurnakan’ setelah keterangan detail tentang makanan yang tidak sehat. Ayat keempat dan kelima juga membahas tentang makanan dengan peraturan tambahan bahwa orang-orang Muslim bisa menikahi orang dari kitab-kitab sebelumnya. Dalam ayat itu sendiri seharusnya sudah jelas.

Ayat berikutnya mengatakan bahwa kita harus menjunjung tinggi komitmen saat membersihkan diri kita. Dalam ayat 7 kita diperintahkan untuk mensyukuri rahmat Tuhan yang diberikan kepada kita dan kita harus memegang janji yang Dia buat dengan kita mulai saat kita mengatakan ‘Kami mendengar dan kami mematuhi’.

Kebersihan merupakan bagian dari komitmen kita. Dan jika tidak ada air, untuk membersihkan diri, Tuhan telah memberikan alternatif, yaitu dengan menggunakan debu yang bersih untuk membersihkan tangan. Idenya adalah kita harus bersih. Ini juga merupakan kewajiban atas semua manusia.

Tidak ada hal seperti kata pembersihan ritual atau ‘wudhu’ istilah umum yang digunakan oleh kebanyakan umat Muslim yang bisa ditemukan dimanapun dalam Al Qur’an. Tidak ada wudhu ritual. Dalam Surat 5 Ayat 6 disebutkan bahwa memang baik membasuh diri kita hingga siku, mencuci muka, dan membasuh kepala dan kaki. Ini merupakan kewajiban lain yang harus kita tegakkan. Kita harus menjaga kebersihan diri. Ayat ini tidak pernah mengatakan bahwa sol-laa adalah sembahyang ritual. Ayat ini tidak mengatakan setelah kita membersihkan diri ‘secara ritual’ kita harus memulai sembahyang dengan ritual-ritual.

2. Bagaimana dengan Surat 11 Ayat 114 dimana kamu diminta untuk menunaikan sol-laa itu pada akhir siang hari dan sebagian malam?

Orang-orang selalu membuat kesalahan dengan mengutip ayat di luar konteks. Ayat ini harus dibaca mulai dari Surat 11 ayat 112 sampai ayat 115. Ayat itu tidak mengatakan bahwa solaa-ta harus dilakukan PADA kedua akhir siang hari dan bagian malam. Ayat itu sebenarnya mengatakan MELALUI kedua akhir siang hari dan bagian malam. Untuk mendapatkan referensi yang mudah, ayat ini sekali lagi dikutip dalam konteks yang lengkap di bawah ini:

Kamu harus menjunjung tinggi sesuai dengan apa yang ditentukan, dan juga mereka yang bertobat denganmu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya, Dia mengetahui apapun perbuatanmu, Dia mengawasimu. Dan janganlah kamu berpihak kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kamu merasakan api Neraka, dan tidak ada seorang pun bagimu kecuali Allah sebagai penolong, kemudian kamu tidak akan ditolong. Dan junjung tinggi komitmenmu (Aqimi-solaa-ta) itu melalui akhir siang hari dan sebagian malam. Sesungguhnya, perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. Kamu harus tabah. Tuhan tidak pernah gagal memberi pahala kepada orang-orang yang berbuat baik.

Ayat tersebut dengan jelas mengatakan bahwa komitmen harus selalu dilaksanakan sepanjang hari dan sebagian malam. Ayat-ayat dalam Surat 11 Ayat 112-115 menekankan pentingnya melakukan perbuatan baik sepanjang hari dan juga sebagian malam dengan menfokuskan diri pada rutinitas sesuai dengan apa yang diajarkan kepadanya dari perintah yang ditentukan Allah. Ini adalah perintah yang sederhana.

3. Bagaimana dengan Surat 24 Ayat 58 yang menyebutkan kata sola-til fajri dan solatil ‘isya?

Ayat ini merujuk pada saat tidak berpakaian dimana anak-anak harus meminta izin sebelum masuk ke dalam kamar orang-tua pada saat mereka melakukan hal yang pribadi. Mereka harus meminta izin sebelum memasuki kamar orang tuanya mulai orang tuanya masuk ke kamar mereka (solatil ‘isya) hingga keesokan paginya (solatil fajri) . Kita terus mematuhi komitmen selama saat-saat pribadi itu. Ayat yang sama mensyaratkan izin untuk masuk ke kamar orang-tua saat mereka beristirahat di siang hari.

Solatil’isya dan solatil-fajri BUKAN nama yang ditujukan pada setiap sembahyang ritual, istilah itu merujuk saat-saat pribadi orang tua. Sama halnya, tidak pantas bagi orang tua untuk masuk begitu saja ke kamar anak-anak mereka setelah anak-anak masuk kamar. Ayat ini mengajarkan etika keluarga sebagai bagian dari kewajiban untuk mengajarkan anak-anak agar menghormati privasi orang tua mereka. Tidak ada ‘sembahyang ritual’ yang disebutkan dalam ayat itu. Adalah hal yang sangat biasa bagi orang tua yang setia pada dewa-dewa mengajak anak-anak mereka berdoa bersama menghadap berhala pada waktu tertentu untuk menanamkan cara penyembahan agar tetap beriman kepada berhala mereka. Ayat ini sebenarnya meruntuhkan semua keyakinan tentang keluarga yang melaksanakan sembahyang bersama pada pagi dan malam hari. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan besarnya rasa hormat yang harus disesuaikan dengan komitmen pribadi orang tua.

4. Bagaimana dengan Surat 4 Ayat 103 ketika Allah berfirman Solaa-ta dilakukan pada saat-saat tertentu?

Merupakan tugas kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu pada saat-saat tertentu sepanjang hari mulai dari pagi hari hingga senja dan juga sebagian malam, mulai dari terbenamnya matahari pada sore hari hingga malam, dan lain-lain. Kata dalam ayat tersebut mengatakan bahwa kita berkomitmen untuk melakukan hal-hal tertentu pada saat-saat tertentu. Kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan jika telah tiba saatnya dan melakukannya dengan tekun.

Bila kita pedagang maka kita harus mempertahankan komitmen untuk tidak menipu atau mencari keuntungan yang berlebihan. Bila seorang pengemis atau orang miskin datang kepada kita pada jam sembilan pagi, maka kita tidak boleh mengatakan kepada mereka untuk kembali lagi pada pukul 1 siang. Bila karyawan kita telah bekerja untuk kita, maka kita tidak boleh menunda pembayaran gajinya. Bila kita berjanji untuk menemui seseorang pada pukul 3 sore, maka kita harus memegang komitmen dengan orang itu dengan menemuinya pada pukul 3 sore tepat karena Tuhan berfirman, ‘Mereka memenuhi janjinya bila mereka membuat janji’. Memenuhi janji kita juga merupakan komitmen.

5. Bagaimana dengan Surat 17 Ayat 110 ketika kamu diperintahkan untuk menggunakan suara secara perlahan dalam solaa-tika?

Pertama kita harus membaca mulai dari Surat 17 Ayat 105 sampai 111. Konteks Ayat 110 saling berhubungan dengan ketujuh ayat tersebut. Ini berkenaan dengan wahyu dan cara untuk berdoa kepada Allah. Kita tidak perlu berkeliling dengan menggunakan pengeras suara atau berteriak atau berbisik saat kita memanggil orang untuk menghadap Allah.

Merupakan komitmen kita untuk mengajak orang agar mengagungkan Allah dengan terus mengingat bahwa Dia-lah satu-satunya Penguasa alam semesta. Dia tidak mempunyai anak dan tidak pula berbagi Kerajaan dengan Rasul-Nya atau Dia tidak memerlukan para pemuka agama untuk membantu-Nya keluar dari segala kesulitan dalam mengurus hamba-Nya dan mereka yang ada di langit dan di bumi. Merupakan kewajiban setiap orang untuk mengagungkan Dia saja termasuk para nabi dan malaikat.

Komitmen kita adalah mengajak manusia untuk mematuhi Allah. Jika kita percaya bahwa Al Qur’an adalah kebenaran, maka inilah saatnya bagi kita untuk mengajak orang menghadap Allah.

Dalam Surat 17 Ayat 110 Nabi (atau orang lain) diperintahkan untuk menggunakan suara yang lembut ketika memanggil orang untuk menghadap Allah. Tidak perlu berteriak-teriak atau berbicara dengan malu-malu, namun bicaralah dengan nada lembut bila memanggil orang untuk menghadap Allah yang Maha Pemurah. Dalam Surat 17 Ayat 110 dikatakan:

‘Sebutlah Dia Allah atau sebutlah Dia Yang Maha Pengasih atau dengan nama apa saja kamu menyebut--Nya. Dia memiliki nama-nama yang indah. Dan janganlah kamu mengacaukan komitmenmu…’

Nabi adalah Penyeru untuk menghadap Allah. Sebagai penyeru dia tidak berkeliling sambil berteriak dan menjerit layaknya pemuka Agama Arab saat ini. Mereka tidak memanggil orang-orang untuk menghadap Allah sebagaimana yang diperintahkan. Fungsi mereka telah dikurangi oleh dering jam yang sangat berpengaruh.

Nabi pergi berkeliling dengan sopan menyampaikan berita bagus tentang Allah, menasehati orang-orang agar berkomitmen kepada din Allah.

Dalam Surat 33 Ayat 45-47:

Hai Nabi, Kami telah mengirimmu sebagai penyaksi, pembawa kabar gembira serta Pemberi Peringatan dan Penyeru kepada Allah, dengan izin-Nya dan cahaya pembimbing. Sampaikan berita baik kepada orang-orang yang beriman bahwa mereka akan mendapat karunia yang besar dari Allah.

Ini adalah komitmen, yang merupakan kewajiban bagi nabi maupun kita. Kita tidak boleh terlalu kasar atau lembut saat memanggil orang-orang untuk menghadap Allah.

Beberapa orang peduli untuk memeriksa bahasa Arab dalam ayat ini. Dikatakan wa laa taj har bi solaa-tika yang berarti ‘janganlah terlalu kasar DENGAN sol-laa-ti MU. Bagaimana bisa seseorang kasar DENGAN sembahyang ritualnya?

Oleh karena itu, wa laa taj har bi solaa-tika berarti jangan kasar saat mematuhi komitmenmu, saat memanggil orang untuk menghadap Allah. Allah tidak menyukai orang-orang yang kasar.

PERTANYAAN YANG TIDAK BISA DIJAWAB

Para pendukung sembahyang ritual hanya dapat mengambil lima ayat Al Qur’an dan mengutipnya ke luar dari konteks untuk menunjukkan bahwa ayat-ayat itu merupakan perintah sembahyang ritual. Namun mereka tidak bisa mengutip ayat apapun dari Al Qur’an untuk menunjukkan metode ritual itu. Mereka menghindar mengutip ayat-ayat lain yang tidak bisa mereka jawab, di antara ayat-ayat itu adalah:
1. Bagaimana kamu memaafkan para penyembah berhala bila mereka terus menyembah berhala meskipun mereka melakukan sembahyang ritual? (Surat 9 Ayat 4,5 & 6).

Bagaimana para penyembah berhala melaksanakan sembahyang ritual?

2. Bagaimana nabi melakukan ibadah ritual dengan orang-orang yang tidak beriman sesuai dengan Surat 4 Ayat 101 bersama dengan Ayat 102 dalam Al Qur’an?

In-naal kaafiriina kaanuu lakum ‘aduwwam mubiina, wa-izaa kunta fii-him fa-aqam-ta lahumus solaa-ta.
‘Sungguh orang-orang kafir itu adalah musuhmu yang nyata. Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka maka kamu harus melakukan sol-laa bersama mereka (ibadah ritual)? (Surat 4 Ayat 101 & 102).

Bagaimana nabi melaksanakan Sembahyang Ritual dengan orang-orang kafir yang merupakan musuhnya yang nyata?

3. Bagaimana sembahyang ritual yang dilakukan nabi menenangkan orang-orang atau membuat mereka bahagia dalam Surat 9 Ayat 103?

Surat 9 Ayat 103 mengatakan, ‘wa salli ‘alaihim inna solaa-taka sakanul lahum’. Jika ayat itu dibaca orang Arab, maka akan berbunyi, dan tegakkanlah sholat atas mereka, sesungguhnya sholat itu dapat menentramkan jiwa mereka’.

Jika ini benar, maka orang-orang Arab secara kebetulan telah menemukan surga di dunia ini. Adalah komitmen, kewajiban, janji, ikatan, dan pertalian yang diajarkan Nabi kepada orang-orang yang tentunya akan membawa kedamaian, keharmonisan, kebahagiaan, dan persahabatan di antara para manusia.

Wa salli ‘alaihim inna solaa-taka sakanul lahum, artinya,

‘Dan janji atas mereka, tentu saja janji-MU itu akan membuat mereka bahagia’.

4. Jika kamu ditimpa bencana atau menghadapi kematian, bagaimana bisa dua orang asing yang akan menjadi saksi pada Wasiatmu melaksanakan sembahyang ritual dan bersumpah atas nama Allah bahwa mereka akan berkata jujur? Surat 5 Ayat 106 mengatakan kepada kita,

‘tah-bisuu-nahumaa mim ba’dis solaa-ti fayuqsimaani bilaahi’.

Dalam bahasa Arab diartikan, ‘Kamu harus menahan mereka setelah mereka melaksanakan sembahyang ritual dan buatlah mereka bersumpah atas nama Allah’.

Apakah ini berarti bahwa orang-orang Kristen, Yahudi, atau mereka yang tidak melakukan sembahyang ritual seperti Sunni dan Shiah (sekte dalam Agama Arab) tidak bisa menjadi saksi? Apakah ini berarti bahwa ketika kita menghadapi bencana atau kematian mendadak di manapun di dunia ini, kita harus mencari dua orang saksi yang tahu cara melaksanakan sembahyang ritual untuk bersaksi atas wasiat kita saat kita sekarat? Ini tentu saja membuat rumit hal-hal yang seharusnya menjadi Cara hidup yang sederhana.

Namun masalah ini tidak akan muncul bila kita menemukan dua orang asing yang setuju untuk memenuhi kewajiban mereka atau komitmen (solaa-ti) terhadap keinginan kita yang penghabisan, dan kemudian bersumpah atas nama Allah setelah memperoleh komitmen mereka (mim ba’dis solaa-ti) bahwa mereka akan berlaku jujur. Kata sol-laa di sini adalah komitmen yang dibuat oleh dua orang asing untuk bersaksi atas wasiat orang yang sekarat. Itu saja. Ini merupakan konsep yang indah, seperti yang diinginkan Allah.

5. Bagaimana orang-orang yang tinggal di kota dan mereka yang tinggal di sekitarnya memelihara sembahyang ritual mereka (Wa hum ‘alaa solaatihim yuhaafizuun) segera setelah mereka mendengar pesan Al Qur’an sebagaimana yang disebutkan dalam Surat 6 Ayat 92? Mereka mungkin telah menyertakan orang-orang musyrik, Nasrani, Yahudi dan lain-lain yang bukan umat Muslim.

Namun mereka bisa mematuhi komitmen atau kewajiban mereka jika mereka diberitahu bahwa Al Qur’an mengharuskan mereka untuk bersikap ramah kepada sesama, mereka tidak boleh memanggil nama atau saling memperolok seperti Agama Arab. Bersikap rendah hati tanpa memandang ras, bahasa, atau keyakinan. Bersikap ramah kepada tetangga dekat maupun jauh, melayani masyarakat, merawat anak-anak yatim, memberi makan orang miskin, berderma dan sebagainya. Semua orang beriman, musyrik, orang asing, Nasrani, Yahudi, atau siapapun mereka, mereka tentu saja bisa memelihara komitmen mereka dengan melakukan perbuatan sederhana sebagaimana yang ditentukan dalam Al Qur’an.

6. Mengapa Yu-sal-lu berarti sembahyang ritual dalam Surat 4 Ayat 102, namun dalam Surat 33 Ayat 56, yu-sal-lu berarti menghormati dan mendukung? Standar ganda atau kerancuan ganda? Bahasa arab yang kita tahu kini menjadi bahasa yang sangat fleksibel.

7. Begitupula bagaimana bisa kata Yu-sal-li dalam Surat 3 Ayat 39 berarti ‘sembahyang ritual’, sementara dalam Surat 33 Ayat 43 berarti menghormati?

8. Sal-lu dalam Surat 33 Ayat 56 dan Sal-li dalam Surat 9 Ayat 103 berarti hormat dan doa. Dalam Surat 75 Ayat 31 dan Surat 96 Ayat 10 kata Sal-laa diartikan sebagai sembahyang ritual. Ketiga kata tersebut adalah sama, namun diterjemahkan secara tidak konsisten dalam Al Qur’an.

9. Bagaimana burung-burung di langit dan segala sesuatu yang ada di antara langit dan bumi termasuk katak, rayap, pepohonan melakukan ‘sembahyang ritual’ (salaa-ta-hu) dalam Surat 24 Ayat 41? Saya bisa membayangkan ciptaan Tuhan juga melaksanakan ‘wudhu’, namun hanya di Saudi Arabia, tentunya, dimana mereka berbicara bahasa Arab dengan lancar.

10. Bagaimana bisa ‘sembahyang ritual’ (salaa-tuka) yang dilakukan nabi Syuaib dalam Surat 11 Ayat 87 mengubah sistem ekonomi manusia?

11. Mengapa kata-kata Sala-waa-ti yang sama dalam Surat 2 Ayat 238 (jaga lah ’sala-waati’ mu) dan Surat 9 Ayat 99 (sala-waati rasul) dipahami secara berbeda?

12. Mengapa kata-kata Sala-waa-tum yang sama dalam Surat 2 Ayat 157 (ulaa ’ika ’alaihim sala-waatum) dan Surat 22 Ayat 40 (wa sala-waatuw, wa masaajidu) diterjemahkan dengan arti yang berbeda?

13. Apakah ada orang yang melaksanakan ‘sembahyang ritual’ dengan pembicaraan kontroversial dan pemberontakan (sa-laa-tuhum ’indal baiti illa muka’aw wa tasdiyah) dimanapun di dunia - dalam Surat 8 Ayat 35?

14. Bagaimana kata Mu-sal-lan berkembang sehingga berarti Lokasi atau tempat untuk melaksanakan ‘sembahyang ritual’ dalam Surat 2 Ayat 125 padahal kata yang sama Mus-sal-lin dipahami sebagai orang yang melakukan sembahyang ritual dalam Surat 107 Ayat 4?

Di sini kita lihat bahwa tidak tepat kata Sal-laa atau setiap turunan kata yang berasal dari akar kata ini diartikan dengan tindakan ritual yang dilakukan manusia terhadap Allah. Ini juga bukan metode komunikasi dengan Allah yang disertai gerakan tubuh. Adalah hubungan, ikatan, atau pertalian yang selaras dalam keseimbangan yang sempurna antara manusia dan Allah yang harus dipenuhi melalui perilaku mereka.

Ini merupakan komitmen untuk mematuhi janji-janji yang telah ditentukan yang merupakan hubungan antara manusia dan Allah yang mencakup semua perintah Allah dalam Al Qur’an. Komitmen tersebut juga mencakup kewajiban, hubungan, kesepakatan antara manusia dan manusia itu sendiri dalam rutinitas sehari-hari. Komitmen berkembang menjadi janji, tansaksi, hubungan, keluarga, orang tua, dan lain-lain.

faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:26 pm

BAGIAN EMPAT

ZAKAT AGAMA ADALAH PUNGUTAN YANG ILEGAL

Dalam tiga Bagian terakhir kita telah melihat bagaimana kata-kata bukan majemuk ketika diselewengkan/distorsi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, telah mengubah semua konsep kehidupan sosial praktis menjadi sebuah agama. Sebuah penyelidikan yang kritis tentang teks Arab dari Al Qur’an memperlihatkan bahwa:
• Agama adalah buatan manusia tanpa ada pembenarannya kecuali melalui perubahan pada kitab suci yang diturunkan.
• Penyembahan adalah bentuk kegiatan keagamaan yang hanya tepat bagi berhala atau dewa-dewa ciptaan manusia.
• Sembahyang ritual adalah suatu tindakan penyembahan berhala.

Jelas bahwa semua elemen ini TIDAK ditulis atau diperintahkan dalam buku yang diturunkan kepada nabi terakhir. Dalam upaya mereka untuk meniru Kota Vatikan di tanah Arab, bangsa Arab telah melembagakan produk lain dari ’agama’ yang diperlukan untuk mempertahankan jaringan mereka. Hasilnya adalah ‘organisasi’yang mandiri dan abadi. Mereka menerapkan kewajiban membayar pajak agama, yang tidak resmi, yang disebut zakat. Lagi, hal ini dilakukan atas nama firman Allah dan tidak ada yang lebih jelas kecuali perilaku tanpa pikir tersebut yang merupakan tindakan konspirasi melawan Allah dan rasul-Nya. Bagian ini dan Bagian berikutnya akan membahas tentang konspirasi yang sangat kejam tersebut.

Untuk mencapai tujuan tersebut, kata-kata kunci dalam Al Qur’an yang sering muncul diubah —Aqaa-mus-Salaa-ta-wa-atu-zakaa yang berarti ‘patuhi komitmenmu dan jagalah kemurniannya’. Dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi, ‘lakukan sembahyang ritual dan bayarlah zakat’.

Ayat ini memang ditemukan di banyak surat dalam Al Qur’an, namun selalu disebutkan dalam konteks suatu subyek. Misalnya:

Janganlah kamu mencari keuntungan yang berlebih dan janganlah mengatakan ‘Inilah cara berdagang’. Allah memperkenankan jual-beli dan Dia melarang kita mencari keuntungan yang terlalu besar. Jika kamu bisa mematuhi peringatan ini, maka kamu harus menjauhi perbuatan-perbuatan tersebut. Ini adalah bagi mereka yang beriman dan berbuat kebajikan, dan bagi mereka yang mematuhi komitmen serta menjaga kemurniannya (Aqaamus-Salaa-ta-wa-atu-Zakaa). Tuhan mereka akan memberikan pahala kepada mereka. Mereka tidak perlu takut atau bersedih (surat 2 Ayat 275-277).

Frasa ‘Aqaamus-Salaa-ta-wa-atu-Zakaa’ bila dibaca sendiri tidak akan pernah bisa dianggap sebagai kalimat yang utuh. Frasa ini tidak menjelaskan apapun kecuali perintah untuk melakukan sesuatu yang tidak jelas. Untuk memahami maksudnya, frasa ini harus dibaca bersama dengan beberapa ayat lain sebelum atau sesudahnya. Bangsa Arab dan para ulama cenderung hanya mengutip frasa khusus ini dan mengubah artinya agar sesuai dengan tujuan mereka. Sejauh ini mereka telah sangat berhasil.

ZAKAT BUKAN BERARTI ZAKAT AGAMA

Kebanyakan orang disesatkan oleh para pemimpin agama mereka bahwa merupakan kewajiban mereka untuk melakukan sembahyang ritual dan membayar zakat atau sedekah keagamaan yang disebarkan oleh orang-orang Arab. Mereka diberitahu bahwa makna dari setengah frasa pertama ‘Aqaamus-Salaa-ta-wa-atu-Zakaa’ adalah ‘sembahyang ritual’ dan bagian kedua berarti ‘membayar zakat’. Hal yang keliru, bagian frasa itu disebut zakat. Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi.

1. Mereka tidak tahu mengenai kitab suci Allah.
2. Mereka mematuhi manusia jahat yang mencuri dan menipu orang-orang yang bodoh.

Dalam situasi ini, gagasan-gagasan tertentu menjadi sangat penting bagi proses pemikiran kita.

a) Merupakan suatu kesalahan mempercayai sesuatu tanpa menguji kebenarannya. Kita seharusnya tidak mempercayai segala sesuatu atau melakukan sesuatu bila kita tidak tahu. Kita semua mengenal peribahasa bahwa pengetahuan yang sedikit itu berbahaya.
b) Adalah berbahaya menjunjung tinggi sesuatu atas nama Allah hanya berdasarkan desas desus/kabar angin.

Ingatlah bahwa ketidaktahuan itu tidak beralasan, perilaku kita di dunia akan diperhitungkan. MENGABDI Tuhan selain Allah adalah pelanggaran berat. Akan ada ketentuan yang menjeratnya.
NILAI-NILAI DASAR UNIVERSAL

Tidak ada pengadilan yang adil di dunia ini, yang menerima permohonan dari orang yang tidak tahu, dan tidak tahu akan undang-undang bukanlah alasan. Dengan indikasi yang sama, kita tidak bisa memberi alasan tidak tahu pada Hari Kiamat, atau menyalahkan orang lain karena melakukan kesalahan. Tidak ada yang lebih jelas daripada pernyataan dalam Al Qur’an yang mengatakan:

(An-taquulu yaumal qiyaamati innaa-kun-na’an-haazaa gaa-filiin).
Agar kamu tidak berkata pada Hari Kiamat, memang kami tidak tahu tentang hal ini (Surat 7 Ayat 172).

Muslim secara keseluruhan, khususnya orang-orang Arab modern, nyata sekali tidak tahu pesan Allah dalam Al Qur’an. Mereka membaca tanpa memahaminya, melantunkan ayat-ayat berbahasa Arab. Mereka adalah orang-orang yang tulus dan sederhana, laki-laki dan perempuan, yang merasa perlu untuk mengabdi Tuhan mereka dan menjalani kehidupan yang lurus. Sayangnya, hak asasi mereka yang diwariskan atas mereka adalah warisan agama. Kendati mudah menekankan pendapat dengan situasi ini, kita tahu kita tidak bisa menyalahkan orang tua atas nasib yang akan kita alami pada Hari Kiamat kelak.

Atau kamu bisa berkata, sesungguhnya orang-orang tua kamilah yang mendirikan berhala, dan sebagai keturunannya kami mengikuti langkah mereka. Apakah Kamu akan menghukum kami karena perbuatan mereka yang sesat? (Surat 7 Ayat 173).

Saat ini orang-orang tergantung pada ulama atau pemuka Agama Arab yang telah menyesatkan mereka. Dengan perilaku dan ucapan-ucapannya kita tahu bahwa para ulama ini adalah agen dari orang-orang Arab zalim yang sama yang menciptakan Agama Arab untuk menyembah patung batu. Kita telah melihat betapa kefanatikan ini telah mengubah makna kata deen, ‘abd, dan ‘Sal-laa. Mereka juga mengubah kata Zakaa yang sering disebutkan dengan kata Sal-laa.

Memahami bahwa ulama memiliki lebih dari sekadar fasilitas fungsional dengan bahasa Arab, karenanya mereka bersalah karena bersekongkol dengan orang-orang musyrik dan munafik untuk mengubah Al Qur’an. Mereka telah menyimpang dari ajaran Al Qur’an yang sebenarnya dan mendidik para pengikutnya untuk membungkuk dan bersujud secara fisik pada berhala batu di Mekkah. Seolah-olah semua itu belum cukup, mereka menekankan kepada para pengikutnya bahwa keselamatan tergantung pada kunjungan mereka ke berhala batu ini sekurangnya sekali dalam hidup mereka.

Adalah hal yang aneh bahwa ulama jarang mendorong para pengikutnya untuk beramal sesuai dengan cara Allah dalam Al Qur’an. Ini seharusnya merupakan dasar dari din Allah. Sebaliknya mereka lebih bersemangat dalam hal pengumpulan Zakat, yang dianggapnya sebagai pungutan agama yang sah. Para penyumbang TIDAK boleh menanyakan apa yang akan mereka lakukan dengan uang itu. Menurut budaya Arab adalah dosa pokok meragukan para ulama. Mereka tahu bahwa Zakat bukanlah pungutan uang.

Siapapun yang mengetahui bahasa Arab dasar tidak dapat menyatakan dengan tegas bahwa kata zakat berarti membayar uang. Sebenarnya, tidak ditemukan satu referensipun di dalam Al Qur’an berkenaan dengan sumbangan keuangan atau sumbangan-sumbangan semacamnya. Sebaliknya, Al Qur’an seringkali memerintahkan perbuatan amal tanpa prasangka dan sumbangan sebagai tindakan pengorbanan diri kepada sesama manusia dalam masyarakat.

ANJURAN BERSEDEKAH

Memberikan sebagian rezeki yang diberikan Allah merupakan salah satu komitmen yang diperintahkan terhadap umat manusia. Contoh pengorbanan ini disyaratkan kepada hamba-Nya demi kepentingan bersama. Pemberian tanpa rasa penyesalan atau kebutuhan akan pengakuan di dalam atau di luar batasan din harus dianjurkan pada setiap tingkatan. Alih-alih mengorbankan sebagian dari pendapatan atau hasil panen atau ternak yang diberikan oleh Tuhan, sebaliknya mereka malah mengorbankan jiwa dan tergoda oleh ketamakan dengan menimbun harta yang diberikan oleh Allah. Lagi, Al Qur’an memperingatkan kita bahwa perilaku seperti itu tidak dapat diterima. Apa yang telah terjadi adalah bahwa cara hidup teratur yang meningkatkan kesejahteraan semua manusia telah dikalahkan untuk melengkapi segolongan kecil. Di negara manapun, hal ini dianggap sebagai anarki.

Allah-lah yang menciptakan kamu; Dia-lah yang memberimu rezeki; Dia-lah yang mematikanmu; dan Dialah yang menghidupkanmu kembali. Dapatkah diantara yang kamu sekutukan melakukan hal itu? (Surat 30 Ayat 40).

Hai orang-orang yang beriman, kamu harus bersedekah dari sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu sebelum datangnya hari itu, dimana tidak ada lagi bisnis, sikap pilih kasih dan perantara. Orang-orang kafir itulah yang memilih kezaliman (Surat 2 Ayat 254).

Dan berlombalah dalam memohon ampun kepada Tuhanmu, dan surga yang meliputi langit dan bumi menanti orang-orang baik yang memberikan sedekah di saat keuntungan berlimpah dan di saat kesulitan datang. Mereka menahan amarahnya, dan memberi maaf kepada orang lain. Allah mencintai orang-orang yang senang beramal (Surat 3 Ayat 133-134).

Apa yang salah dengan percaya pada Allah dan Hari Kiamat serta bersedekah dari rezeki yang diberikan Tuhan? Allah sangat mengetahui setiap orang (Surat 4 Ayat 39).

Kamu tidak akan pernah bisa membimbing orang lain; Allah-lah satu-satunya yang membimbing sesuai dengan kehendak-Nya. Setiap amal yang kamu berikan adalah untuk kebaikanmu sendiri. Dan setiap amal yang kamu berikan haruslah tulus demi Allah semata. Dan setiap amal yang kamu dermakan akan dibalas secara adil (Surat 2 Ayat 272).

Ini adalah cara yang ditentukan dari Allah. Kita diharapkan untuk berkomitmen pada hal ini. Ini merupakan komitmen pribadi antara manusia dengan Penciptanya. Tak seorangpun dapat mengatur pemenuhan kewajiban orang lain. Allah bahkan telah menjelaskan secara detail orang-orang yang pantas menerima sedekah. Semua perkiraan telah dihilangkan. Dia dengan kebijaksanaan-Nya memudahkan para hamba-Nya untuk memenuhi kewajiban beramal mereka.

Mereka bertanya kepadamu tentang sedekah; Katakanlah, ‘Sedekah itu harus ditujukan kepada para orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan mereka yang berada di jalan Allah[ ]. Allah mengetahui segala perbuatan baik yang kamu lakukan (Surat 2 Ayat 215).

Mereka yang bersedekah demi Allah layaknya benih yang tumbuh menjadi tujuh malai dimana pada masing-masing malai terdiri atas ratusan biji. Allah melipatgandakan balasan kepada mereka yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pemurah lagi Maha Tahu (Surat 2 ayat 262).
Itu hanya beberapa dari 60 ayat-ayat ganjil yang muncul dalam Al Qur’an yang membahas tentang amal. Namun demikian, kata yang digunakan untuk Amal itu adalah Infak BUKAN Zakat.

Kata infak sangat asing bagi semua ‘Muslim’ yang tak berdosa di seluruh dunia. Tak satu pun dari mereka yang pernah mendengar kata ini dalam hidup mereka. Orang-orang Arab menyembunyikan kata yang penting ini dalam Al Qur’an dan ulama atau para pemuka Arab mendukung mereka. Mereka telah mengubah amal atau Infak yang sesungguhnya di dalam Al Qur’an dengan menggantinya secara tegas dengan kata Zakat. Sistem yang salah telah dibuat untuk menampung berlimpahnya pendapatan yang dipungut secara tidak sah oleh para ulama. Arti kata sebenarnya dari Zakaa adalah Menyucikan. Mencoba mengubah makna itu dalam berbagai ayat yang mengandung kata zakaa yang seharusnya dibaca sesuai dengan koteksnya.

PUNGUTAN AGAMA DIBUAT OLEH ORANG-ORANG ARAB

Konsep membayar Zakat ditanamkan secara permanen dalam pikiran setiap umat Muslim karena orang-orang Arab dan para ulama mengatakan bahwa inilah substansi keyakinan yang paling penting. Siapapun yang dapat membaca bahasa Arab dasar akan mengetahui distorsi ini. Kata Zakaa banyak muncul dalam Al Qur’an. Tidak mengherankan, bahkan kelompok Arab tidak dapat menghindari, namun seringkali menerjemahkan kata Zakaa sesuai dengan makna yang sesungguhnya dalam berbagai ayat.

Dalam setiap kejadian, kata-kata Arab bisa dengan mudah diuji kebenarannya khususnya ketika akar kata dibentuk dari dua konsonan seperti kata Sol-laa atau Zakaa. Ada beberapa turunan kata dari akar kata ini dan dan kata-kata itu adalah Zakaa atau Zak-ka atau Ta-Zak-ka, Zak-ki atau Ta-Zak-ki, Yu-Zak-ka atau Yu-Zak-ki, tetapi TIDAK PERNAH dikatakan Zakat. Zakat sepenuhnya merupakan temuan Arab yang buruk.

Dalam referensi berikut Al Qur’an memaparkan distorsi makna kata Zakat, yang paling menarik dalam ayat ini Dia mengingatkan kita untuk tidak mengikuti kata-kata setan. Dia menggunakan akar kata Zakaa dan turunannya dalam satu ayat yang sama yang membingungkan karena distorsi yang dilakukan oleh orang orang Arab dan ulama:

(Ya-aiyuhal-lazi na-amanu, la-tat-tabi’u hu-dhu-wati sayi-thon-ni waman yat-tabi’ khu-dhu-watil syait-thon-ni. Fa-in-nahu ya’muru bil-fah-sha-ie wal-munkari walau-la fadh-lul-lah alai-kum wa-rah-matu-hu ma-Zakaa min-kum min ahadin abadan. Wala-kin-nal-lah Yu-zak-ki man-yasha wal-lah-hu-sami’ul alim).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah syaitan, maka dia mendukung perbuatan jahat dan keji. Bila bukan karena rahmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan kemurahan-Nya, niscaya tak seorang pun dari kamu yang Suci (Zakaa) . Dan hanya Tuhanlah yang membersihkan (yu-Zak-ki) siapapun yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Surat 24 Ayat 21).

Daftar istilah ayat-ayat di atas adalah:
Ma Tak seorangpun
Zakaa Suci
Min-kum Di antara kamu
Min-ahadin Di antara siapapun
Abadan Selamanya
Wala-kin Dan ini
Nal-Lah Kecuali Tuhan
Yu-zak-ki Menyucikan
Man-yasha’u Siapapun yang dikehendaki-Nya.

Kata Zaka tidak memiliki makna lain selain Suci. Dalam ayat yang khusus ini dikatakan agar kita berhati-hati terhadap perbuatan keji, namun orang-orang termasuk para ulama tidak memperhatikannya. Orang-orang Arab telah ditetapkan sebagai orang kafir yang setia dan orang-orang Munafik, namun para ulama tetap saja mempercayai mereka. Orang Arab mengatakan kepada para ulama bahwa tidak menjadi masalah jika makna zakat diubah secara radikal. Ini adalah distrosi.

Marilah kita meneliti ayat sangat pendek lainnya dalam Al Qur’an dimana kita bisa dengan mudah menangkap makna Zakaa. Tak seorangpun menerjemahkan kata Ta-zak-ka sebagai membayar alms atau iuran keagamaan dalam ayat ini. Dalam Surat 79 Ayat 17 Tuhan berbicara kepada Musa, “Pergilah kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas dan katakan padanya’: ‘hal-laka-ilaa-ta-zak-ka’.

Bila diterjemahkan kata per kata, maka transkrip itu berbunyi:
Hal-laka Akankah kamu
Ilaa Tidak
Ta-zak-ka Menyucikan dirimu sendiri.

Musa tidak pergi menemui Firaun dan mengatakan, ‘Tidakkah kamu akan membayar iuran keagamaanmu? Di sini orang-orang Arab sendiri tidak dapat menghindar namun mengakui bahwa kata itu tidak memiliki makna lain kecuali ‘Tidakkah kamu akan menyucikan dirimu sendiri’.

Oleh karena itu kata Zakaa, Yu-zak-ki dan Ta-zak-ka merepresentasikan Suci, Menyucikan dan Kesucian. Tidak ada iuran keagamaan, pajak, atau alm yang harus dibayarkan kepada para pemuka agama. Bahkan keberadaan seluruh lembaga kependetaan di dunia harus dimusnahkan.

Contoh lain mengenai penggunaan definitif kata ini muncul ketika seorang malaikat berbicara kepada Maryam tentang putranya. Dan kemudian Isa menggunakan turunan kata yang sama yang membahas hal yang sama.

Disini kita lihat keanehan orang-orang Arab meskipun kata yang sama muncul dua kali dalam ayat ini, mereka mengambil contoh Zaki yang pertama yang diartikan sebagai suci, yang memang benar, namun bersikeras bahwa yang ke dua diartikan sebagai iuran keagamaan. Ketika Malaikat mengunjungi Maryam dia berkata:

(Khul-in-namaa rosulu-rob-bika li-ahba laka’ghul-man zaki-ya).
Dia berkata, ‘Sesungguhnya saya adalah utusan Tuhanmu yang akan memberikan kepadamu seorang anak yang suci’ (Surat 19 Ayat 19).

Zaki dan Zakaa keduanya bermakna suci. Malaikat berkata pada Maryam bahwa dia akan mengandung seorang anak yang suci. Ketika Isa anaknya lahir dia berbicara kepada ibunya. Mereka kemudian bertemu orang-orang yang menuduh Maryam telah melakukan hal-hal yang buruk. Isa si bayi membela ibunya dengan mengatakan:

(Wa-ja’alani mubarokan ai-nama kuntu wa-ausorni bis-solaa-ti wa-zakaa-ti ma-doomtu hai-ya).
Dan Dia memberikan rahmat kepadaku kemanapun aku pergi, dan Dia menyuruhku untuk menjunjung tinggi komitmen dan menyucikannya selama hidupku (Surat 19 Ayat 31).

Jelas bahwa kebanyakan penerjemah yang setuju dengan orang-orang Arab tidak berfikir dengan baik sebelum mereka menerjemahkan ayat 19, ayat 31. Terjemahan mereka pada Surat 19 Ayat 31 berbunyi:

‘Dia mewajibkan atas saya untuk melakukan sembahyang ritual dan membayar zakat selama saya hidup’.

Kesalahan terjemahan ini menjabarkan secara jelas kesalahan itu sendiri.

Dalam Surat 19 Ayat 19 ketika malaikat menggunakan kata Zaki orang-orang Arab mengatakan kata itu berarti Suci. Namun, Isa putra Maryam menggunakan kata Zakaa dalam Ayat 31 yang diakui memiliki arti membayar iuran keagamaan.

ZAKAT TIDAK MELIBATKAN UANG

Uang TIDAK DAPAT tidak bisa disatukan dengan kata Zakaa dalam Al Qur’an. Merupakan kewajiban bagi setiap orang untuk menyumbangkan uangnya atau melakukan Amal. Tuhan tidak menyebutnya sebagai Zakat. Untuk Amal atau Sumbangan Tuhan memberikan kata yang berbeda seperti Infak dan Sodaqor dan turunan yang menyertai dua kata tersebut.

Mungkin Anda bertanya, lantas apa masalahnya. Persoalannya adalah orang-orang Arab telah menciptakan produk kewajiban agama yang baru atas orang-orang tanpa dasar atau nilai. Pungutan pajak tanpa mengambil keuntungan adalah satu-satunya istilah yang bisa saya pikirkan terhadap istilah yang mendekatinya. Tarif zakat kemudian diatur sebesar 2,5% dari kekayaan seseorang. Ini bukan amal. Ini hanyalah jumlah yang sedikit, yang bahkan tidak cukup untuk memberi makan sekumpulan merpati di taman.

Amal dan sedekah (Infak dan Sodaqoh) diwajibkan bagi semua manusia sesuai dengan kemampuan mereka tanpa adanya kewajiban yang diberikan tanpa penjelasan oleh ulama. Kebaikan yang dilakukan secara terpaksa itu kini telah dilembagakan. Apakah cara yang lebih baik untuk memastikan pendanaan dengan membuatnya menjadi suatu kewajiban, selama hidup kita?

Hasilnya adalah para ulama mendapat bagian dari 2,5% iuran agama yang mereka lembagakan. Para Muslim kemudian dibuat bingung dengan konsep amal dan sumbangan. Contoh jelas dalam Al Qur’an bahwa Zakat BUKAN berarti membayar iuran keagamaan yang sebagaimana dijelaskan di bawah.

Dalam ayat berikut orang-orang beriman diperintahkan untuk menyumbangkan (So-da-qoh) uang kepada orang-orang miskin sebelum mereka menjelaskannya kepada rasul. Jika mereka tidak memiliki uang, maka mereka hanya diperintahkan untuk menjunjung tinggi komitmen dan menjaga kesuciannya (aqee-mus-solaa-ta-wa-atuz-zakka) . Ayat ini panjang, hanya sebagian yang dikutip, namun jangan ragu untuk menguji kebenarannya dengan teks bahasa Arab.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak berdiskusi dengan rasul, hendaklah kamu terlebih dahulu memberikan sumbangan (So-da-qoh). Ini lebih baik bagimu dan lebih bersih, tetapi jika kamu tidak mampu, tentu Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang. Apakah kamu takut tidak mampu memberikan sumbangan apapun (So-da-qoh) sebelum kamu mengadakan pembicaraan dengan rasul? Allah telah mengampunimu dan tegakkanlah komitmen (Sol-laa) serta jagalah kemurniannya (Zakaa-ta) , dan patuhilah Tuhan dan rasul-Nya dan Tuhan mengetahui apa saja yang kamu perbuat’ (Surat 58 Ayat 12-13).

Jika kamu berbicara dengan rasul SUMBANGKAN sejumlah uang kepada orang miskin sebelum pembicaraan itu berlangsung. Namun, jika kamu tidak mempunyai uang untuk di so-da-qoh kan, maka Tuhan akan menerima tobat kita. Oleh karena itu, tegakkan komitmen (sol-laa) dan jagalah kesuciannya (Zakaa).

Jelaslah di sini bahwa sumbangan berarti so-da-qoh, sementara Zakaa berarti suci.

MAKNA KATA ZAKAA

Zakaa dan kata turunannya berarti SUCI atau MENYUCIKAN.

Orang-orang Arab tidak merasa melakukan pengurangan ketika mereka mengubah makna kata sederhana seperti Zakaa. Mereka mungkin hendak bersekongkol menentang Penguasa alam semesta, namun Tuhan adalah perencana terbaik. Sebagai contoh, mereka harus mengakui bahwa ada banyak ayat dalam Al Qur’an yang tidak bisa mereka ubah, seperti:

Qod-af-laha man-Zak-ka-ha.
Sesungguhnya beruntunglah mereka yang menyucikannya (Zak-ka-ha) (Surat 91 Ayat 9).

Kitab suci diturunkan kepada beragam nabi untuk Menyucikan orang-orang di sekitar mereka dan mereka patuh kepadanya. Kata Yu-zak-ki yang berarti menyucikan muncul di berbagai ayat bersama dengan kata kitab suci dan kearifan. Beberapa contoh diantaranya adalah:

Rob-bana wab-‘ash fihim ro-sulan minhum yatlu a’laihim a-yaatika wa yu’alimu humul kitaba wal hikmata wa-yu-ZAK-KI-HEM in-naka anta a’ziziul hakim.
Ya Tuhan kami, angkatlah di antara mereka seorang rasul dari kalangan mereka yang akan membacakan atas mereka wahyu-Mu dan mengajarkan kepada mereka kitab suci dan hikmah dan Menyucikan MEREKA (Yu-Zak-ki-hem) . Sesungguhnya, Engkaulah Yang Maha Besar lagi Bijaksana (Surat 2 Ayat 129).

Kama ar-salna fi-kum rosulan minkum yatlu a’laikum ayaatina wayu-Zak-ki-kum wa’alimukumul kitab wal-hikmata wa-yu’alimukum malam takunu ta’lamun.
Kami telah mengutus seorang rasul dari kalanganmu untuk membacakan kepadamu ayat-ayat Kami dan Menyucikan KAMU (Zak-ki-kum), serta mengajarkan kepadamu kitab suci dan hikmah, serta mengajarkan kepadamu apa yang tidak pernah kamu ketahui (Surat 2 Ayat 151).

Kata Zak-ki-kum dalam Surat 2 Ayat 151 berarti menyucikan kamu.

Pada ayat berikutnya kita akan melihat turunan kata lain dari kata ta-Zak-kaa dan ya-ta-zak-ka, yang berarti Menyucikan. Orang-orang Arab tidak mengakui bahwa kata-kata Zak-ka dalam ayat ini merujuk pada iuran keagamaan meskipun kata Sol-laa-ta muncul tepat setelah kata itu.

Wala taziru wazirotan wizror ukror wa-ain tad’u mish-qor-latun ilaa himliha laa-yujmal minha shai’ain walau kaana za-qurbaa. In-nama tunziruk-lazi yak-shauna rob bahum bil-ghoibi wa-aqormus SOLAA-TA waman ta-ZAK-KA. Fa-inama ya-ta-ZAK-KA linafsihi wa-ilal-lah hil masir.
Dan tidak ada jiwa yang menanggung beban dosa jiwa yang lain, dan jika jiwa yang berdosa itu memohon kepada yang lain, maka jiwa itu tidak akan memikulnya walaupun mereka itu saudara dekat. Sesungguhnya, kamu mengingatkan mereka yang takut kepada Tuhan dan mereka menjunjung tinggi komitmen dan dia yang disucikan (Ta-Zak-ka), sesungguhnya menyucikan (ya-ta-Zak-ka) dirinya sendiri, dan kepada Tuhanlah takdirmu berada (Surat 35 Ayat 18).

Di sinilah kecerobohan orang-orang Arab. Dalam ayat ini bersama dengan banyak ayat yang lainnya mereka mengatakan bahwa benar arti kata Zakaa adalah suci atau menyucikan.

Dalam SEMUA ayat-ayat LAIN kapanpun kata zakaa muncul di samping kata solaa-ta orang-orang Arab yang kotor berpendapat bahwa arti Zakaa adalah iuran keagamaan. Ini adalah distorsi sederhana yang dilakukan oleh orang-orang Arab dan para penerjemahnya, yang dapat dipaparkan oleh bacaan kontekstual sederhana dari bahasa Arab dalam Al Qur’an.

Kata Zakaa adalah perintah umum kepada Bani Israil, mereka juga menerima perintah yang sama seperti nabi terakhir, yaitu:

Wa-aqimus SOLAA-TA wa-atu ZAKAA-TA warr-ka’u ma’al ror-ki’in.
Dan tegakkanlah komitmenmu serta jagalah kesuciannya serta bersikaplah baik kepada mereka yang bersikap baik (Surat 2 Ayat 43).

Pernyataan ‘Menjunjung tinggi komitmen dan menjaga kesuciannya’ adalah yang utama dalam Al Qur’an untuk mengingatkan orang-orang yang taat akan nilai-nilai mematuhi peraturan-peraturan Tuhan. Inti dari perintah itu adalah untuk ‘menjaga semua kesucian komitmenmu’ saat mematuhi Cara Hidup.











faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:29 pm

BAGIAN LIMA

AGAMA ARAB

Tidak ada catatan sejarah yang ditulis oleh orang-orang Arab tentang bangsa mereka sebelum diturunkannya Al Qur’an. Akan tetapi, Al Qur’an mengatakan rasul dikirim kepada suatu bangsa dimana nenek moyangnya tidak mengetahui tentang sistem Tuhan. Orang-orang di sekitar nabi terakhir adalah kafir dan betul-betul tersesat (Surat 62 Ayat 2). Dalam Surat 53 Ayat 19-22 Tuhan bertanya kepada orang-orang Arab tentang tiga patung, yaitu Manat, Uzza dan Lata yang memiliki kemiripan dengan patung batu. Dalam konteks dokumen sejarah saat ini yang dicatat oleh para sejarawan terdahulu kita menemukan beberapa landasan klaim mereka bahwa orang-orang Arab berabad-abad yang lalu umumnya dikenal sebagai penganut banyak kepercayaan sebelum Muhammad dikirim kepada mereka untuk menyampaikan pesan Al-Qur’an.

Dari sekian banyak dewa-dewa orang Arab, benda yang dianggap paling suci adalah batu, baik itu batu yang muncul ke permukaan atau bongkahan batu besar, seringkali berupa batu padat dan keras berwarna hitam dan berbentuk bujur sangkar atau yang tidak beraturan tanpa adanya detail pahatan yang bagus. Batu semacam itu dianggap sebagai tempat tinggal Tuhan. Suku-suku Arab yang suka berpindah-pindah menyebut dewa-dewa ini Hagar atau ‘Batu’. Seringkali terdapat sumur atau wadah berisi air untuk membersihkan, dan pohon-pohon keramat dimana digantungkan persembahan untuk para tamu atau menarik pengunjung atau tanda kemenangan dalam perang.

Kuil-kuil Arab yang menggambarkan dewa-dewa terkadang berdiri di lapangan terbuka atau dilindungi di dalam kubah, lubang yang melengkung. Lubang semacam itu mungkin mudah dibawa; tempat perlindungan yang mudah dibawa digambarkan secara grafis pada relief Palmyrene. Jangan menyamakan qubbah dengan kata ka’aba. Kata ka’aba yang berarti mata kaki diubah menjadi bangunan dinding berbentuk kubus. Rumah kosong persegi empat yang kelihatan aneh ini mungkin dibangun dengan bentuk tenda dan digunakan sebagai pelindung batu suci Arab berwarna hitam.

Perayaan publik yang utama dari suku-suku nomaden adalah haji tahunan, dimana suku-suku yang memiliki ikatan umum penyembahan dewa yang sama yang dilakukan pada tempat ibadah khusus akan berkumpul di sana. Pola prosesi upacara di sekitar berhala batu adalah umum dan pola ini masih terlihat dalam tradisi Arab menunaikan ibadah haji ke Mekah yang masih bertahan.

Tidak seperti kitab-kitab suci lain, Al Qur’an tidak menjelaskan secara detail kehidupan pribadi dari orang yang menyampaikan pesan karena kitab itu menekankan pentingnya pesan ketimbang pembawa pesan tersebut, namun orang-orang Arab menerapkan hal yang berlawanan.

Pada kenyataannya, mereka tidak memiliki tradisi sejarah atau biografi dan informasi mengenai nenek moyang dan kehidupan rasul terdahulu, kecuali mereka menyatukannya berdasarkan berbagai kisah rekaan dan sumber dari suku-suku. Informasi ini tidak disusun secara sistematis, namun dibuat untuk menyindir penipu ini dan perilakunya yang aneh yang menginspirasi para pengikutnya untuk bersikap fanatik dan tidak memiliki toleransi terhadap orang-orang yang menentang keyakinan tersebut. Informasi yang salah tentang dirinya disampaikan secara oral lebih dari seabad sebelum dituangkan dalam bentuk tulisan. Tak satupun dari ahli biografi yang dikenal memiliki hubungan pribadi dengan nabi terakhir dan mereka masing-masing akan menulis, ‘Menurut dia dan dia … yang mendengarnya dari dia dan dia … yang merupakan keponakan atau paman dari dia dan dia yang mendengar dia dan dia yang mengatakan bahwa rasul Allah mengatakan … tersebut dan tersebut dan tersebut….

Meskipun tidak pasti, namun merupakan fakta bahwa apapun yang dinyatakan oleh penyusun informasi itu bahwa ia telah mendengar apa yang dikatakan atau dilakukan nabi secara pribadi semuanya diterima dari orang-orang yang secara jujur menyatakan telah menerimanya dari sumber-sumber terdahulu. Sekitar dua ratus tahun setelah kematian nabi, seorang penyusun yang kurang waras tak henti-hentinya bepergian dari kota ke kota untuk menanyakan tentang perilaku pribadi nabi ketimbang pesan yang disampaikannya. Tanggal dan detail kehidupan masa muda nabi dan keyakinan pribadinya tetap tidak diketahui.

Orang-orang Arab tidak mengetahui secara jelas tentang ayah nabi dan mereka mengatakan namanya adalah Abdullah atau secara harfiah maknanya adalah hamba Tuhan. Pada saat itu dia bukan tokoh yang penting, dan tak seorangpun menganggap penting apa yang dikatakan atau dilakukannya. Bahkan tanggal turunnya wahyu pertama tidaklah pasti. Semua tanggal yang disebutkan untuk menandai kronologinya adalah hal yang menjadi perdebatan, dan jumlahnya cukup banyak dan bertentangan dengan apa yang telah terjadi pada banyak tahapan penting perbuatannya termasuk penyebaran wahyu dan bahkan peristiwa kematiannya. Banyak peristiwa yang dicatat berasal dari rumor temurun dan tradisi yang tak dapat dipercaya dan mereka terkadang secara jujur mengakui keraguan itu. Para penulis seringkali akan berkata, “Tuhan mengetahui yang terbaik apakah ini benar atau salah”.

Apa yang akhirnya dicatat secara tertulis berdasarkan bahan yang diperoleh dari kesaksian mulut ke mulut adalah serangkaian pilihan yang dibuat atas kebijaksanaan empat pemuka agama utama yang memiliki cara berpikir yang sama. Bagian-bagian yang relevan dengan perilaku mereka pada akhirnya diterima atau ditolak oleh cara berpikir yang lain, yang mereka anggap sesuai. Masing-masing pemuka agama berusaha untuk lebih baik ketimbang pendahulunya dan menggantinya dengan otoritas standar.

CERITA ORANG-ORANG ARAB TENTANG KA’ABA SAAT INI

Mungkin, untuk mengembangkan banyak asosiasi kekafiran mereka, orang-orang Arab telah menjadikan rumah batu persegi empat yang mereka sebut ka’aba sebagai sejarah mereka sendiri. Al Qur’an tidak menyebutkan apapun tentang ka’aba kecuali tentang pencucian pergelangan kaki dalam Surat 5 Ayat 6. Kata ini juga digunakan untuk merujuk pada pergelangan kaki binatang untuk menentukan kematangan mereka dalam Surat 5 Ayat 95 dan disebutkan lagi dalam Surat 5 Ayat 97 yang berbunyi hukum Tuhanlah yang menandai sanksi-sanksi dalam sistem itu. Kata ‘ka’abata’ berarti ‘pergelangan kaki’ (Harap baca Bagian 10).

Menurut tradisi mereka ka’aba dibangun oleh Adam, dihancurkan oleh banjir yang terjadi pada masa nabi Nuh, dan dibangun kembali oleh Ibrahim dan anaknya Ismail. Orang-orang Arab mengklaim keterkaitan Ibrahim dengan rumah batu di Mekah dimulai dari periode sebelum Qur’an hingga rumah batu hitam yang menjadi pusat penyembahan bagi suku-suku Arab terdahulu yang mencitrakan dewa-dewa pelindung mereka dan meletakkannya di sekitar kuil. Menurut kisah mereka, tempat itu tetap dijadikan kuil untuk semua dewa hingga Muhammad menghancurkan semua benda kecuali batu hitam.

Kuil itu tidak hanya terkena banjir, karena penggunaan lampu dalam tempat pemujaan, namun juga terbakar. Dalam riwayatnya yang panjang batu itu dirusak dan dihancurkan oleh banjir dan api berkali-kali dan seringkali harus dibuatkan fondasinya. Kuil itu juga banyak mengalami perubahan dalam bentuk maupun ukurannya yang dilakukan berabad-abad sebelum dan setelah zaman Muhammad. Semua itu tidak disebutkan dalam Al Qur’an.

Karena Al Qur’an mengkritik semua jenis ritual fisik dan penyembahan, gagasan rumah Tuhan atau pemeliharaan batu hitam di Mekah terbukti merupakan buatan orang-orang Arab. Perbandingan yang jelas terlihat antara ibadah haji yang dilakukan saat ini di bangunan batu persegi empat dengan asalnya dari Agama Hindu yang lebih tua. Agama Hindu telah menyebar ke berbagai negara dan menyeberangi benua. Pengaruhnya dapat ditemukan di Bali di Indonesia dan tanah Arab di depan garis demarkasi adalah tetangga terdekatnya. Ahli Sejarah P.N Oak dalam bukunya ‘Apakah Ka’aba awalnya merupakan Kuil Hindu’ menggambarkan kesamaan antara Agama Arab dan Hindu yang bisa ditemukan di http://www.hinduism.co.za/kaabaa.htm. Di antara ritual Agama Hindu yang dilembagakan dalam Agama Arab, dia mengatakan:

1. Saat para jemaah menuju Mekkah ia diminta untuk mencukur kepala dan jenggot dan mengenakan pakaian suci khusus yang terdiri dari dua helai kain putih tanpa jahitan. Satu helai dikenakan disekitar pinggang dan yang lainnya disampirkan ke bahu. Kedua ritual ini merupakan sisa praktek dari Vedic kuno yang memasuki kuil Hindu dalam keadaan bersih dengan mengenakan kain putih suci tanpa jahitan.
2. Tempat penyembahan utama di Mekah, yang rumah-rumahnya berlambang Siwa, dikenal sebagai Ka’aba. Tempat itu diselubungi dengan kain panjang hitam. Tradisi itu juga berasal dari zaman ketika pencegahan terjadinya kembali peristiwa itu dirasa perlu dengan cara menutupinya.
3. Di India bulan sabit selalu dibuat menyilang di dahi simbol Siwa. Karena simbol itu diasosiasikan dengan simbol Siwa di Ka’aba, maka simbol itu disertakan dalam bendera Islam.
4. Tradisi Hindu yang lain yang diasosiasikan dengan Ka’aba adalah Sungai Gangga yang keramat (air suci dari sungai Gangga). Menurut tradisi Hindu Gangga juga tidak dapat dipisahkan dari simbol Siwa yaitu bentuk bulan sabit. Dimanapun ada simbol Siwa, Gangga harus hadir di sana. Memang benar bahwa asosiasi air suci tersebut muncul di dekat Ka’aba. Airnya dianggap suci karena air itu secara tradisional dianggap sebagai Gangga sejak sebelum masa pra Islam (air Zam-Zam).
5. Orang Muslim yang menunaikan ibadah haji mengunjungi ka’aba dan mengelilinginya sebanyak tujuh kali. Di masjid lain aktifitas berkeliling ini tidak ada. Umat Hindu secara tetap melaksanakan ritual mengelilingi dewa-dewa mereka. Namun ini bukan merupakan bukti bahwa tempat penyembahan Ka’aba merupakan kuil Shiwa India pada zaman pra Islam dimana umat Hindu tradisi berkeliling tersebut tetap dipatuhi.
6. Membaca Namaz lima kali sehari berasal dari perintah Vedik Panchamahayagna (penyembahan lima kali sehari-Panch-Maha-Yagna) yang merupakan bagian dari ritual harian Vedic yang diperintahkan kepada semua individu.
7. Umat Muslim diwajibkan untuk membersihkan lima bagian tubuh sebelum memulai sembahyang. Ini berasal dari perintah Vedic ‘Shareer Sydhyartham Panchanga Nyasah’.
8. Kebiasaan orang Islam mengamati munculnya bulan sebelum menentukan perayaan tertentu berasal dari tradisi Hindu berbuka puasa pada Sankranti dan Vinayaki Chaturthi setelah melihat kemunculan bulan.

Menurut Al Qur’an, Muhammad mengutuk semua bentuk penyembahan berhala. Menjalankan ibadah ritual di sekitar kuil atau mengabdikan diri pada setiap bentuk atau batu tidak pernah menjadi bagian dari Islam yang disebarkan olehnya. Entah bagaimana orang-orang Arab menuduh nabi terakhir sebagai rasul yang bodoh dengan mencium batu hitam. Orang-orang Arab percaya bahwa manusia bisa berkomunikasi dengan batu hitam itu. Mereka mengatakan Khalifah Umar berbisik kepada batu hitam dan mengatakan, “Saya tahu kamu tidak ada artinya, kecuali sebuah batu yang tidak dapat menyakiti atau pun membantu …. Jika saya tidak melihat rasul Allah menciummu, saya tidak akan pernah menciummu’ untuk merujukkan bahwa nabi terakhir juga menyembah batu hitam itu. Ini adalah salah satu dari berbagai cara orang-orang Arab mengarang cerita tentang Muhammad.

Cara Hidup yang disampaikan oleh Ibrahim seperti yang diajarkan oleh nabi terakhir adalah untuk memanggil manusia agar percaya pada SATU Tuhan, hari kiamat, dan bekerja dengan baik sebagai hal yang penting. Muhammad datang untuk mengubah elemen-elemen penyembahan batu dan berhala yang dihormati saat itu. Dia tidak melemahkan dasar-dasar keimanan orang Arab asli dan tidak melakukan kompromi. Dia adalah rasul pertama yang memperingatkan bangsa Arab yang leluhurnya mengabdi pada berhala batu. Mereka tidak tahu sama sekali tentang komitmen monotheisme sesuai dengan sanksi-sanksi dalam sistem Tuhan yang dimulai dari Ibrahim dan Ismail. Meskipun Al Qur’an tidak menggambarkan secara detail penyembahan berhala yang dilakukan oleh orang-orang Arab, namun kitab itu hanya mengungkapkan tentang bangsa Arab yang tidak tahu yang mengikuti tradisi leluhurnya pada waktu itu.

Wahyu yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, untuk memperingatkan kaum yang para leluhurnya tidak pernah diperingatkan sebelumnya dan mereka tidak menyadarinya. Sesungguhnya benar perkataan (haq-qul-khau-lu) bahwa kebanyakan dari mereka tidak akan beriman (Surat 36 Ayat 4-6).

Dalam istilah yang pasti ayat ini merujukkan bahwa komunitas Arab di sekitar nabi terakhir adalah masyarakat penyembah berhala dan mereka hanya mengikuti agama nenek moyang mereka. Dikatakan pula bahwa kebanyakan dari mereka (orang-orang Arab) tidak akan pernah percaya kepada Al Qu’ran setelah kitab tersebut diturunkan kepada rasul-Nya. Pernyataan mengejutkan tersebut tidak bertentangan dengan pernyataan sebelumnya dalam Surat 9 Ayat 97 bahwa orang-orang Arab sangatlah setia dalam kemusyrikan dan kemunafikan mereka.

Kehidupan nabi terakhir menurut kitab tersebut merujukkan bahwa orang-orang Arab segera menolaknya setelah dia membacakan Al Qur’an kepada mereka. Orang-orang Arab menolak untuk menerima Al Qur’an; mereka juga mengatakan bahwa Al Qur’an adalah kebohongan yang diciptakan. Bahkan dia dituduh mencoba untuk mengalihkan mereka dari berhala yang dilayani oleh para leluhur mereka.

Saat wahyu-wahyu kami dibacakan kepada mereka, mereka berkata ‘Orang itu hanya ingin mengalihkanmu dari apa yang selama ini dilayani oleh para leluhur kita. Mereka juga mengatakan, ‘Ini hanyalah kebohongan yang sengaja dibuat (Surat 34 Ayat 43).

Hari ini kita melihat orang-orang Arab membual, memuji, menghargai dan menghormati orang yang sama yang pernah mereka hina pada saat dia memanggil mereka untuk menghancurkan berhala-berhala batu nenek moyang mereka. Bertentangan dengan keyakinan mereka yang mengidolakan rasul mereka, nabi terakhir bukanlah orang yang populer di antara orang-orang Arab. Orang-orang Arab memusuhinya dan mereka tidak pernah mengakuinya sebagai rasul Allah; mereka mencibir orang itu dan mereka menindas serta mengusirnya dari rumahnya. Orang yang sama yang diagungkan hari ini dipaksa untuk mengungsi ke gua untuk menghindari ancaman kematian. Inilah riwayat sejati tentang kehidupan nabi terakhir. Al Qur’an tidak pernah menyebutkan apapun tentang cerita orang Arab yang terkenal terkait perpindahannya ke sebuah tempat yang bernama Madinah. Madinah hanyalah sebuah ‘kota’ dan kata yang sama yang digunakan untuk merujuk kota di Mesir dimana nabi Musa tinggal. Di antara orang di sekitarnya hanya ada seorang yang mempercayainya.

Jika kamu tidak menolongnya, Allah yang akan menolongnya ketika orang-orang musyrik itu mengusirnya. Dia adalah salah satu dari dua orang yang ada di dalam gua itu ketika dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu khawatir, Allah bersama kita’ (Surat 9 Ayat 40).

Dari bacaan itu jelas bahwa orang-orang Arab tidak menolongnya. Bahkan selama masa perdamaian para pengikutnya menjadi pengkhianat dengan berpura-pura patuh, tetapi kemudian melawannya untuk mengubah apa yang sebenarnya dikatakan kepada mereka. Menurut Al Qur’an orang-orang Arab sudah merencanakan konspirasi ketika dia masih hidup untuk kembali pada agama leluhur mereka.

Mereka mengatakan patuh. Tak lama setelah mereka meninggalkan kelompok, secara diam-diam mereka menjelaskan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang kamu sampaikan kepada mereka. Tuhan mencatat konspirasi mereka. Oleh karena itu tinggalkanlah mereka dan percayalah kepada Allah. Hanya Allah yang patut dipercaya (Surat 4 Ayat 81).

Setelah kematian nabi terakhir, orang-orang Arab penyembah berhala tidak memeluk Islam yang disampaikan olehnya; sebaliknya batu hitam itu dinyatakan kembali sebagai pusat penyembahan. Mereka menarik diri dari Islam yang sejati, mengabaikan Al Qur’an dan kemudian menghidupkan kembali keyakinan nenek moyang mereka dengan fokus pada batu berhala dan secara licik memberikan Muhammad tempat utama dalam agama nenek moyang mereka. Muhammad menjadi korban keadaan setelah Ibrahim.

Prinsip-prinsip dasar yang melandasi Agama Arab dikenal sebagai tradisi (sunah), istilah yang umumnya digunakan oleh orang-orang Arab primitif untuk merujukkan penggunaan atau pola perilaku silsilah yang dibentuk oleh para nenek moyang mereka. Mereka juga mengenalkan kesepakatan (ijma) dari perkumpulan suku sehingga mewujudkan keyakinan dan praktek di seluruh masyarakat. Informasi yang menyatukan prinsip dan praktek ini sekarang secara salah dianggap disampaikan oleh nabi terakhir dan mengklaim bahwa mereka terinspirasi olehnya dan diturunkan dari generasi ke generasi serta menyebutnya sebagai hadis nabi. Menyebarnya sikap tidak toleransi, fanatisme, terorisme, dan sikap ekstrim kini ditujukan kepada pria yang tidak bersalah ini. Mungkin orang-orang Arab itu memiliki jawaban atas pertanyaan yang dibacakan oleh Muhammad dari Al Qur’an tentang hadis itu:

Inilah ayat-ayat Tuhan yang kami bacakan kepadamu dengan kebenaran; adakah hadis lain selain dari ayat-ayat Allah yang mereka yakini? Celakalah bagi setiap pencipta, berdosa. Dia mendengar ayat-ayat Tuhan yang dibacakan kepadanya, dan kemudian dengan sombong mempertahankan caranya sendiri, seolah dia tidak pernah mendengarnya. Berjanjilah kepadanya untuk memberikan azab yang pedih (Surat 45 Ayat 6-8).

Seperti semua rasul terdahulu, tugas nabi terakhir adalah menyampaikan pesan Tuhan. Tugasnya hanyalah menyampaikan pesan Allah, berkomitmen pada dirinya untuk melaksanakannya dan menjalani kehidupannya seperti orang lain. Tugas-tugasnya di antaranya adalah untuk mengingatkan orang-orang, memanggilnya menghadap Tuhan dan kemudian menghadapi tantangan hidup dan mematuhi apa yang telah diperintahkan Tuhan yang telah diturunkan kepadanya sebagaimana tertera dalam Al Qur’an. Dia terlebih dahulu telah diperingatkan dengan keras untuk tidak mencampuradukkan dengan pesan atau pendapat pribadi yang mengatasnamakan Tuhan sejauh yang berhubungan dengan wahyu itu.

Bila dia pernah melontarkan ucapan yang mengada-ada dan mengarahkannya kepada kami, maka kami akan memegang tangan kanannya dan memotong urat nadinya. Tak seorangpun dari kamu yang bisa melindunginya (Surat 69 Ayat 44-47).

Bertentangan dengan keyakinan umum, nabi terakhir tidak boleh mengatakan apapun atau memberikan petunjuk tambahan selain Al Qur’an. Namun, orang-orang Arab itu mengklaim bahwa mereka telah mengumpulkan ribuan perkataan nabi yang terdiri atas hukum-hukum berhala dan kebiadaban. Di dalamnya juga mencakup kepatuhan terhadap sembahyang ritual, penyembahan, haji, pengorbanan binatang, melempari dengan batu sampai mati, penyunatan pada laki-laki dan perempuan, perawatan rambut, kumis dan jenggot, membersihkan gigi dan memotong kuku, aturan terhadap orang sakit dan kematian dan pemakaman, menutup kepala wanita dan banyak lagi. Sayangnya, tak satupun dari ajaran-ajaran ini yang berasal dari Al Qur’an.

Tidaklah mengherankan, bahkan orang-orang Arab sekalipun setuju bahwa tidak ada penjelasan detail tentang Sembahyang Ritual, dalam Al Qur’an yang merupakan pilar pertama dari keyakinan mereka. Apakah Tuhan lupa menyebutkannya di dalam Al Qur’an? Entah bagaimana, orang-orang Arab menyuruh kita menerima bahwa kesalahan itu hanya diwahyukan kepada orang-orang Arab saja.

Jika kita melihat perangko dari Inggris, kita akan mendapati bahwa dalam perangko itu tidak tercantum negara yang menerbitkannya. Hanya mencantumkan lambing kerajaan. Pikirkan hal itu. Negara pertama di dunia yang menerbitkan perangko tidak melihat perlunya mengidentifikasi asal usul perangko. Sungguh pekerjaan yang tidak penting.

AGAMA BUKAN DARI TUHAN

Sepanjang sejarah para musuh nabi tidak menghendaki apapun kecuali menipu manusia dengan menciptakan semua ‘Agama’ di seluruh dunia. Al Qur’an menjelaskan keberadaan setan berbentuk manusia dan jin yang merupakan musuh umum yang ingin menciptakan dan membacakan kebohongan untuk menyebarkan kesalahan, guna menyesatkan orang-orang dari petunjuk Tuhan.

Kami telah merujuk musuh para nabi di antara manusia dan jin yang akan menciptakan dan saling membacakan perkataan-perkataan indah untuk menipu manusia. Bila Tuhanmu menghendaki, maka mereka tidak akan mengerjakannya. Kamu harus meninggalkan mereka dan ciptaan mereka (Surat 6 Ayat 112).

Jika kita melihat ke seluruh dunia saat ini, ayat ini sangat berkaitan dengan orang-orang Yahudi, Nasrani dan para pengikut Agama Arab bila menyangkut Taurat dan Al Qur’an. Kebohongan berkembang dalam agama-agama ini yang terselubung dalam pencerahan atau lebih lanjut menjelaskan pesan Tuhan seakan pesan Tuhan begitu membingungkan dan mengandung makna yang tersembunyi. Tidak ada penjelasan tambahan atau pencerahan tambahan pada kitab Tuhan. Jika Tuhan hendak mengungkapkannya, tentunya di dalam Taurat dan Al Qur’an. Sebaliknya, bila tidak disebutkan di dalam kitab suci, seseorang telah menciptakan tradisi baru. Sangatlah tidak bijaksana mempertimbangkan sesuatu yang tidak bersifat ketuhanan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bagi mereka yang beriman kepada Tuhan Al Qur’an adalah sumber pasti di muka bumi setelah Taurat.

Bani Israil berkonspirasi melawan Musa setelah Tuhan menurunkan kitab suci kepadanya. Mereka meninggalkan jalan yang ditetapkan Tuhan dan memilih mengikuti Agama Yahudi. Namun demikian, kaum Yahudi tidak menerima Yesus putra Maryam yang datang kepada mereka untuk menetapkan kembali kitab suci. Mereka berkonspirasi melawannya dan terus memakmurkan agama mereka dan terus mengembangkan agama mereka dan selanjutnya menemukan Agama Kristen bagi mereka bagi yang ingin mengikuti Yesus. Akhirnya, Tuhan menurunkan kitab suci kepada Muhammad. Lagi, musuh-musuhnya mengabaikan jalan yang ditetapkan Tuhan untuk menciptakan Agama Arab. Nampaknya satu-satunya hikmah yang dipetik manusia dari sejarah adalah manusia tidak belajar dari sejarah.

Kini milyaran manusia mengabdikan diri mereka kepada agama. Perintah paling penting dalam setiap agama adalah:
1. Kamu harus menyembah
2. Kamu harus berdoa secara ritual sesuai dengan ajaran para pemuka agama
3. Dan JANGAN-lah lupa membayar para pengurus Agama.

Dalam Cara Hidup yang ditetapkan Tuhan (deen-nil-lah) Dia telah memperingatkan bahwa semua guru-guru agama di seluruh dunia mendukung sistem yang salah dengan menipu para pengikut mereka demi uang:

Hai orang-orang yang beriman, para pemuka agama dan ahli agama sesungguhnya hanya menipumu demi uang mereka dan mereka menyesatkan setiap orang dari jalan Tuhan (Surat 9 Ayat 34).

Ini tidak dapat dihindari merupakan tujuan utama agama di seluruh dunia. Mereka yang menganut suatu agama akan menjadi mangsa fitnah dari para pemuka agama mereka. Peribahasa yang mengatakan ‘orang bodoh dan uangnya segera akan terpisah’; tidak akan pernah sesuai.

Al Qur’an memberikan solusi yang sederhana, namun pesan yang kuat membuat manusia berpikir:

Ikutilah mereka yang tidak memintamu upah apapun[ ], mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk (Surat 36 Ayat 21).


Agama akan musnah dari muka bumi ini pada saat setiap manusia laki-laki dan perempuan percaya apa yang dikatakan Al Qur’an dan berkomitmen pada diri sendiri terhadap saran yang sederhana sebagai Cara Hidup. Yang harus mereka lakukan adalah ‘janganlah ikuti mereka yang meminta upah’ dan belenggu yang mengekang mereka dalam hidup mereka akan langsung dilepaskan. Tak ada yang lebih mudah untuk dilakukan selain dari menghentikan membayar para pemuka agama. Sederhana.

Akan ada saatnya setiap orang menyatakan kebebasan untuk menjalani kehidupan sesuai dengan pilihan mereka. Uang dan waktu akan dimanfaatkan untuk menolong orang tua, tetangga, sanak saudara, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, bersikap rendah hati, berbicara dan memperlakukan orang lain dengan baik. Itulah makna kehidupan. Kedamaian dan keharmonisan akan mulai bersemi di bumi Allah.

HUKUM AGAMA ARAB

Selain menjalankan sembahyang ritual dan praktek penyembahan ritual, orang-orang Arab yang menciptakan agama telah menetapkan hukum agama yang tidak memiliki kesamaan dengan Tuhan dan Rasul-Nya.

Jalan Tuhan memiliki tolok ukur di muka bumi. Al Qur’an. Dia menyebut Kitab-Nya sebagai Norma[ ]. Kitab di antara semua kitab yang ada, Norma adalah standar dimana semua hal terukur. Berdasarkan tolok ukur ini, seseorang dapat membedakan secara pasti baik dan buruk, benar dan salah, suci dan najis, nyata dan khayalan. Setelah memberikan kita pengatur dimana semua hal bisa diukur, diasumsikan setiap manusia akan sering menggunakan standar yang ditetapkan oleh Tuhan. Setan, tentu saja, akan mencoba membuatnya tidak akurat. Dia telah melakukan hal ini dengan mengelabui maksud dan batasan Standar yang sesungguhnya.
Sebagai contoh, Surat 2 Ayat 224-242 (18 Ayat) dengan detail menjelaskan keadilan yang benar dalam hal perkawinan dan perceraian. Hukum itu lebih jauh menjelaskan petunjuk dan metode dalam penyelesaian pertikaian dalam perkawinan. Petunjuk itu sudah dapat menjelaskan dengan sendirinya dan dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Dengan kata lain, Tuhan telah memerintahkan kepada orang-orang-Nya untuk melaksanakan etika perilaku yang tidak melibatkan pemuka agama atau otoritas agama apapun. Oleh karena itu, tidak diperlukan lembaga pembuat peraturan yang baru dan independen, untuk merumuskan hukum agama tentang perkawinan dan perceraian. Hukum tambahan yang diciptakan manusia yang ada yang menambah kata-kata Tuhan sangatlah angkuh. Hukum itu menempatkan Manusia pada landasan yang sama dengan hukum Tuhan.

Bahkan dalam hukum umum, esensi dari hukum itu sangatlah penting. Orang tidak dapat mengadakan aturan sebagai hukum. Itu berarti, kita tidak boleh melanggar batas-batas yang ditetapkan. Sebagai contoh, bila upah minimum untuk seorang pekerja adalah $10 per hari, maka kita bebas membayar kepada dia dengan apapun sepanjang jumlahnya tidak kurang dari jumlah yang ditetapkan.

Konsep ini bukanlah buatan manusia. Setiap orang yang percaya kepada Tuhan dan hari kiamat bebas untuk mematuhi petunjuk Tuhan selama mereka tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh Tuhan. Jika mereka melampaui batas, Tuhan akan mengadili mereka. Jika Dia adalah Hakimnya, maka hal yang sia-sia mendapatkan petunjuk Tuhan yang ditempeli dengan judul hukum Islam, hukum agama atau hukum shariah.

Tujuan dari Al Kitab BUKAN-lah untuk menerapkan hukum agama, tetapi mengganti hukum yang tidak adil. Kitab suci adalah hukum itu sendiri. Hukum itu lengkap dalam bentuk dan fungsinya.

Kami telah mengirimkan rasul-rasul dengan ayat-ayat yang sangat jelas dan Kami menurunkan Kitab-kitab kepada mereka sebagai ukuran (mizan) untuk menyebarkan keadilan diantara manusia (Surat 57 Ayat 25).

Marilah kita memahami konsep lebih jauh dan mempertimbangkan hal-hal berikut:
(a) Legislator dan pembuat hukum dari pemerintah yang beradab (KECUALI para pembuat hukum Agama Arab) akan setuju bahwa setiap laki-laki dan perempuan yang melakukan perzinahan seharusnya tidak dilempari batu sampai mati.
(b) Hamba keadilan yang sama (KECUALI bagi orang-orang Arab dan para pendukungnya) akan setuju bahwa manusia bebas untuk percaya atau tidak percaya pada Tuhan, dan dia setiap saat bebas untuk mengubah keyakinan yang dia sukai dan dia tidak dapat dihukum oleh pemuka agama atau manusia atas keputusannya itu.
(c) Begitupula, para pembuat peraturan (KECUALI bagi orang-orang yang sama yang disebutkan di atas) akan setuju seorang istri yang dicerai seharusnya tidak dihilangkan kebebasannya dan dia harus mendapat bagian yang sama hingga dia mampu menemukan alternatif lain atau perdamaian.

Ini hanyalah beberapa contoh petunjuk yang dibahas dalam Al Qur’an. Dasarnya bukan agama. Dasarnya adalah kehidupan. Dasarnya berakar pada penyediaan rencana Cara Hidup, yang dirancang untuk mengakomodasi keadaan manusia. Adil dan tegas. Semua Nabi mengajarkan kepada kita tentang hal ini.

Bila melihat ke masa lalu, jika para pembuat hukum Arab begitu ingin ‘melegalkan’ hukum Tuhan, mengapa kemudian mereka melegalkan persyaratan-persyaratan untuk aspek-aspek Al Qur’an lainnya yang juga penting, seperti kesopanan, pertimbangan, penghormatan, empati, kesabaran, kerendahan hati, kesabaran dan kemurahan? Tidakkah hukum Tuhan versi Arab sifatnya tampak seperti hukum Tuhan meskipun bersifat tirani? Satu-satunya kesimpulan yang dapat diambil oleh mahasiswa hukum adalah bahwa ‘Hukum Islam’ berasal dari Arab dan tidak ditemukan dalam Al Qur’an, serta jauh dari inspirasi ketuhanan.

Pada saatnya nanti tidaklah mengherankan bila dunia Arab terbenam dalam kebingungan dan kekacauan. Hukum agama dari Agama Arab berbeda dengan Arab Saudi, Mesir, Siria, dan Irak, Iran, Sudan, Ajazair, Oman, Pakistan, Afganistan, Malaysia, Indonesia, dan lain-lain. Bagaimana bisa dikatakan hukum yang diilhami Tuhan begitu beraneka ragam berdasarkan lokasi geografis? Ini berarti bahwa setiap lokasi harus memiliki “tuhan agama’ yang berbeda sebagai pegangan. Ini mengurangi hukum Islam shariah[ ] yang tak lebih dari sekadar komik. Tak satupun dari dua negara Islam memiliki hukum Islam yang sama. Di Malaysia, dua negara bagian yang kecil dipimpin oleh pemuka agama memiliki dua hukum yang berbeda. Jika hal tersebut tidak menyedihkan, pasti menjadi hal yang menggelikan.

Marilah sekarang kita periksa apa yang dikehendaki Tuhan sejak awal sebelum Manusia mulai mencampuri jalan yang harus dikerjakan.



Contoh Satu

Din Tuhan mengatakan:

Ini adalah tugas bagi setiap orang untuk membuat surat wasiat demi kebaikan orang tua dan anak-anak mereka atau keluarga dekat sebelum kematian menjemput setiap orang (Surat 2 Ayat 180-182).

Peraturan yang sederhana ini dipatuhi oleh banyak orang yang memiliki logika. Hukum ini mendorong dilakukannya perencanaan dan pra-meditasi. Hukum ini memecahkan permasalahan sebelum masalah itu muncul. Hukum ini akan mengurangi kesedihan orang-orang yang sedang berduka. Ini hanyalah hukum sederhana.

Orang-orang Arab dan pengadilan mereka menyuruh kita percaya bahwa hal yang dilarang atau diharamkan membuat surat wasiat dalam Agama Arab. Pemuka agama atau penguasa agama akan memutuskan apakah, siapa dan bagaimana kekayaan seseorang yang meninggal harus dibagikan. Dan tentu saja bagian tertentu dari aset tersebut mungkin disisihkan bagi dana agama yang diciptakan.

Contoh Dua

Din Tuhan di dalam Al Qur’an mengatakan:

Siapa saja yang beriman kepada Allah, kemudian dia menjadi kafir, dan kemudian beriman untuk yang kedua kalinya dan kemudian meninggalkan keimanan itu tidak akan diampuni oleh Tuhan (Surat 4 Ayat 137).

Terserah kepada individu bila dia ingin beriman atau tidak beriman kepada Tuhan. Dia sama sekali tidak mendapatkan hukuman di dunia ini. Jika dia menolak beriman untuk yang kedua kalinya, maka Tuhan tidak akan mengampuninya di akhirat kelak. Itu saja.

Surat 4 Ayat 137 melengkapi hukum yang ada dalam Surat 2 Ayat 256 yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia:

Tidak ada kewajiban di dalam din[ ]. Kenyataannya sekarang berbeda dengan kepalsuan. Jadi, mereka yang menolak menyembah berhala dan percaya kepada Tuhan telah menggenggam ikatan kuat yang tak pernah patah. Tuhan Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.

Orang-orang dapat melaksanakan haknya dan bebas untuk menerima atau menolak wahyu Tuhan, namun Dia tidak akan menghukum mereka di dunia ini jika mereka memilih untuk menolak kitab Allah. Surat 17 Ayat 107 mengatakan:

Berimanlah atau tidak perlu beriman.

Orang-orang Arab dengan kebijaksanaannya menyatakan bahwa siapapun yang mencela ‘Agama’ harus dihukum mati.

Contoh Tiga

Din Tuhan dalam Al Qur’an mengatakan:

Tuhan tidak akan membimbing mereka yang tidak menggunakan akal (Surat 10 Ayat 100).

Pada saat tertentu seorang Arab menyatakan:

Mereka yang menggunakan akal sehat akan terbakar dalam Neraka (Sahih Bukhari).

Banyak dari peraturan-peraturan baru ini sangat menentang esensi Jalan Tuhan. Bagaimana bisa sistem tersebut merujukkan kesalahan sedemikian rupa? Seseorang yang menganggap bahwa inti keagamaan dan rasa tidak aman mungkin menjadi dorongan utama bagi gerakan ini. Bagaimanapun, hanya keyakinan yang Maha Tinggi yang bisa memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia untuk memilih. Manusia, pada sisi lain, berupaya untuk melakukan kontrol. Sebaiknya hukum yang menetapkan kontrol. Bahkan hal yang lebih baik bila kontrol tersebut diwujudkan dalam ‘hukum agama’ yang tidak bisa diperdebatkan.

Tuhan mengatakan kepada kita bahwa Sol-laa adalah komitmen melalui perilaku yang benar. Agama Arab mengatakan yang sebaliknya yaitu melakukan sholat lima kali sehari sesuai arah yang ditetapkan di negara mereka … dimana Tuhan tinggal. Tentu saja, harapan untuk berdoa kepada Tuhan harus terlebih dahulu dikonsultasikan dengan penguasa Arab yang menguasai seni ‘prosedur’ doa, tindakan, gerakan dan lain-lain. Demi kepentingan lebih dari lima milyar orang di muka bumi yang tidak tahu apa yang dibicarakan oleh penulis, maka perhatikan ritual-ritual Arab yang dipatuhi hingga kini sebagai berikut.

SHOLAT RITUAL ARAB

Perintah-perintah yang disederhanakan ini memudahkan setiap orang untuk menyelesaikan tarian Agama Arab. Dilahirkan dari keluarga Muslim penulis secara pribadi menjalankan begitu banyak ritual selama hidupnya sebelum memutuskan untuk meninggalkannya beberapa tahun yang lalu. Langkah-langkah ritual itu adalah sebagai berikut:
1. Berkumur-kumurlah, bersihkan hidung, basuh wajah, tangan, dahi, dan telinga, leher, dan kaki Anda dan kemudian berbicara kepada Tuhan dalam bahasa Arab serta mengatakan kepada-Nya bahwa Anda akan melaksanakan sholat ritual untuk-Nya.
2. Temukan sebuah titik dan pastikan Anda menghadap berhala batu di Mekah. Jika Anda berada di Jepang, maka arahnya ke Barat, tetapi bila Anda berada di Eropa maka arahnya adalah Timur.
3. Berdiri tegak dengan tangan melipat di perut. Jika Anda menganut sekte yang berbeda, maka Anda mungkin menempatkan tangan seperti yang telah diajarkan kepada Anda (perbedaan dapat dilihat di berbagai masjid di seluruh dunia).
4. Sebutlah nama Tuhan dengan sebutan ‘Allahu Akbar’[ ]. Kata Akbar berarti Besar. Jadi maknanya Tuhan yang Besar’. (Ironisnya, kata Allah Hu Akbar tidak ditemukan dimanapun dalam Al Qur’an). Kemudian bacalah beberapa ayat bila Anda tidak mengerti apa yang Anda ucapkan itu.


Sholat dimulai dengan membaca serangkaian ucapan yang diformulasikan[ ] oleh orang-orang Arab sebelum mereka melanjutkan dengan tujuh ayat dalam Surat 1. Pemilihan Surat-surat pendek kemudian dibaca sebelum gerakan berikutnya. Orang-orang Arab mengatakan mereka sedang berdoa kepada Tuhan. Saat mereka memilih membaca Surat 112 yang pendek mereka meminta kepada Tuhan dengan ‘mengatakan:

• Katakanlah, Dialah Allah, Yang Maha Esa. Tuhan yang mutlak. Dia tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan. Tiada satupun yang setara dengan Dia.

Ada banyak ayat-ayat dalam Al Qur’an yang dimulai dengan proposisi atau perintah dari Tuhan yang menandai orang pertama merujuk ke orang kedua dengan memerintahkan kepadanya untuk membacakannya kepada orang ketiga. Namun orang-orang Arab mengajarkan kepada para pengikutnya untuk membaca perintah-perintah ini kembali kepada Tuhan. Orang-orang Arab mendorong para pengikutnya untuk membaca salah satu dari Surat 109 yang paling favorit. Dalam sholatnya mereka bercerita kepada Tuhan:

• Katakanlah, Hai orang-orang kafir, saya tidak melayani apa yang kamu layani, saya tidak akan pernah melayani apa yang kamu layani, begitupula kamu tidak pernah melayani apa yang aku layani. Bagimu adalah jalanmu dan bagiku adalah jalanku.

Akan tetapi, jika mereka memilih untuk membaca Surat 108 dalam sholatnya, mereka mengatakan kepada Tuhan:

• Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Sebagai penghargaan, kamu harus menyembah Tuhanmu dan beramallah. Sesungguhnya musuh-musuhmu akan menjadi pecundang.

Jelas, orang-orang non-Arab tidak akan tahu apa yang mereka katakan kepada Tuhan dalam sholat ritual mereka. Bahkan orang-orang Arab itu sendiri mengatakan hal-hal tersebut kepada Tuhan setiap hari! Segera setelah mereka mengatakan sesuatu yang menggelikan itu kepada sang pencipta, mereka mengangkat kedua tangan dan mengucapkan kata ‘Allah-hu-Akbar’ atau ‘Tuhan yang Besar’.
5. Lalu kamu membungkuk selama beberapa detik, sebelum berdiri sesaat dan kemudian sujud, membaca beberapa kata Arab. Membungkuk dan sujud dilakukan beberapa kali dalam setiap sholat tergantung jumlah rakaat yang ditetapkan oleh orang-orang Arab. Mereka membungkuk tujuh belas kali dan sujud sebanyak 34 kali sehari.
6. Terakhir kamu duduk untuk memberi salam kepada Nabi Ibrahim dan Muhammad serta keluarga mereka. Namun tak perlu menunggu jawaban mereka. Kemudian, Anda menyapa ‘dua malaikat yang duduk di kedua bahumu’. Dan di sini Anda juga tidak perlu menunggu jawaban mereka.

Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Musa, Harun, Yesus, atau Muhammad diabaikan dari rangkaian kegiatan klub pribadi ini. Alangkah liciknya.
faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:31 pm

BAGIAN ENAM

TARGET UTAMA ADALAH IBRAHIM

Ibrahim sebagaimana yang kita ketahui diberikan kedudukan yang terhormat dalam sistem monotheistik. Dia mendapatkan keistimewaan menjadi model dalam semua kitab yang diturunkan. Di dalam lembaran-lembaran Al Qur’an dia menjadi contoh yang sempurna bagi mereka yang mencari jalan menuju sistem Tuhan sebuah perjalanan yang akan membawa mereka dalam kehidupan yang damai. Ibrahim memutuskan untuk tetap dalam sistem dan berkomitmen pada dirinya sendiri untuk menjaga kesuciannya dari segala bentuk penyembahan berhala dan ritual. Begitupula, kita memiliki kewajiban untuk melanjutkan membawa obor itu dengan semangat yang sama dan menyambut tantangan itu. Setelah kita menganut sistem itu, kita memiliki tugas untuk memenuhi kewajiban, dan dengan kemurahan Allah, memberikan perdamaian di dunia ini dan di akhirat.

Menurut Al Qur’an, Ibrahim menggunakan kecerdasan dan akal sehatnya ketika menghadapi praktek-praktek dogmatik yang meresap dalam tradisi, betapapun kuatnya tradisi itu mengakar. Dia melihat ayah dan umatnya mengabdikan diri kepada berhala. Ibrahim menolak konsep tersebut karena hal itu tidak masuk akal. Ketika berdiskusi dengan umatnya, dia menggunakan lagi akal sehatnya. Ketika mereka mengancamnya dengan tuhannya, dia berkata:

Bagaimana bisa kalian menyembah apa yang kamu buat. Tuhanlah yang menciptakan kamu dan benda-benda yang kamu jadikan sembahanmu (Surat 37 Ayat 95-96).

Dalam upayanya menentang praktek-praktek tradisional yang telah terbentuk, dia mengetahui bahwa dalam sejarah dirinya menjadi sasaran utama orang-orang Arab. Mereka menuduhnya sebagai manusia pertama yang menyembah berhala batu melalui sholat ritual. Itulah alasannya mengapa orang-orang Arab mengatakan bahwa status Ibrahim atau maqami-ibrohim sama dengan jejak kaki pada balok tembaga yang dikurung berhadapan dengan berhala batu aneh dalam masjid-masjid mereka. Dan kemudian mereka berkata bahwa Ibrahim, orang yang berkomitmen (mu-so-lan) adalah tempat penyembahan. Tampaknya akal sehat bukanlah komoditas yang umum.

Simbol kebodohan khusus ini adalah hasil dari kitab Tuhan yang dikacaukan oleh bangsa yang menurut Tuhan adalah “bangsa yang sangat setia pada kekafiran dan kemunafikan”, (Surat 9 Ayat 97). Begitulah, yang telah tertulis.

RELEVANSI STATUS IBRAHIM

Jadi apa relevansi status Ibrahim dalam konteks ini? Al Qur’an mengatakan kepada kita bahwa Ibrahim secara total berkomitmen untuk MELAYANI Tuhan-nya. Dia adalah panutan bagi umat manusia sebagai seorang monotheis dalam mematuhi Penguasa Alam Semesta. Al Qur’an dengan jelas mengungkapkan ayat-ayat berikut tentang Ibrahim:

Dan siapakah yang lebih baik dari seseorang yang menyerahkan dirinya kepada Allah dengan ikhlas sambil melakukan kebaikan, dan mengikuti prinsip-prinsip Ibrahim dengan tulus. Tuhan telah memilih Ibrahim sebagai teman kesayangan-Nya (Surat 4 Ayat 125).

Sungguh, Ibrahim adalah orang yang sangat setia dalam menyerahkan diri kepada Tuhan dengan tulus, dan dia bukanlah termasuk para penyembah berhala melainkan orang yang mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan-nya. Tuhan telah membimbingnya ke jalan yang lurus. Kami memberikan anugerah berupa kebaikan dalam kehidupannya di dunia dan di akhirat dia akan bersama-sama orang-orang yang lurus (16 Ayat 120-122).

Jadi, siapakah yang mengabaikan prinsip nabi Ibrahim, kecuali mereka yang membodohi diri sendiri. Kami telah memilihnya di dunia ini dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhan-Nya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah’, Ibrahim menjawab: Saya tunduk dan patuh kepada Tuhan alam semesta’ (Surat 2 Ayat 130-131).

Dan ketika Ibrahim diuji oleh Tuhan-Nya dengan beberapa kalimat, Ibrahim melaksanakannya. Kemudian Tuhan berfirman, ‘Aku akan merujuk kamu sebagai ‘Imam’ (pemimpin) bagai seluruh umat manusia (Surat 2 Ayat 124).

Ibrahim telah memberikan contoh yang baik kepadamu dan mereka yang bersamanya. Mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Kami menolakmu dan berhala yang kamu sembah selain Allah. Kami menentangmu dan kamu tidak melihat apapun pada diri kami selain kebencian dan perlawanan hingga kamu hanya percaya pada Allah semata (Surat 60 ayat 4).

Ini fakta diantara fakta-fakta sejarah lainnya tentang Ibrahim yang ada dalam Al Qur’an. Dia tulus dalam berkomitmen patuh pada Tuhan dan dia berprinsip bahwa penyembahan berhala merupakan musuh utama. Yang menjadi fokus adalah penyerahan diri manusia kepada Tuhan tanpa perantara. Tuhan tidak merujuk Ibrahim sebagai imam untuk memimpin orang-orang melakukan ritual dan penyembahan. Dia ditunjuk untuk memberikan contoh orang yang berkomitmen yang hanya melayani Tuhan saja. Kata imam berarti seorang pemimpin yang mandiri dan progresif yang mampu memimpin umat dengan menstimulasi cara pikir mereka, berjuang meraih kesejahteraan bersama sambil mematuhi batasan-batasan yang ditetapkan dalam sistem Allah.

Ibrahim membawa keluarga dan umatnya mengolah lahan tandus dan membuatnya produktif. Dia menentang segala bentuk penyembahan berhala dan ritual dan menghendaki orang-orangnya membebaskan diri mereka dari perbudakan dogma. Dia mengorbankan hidupnya untuk melawan para penyembah berhala. Hari ini kita dihadapkan pada budaya Arab yang telah merampas hak orang dan membuat tanah menjadi tandus.

DONGENG UNTUK MEMPERKUAT KONSPIRASI

Al Qur’an tidak menyatakan dimana Ibrahim dilahirkan atau dimana dia tinggal, namun Al Qur’an dengan jelas menyatakan Taurat dan Ajaran Kristen tidak diwahyukan lama setelah dia. Pada saat yang sama Al Qur’an menegaskan bangsa Arab TIDAK PERNAH menerima rasul atau nabi sebelum nabi Muhammad. Oleh karena itu Ibrahim tidak pergi ke Mekah dengan Ismail (baca Bagian tentang U’mra dan Haji). Kaki pembuat barrel (semacam tong) di Mekah nampaknya telah berjalan sangat jauh. Jika ini benar, maka ‘rumah itu’ seharusnya juga bepergian bersamanya.

Orang-orang Arab bersikeras bahwa Ibrahim melakukan perjalanan ke tanah Arab dengan istri dan anaknya Ismail. Mereka mengatakan dia meninggalkan istri dan bayinya di tengah padang pasir dan pergi jauh. Inikah kesaksian yang lemah terhadap Imam umat manusia yang ditunjuk Tuhan?

Kisah itu berlanjut dengan mengatakan saat anak Ibrahim menangis, ibunya meninggalkannya di padang pasir dan mulai berlari ke kanan dan ke kiri sampai pada puncak dua bukit. Ketika kaki bayi itu menendang ke tanah, tiba-tiba memancarlah mata air dari dalam tanah.

Orang-orang Arab menyebut tempat ini Safa dan Marwah atau dua bukit di dalam masjid dan mata air itu disebut air zam-zam. Hari ini kita melihat aliran air sistematis dari air osmosis yang disedot dengan pompa air yang dipasang di bawah rumah batu yang mendapatkan airnya dari kota untuk memasok air ke masjid. Al Qur’an lupa menceritakan hal ini kepada kita karena hal ini tidak terjadi.

Orang-orang Arab meneruskan upaya penipuan dengan dongeng yang lain. Ibrahim dikatakan telah membangun rumah Tuhan di tempat dimana mata air itu memancar. Mereka menyalahgunakan dua ayat dari Al Qur’an dalam Surat 2 Ayat 125 dan Surat 22 Ayat 26 untuk memperkuat dongeng tersebut. Kehidupan dan kematian Agama Arab tergantung pada Surat 2 ayat 125. Jika kebenaran itu tidak diungkapkan sekarang, maka cepat atau lambat kebenaran itu akan terbongkar. Sistem Tuhan tidak pernah berubah dan kebenaran akan selalu menang.

Jika kita membaca kedua ayat itu kita akan menemukan:

Wa-ahidna ilaa-Ibrohima wa-Ismael-la an-tho-hiror Bayti-ya lit thor-iffin wal-a’kiffi-na war-roka’is sujud.
Dan kami perintahkan Ibrahim dan Ismail untuk membersihkan sistem-Ku bagi kumpulan orang-orang, dan bagi mereka yang setia dan mereka yang merendahkan diri dalam penyerahan (Surat 2 Ayat 125).

Wa-izbaw-na li-ibrohim makanal Bayti al-laa tusrik-bi shai-a’in wa-tho-hir Bayti-ya lit-thor-iffin-na wal-qo-emeen-na war-roka’is-sujud.
Dan ketika Kami merujukkan Ibrahim sebuah tempat dalam Sistem, bahwa ‘Janganlah kamu menyamakan Aku dengan apapun’ dan bersihkan sistem-Ku bagi orang-orang, dan mereka yang menjunjung tinggi, dan mereka yang merendahkan diri dalam penyerahan diri (Surat 22 Ayat 26).

Meskipun begitu banyak kata yang dikorupsi dalam Surat 2 Ayat 125, namun saya hanya merujukkan tiga (3) kata dari ayat ini untuk memperlihatkan pengulangan dalam Surat 22 Ayat 26. Mulai saat ini saya akan membuktikan bagaimana orang-orang Arab mengubah makna kata-kata tersebut dengan membandingkannya dengan ayat-ayat lain dari Al Qur’an. Semua kata-kata ini akan dianalisa dalam dua Bagian berikutnya. Menurut Agama Arab:
1. Mereka mengatakan kata Bayti-ya dalam dua ayat tersebut berarti ‘RUMAH TUHAN’. Dengan kata lain, ‘RUMAH BATU’ berukuran 627 meter persegi yang ada di Mekah itu milik Tuhan.
2. Mereka mengatakan kata Lit-thor-iffin pada dua ayat itu berarti ‘Mereka yang berjalan mengelilinginya. Dengan kata lain orang-orang setia yang berjalan mengelilinginya … berlawanan dengan arah jarum jam.
3. Mereka juga mengatakan kata War-roka’is-sujud dalam dua ayat itu berarti ‘Mereka yang membungkuk, mereka yang bersujud’. Sebagaimana contoh kedua di atas, orang-orang yang setia harus menambahkan hal tersebut ke dalam upacara doa mereka, jika mereka ingin dianggap sebagai hamba Tuhan.

Tidak ada ayat yang mengatakan bahwa apa yang dinyatakan orang Arab adalah fakta. Distorsi itu telah menciptakan dampak yang besar bagi kehidupan milyaran manusia di seluruh dunia. Saya berharap umat Muslim non-Arab menggunakan akal sehat untuk melihat keseriusan konspirasi tersebut dan harga yang harus mereka bayar karena mengabaikan Kitab Suci Tuhan dan mengikuti orang Arab secara membabi buta. Mungkin mereka ingin merenungkan apa yang dikatakan Al Qur’an tentang gelapnya hati:

Sesungguhnya, BUKAN mata yang buta, tetapi hati yang ada di dalam dada yang buta (Surat 22 Ayat 46).

Surat 2 Ayat 125 menjadi ayat yang sangat spesial bagi saya. Ini merupakan ayat yang sama yang membuat saya mengajukan pertanyaan sederhana tentang keberadaan rumah Tuhan dalam Islam. Saya tidak pernah percaya Tuhan tinggal dalam sebuah rumah. Ini adalah naluri alamiah, dan saya yakin mereka yang mempunyai pikiran dan logika yang sama percaya bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi tidak dapat direpresentasikan dengan segala macam simbol atau ikon apapun di muka bumi ini.

Sebagai seorang Muslim, saya diberitahu bahwa Al Qur’an adalah buku petunjuk, sebuah wahyu yang memastikan semua wahyu yang terdahulu. Ketika saya dihadapkan pada masalah tersebut, jelas bahwa saya harus menemukan jawabannya di dalam kitab itu sendiri. Bagaimanapun Al Qur’an dengan jelas mengatakan:
Patutkah aku mencari selain Tuhan sebagai sumber hukum padahal Dia telah mewahyukan kepadamu kitab suci yang begitu terperinci? Bahkan mereka yang menerima kitab suci sebelumnya mengetahui bahwa kitab suci itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka, janganlah kamu meragukannya (Surat 6 Ayat 114).

Ucapan Tuhanmu adalah sempurna dalam kebenaran dan keadilan. Tak ada yang dapat mengubah ucapannya. Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Surat 6 Ayat 115).

Nabi terakhir diperintahkan untuk menyatakan, “Patutkah aku mencari selain Tuhan sebagai sumber hukum padahal Dia telah mewahyukan kepadamu kitab suci yang begitu terperinci? Tidak ada pernyataan lain dalam Al Qur’an yang lebih mengagumkan ketimbang yang satu ini. Ini merujukkan bahwa dalam Islam, hanya ada satu sumber referensi atas segala hal, Al Qur’an dan tidak ada yang lain, kecuali Al Qur’an! Kalimat itu dipertegas dengan pernyataan lain, tepat setelah kalimat itu yang berbunyi, ‘Ucapan Tuhanmu adalah sempurna dalam kebenaran dan keadilan. Tak ada yang dapat mengubah ucapannya’!
faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:35 pm

BAGIAN TUJUH

PENYEMBAHAN PADA RUMAH BATU

Bagian ini dan Bagian-Bagian berikutnya akan membahas seputar analisa kata-kata Arab. Kata-kata itu ditulis menurut suara vokalnya. Para pembaca yang tidak memahami bahasa Arab harap bersabar dengan kata-kata ini. Penting untuk menyebutkan kata-kata ini karena musuh-musuh Tuhan dan rasul-Nya sering mengubah kata-kata tersebut, yang serupa dan bahkan yang tidak serupa. Al Qur’an mengatakan:

Dialah yang menurunkan kitab suci ini kepadamu dengan ayat-ayat yang sempurna sebagai inti dari kitab itu dan yang lainnya adalah sama. Mereka yang hatinya sesat cenderung mengikuti hal yang tidak sama dengan kitab itu dan berharap bisa memfitnah dan menginterpretasikan ayat-ayat itu. Tak seorangpun mengetahui interpretasinya, kecuali Tuhan. Dan mereka yang mendukungnya berkata, ‘Kami percaya kepada semua wahyu dari Tuhan kami’. Tak seorangpun akan memperhatikan kecuali mereka yang cerdas (Surat 3 Ayat 7).

Inti dari kitab suci tersebut adalah bahwa ayat-ayat itu sempurna. Sempurna berarti tanpa cacat. Jika kita menemukan kontradiksi apapun maka itu bukan merupakan kesalahan dari kitab tersebut, tetapi kita harus mengakui secara tulus mungkin kita kurang mampu dalam memahami pesan yang diberikan Tuhan.

Mengapa mereka tidak mempelajari Al Qur’an dengan hati-hati? Jika itu memang bukan berasal dari Tuhan, maka mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya (Surat 4 Ayat 82).

Dengan kata lain, jika Tuhan berkata, ‘Janganlah kamu melayani kecuali Aku’. Ini berarti hanya itu saja, dan siapapun yang mengklaim telah menemukan jalan lain untuk melakukannya yang bertolak belakang dengan pesan-Nya maka hal itu pastilah salah. Arab atau bukan. Demikian juga, jika Tuhan mengatakan, ‘Janganlah kamu menyekutukan Aku dengan apapun’. Ini berarti kita tidak boleh melakukan sesuatu yang berlawanan dan mencari alasan untuk membenarkan tindakan kita. Hal itu tidak terlalu sulit untuk dipahami. Berbeda dengan jawaban yang kabur, ini adalah pernyataan yang sangat jelas. Tak seorangpun bermimpi menjawab pertanyaan, ‘Apakah kamu hamil? dengan jawaban bernada mengelak, ‘mungkin.’ Bahkan malaikat yang paling dekat dengan-Nya sekalipun tidak diberikan keistimewaan untuk menyalahartikan dan menyekutukan Tuhan, manusia tidak boleh berharap bahwa Tuhan akan memaafkan kita atas kesalahan serius dalam menilai.

Dalam Bagian 3 buku ini, kita telah melihat bagaimana orang-orang Arab membolak-balik kata Sol-laa dengan memberikan makna yang berbeda. Tetapi pada akhirnya mereka bertentangan dengan diri mereka saat mencoba untuk memanipulasi kata-kata yang sama di bagian manapun dalam Al Qur’an. Itulah sebabnya mengapa ayat-ayat tersebut mengatakan bahwa pertentangan bukan berasal dari Tuhan, namun berasal selain dari Dia.

Kami akan membuktikan dari Al Qur’an bahwa delapan kata-kata sederhana dalam Surat 2 Ayat 125 dikorupsi oleh musuh-musuh Tuhan.

Dalam ayat yang khusus ini kata Bayta diulang dua kali. Jika kita memahami kata tersebut dengan seksama dan membandingkannya dengan ayat-ayat lain dalam Al Qur’an kita akan menemukan pemahaman yang salah dari orang-orang Arab dengan mengartikan kata itu sebagai rumah. Mereka tidak memiliki dasar atas klaim tersebut. Marilah kita meneliti kata itu dengan hati-hati sesuai dengan urutannya dalam ayat itu.

Meskipun ada begitu banyak kata-kata yang didiskusikan dari ayat khusus ini saja, namun masing-masing kata harus diuraikan secara jelas. Bagian ini hanya akan mendiskusikan kata Bayta dan Bayti-ya. Kata-kata lain dalam ayat yang sama akan dibahas pada Bagian selanjutnya.

IBRAHIM TIDAK MEMBANGUN RUMAH APAPUN

Sangatlah mudah untuk membatalkan klaim orang-orang Arab bahwa Ibrahim diberikan tanggung jawab membangun sebuah rumah untuk Tuhan di Mekah. Pertama, Ibrahim dan Ismail tidak pernah pergi ke Mekah. Kedua, jika rumah itu merupakan titik fokus bagi umat manusia sebagai tempat untuk melayani Tuhan, maka semua Nabi setelah Ibrahim gagal memenuhi kewajiban mereka untuk pergi ke sana. Dan terakhir, yang paling penting, Tuhan Yang Maha Tinggi tidak memerlukan rumah, apartemen, kondomunium, vila, istana atau tempat suci sebagai tempat tinggal.

Ide tentang rumah Tuhan datang dari orang-orang Arab setelah mereka memanipulasi kutipan berikut dalam Surat 2 Ayat 125. Menurut mereka makna ayat itu adalah:

Kami tunjukkan kepada Ibrahim ‘rumah itu’ sebagai tempat berkumpul dan berlindung bagi umat manusia. Gunakanlah makam Ibrahim sebagai tempat ‘sholat ritual’. Kami memerintahkan Ibrahim dan Ismail untuk membersihkan ‘RumahKu’ bagi orang-orang mengelilinginya, merenung di dalamnya dan bagi mereka yang bersujud secara fisik terhadapnya.

Untuk menjaga keutuhan cerita mereka, orang-orang Arab kini harus mengatakan kepada kita bahwa Al Qur’an mengatakan:

‘Tuhan telah merujukkan kepada Ibrahim Rumah Itu’.

Tidak dibutuhkan kejeniusan untuk mengetahui bahwa mereka kemudian membangun rumah itu untuk melengkapi ilusi, dan menciptakan sebuah pusat baru bagi agama baru mereka di atas padang pasir di Mekah. Saya berfikir bahwa Tuhan, seandainya Dia menganggapnya penting, pasti akan menentukan tujuan haji yang lebih mudah dicapai pada lokasi yang lebih menyenangkan, tetapi ini hanya perkiraan belaka.

Setelah mereka membelokkan makna kata Bayta, mereka juga bersikeras bahwa kata Maqam dan Mu-sol-lan, yang dengan jelas mengindikasikan status dan komitmen Ibrahim, dimaknai sebagai:

‘Gunakan makam Ibrahim sebagai tempat sholat ritual’.

Agar lebih meyakinkan, mereka mengukir sepasang jejak kaki pada balok tembaga dan memajangnya di depan berhala batu persegi empat untuk merepresentasikan makam Ibrahim. Jejak kaki tersebut menjadi tanda tempat berkumpul untuk melaksanakan sholat ritual. Saya yakin Holywood mendapatkan ide ini dari orang-orang Arab. Mungkin saya yang salah tentang hal ini, tetapi keimanan dan logika mengatakan kepada saya bahwa kaki Ibrahim tidak dicelupkan dalam cetakan tembaga, begitupula tak ada relief yang diambil dari pasir yang dipijaknya. Selain itu, tidakkah cetakan tembaga itu merupakan jenis berhala yang lain?

Mereka juga mengklaim ayat tersebut mengatakan:

‘Bagi umat manusia yang mengelilinginya, menyembahnya, dan membungkuk serta bersujud kepadanya?

Sehingga orang-orang mengikuti, mereka membungkuk, bersujud, dan mengelilingi rumah batu itu. Dalam ritual mereka melihat Tuhan dan pintu besar pada rumah ‘Nya’ tetap tertutup. Orang-orang Arab menyebut rumah batu persegi empat itu Baytul-lah atau Rumah Tuhan. Hal yang ironis rumah ini tidak berjendela.

Hal yang membingungkan bahwa rumah itu memiliki pintu, namun penghuninya tidak pernah membuka atau menutupnya. Jika masalahnya Tuhan tidak pernah menggunakan pintu, maka mengapa ada satu pintu disana? Ini bisa berarti bahwa Dia tidak pernah meninggalkan rumah-Nya atau bisa berarti pula bahwa Dia TIDAK BERADA DI SANA. Meskipun premis ini benar, namun tidakkah seharusnya ada rumah Allah di setiap masjid di seluruh dunia, yang mungkin dibangun dari batu Arab yang diimpor?

Beginilah orang-orang Arab membodohi manusia, mengajaknya menyembah berhala yang terbuat dari batu, granit, kayu, tembaga, kuningan yang ditutupi kain hitam, dan kaligrafi Arab. Mereka mengajarkan orang-orang untuk menangis dengan keras, ‘Ya Tuhan, saya datang, Ya Tuhan, saya datang’ dengan memusatkan kesetiaan secara penuh kepada berhala yang mirip dengan sebuah rumah di tengah Masjid seakan Tuhan susah mendengar. Tuhan telah berfirman kepada kita bahwa Dia mendengar apa kata hati kita. Tak ada yang lebih lucu ketimbang ritual penyembahan berhala. Dampak dari pendistorsian satu ayat telah mengubah seluruh konsep pelayanan kepada Satu Tuhan menjadi berantakan.

Orang-orang Arab menyebut rumah batu berbentuk kubus itu sebagai Baytul-lah atau rumah Tuhan. Entah bagaimana, berjuta-juta manusia merasa sangat senang saat mereka melakukannya hari ini. Ada juga ribuan yang bertanya pada diri sendiri ‘Mengapa kita melakukan semua ini? Mereka akan terus mencari jawabannya selama mereka menaruh kepercayaan kepada orang-orang Arab selain Tuhan.

Bila kita membaca kutipan dalam Surat 2 ayat 125 sesuai dengan pesan yang dimaksud, ayat itu berbunyi:

Tuhan merujukkan kepada Ibrahim suatu sistem sebagai titik fokus dan rasa aman bagi umat manusia. Ambilah pelajaran dari Ibrahim yang berkomitmen. Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail untuk membersihkan ‘Sistem-Ku’ bagi sekumpulan orang-orang, mereka yang bertaqwa pada sistem itu, dan mereka dengan rendah hati menyerahkan diri.

Orang-orang Arab yang kecewa mengubah makna delapan kata dari satu ayat itu saja untuk memfitnah Ibrahim, orang terpilih yang diharapkan memimpin seluruh umat manusia di muka bumi untuk mematuhi sistem Tuhan. Para penerjemah dipaksa untuk menyetujui terjemahan kata-kata ini karena inilah satu-satunya ayat Al Qur’an selain Surat 22 Ayat 26 yang bisa mereka ubah untuk menciptakan Agama Arab. Hasil bersih dari distorsi itu sebagaimana yang kita lihat hari ini dimana jutaan manusia percaya bahwa:
(a) Sistem itu (Bayta) sekarang terpusat pada berhala batu berbentuk persegi empat yang terbuat dari batuan gunung yang berdiri di tengah-tengah masjid di Mekah, serupa dengan berhala-berhala batu yang didirikan di banyak kuil-kuil di seluruh dunia. Berhala batu itu ditutupi kain hitam dengan dekorasi tulisan Arab berwarna emas.
(b) Status Ibrahim (maqami-ibrohim) telah dikurangi menjadi berhala yang lebih kecil dalam bentuk relief sepasang jejak kaki pada balok tembaga yang mengarah ke atas dalam kurungannya yang berdiri sepuluh meter dari pintu kubus batu yang ada di hadapannya.
(c) Orang yang berkomitmen (mu-sol-lan) bahkan dipahami sebagai tempat penyembahan. Berhala batu itu yang menjadi fokusnya.
(d) Sekumpulan orang (tho-iffin) memaknai ritual agama atau tindakan penyembahan dengan berjalan mengelilingi batu berhala - berlawanan dengan arah jarum jam.
(e) Mengabdi (A’kiffin) diubah menjadi mengunjungi dan menghormati kubus batu.
(f) Rendah hati dalam penyerahan diri (roka’is-sujud) diganti menjadi serangkaian gerakan koreografi membungkuk dan bersujud kepada kubus batu. Ini menjadi pusat alam semesta.

TIPUAN

Mereka berkata bahwa menurut Surat 2 Ayat 125 Tuhan merujukkan kepada Ibrahim sebuah rumah, dan kemudian mereka melewati dua ayat di depannya dengan mengatakan Ibrahim dan Ismail membangun rumah Tuhan. Tak seorangpun mengetahui penipuan sederhana ini. Bagaimana cara Tuhan merujukkan rumah kepada Ibrahim seperti yang tertera dalam Surat 2 Ayat 125, dan memerintahkan kepadanya untuk membersihkannya, kemudian menyuruh Ibrahim meninggikan fondasi rumah yang disebutkan pada Surat 2 Ayat 127?

Ini adalah penipuan lain yang dilakukan orang-orang Arab. Dalam Surat 2 Ayat 127 dikatakan, ‘Ibrahim mendirikan landasan sistem itu’, tetapi orang-orang Arab mengubahnya menjadi, ‘Ibrahim meninggikan fondasi rumah itu’!

Mereka betul-betul tidak mempedulikan kata ‘Minal’ yang melekat pada kata Bayti, yang akan mengubah seluruh konteks kutipan tersebut. Untuk menjelaskan hal ini, mari kita kutip Surat 2 Ayat 127 sesuai dengan daftar istilahnya:

Wa-iz dan ketika
Yarfa-‘u menjunjung tinggi/membentuk
Ibrohimul Ibrahim
Qo-wa’ida landasan
Minal-bayti dari sistem
Wa-ismail dengan Ismail

Secara harfiah ayat itu berbunyi. ‘Dan ketika Ibrahim menjunjung tinggi landasan DARI sistem itu dengan Ismail’. Ini akan lebih konsisten dengan alur konteks kalau ayat itu dibaca dari Surat 2 Ayat 124. Meskipun orang-orang Arab itu bersikeras bahwa kata Bayti itu berarti rumah, namun Ibrahim tidak bisa meninggikan fondasi rumah itu, yang telah ada di sana. Kata ‘Minal’ berarti ‘Dari’ dan bila kata itu diberikan awalan kata ‘Bayti’, maka makna kata itu adalah ‘Dari sistem’.

Ayat-ayat ini bila dibaca dengan benar sebagai suatu subyek, ini memberikan makna yang berbeda bahwa Ibrahim dan anaknya Ismail tidak ada kaitannya dengan rumah batu di Mekah, begitupula tidak membangunnya, dan tidak mengetahui tentang bangunan batu atas nama Tuhan. Konsep Rumah Tuhan hanyalah fantasi orang-orang Arab primitif. Pesan dalam ayat-ayat itu berarti Ibrahim dan Ismail adalah orang pertama yang membentuk landasan ‘dari’ sistem Tuhan.





BAYTA ADALAH SISTEM TUHAN, BUKAN ‘SEBUAH RUMAH’

Orang-orang Arab mengatakan kata Bayta[ ] berarti sebuah Rumah. Menurut Al Qur’an Bayta dalam Surat 2 Ayat 125 berarti sebuah sistem dan kata benda tak tertentunya Baytin yang ditemukan dalam Surat 3 Ayat 96.

Rumah disebut Buyu-ta, yang ditemukan dalam Surat 2 Ayat 189, dan kata benda tak tertentu adalah Buyu-tan yang bisa ditemukan dalam Surat 24 Ayat 29 untuk menandai dualitas penambahan awalan ‘an’ sebagai nominatif.

Kata yang hampir sama Bay-ya-ta, yang muncul dalam Surat 4 Ayat 81 dan baya-tan dalam Surat 7 Ayat 4 dan 97 digunakan untuk merujuk pada kata ‘malam’.

Dalam Surat 2 ayat 189 kata ‘Buyu-ta min-thu-huri-ha’ digunakan untuk mengindikasikan sebuah rumah untuk mengekspresikan peribahasa Arab yang serupa dengan peribahasa Inggris, ‘Jangan memukul di sekitar semak-semak’ saat dikatakan ‘Jangan masuk rumah dari pintu belakang’. Penambahan akhiran ‘ha’ setelah kata ‘thu-huri’ menandai bentuk tunggal dari rumah yang menggambarkan gender yang sifatnya feminin.

Dalam Surat 24 Ayat 29 kata ‘Buyu-tan’ digunakan untuk menandai kata benda tak tertentu yang berarti beberapa rumah. ‘Kamu tidak melakukan kesalahan dengan memasuki rumah-rumah tak berpenghuni yang di dalamnya ada sesuatu yang merupakan milikmu. Tuhan mengetahui apa yang kamu katakan dan apa yang kamu sembunyikan’.

Dalam Surat 24 Ayat 61 kata Buyuti disebutkan sepuluh (10) kali sebagai perintah yang diucapkan kepada banyak orang yang merujuk kepada ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, saudara laki-laki ayah, saudara perempuan ayah, saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu dan teman-teman. Masing-masing dari mereka tinggal dalam satu rumah sekaligus. Kata Buyuti merujuk kepada rumah yang masing-masing mereka miliki.

Orang-orang Arab juga mengatakan kata Bayta-ya berarti Rumahku dan mereka tidak salah dalam hal ini dan menamai sebuah bangunan batu, yang mereka bangun di Mekah sebagai Baytul-lah, atau rumah Tuhan. Menurut Al Qur’an Bayti-ya berarti SistemKu.


1. Kata Bayta yang digunakan di dalam Al Qur’an.

Setiap orang pada awalnya mengikuti sistem kita atau Bayti. Dengan kehendak Tuhan, Dia akan mengangkat kita dari sistem kita dengan kebenaran pada sistem-Nya atau Bayti bila kita telah pantas menerima kedudukan yang lebih tinggi setelah menerima kemurahan dan ampunan-Nya dan juga rezeki yang baik dari-Nya. Hal ini dengan jelas dinyatakan dalam Surat 8 Ayat 5.

Daftar kata-kata dimana konteks pesan tersebut ditemukan adalah:
Kama jalan itu
Aqrojaka mengangkatmu
Rob-buka Tuhanmu
Min-bayti-ka dari sistemu
Bil-haq dengan kebenaran

Tuhanmu mengangkatmu atau membawamu dari Bayti-ka atau sistemmu, dengan kebenaran.
Jika kita membaca semua teks kutipan tersebut, kita akan melihat dengan jelas makna dari kata Bayti-ka yang berarti sistemmu, bukan rumahmu.

Sungguh, orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang bergetar hatinya saat mengingat Tuhan-Nya. Dan ketika wahyu itu dibacakan kepada mereka maka akan bertambahlah keimanan mereka. Mereka adalah orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhan. Mereka menjunjung tinggi komitmen dan bersedekah dari sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka adalah orang-orang beriman yang sejati dan pantas menerima derajat yang tinggi, ampunan, dan juga rezeki yang baik dari Tuhan-Nya, dengan jalan Tuhan-Mu mengangkatmu ‘DARI SISTEM-MU’ (Minal Bayti-ka) dengan ‘KEBENARAN’. Memang, di antara orang-orang beriman itu ada yang enggan dan mereka akan menentangmu meskipun kebenaran itu menjadi nyata bagi mereka seolah mereka didorong ke arah kematian yang pasti (Surat 8 Ayat 2-6).

Kita diberitahu bahwa nabi telah diangkat dari sistemnya setelah kebenaran diwahyukan kepadanya. Membayangkan bahwa Tuhan mengangkat nabi dari rumah fisiknya setelah kebenaran diberikan kepadanya mungkin merupakan sesuatu yang sangat ambisius.

Demikian juga, orang-orang beriman yang pantas juga diangkat dari sistem mereka yang terdahulu dengan kebenaran. Mereka akan tinggal sesuai dengan sanksi yang diperintahkan dalam sistem itu atau Baytul-muharami untuk memenuhi harapan-harapan Ibrahim (hal tersebut akan dijelaskan kemudian).

Logika di balik semua gagasan tersebut adalah bahwa Tuhan mampu mengangkat seseorang dari satu sistem ke sistem yang lain ketika orang itu menggunakan rumahnya sebagai dasar untuk mempelajari wahyu Tuhan dan kebijaksanaan. Mereka terus patuh kepada Tuhan dan Rasul-Nya serta menjunjung tinggi komitmen dan beramal. Ayat-ayat berikut ditujukan kepada isteri-istri nabi:

Kamu harus menggunakan rumahmu (Buyuti-kun) sebagai tempat berkumpul. Janganlah berperilaku seperti orang-orang bodoh pada jaman dahulu. Dan tegakkanlah komitmenmu serta jagalah kemurniannya dan patuhi Tuhan dan rasul-Nya. Tuhan hendak menghilangkan darimu kejahatan orang-orang dari sistem itu (ahl-la-bayti) dan membersihkan kamu secara menyeluruh. Kamu harus ingat apa yang dibacakan di ‘rumahmu’ (Buyuti-kun) dari wahyu Tuhan dan kebijaksanaan. Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan Maha Mengetahui (Surat 33 Ayat 33-34).

Terjemahan bahasa Arab dan maknanya dalam ayat 33 itu berbunyi:

‘Yuridul-lah li-yuzhiba’ankumul rijsa ahl-lal-bayti wa-yu-tho-hir.
Allah hendak mengangkat dariMU kejahatan orang-orang dalam sistem itu dan membersihkan kamu secara menyeluruh.

Istri-istri nabi pada dasarnya terlahir sebagai orang-orang bodoh dan kotor dari sistem itu atau ahl-la-bayti. Dengan kemurahan-Nya, Dia hendak membuang kejahatan ahl-la-bayti dari mereka dan meminta mereka untuk menggunakan rumah-Nya sebagai tempat berkumpul. Mereka diperintahkan untuk mematuhi Tuhan dan rasul-Nya, mengingat apa yang dibacakan dari wahyu Tuhan dan kebijaksanaan-Nya, dan menjunjung tinggi komitmen mereka sehingga Tuhan bisa membersihkan secara menyeluruh. Mereka harus menghilangkan sikap tidak tahu akan ahl-la-bayti tersebut. Selama lebih dari seribu tahun kebanyakan orang-orang Arab percaya bahwa merupakan suatu kehormatan jika dihubungkan dengan ahl-la-bayti, sayangnya Al Qur’an menyatakan sebaliknya.

Kata sistem (bayta) dan rumah (Buyut-ti) keduanya disebutkan dalam Surat 33 Ayat 33 dan 34. Hal yang menyesatkan dengan mengatakan Tuhan hendak membersihkan istri-istri nabi dari kejahatan orang-orang rumah tersebut (ahl-la-bayti), membersihkan mereka secara menyeluruh, dan kemudian menggunakan rumah (buyuti) sebagai dasar untuk mematuhi Tuhan dan rasul-Nya.

2. Kata Bayta-ya digunakan dalam Al Qur’an

Kata ini muncul tiga kali dalam Al Qur’an. Dalam Surat 2 Ayat 125 dan Surat 22 Ayat 26 yang merujuk pada sistem Tuhan dan dalam Surat 71 Ayat 28 yang merujuk pada sistem Nabi Nuh.

Dalam riwayat Nabi Nuh, segala sesuatunya betul-betul hancur ketika Allah mengirimkan Banjir Bah. Air yang naik akhirnya menenggelamkan seorang anak muda, yang dikira nabi Nuh adalah anaknya, yang menolak beriman ketika dia memutuskan untuk menghindari banjir itu dengan naik ke atas bukit. Dalam Surat 71 ayat 26 Nuh berkata:

Tuhan tidak hendak menyisakan satupun orang-orang musyrik di dunia.

Semuanya dihancurkan.

Banyak dari kita mengetahui cerita Nabi Nuh. Nuh kehilangan rumahnya ketika banjir bah datang. Setiap orang kehilangan rumah mereka selama banjir bah. Di atas Kapal, dia memohon kepada Tuhan:

Ya Tuhanku, ampunilah saya, orang tua saya dan setiap orang yang masuk ke dalam sistem saya (Bayti-ya) sebagai orang yang beriman dan semua pria dan wanita yang beriman. Dan bagi orang yang zalim janganlah tambahkan kepada mereka kecuali kerugian (Surat 71 ayat 28).

Jelas di sini Nuh tidak merujuk pada rumah fisiknya, namun pada sistem Bayti-ya yang telah Tuhan tunjukkan kepada mereka. Tidak ada rumah yang tersisa karena segala sesuatunya telah dihancurkan. Nabi Nuh mengapung di sekitar Kapal saat dia berdoa kepada Tuhan. Dan Menurut Al Qur’an, Kapal Nuh kemudian merapat di sebuah tempat yang disebut ‘Jodia’ setelah terapung-apung di Banjir Bah.

Nabi Nuh memohon kepada Tuhan untuk memaafkan mereka yang bersamanya di dalam sistemnya atau Bayti-ya di antara mereka percaya kepada Tuhan dan BUKAN mereka yang masuk ke rumahnya. Tidak ada indikasi di dalam Al Qur’an bahwa Tuhan akan memaafkan seseorang hanya dengan memasuki rumah fisik milik nabi Tuhan.

Oleh karena itu dalam Al Qur’an Al-Bayta berarti Sistem dan bayti-ya berarti Sistem Saya. Setiap orang dari kita mengetahui Tuhan yang tidak terlihat TIDAK tinggal dalam rumah fisik dan Dia tidak memerlukan rumah sebagai tempat tinggal.

Orang-orang Arab mengubah nama Kota Yerusalem menjadi Baytul-Mu-qadis. Ketika mereka menggunakan kata Baytul untuk Yerusalem mereka tidak mengatakan maknanya adalah Rumah, tetapi mereka mengatakan bahwa Baytul-mu-qadis adalah Kota Suci.

Kata Mu-qadis berasal dari akar kata Qudus, yang berarti suci. Awalan Mu sebelum akar kata itu merujukkan keberadaan.

Adapula beberapa kata lain yang berasal dari kata Bayta dalam Al Qur’an:

Baytul-ateeq dalam Surat 22 Ayat 29 (Sistem yang sebenarnya)
Baytal-harami dalam Surat 5 Ayat 2 dan 97 (Sanksi dalam sistem itu)
Baytika-muharami dalam Surat 14 Ayat 37 (Sanksi dalam sistem itu yang harus dipatuhi oleh keturunan Ibrahim).

Orang-orang Arab mengatakan bahwa semua kata ini merujuk pada Rumah karena tak ada alasan lain kecuali untuk membenarkan Agama Arab yang mereka ciptakan dan membuat para pengikutnya memusatkan penyembahan mereka kepada rumah batu untuk keselamatan jiwa mereka.

Mereka yang membaca untuk memahami Al Qur’an diperintahkan untuk mematuhi:

Aturan nomor Satu: Kamu akan diberikan tiket ke neraka atas
kebodohan/ketidakpedulianmu.

‘Kami telah ciptakan Neraka Jahanam itu untuk jin dan manusia, bagi mereka yang memiliki hati namun tidak memahami, bagi mereka yang memiliki mata namun tidak melihat, dan mereka yang memiliki telinga, tetapi tidak mendengar’ (Surat 7 Ayat 179).

Aturan nomor dua: Ketidakpedulian tidak akan mendatangkan kebahagiaan.

Tentu makhluk yang paling buruk di sisi Allah adalah mereka yang tuli, bisu dan tanpa akal sehat mereka (Surat 8 Ayat 22).

Aturan nomor tiga: Janganlah bersikap dogmatis. Periksalah kebenaran fakta-faktanya.

Janganlah menerima apapun yang tidak kamu ketahui. Kamu diberikan pendengaran, penglihatan, dan akal (Surat 17 Ayat 36).

Aturan nomor empat: Orang-orang bodoh tidak menggunakan akal.

Dan tidak ada seorang pun yang beriman kecuali dengan kehendak Tuhan. Allah hendak memberikan kemurkaan kepada mereka yang tidak menggunakan akal sehat (Surat 10 Ayat 100).

Mereka yang telah membaca Al Qur’an harus mengetahui perintah yang penting di dalam Al Qur’an:

‘JANGANLAH kamu menyamakan Tuhan dengan apapun’.

Menyekutukan sebuah bangunan batu yang dibuat manusia seperti rumah batu berbentuk kubus yang disebut orang-orang Arab sebagai Ka’aba di Mekah bertentangan dengan pesan yang ada dalam Al Qur’an. Ini adalah fitnah yang sangat besar.

Para pengikut konspirasi Arab seharusnya bertanya,

Mengapa mereka menyamakan sebuah bangunan batu berukuran 627 meter persegi dengan Tuhan?

Kita hanya perlu memahami inti dari kitab suci Tuhan dengan logika yang sewajarnya agar bisa menyimpulkan bahwa orang-orang Arab itu telah menciptakan kebohongan yang luar biasa. Mereka mengatakan Tuhan tidak berada di rumah itu dan mereka juga mengatakan Tuhan tidak tinggal di rumah batu itu.

Bila pada kesempatan lain Anda bertemu dengan orang Arab, tanyakan apa sebenarnya yang mereka inginkan dari kita dengan memahami tentang rumah Tuhan di atas Bumi ini. Pada akhirnya, nampak bahwa orang-orang Arab menghendaki kita untuk berfikir bahwa rumah Tuhan adalah tanpa kehadiran Tuhan? Jadi ini hanyalah simbol yang agung. Bukankah itu juga akan menjadikannya sebuah berhala yang agung?

Setelah membangun rumah, mereka memproklamirkan bangunan aneh itu sebagai bangunan suci. Tanyakan kepada orang-orang Arab,

• Sejak kapan batu-batu dari gunung itu ‘Suci’?
• Apakah batu itu tidak suci lagi bila mengotori gunung?
• Apa sebenarnya yang ingin mereka katakan?
• Dalam hal apa batu itu menjadi suci?
• Apakah setelah batu-batu itu diukir oleh tangan-tangan Arab yang penuh dosa?

Kenyataannya orang-orang Arab itu tidak mempunyai jawaban atas semua pertanyaan ini. Rencana besar mereka adalah berkonspirasi melawan Islam dan menghancurkan Cara Hidup yang diwahyukan oleh Tuhan kepada nabi terakhir. Pertama, mendirikan berhala. Kemudian menipu orang-orang tidak bersalah untuk mempercayai mereka. Langkah berikutnya—mengubah ucapan-ucapan Allah dalam kitab suci untuk membenarkan konspirasi. Kemudian menjadikan diri sendiri sebagai penjaga keimanan dan bahasa.

Orang-orang Arab juga salah dalam merepresentasikan dan menerjemahkan kata-kata Baytil-harami dan Baytul-muharami. Mereka mengatakan bahwa arti kata-kata tersebut adalah ‘Rumah Suci’. Pada lain waktu bila Anda bertemu dengan orang Arab, tanyakan kepadanya, ‘Sejak kapan kata dilarang atau dibatasi (haram) berubah menjadi ‘Suci’?

Masih dalam hal yang sama, apa yang terjadi pada kata Baytul-muqadis? Apakah Yerusalem berarti ‘rumah suci’ bila kata Bayta digunakan? Tentu saja tidak. Tempat itu tidak berada di Arab, jadi tidak berarti hal yang sama.

Tidak ada orang Arab yang ingin menjelaskan hal-hal ini, termasuk pemuka agama yang paling hebat dalam Agama Arab. Karena tidak ada satupun yang nyata, marilah kita gunakan otoritas yang lebih tinggi, yaitu Al Qur’an.

HARAM BUKAN BERARTI SUCI

Menurut Al Qur’an kata Haram secara harfiah berarti ‘menolak, merampas, membatasi, melarang atau menghentikan’.

Sebagai contoh ada tiga ayat dimana kata Bayta itu diberi akhiran dengan kata Haram, ini mengindikasikan batasan khusus pada Bayta.

Saat kata yang sama dijadikan akhiran pada kata Ma-sajid atau penyerahan, maka kata itu merujukkan batasan yang khusus pada ma-sajid. Jelasnya, kata itu disebut ‘sanksi’ tujuan atau jalan yang ditetapkan oleh Tuhan yang dimaksudkan agar manusia mematuhi batasan-batasan khusus tersebut. Namun demikian, dalam penggunaan yang biasa dapat dikatakan, Sanksi-sanksi sistem tersebut atau batasan penyerahan diri yang khusus saat merujuk pada batasan di dalam Bayta/sistem dan ma-sajid/ penyerahan diri.

Misalnya, dalam Surat 5 Ayat 2 dikatakan, aminal baytal-harami, yang berarti ‘kedamaian/ keharmonisan sanksi dalam sistem’. Cara lain mengatakannya, ‘kedamaian/keharmonisan dari larangan khusus di dalam sistem’. Sanksi di dalam ayat ini merujuk pada peraturan yang diterapkan oleh Tuhan tentang perintah-perintah-Nya sebagai bagian dari keharmonisan yang sempurna dalam sistem-Nya.

Kata ini hanya muncul satu kali dalam Surat 5 Ayat 2. Ayat itu berbicara mengenai pelanggaran terhadap perintah Tuhan. Dalam ayat yang sama, disebutkan pula kata-kata shahrul-harama yang merujukkan bulan-bulan yang diharamkan, hadya/petunjuk, qola-ida/indikator yang menandai larangan berburu, yang meliputi keharmonisan sanksi atau batasan dalam sistem Tuhan.

Dalam catatan yang sama pada Surat 2 Ayat 144, Nabi, setelah menerima wahyu, diperintahkan untuk menfokuskan dirinya pada sanksi penyerahan diri atau masajidil-harami. Hal tersebut meliputi detail batasan yang ditetapkan dalam di dalam kitab suci.

Kamu harus memfokuskan dirimu pada sanksi penyerahan diri (masajidal-harami). Dimanapun kamu berada arahkan dirimu padanya. Bahkan mereka yang menerima wahyu sebelummu mengakui bahwa ini adalah kebenaran dari Tuhanmu.

Kata haram bila digunakan sebagai bentuk dasar secara independen, kata itu berarti menolak atau merampas. Begitupula kata Hurumun berasal dari akar kata yang sama, yang menandai kata benda tak tentu yang berarti dilarang. Kata lain yang berasal dari akar kata yang sama misalnya, Hurimat atau yu-harimu ketika digunakan sebagai bentuk dasar artinya kesempurnaan aktif atau ketidaksempurnaan aktif yang berarti dilarang.

Orang-orang Arab Palestina mengungkapkan kemunafikan orang-orang Arab di Saudi Arabia ketika mereka memberikan nama baru pada Yerusalem dan menyebutnya kota Baytul-muqadis. Bila memang benar sebagaimana yang dinyatakan oleh orang-orang Arab bahwa Baytal-harami berarti ‘rumah Suci’, maka orang-orang Palestina tidak akan pernah menggunakan kata Baytul-muqadis untuk Yerusalem, karena tidak tepat baik dalam bentuk maupun fungsinya.

Pengubahan kata haram menjadi suci hanya merupakan upaya untuk mengubah pesan Al Qur’an karena kata Qud-dus yang digunakan dalam buku itu berarti suci. Di dalam Al Qur’an kata ini digunakan untuk merujuk pada tanah suci (Ard mu-qod-dasa-talati) yang diberikan kepada Bani Israil. Dalam Surat 5 Ayat 21 dikatakan bahwa mereka menolak memasuki tanah suci. Dalam Surat 20 Ayat 12 dan Surat 79 Ayat 16 kata yang sama digunakan untuk merujuk pada lembah suci Tuwa (mu-qod-dasi-tuwa), lokasi semak-semak yang terbakar. Terakhir, Diri Yang Suci atau Rohil Qudus yang diterjemahkan secara bebas menjadi Roh yang Suci untuk menjelaskan keberadaan roh suci di dalam diri Yesus putra Maryam. Selain ini, tidak ada lainnya yang suci, kecuali Tuhan.

Kata ini ditujukan pada Tuhan di dua tempat yang berbeda dalam Al Qur’an. Kata-kata itu muncul dalam Surat 59 Ayat 23 dan Surat 62 Ayat 1.

1. Huwal-lah hul-lazi laaila ha-il-laaha il-laa huwa al-malikil qud-dus sus-salam-mul mukminu muhai-minul a’zizu jab-barul mutakab-bir, subhanal-lah hi a’m-ma yus-rikun.
Dialah Tuhan, tidak ada tuhan selain Allah, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Damai, Yang bisa dipercaya, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat, Maha Terhormat, Maha Agung Allah dari apa yang mereka sekutukan (Surat 59 Ayat 23).

2. Yu-sabihu lil-lah ma-fis-samawa ti-wa-ma fil-ard, al-malikul-qudusi, ‘zizil-hakim.
Allah Maha Agung atas segala apa yang ada di langit dan bumi, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Bijaksana (Surat 62 Ayat 1).

Di sini kita melihat dengan jelas bahwa Qud-dus adalah suci, bukan Haram.

Baytal-harami berarti sanksi-sanksi pada sistem itu dan kata a’inda-bayti-ka-mu-harami berarti sesuai dengan sanksi sistem-Mu.

Namun demikian, orang-orang Arab ingin mengejek dengan mengatakan Baytal-harami adalah Rumah yang Suci dan untuk kata a’in-da-Bayti-ka-muharami mereka mengatakan menurut rumah Suci-Mu.

Dalam riwayat Ibrahim Al Qur’an mengatakan dia dibimbing ke Bayta atau sistem tersebut. Mereka yang hendak mengikuti jalannya harus berkomitmen pada sistem yang sama dengan melayani Tuhan. Ibrahim menggunakan kata a’in-da-bayti-ka-muharami dalam Surat 14 Ayat 37 untuk merujukkan bahwa dia mengharapkan anak-anaknya untuk hidup ‘sesuai dengan’ sanksi dalam sistem Tuhan, sistem yang sama yang dianutnya. Hal yang tidak masuk akal mengatakan bahwa Ibrahim berkata kepada Tuhan bahwa keturunannya akan menjalani hidup sesuai dengan rumah suci Tuhan.
(1) Kata bayti-ya dalam Surat 2 Ayat 125 mengatakan Ibrahim dan Ismail membersihkan ‘Sistem-Ku’ dengan merujuk pada sistem Tuhan dan dalam Surat 22 Ayat 26 dikatakan bahwa Ibrahim diberikan tempat di dalam Sistem Tuhan atau Bayti-ya. Hal yang menggelikan dengan mengatakan bahwa Ibrahim dan Ismail membersihkan rumah fisik milik Tuhan dan kemudian berbagi rumah dengan Tuhan.
(2) Dalam Surat 5 Ayat 2 kata Aminal-Bayti-harama disebutkan untuk merujukkan sanksi khusus dalam sistem Tuhan yang menyangkut perlindungan satwa liar. Sanksi yang ditetapkan adalah dengan menjaga keharmonisan di dalam sistem-Nya.
(3) Dalam Surat 14 Ayat 37 Ibrahim mengatakan, saya mendidik anak-anak saya sesuai dengan sanksi-Mu dari sistem itu atau a’inda-baytika-muharami yang berarti mengatakan bahwa anak keturunannya harus menjunjung tinggi komitmen mereka sesuai dengan sanksi yang ditetapkan dalam sistem itu.
(4) Dalam Surat 3 Ayat 97 dikatakan, orang-orang yang beriman akan menghadapi tantangan dalam Sistem Tuhan atau Haj-jul Baytin manis thadhor a’ilaihi ilabila, bila mereka berhasil menemukan jalan mereka ke sana. Ayat itu juga memberikan beberapa petunjuk bahwa di dalam sistem itu terdapat tanda-tanda yang hebat tentang status Ibrahim (harap baca Bagian U’mra dan Hajj).

Oleh karena itu, di dalam Al Qur’an Bayta merujuk kepada sistem dan bukan tentang rumah. Marilah kita telaah lebih lanjut tentang keluarga Ibrahim dari Al Qur’an dan kemudian kita akan melihat relevansi posisinya dalam sistem dan rumah Tuhan.

MENURUTI AJAKAN MENUJU SISTEM ITU

BUKAN MENUJU BERHALA BATU

Nampaknya bahwa dalam sistem Tuhan tak seorangpun dapat mewarisi din dari nenek moyang mereka. Akan tetapi, jika nenek moyang mereka menyerahkan diri pada jalan itu, maka merupakan kewajibannya untuk mendorong anak-anak agar menyerahkan diri kepada Tuhan. Ibrahim dan Yaqub mengingatkan anak-anak mereka:

Selain itu, Ibrahim telah memerintahkan anak-anaknya dan begitupula dengan Yaqub, dia berkata, ‘Hai anak-anakku, Tuhan telah memilih din ini untukmu. Janganlah kamu mati kecuali sebagai orang-orang yang menyerahkan diri (Muslim) (Surat 2 Ayat 132).

Ibrahim dan Yaqub mengatakan kepada anak-anak mereka bahwa mereka tidak boleh mati kecuali sebagai orang-orang yang berserah diri kepada din yang ditetapkan oleh Allah (Muslim). Ibrahim dan Yaqub tidak mengatakan kepada anak-anak mereka bahwa Tuhan telah memilih agama atau Rumah untuk mereka. Mereka mengatakan:

Tuhan telah merujukkan kepadamu Din atau Cara Hidup.

Tak satupun dari mereka diperintahkan untuk mencari rumah atau menyembah kepada Tuhan, tetapi mereka diberitahu bahwa ada din atau Cara Hidup, yang harus mereka yakini, dan memenuhi ajakan menuju sistem itu bila mereka menemukan jalan itu. Ayah mereka Ibrahim dibimbing ke arah sistem tersebut, berkomitmen pada dirinya sendiri kepada sistem itu bersama Ismail dan menjalani hidup sesuai dengan sanksi di dalam sistem itu.

Demikian juga, jika kita berserah diri kepada jalan Tuhan, kita diperintahkan untuk mengingatkan keluarga untuk juga berserah diri pada jalan itu dengan berbuat baik. Dengan alasan bila orang yang menjadi panutan menyerahkan diri dan menjunjung tinggi sistem itu, maka keturunannya juga akan mengikutinya.

Kamu harus membujuk keluargamu untuk menjunjung tinggi komitmen dan terus melakukannya. Kami tidak meminta rezeki darimu. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan orang-orang yang lurus itu akhirnya akan mendapatkan kemenangan (Surat 20 Ayat 132).

Kami selalu mengatakan kepada anak-anak kami bahwa jalan Islam ada di dalam kitab suci dan mereka harus berserah diri kepada jalan Tuhan dan menjunjung tinggi komitmen sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Tuhan. Kami tidak mengatakan kepada anak-anak kami bahwa din ada dalam sebuah rumah di Mekah.

APA YANG ADA DI DALAM SISTEM ATAU BAYTA?

Dalam Surat 3 Ayat 97:

Di dalamnya (bayta) terdapat tanda-tanda yang nyata (Ayatun bai-inatun), tentang status Ibrahim, dan siapapun yang memasukinya (bayta) akan aman. Dan merupakan tugas umat manusia untuk memenuhi ajakan (Hajuu) sistem itu (Bayti) bagi mereka yang dapat menemukan jalan mereka; dan siapapun yang tidak meyakininya, sesungguhnya Tuhan Maha Kaya, dan tidak memerlukan apapun dari dunia. Kata Fi-hi berarti di dalam Bayta terdapat tanda-tanda yang nyata (ayatun-bai-natun) tentang status Ibrahim (maqamu ibrohim).

Tak seorang pun dapat menemukan tanda-tanda yang nyata (ayatun bai-inatun) tentang status Ibrahim (maqamu ibrahim) di dalam rumah batu fisik.

Inilah sebabnya untuk mengatasi masalah yang sulit ini, orang-orang Arab menciptakan sebuah cap tembaga yang jejak kaki Ibrahim di Mekah saat ini. Meskipun mereka kemudian mengacaukannya. Mereka telah menempatkan cap tembaga ini di luar rumah batu – bukan di dalam.

Kini telah jelas bahwa Bayta dalam Surat 3 Ayat 96 dan 97 merujuk pada sebuah Sistem, bukan sebuah rumah, karena kita bisa menemukan tanda-tanda nyata (ayatun bai-inatun) di dalam sistem ini (bayta) tentang status Ibrahim (maqamu ibrohim) yang sepenuhnya berkomitmen kepada din. Siapapun yang memasuki Sistem ini, akan aman. Semua manusia diharapkan menuruti ajakan (hajuu) menuju ‘sistem’ tersebut. Mereka harus mencoba untuk menemukan jalan ke arahnya.

Untuk kepentingan argumen ini, jika kata bayti sebenarnya berarti rumah dalam bentuk fisik dan Haj itu sebenarnya menunaikan ibadah haji, kita akan menghadapi masalah yang sangat serius. Setiap dari 2.000.000 orang yang melakukan ibadah haji hari ini harus berdesak-desakan masuk ke dalam rumah guna mematuhi dan menyucikan tempat dimana Ibrahim mendirikan sholat ritualnya. Rumah ini pastilah rumah besar yang merupakan kisah rekaan orang-orang Arab. Hal itu juga berarti bila jumlah Muslim bertambah, maka mereka harus merenovasi rumah Tuhan untuk menampung orang-orang beriman yang baru, karena rumah Tuhan saat ini terlalu kecil.

Mereka harus melakukannya, karena menurut orang-orang Arab ‘menunaikan ibadah haji ke rumah itu adalah penting bagi manusia untuk keperluan Allah’. Oleh karena itu, semua kaum Suni dan Shiah harus masuk ke rumah itu untuk memperoleh perlindungan. Kedua hal ini tidak logis dan juga mustahil. Inilah yang akan terjadi bila kita meyakini kebesaran Tuhan dan kemudian menyamakannya dengan hal-hal sepele dari dunia fisik manusia. Oleh karenanya, kita mencium sebuah berhala di tengah rumah peribadatan, apapun penjelasan kita tentangnya.

Sekali lagi, artinya hanyalah bayta yang mereka sebut sebagai ka’aba saat ini di Saudi Arabia telah menjadi berhala yang berdiri di tengah-tengah rumah penyembahan.

Mereka yang mampu mengunjungi Mekah harus membuka mata dan menggunakan akal sehat mereka. Menurut orang-orang Arab rumah milik Tuhan itu dihancurkan berkali-kali. Rumah itu dibangun kembali dan direnovasi pada tahun 1996. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana tempat tinggal yang diperuntukkan bagi Tuhan Yang Maha Tinggi yang menciptakan langit dan bumi dapat menjadi begitu rapuh.

Orang-orang Arab mengatakan mereka yang menyembah Tuhan melalui citra atau ikon di dalam kuil adalah orang-orang kafir dan penyembah berhala. Mereka yang begitu cepat mengutuk dan mengkritik tidak pernah menggolongkan diri mereka dalam kelompok tersebut kendati mereka melakukan hal yang sama. Orang-orang Arab dengan semangat merujukkan bahwa para kafir dan penyembah berhala bisa diidentifikasi saat membangun kuil, mereka yang membangun kuil, melakukan upacara, dan ritual di sekitar berhala. Kesamaan itu, sekali lagi, mengejutkan. Namun, demikian belum ada orang yang melakukan observasi tentang hal itu. Mungkin bila orang-orang Arab itu mau menerima kritik.

Orang-orang Arab juga mengatakan para pengikut agama lain adalah kafir dan penyembah berhala saat mereka berjalan mengelilingi setiap berhala batu dalam kuil. Namun, mereka tidak menyadari bahwa mereka melakukan hal yang sama.

Misalnya orang-orang Hindu yang berjalan tujuh kali yang berlawanan dengan arah jarum jam mengelilingi lingam atau berhala batu, yang berada di tengah-tengah kuil. Dan umat Hindu telah melakukan hal ini jauh sebelum orang-orang Arab.

Pendapat orang-orang Arab yang keliru menyatakan bahwa kata Bayta berarti sebuah rumah sepenuhnya berlawanan dengan konsep pelayanan terhadap Penguasa Alam Semesta. Setiap saat suatu kata diubah dari Al Qur’an, pesannya menjadi kabur dan dalam hal ini mereka bersikeras bahwa kata Bayta berarti sebuah rumah, selanjutnya kita akan mengatakannya sebagai ‘Rumah Terlarang’ saat kita merujuk pada kata Baytil-harama di dalam Al Qur’an. Pertanyaannya adalah apakah yang disebut dengan rumah terlarang?

Untuk menutupi konspirasinya, mereka terus mengubah makna kata haram menjadi Suci. Umat Muslim non-Arab di seluruh dunia menantang orang-orang Arab dengan pertanyaan yang sederhana. Bagaimana bangunan batu yang dibangun pada tahun 1996 menjadi ‘Suci’, di bagian mana dari bangunan tersebut yang sebenarnya suci? Mereka akan segera tahu bahwa bukan bangunan persegi empat itu yang suci, namun batu hitam kecil yang disembah oleh para leluhur mereka. Kata Bayta, bayti-ya, ka’aba, Baytul-lah, Baytil-haram dan baytul-muharami hanyalah kamuflase orang-orang Arab.

Orang-orang Arab itu telah berhasil menyatakan kembali dewa batu mereka yang sejati, yang berupa basaltik hitam sebagai pusat penyembahan di Mekah, untuk membawa obor agama leluhur mereka, masyarakat penyembah berhala.

faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:39 pm

BAGIAN DELAPAN

KORUPSI TIADA AKHIR

Dengan menganalisa kata Bayta yang ada di dalam Surat 2 Ayat 125, yang telah disalahartikan oleh orang-orang Non-Arab sebagai rumah Tuhan mensyaratkan keseluruhan Bagian Tujuh untuk dituliskan sendiri. Dalam bagian ini saya ingin merujukkan kepada pembaca bagaimana kata-kata dalam ayat yang sama juga diubah.

Kita semua sadar, ada begitu banyak pengikut agama lain yang memilih menyembah kepada Tuhan melalui citra dari batuan dan granit yang diukir di dalam kuil mereka. Namun mengapa para pengikut Agama Arab menyebut mereka para penyembah berhala?

Faktanya adalah para pengikut Agama Arab itu sendiri memiliki lebih dari satu berhala. Selain rumah kubus di tengah-tengah masjid, orang Arab juga memberikan kepada para pengikutnya dua berhala yang lebih kecil. Ada basaltik hitam yang dibingkai dengan warna perak dirancang dalam bentuk abstrak yang sangat menjijikkan, menjadi ikon utama bagi orang Arab, ditempelkan pada salah satu sudut rumah kubus. Dan yang lain adalah kurungan setinggi dua belas kaki yang melindungi cap tembaga jejak kaki seseorang yang berdiri berhadapan dengan pintu berhala yang lebih besar. Semua berhala itu masing-masing memiliki tujuan dan fungsi.

Rumah kubus tersebut mengindikasikan lokasi titik fokus dalam praktek penyembahan dimana orang-orang beriman berkumpul untuk melakukan sembahyang ritual di dalam area yang sama. Semua pengikut harus setiap saat membungkuk dan bersujud menghadap rumah kubus serta menyempurnakan penyembahan dengan berjalan mengelilinginya yang arahnya berlawanan dengan arah jarum jam sebanyak sepuluh kali.

Orang Arab mendesak agar setiap orang mencium batu granit hitam mereka yang berharga setiap saat mereka melewatinya selama ritual mengelilingi berhala batu besar. Jika mereka tidak bisa menyentuhnya, mereka harus melambaikan tangan mereka ke batu granit hitam dari kejauhan.

Pada cap tembaga tersebut terdapat jejak kaki. Orang-orang harus melakukan sholat ritual dibalik berhala yang dikurung tersebut setiap saat mereka menyempurnakan ritual mengelilingi berhala ‘besar’.

Orang Arab mengatakan berhala yang besar itu milik Tuhan dan berhala kecil milik Ibrahim. Batu basaltik Hitam, menurut tradisi, merupakan berhala yang paling dihormati oleh Agama Arab, yang mereka klaim sebagai batu suci yang jatuh dari langit.

Marilah kita analisa enam kata lain dalam Surat 2 Ayat 125 dan melihat bagaimana kata-kata itu diubah, bila kita membandingkan kata-kata serupa yang ditemukan di dalam kutipan lain Al Qur’an. Kita berkesimpulan di luar keraguan yang beralasan bahwa orang Arab benar-benar mengubah makna kata-kata ini dan menjadikannya dasar dari semua tindakan ritual dalam agama mereka.

STATUS IBRAHIM (MAQAMI IBRAHIM)

Kita telah melihat bagaimana orang Arab mengubah makna kata ‘Bayta’ dalam Surat 2 Ayat 125 menjadi rumah Tuhan dan juga menyebutnya Ka’aba. Dalam memelihara ritual di sekitar rumah tersebut, mereka kemudian melakukan hal yang lebih jauh dengan mendistorsi kata lain ‘maqami ibrohim’ dalam ayat yang sama menjadi tempat ‘sembahyang ritual’. Ini adalah korupsi yang mereka lakukan. Arti kata Maqam dalam Al Qur’an sebenarnya adalah derajat atau status seseorang. Kata ini tidak pernah digunakan untuk merujuk pada lokasi fisik.

Kata Maqam muncul beberapa kali dalam Al Qur’an. Karena Al Qur’an menjelaskannya sendiri, kita hanya perlu melihat semua ayat-ayat itu untuk memahami makna Maqam.

Kata yang sama juga disebutkan dalam Surat 17 Ayat 79 sebagai suatu jaminan dari Tuhan bahwa Dia akan mengangkat kita ke derajat yang lebih tinggi setelah memenuhi perintah-perintah tertentu. Kata yang sama digunakan dalam Surat 2 Ayat 125.

(Wat-ta-khi-zu min-maqami Ibrohim)
Ambillah dari kedudukan Ibrahim (Surat 2 Ayat 125).

(maqaman mah-mu-dan)
Mengangkatmu ke kedudukan yang mulia (Surat 17 Ayat 79).

Oleh karena itu, Maqam berarti status atau derajat seseorang. Kata itu BUKAN berarti sebuah tempat. Dalam hal relevansi kedudukan Ibrahim dalam Islam, kata Maqami Ibrahim disebutkan dua kali dalam Al Qur’an:

(Wat-ta-khi-zu min-maqami Ibrohim)
Ambillah dari kedudukan Ibrahim (Surat 2 Ayat 125).

Fihi Ayaatun bai-inatun maqamu ibrohim
Di dalamnya terdapat Tanda-tanda yang nyata mengenai kedudukan Ibrahim (Surat 3 Ayat 97).

Sebagaimana diharuskan, umat manusia diperintahkan untuk melihat status Ibrahim sebagai contoh jika mereka memilih untuk bergabung dengan sistem Tuhan. Selanjutnya dalam istilah tertentu, mereka diperintahkan untuk mencari tanda-tanda Ibrahim dalam sistem itu sebagaimana tertulis dalam Surat 3 Ayat 97. Dua ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa Ibrahim menjadi faktor utama jika kita memilih untuk percaya kepada Tuhan. Kata ‘Fi-hi’ dalam surat 3 ayat 97 memberi petunjuk bahwa kedudukan Ibrahim berada ‘dalam’ sistem tersebut, tetapi orang Arab mengatakan tanda-tanda Ibrahim berada di luar rumah dan bukan di dalam rumah. Kalau kita membaca surat 3 Ayat 97 menurut daftar kata-kata berikut dikatakan:

Fi-hi di dalamnya
Ayatun tanda-tanda
Bai-inatun adalah nyata
Maqamu kedudukan
Ibrohim dari Ibrahim

Menurut Al Qur’an orang-orang yang menerima kitab suci yang terdahulu mengutip nama Ibrahim saat mereka berbicara tentang Tuhan. Mereka salah mengklaim mengasosiasikan Ibrahim dengan agama mereka dan menempati posisi baik dalam keyakinan Yahudi maupun Kristen. Mereka begitu mengagumi Ibrahim sehingga mengklaim bahwa dia seorang Yahudi atau Nasrani.

Apakah kamu mengatakan bahwa Ibrahim, dan Ismail, Ishak, dan Yaqub, dan anak cucunya adalah penganut Yahudi atau Nasrani? (Surat 2 Ayat 140).

Orang-orang dari Kitab-kitab terdahulu mengetahui relevansi kedudukan Ibrahim dalam Cara Hidup atau din-nil-lah yang ditetapkan oleh Tuhan. Mereka juga mengetahui tanda-tanda nyata (ayatun bai-inatun) dalam Kitab mereka tentang kedudukan Ibrahim. Tentu saja, kitab suci tidak menerima kedudukan Ibrahim sebagai dasar seperti jejak-jejak kakinya pada lumpur.

Para pengikut Agama Arab saat ini juga mengabaikan relevansi kedudukan Ibrahim dalam Al Qur’an kendati mereka tahu ada banyak ayat tentang Ibrahim.

Sebaliknya mereka bahkan memperolok dan merendahkan kedudukan yang paling diharapkan yang dimiliki Ibrahim atau maqam menjadi jejak kaki tembaga yang terletak di luar berhala batu di padang pasir. Untuk merujukkan betapa pentingnya posisi Ibrahim dalam sistem Tuhan tersebut, nabi terakhir menyatakan:-

Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah dibimbing oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus, Cara Hidup yang benar (deen-nan-qi-yaman), prinsip-prinsip Ibrahim yang jujur, dan dia bukan termasuk penyembah berhala (Surat 6 Ayat 161).

Katakanlah. ‘Allah adalah benar, kamu harus mengikuti prinsip-prinsip Ibrahim yang jujur, dia bukanlah termasuk orang-orang penyembah berhala’ (Surat 3 Ayat 95).

Itu adalah tanda-tanda yang nyata (Ayatun bai-inatun) tentang status Ibrahim dalam Sistem Tuhan (Bayta). ‘Maqam’ di dalam Al Qur’an bukanlah beberapa jejak kaki pada cap tembaga yang mengarah ke atas yang dipajang di depan rumah batu di padang pasir.

Saat kaum Suni dan Shiah (dua sekte terbesar dalam Agama Arab) diceritakan tentang ‘jejak kaki Budha’, tempat kelahiran Rama menurut Agama Hindu di India dan ‘Kain penutup dari Turin’ dalam Agama Kristen, mereka akan menolak dengan keras keyakinan ‘persembahan berhala’ yang jelas seperti itu. Hal yang akan mengganggu pikiran mereka bahwa manusia mampu melihat keagungan Tuhan dalam hal-hal tersebut.

Namun, kaum Suni dan Shiah mengesampingkan fakta bahwa orang-orang Arab menciptakan berhala-berhala yang sama sebagai elemen ‘penyembahan’:
• ‘Rumah’ yang dibangun dari batuan gunung.
• Balok tembaga dalam kurungan berhadapan dengan ‘rumah’
• Batu granit hitam yang dibingkai dengan warna perak di sudut ‘rumah’
• Kaligrafi Arab pada kain hitam yang menghiasi ‘rumah’

Semua penjaga kuil di seluruh dunia mengalungi dan menghiasi berhala mereka dengan bunga dan kain yang diwarnai. Orang-orang Arab melakukan hal yang sama. Mereka mengalungi rumah batu dengan kain hitam dan mendekorasinya dengan kaligrafi Arab berwarna emas.

Maqami Ibrahim dalam Surat 2 Ayat 125 dan Maqamu Ibrahim dalam Surat 3 Ayat 97 bukan tempat maupun relief jejak kaki, tetapi derajat yang diberikan kepada Ibrahim dalam Sistem Tuhan (Bayta).

Kata (Ayataun bai-inatun) atau tanda-tanda nyata tentang kedudukan Ibrahim dibahas semuanya dalam kitab-kitab suci dari Tuhan. Manusia diharapkan untuk memenuhi ajakan (Hajuu) ke sistem tersebut dan memahami tentang status Ibrahim bagaimana menjalani hidup sesuai dengan Cara Hidup yang ditetapkan oleh Tuhan. Ini adalah ajakan atau Hajj. Lebih jauh hal ini akan dibahas dalam Bagian tentang Um’ra dan Haji.

KATA BERKOMITMEN DISALAHARTIKAN

(MU-SOL-LAN ADALAH BENTUK TUNGGAL-MU-SOL-LIN ADALAH BENTUK JAMAK)

Dalam Surat 2 ayat 125 kata ‘Mu-sol-la’ berasal dari akar kata Sol-laa dengan awalan ‘Mu’ untuk merepresentasikan tindakan Ibrahim sebagai pelaku dalam bentuk tunggal.

Akan tetapi, musuh-musuh yang keji dari nabi terakhir mengatakan kata ‘ibrohim Mu-sol-la’ adalah tempat ‘sholat ritual’. Itu adalah korupsi yang pertama.

Ada tiga bentuk dalam bahasa Arab: tunggal, ganda atau jamak. Bila pelaku ‘Sol-laa’ dalam bentuk singular, maka disebut ‘Mu-so-lan’, tetapi kalau pelaku itu lebih dari dua orang, maka disebut ‘Mu-sol-lin’ untuk merepresentasikan bentuk plural. Kata Mu-sol-lin juga ditemukan di dalam Al Qur’an:

1. Dalam Surat 2 Ayat 125 ‘Ibrohim-Mu-sol-laa’ memberitahu kita bahwa seorang laki-laki bernama Ibrahim adalah pelaku Sol-laa. Abrahim disebut Mu-sol-lan.
2. Dalam surat 107 Ayat 5 Al Qur’an, kata yang sama digunakan untuk merujukkan banyak orang (jamak) yang merupakan pelaku dari Sol-laa. Mereka disebut Mu-Sol-lin. Ini adalah bentuk jamak dari Mu-sol-lan.

Inilah cara orang-orang Arab mengacak-acak kata sol-laa. Mereka mengatakan satu hal pada satu tempat dan kemudian hal lain di tempat lain.

Kata Mu-sol-lan hanya muncul sekali dalam Al Qur’an untuk merujuk pada orang tertentu yang menjadi ‘pemimpin’ bagi umat manusia. Bentuk jamak dari Mu-sol-laa adalah Mu-sol-lin.

Mereka tidak dapat menyembunyikan makna yang benar karena kata Mu-sol-laa muncul tiga kali dalam Al Qur’an.

Min-maqam-Ibrahim Mu-sol-lan (tunggal)
Kedudukan Ibrahim, orang yang berkomitmen (Surat 2 Ayat 125).

Il-laa Mu-sol-lin (jamak)

Kecuali mereka yang berkomitmen (Surat 70 Ayat 22).

Lam-naku Minal Mu-sol-lin (jamak)
Kami bukanlah termasuk orang-orang yang berkomitmen (Surat 74 Ayat 43).

Wai-lul-Lil-Mu-sol-lin (jamak) al-lazi-nahum ala-solaa-tihim saa-hun

Maka celakalah orang-orang yang berkomitmen, yaitu mereka yang melupakan komitmen mereka (Surat 107 Ayat 5-6).

Ayat terakhir merujuk kepada mereka yang menganggap komitmen hanya sebagai gurauan. Celakalah mereka!

Tak ada ahli bahasa Arab yang berani mengatakan Mu-sol-lan adalah tempat sembahyang ritual, tetapi orang-orang Arab bersikeras mereka harus menerjemahkan kata itu sebagai tempat fisik.

Dalam Surat 2 Ayat 125, mereka memperpanjang korupsi bahwa ‘Ibrahima musollan’ adalah tempat sembahyang ritual Ibrahim. Hal tersebut sangat bertentangan dengan diri mereka. Tidak ada ulama atau pemuka agama yang dapat memberikan penjelasan apapun mengenai kontradiksi ini.

‘Musol-lan’ tidak berarti apapun selain bentuk tunggal orang yang menjunjung tinggi sol-laa itu. Mu-sol-lin adalah bentuk jamaknya. Ini adalah bahasa Arab yang sederhana.

Marilah kita tunjukkan satu contoh sederhana dari Al Qur’an. Dalam Surat 7 Ayat 44 ada seorang ‘yang mengumandangkan’ pengumuman. Kata Mengumandangkan dalam bahasa Arab adalah ‘Azan’ dan bentuk masa lalunya adalah ‘Az-zana’. Orang yang mengumandangkan atau membuat pengumuman disebut ‘Mu-az-zin’.

Maka pengumuman itu dikumandangkan oleh (az-zana) oleh pemanggil (mu-az-zin), kutukan Tuhan akan ditimpakan bagi orang-orang yang keji (Surat 7 Ayat 44).

Demikian juga, Ibrahim adalah penegak ‘komitmen’ atau ‘Sol-laa’ dan dia disebut Mu-sol-lan - orang yang berkomitmen. Bahkan kalangan terpelajar yang mengetahui bahwa bahasa Arab telah disalahgunakan oleh orang Arab. Apakah kemudian mereka bukan bagian dari konspirasi itu?

MENYUCIKAN SISTEM (THO-HIRA BAYTI-YA)

Wa’ahidnaa ilaa ibrohim wa ismael an thor-hira Bayti-ya’

Kutipan ini juga ada dalam ayat sama pada Surat 2 Ayat 125

Wa-ahidnaa Dan Kami meminta
Ibrohim Ibrahim
Wa-ismael Dan Ismail
An-Tho-hira Untuk menyucikan
Bayti-ya Sistem-Ku

Kita sependapat dengan para penerjemah saat mereka mengatakan kata ‘Thoh-hi-ra’ adalah Menyucikan, tetapi sangat sulit untuk memahami mengapa Ibrahim dan Ismail harus membersihkan Rumah fisik?

Tentu hari ini Raja Saudi Arabia yang menyebut dirinya ‘Penjaga Haramain’ juga membersihkan batu berhala setiap tahun selama Idul Fitri. Dia telah menjadi pembersih rumah Tuhan.

Di dalam Al Qur’an Ibrahim berkomitmen untuk MELAYANI Tuhan dan dia menentang semua agama dan praktek penyembahan berhala. Kata ‘tho-hira Bayti-ya’ tidak merujuk pada penyucian ‘rumah’ yang tidak ada, tetapi dia diperintahkan untuk ‘menyucikan’ sistem itu dari praktek ‘penyembahan berhala’ namun dibuat untuk ‘membersihkan’ sistem dari praktek-praktek ‘penyembahan berhala’ Inilah mengapa Ibrahim menghancurkan berhala-berhala dengan ‘tangan kanannya’.

Orang-orang Arab yang jahat itu mengubah kata sederhana lainnya dalam ayat yang sama yang merujuk pada sekumpulan orang menjadi mengelilingi sebuah rumah batu berbentuk kubus. Kata Tho-iffin yang disebutkan dalam ayat itu adalah bagian dari pesan untuk menandai jawaban orang-orang itu yang akan masuk ke dalam sistem Tuhan.

SEKELOMPOK ORANG MENJADI MENGELILINGI

Orang-orang Arab membuat kesalahan besar ketika mereka mencoba mengubah makna kata ‘Tho-iffin’, yang dengan mudah dapat diperiksa kebenarannya dalam ayat-ayat lain Al Qur’an. Mereka membodohi orang-orang di seluruh dunia dengan menyuruh mereka berjalan berkeliling sebagai tanda penghormatan kepada berhala batu mereka.

Kata ‘tho-iffin’ berasal dari akar kata ‘tho-if. Kata ‘tho-if berarti ‘Sekumpulan, sekelompok orang’. Kata ini atau turunan kata lain dari akar kata yang sama yang digunakan dalam banyak bagian Al Qur’an. Kata-kata itu bisa ditemukan dalam Surat 3 Ayat 69, Surat 3 Ayat 72, 122 dan 154, Surat 4 Ayat 81, 102 dan 113. Beberapa contohnya adalah:
Surat 3 Ayat 69 Tho-iffa-tun min-ah-lil-kitab berarti Sekelompok orang-orang dalam kitab itu’.
Surat 3 Ayat 122 Tho-iffa-ta-ni min-kum berarti ‘dua kelompok di antara kamu’.
Surat 4 Ayat 81 Tho-iffa-tun-min-hum berarti ‘Sekelompok di antara mereka’.

Tho-iffin berarti kelompok atau sekelompok orang.

Sungguh membingungkan bagi setiap orang mengapa pemahaman kata ini sengaja diubah menjadi ‘berjalan berkeliling dalam lingkaran’ hanya dengan referensi kata Bayta? Jelaslah bahwa kesalahan interpretasi yang disengaja ini dilakukan untuk mendukung ritual haji yang diciptakan yang sebenarnya tidak ada. Tidak ada justifikasi dari Al Qur’an untuk ‘berjalan mengelilingi’ karena dalam semua ayat yang lain munculnya ‘Thor-iffin’, merujuk pada sekumpulan orang.

Lidah para kalangan terpelajar Arab akan terasa kelu untuk menjelaskan kontradiksi ini. Tidak ada alasan lain bagi orang-orang Arab untuk memanipulasi kata ini kecuali melanggengkan upacara keagamaan berhala tradisional mereka pada masa nomaden, tetapi dengan mengorbankan kitab suci Tuhan.

Kata Li-tho-iffin berarti bahwa tugas Ibrahim-lah untuk ‘menyucikan’ sistem atau ‘Bayta’ bagi ‘sekelompok orang’. Itu saja. Tidak seorangpun diminta untuk mengelilingi bangunan batu berlawanan arah dengan jarum jam. Sangatlah aneh orang-orang Arab tidak pernah menggunakan kata ‘Tho-iffin’ ketika mereka meminta orang untuk berjalan mengelilingi rumah batu, bahkan mereka menyebutnya ‘thaw-waf’, yang tidak disebutkan dalam Surat 2 Ayat 125 atau Surat 22 Ayat 26. Orang-orang Arab membodohi orang-orang melalui permainan pengubahan ucapan.

KATA THAW-WAF

Kata Thaw-waf disebutkan beberapa kali dalam Al Qur’an yang merujuk pada tindakan untuk ‘berbaur dengan orang banyak’ atau ‘terus menyibukkan’ yang tidak berhubungan dengan bangunan batu.

Pertama dan yang paling penting, akar kata ‘Tho-if’ dan ‘Thawaf’ berasal dari dua konsonan yang berbeda, tentu maknanya tidak sama. Orang-orang Arab mengubah arti kata ini agar orang-orang berfikir bahwa kata itu merujuk pada tindakan mengelilingi berhala batu dan penerjemah harus setuju dengan orang-orang Arab dan menerjemahkannya sebagai ‘mereka yang mengelilinginya’. Ini adalah korupsi yang sangat parah.

Kata ‘Tha-Waf’ disebutkan tiga kali (Surat 2 Ayat 158, Surat 22 Ayat 29 dan Surat 24 Ayat 58) di dalam Al Qur’an.

Tha-waf-fu-na ali-kum (mengitari di sekitarmu) (Surat 24 Ayat 58).

Ai-yat-tha-wa-fa bi-hi-maa (berbaur di sekitar mereka) (Surat 2 Ayat 158).

Wal-yat-tha-waf-fa bi-Bayti-a-tiik (terus melaksanakan sistem yang lama) (Surat 22 Ayat 29).

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kata ini tidak ditemukan di dalam semua Surat yang penting, yaitu Surat 2 Ayat 125 atau Surat 22 Ayat 26. Yang dinyatakan dalam Surat 2 Ayat 125 dan Surat 22 Ayat 26 adalah ‘tho-iffin’ yang berarti ‘sekelompok orang’ BUKAN ‘tha-waf’ yang berarti berbaur.

Inti dari pesan dalam tiga ayat itu akan membuktikan bahwa distorsi yang sangat serius sudah direncanakan sebelumnya. Surat 24 Ayat 58 perlu diperhatikan. Dalam ayat ini, anak-anak atau pembantu kita harus meminta izin sebelum masuk ke kamar orang tua mereka pada tiga periode ‘tidak mengenakan sehelai busanapun’ dalam sehari. Selain tiga waktu itu, mereka diperkenankan untuk ‘tha-waf-fu-na ali-kum’ atau berbaur dan berbicara dengan mereka.

Harap perhatikan bahwa Surat 22 Ayat 29 mengikuti referensi tentang Ibrahim dalam ayat 26. Sebelumnya, sudah ada sistem yang terdahulu atau ‘Bayti-aa-tik’ sebelum Ibrahim. Akan tetapi, dalam Surat 2 Ayat 125 Tuhan merujukkan sistem-Nya atau ‘bayta’ kepada Ibrahim. Surat 22 Ayat 29 tidak membuktikan klaim oleh orang-orang Arab bahwa ‘bayta’ merupakan bangunan fisik pertama yang dibangun oleh Ibrahim. Sebelumnya sudah ada ‘rumah’ lain di tempat itu sebelum Ibrahim yaitu bayti-a-tiik. Menurut orang-orang Arab satu-satunya ‘rumah’ adalah ‘bayta’ atau yang hari ini disebut ‘ka’aba’ yang dibangun oleh Ibrahim.

Kecuali kata Tho-hira, kelima kata yang ditemukan pada akhir ayat 125 disalahartikan termasuk kata ‘A’kiffin’. Kata ‘A’kiffin’ berarti ‘memegang sesuatu dengan erat’. Akan tetapi, orang-orang Arab mengatakan kata itu berarti ‘Kembali ke Masjid’. Kita akan mengetahui kemudian bahwa bukan ini yang menjadi masalah.

BERPEGANGAN MENJADI KEMBALI

Di antara beberapa ayat dalam Al Qur’an yang dimanipulasi oleh orang-orang Arab, Surat 2 Ayat 1256 adalah surat yang diubah sangat parah oleh orang Arab yang tidak berperasaan. Mereka juga mengubah makna ‘a’koffin yang berarti ‘memegang dengan kuat’ atau ‘bertaqwa’ menjadi ‘kembali’

An thor-hira baytiya lithor-iffina wal a’kifiina warrukaai ‘sujuudi’

Akar kata ‘A’kif-fin’ adalah K F atau ‘akafa’. Setiap saat kata ini disebutkan dimanapun di dalam Al Qur’an, kata itu selalu dijelaskan oleh orang-orang Arab dan juga diterjemahkan untuk orang non-Arab sebagai ‘mereka yang setia atau berpegang pada sesuatu’. Kata ini dapat ditemukan dalam beberapa kutipan di seluruh bagian Al Qur’an, misalnya dalam Surat 2 Ayat 125 dan Ayat 187, Surat 7 Ayat 138, Surat 20 Ayat 91, Surat 20 Ayat 97, Surat 21 Ayat 52, Surat 22 Ayat 25, Surat 26 Ayat 71 dan Surat 48 Ayat 25. Sebagai contoh:

Ya’-ku-fu-na ala-as-nam
‘Berpeganglah kuat-kuat pada berhala-berhala’ (Surat 7 Ayat 138).

Lannab raha alai-hi A’kiffina
‘Kami akan terus berpegangan erat kepadanya’ (Surat 20 Ayat 91).

Kata A’kiffina dalam Surat 20 Ayat 91 adalah kata yang sama dalam Surat 2 Ayat 125. Akan tetapi, dalam Surat 20 Ayat 91 kata itu merujuk pada Bani Israil yang mengidolakan anak lembu emas. Mereka mengatakan kepada Harun saudara laki-laki Musa,

‘Kami akan terus setia atau berpegangan dengan kuat kepadanya’.

Orang-orang Arab secara konsisten menerjemahkan kata ini sebagai setia atau berpegangan dengan kuat pada sesuatu dalam semua hal kecuali dalam Surat 2 Ayat 125. Mereka mengatakan kepada orang-orang, khususnya ayat ini, maknanya adalah ‘kembali’ yang merujukkan bahwa hal yang sangat baik bila orang-orang kembali ke masjid. Orang-orang Arab secara tidak resmi memberi label kepada orang lain yang setia pada berhala sebagai penyembah berhala, tetapi dalam hal ini mereka tampaknya menerima pengecualian khusus dari Tuhan untuk perbuatan yang sama.

Bagaimana ‘rumah fisik’ orang-orang Arab itu berbeda dengan ‘berhala fisik’ yang ada di tengah-tengah kuil lain? Ini adalah kemunafikan dari orang-orang Arab yang jahat!

Kata terakhir dalam Surat 2 Ayat 125 adalah wa-roka’is-sujud, yang berarti ‘mereka yang merendahkan hati untuk berserah diri’. Orang-orang Arab merusak kata ini dan salah mengartikannya menjadi ‘membungkuk dan bersujud’. Gerakan yang mencakup gerakan tubuh secara teratur yang hanya cocok dengan ritual berhala.

BERSERAH DIRI DENGAN RENDAH HATI MENJADI MEMBUNGKUK DAN BERSUJUD

Membungkuk dan bersujud secara fisik telah menjadi komponen gerakan tubuh yang penting dalam Agama Arab. Tanpa gerakan pantomim ini, ritual mereka menjadi tidak berguna dan sia-sia. Mereka yakin bahwa instruksi gerakan tubuh ini diperintahkan oleh Tuhan sesuai dengan Surat 2 Ayat 125 dan Surat 22 Ayat 26. Selama berabad-abad orang-orang non-Arab yang menguasai bahasa Arab telah membiarkan diri mereka dikuasai orang-orang Arab tanpa memeriksa kebenaran kata-kata yang sederhana bersama dengan ayat-ayat lain dalam Al Qur’an. Setelah penemuan itu, saya merasa sedih terhadap orang-orang non-Arab yang melakukan gerakan tubuh yang aneh ini tanpa memeriksa kebenaran pemahaman mereka dari Kitab Suci mereka sendiri.

Bila mereka disyaratkan untuk yakin bahwa kata Bayta dalam Surat 2 Ayat 125 berarti ‘Rumah’, maka jelas tidak benar, Bayti-ya dalam ayat yang sama berarti ‘Rumah-Ku’. Meskipun mereka tidak secara fisik membersihkan rumah Tuhan namun merasa puas saat berjalan mengelilingi rumah kubus, orang-orang non-Arab sangat yakin bahwa kutipan dalam Surat 2 Ayat 125 mengatakan:
1. Thor-hira Membersihkan rumah fisik.
2. Thor-iffin Berjalan mengelilingi rumah karena mereka yakin orang-orang Arab yang mengatakan bahwa kata-kata thor-iffin memiliki makna yang sama seperti kata ‘Thaw-waf’. Dua kata ini tidaklah sama.
3. A’kiffin Kembali ke ‘rumah fisik’.
4. Wa-roka’is sujud Membungkuk dan bersujud secara fisik kepada sebuah ‘Rumah fisik’ karena mereka juga yakin bahwa kata roka’ adalah sujud yaitu membungkuk dan bersujud.

Karena mereka dengan bangga menyatakan Islam membenci segala bentuk citra dan ikon, maka bagaimana bisa mereka tidak berpikir upacara-upacara keagamaan tersebut adalah jelas merupakan penyembahan berhala? Selain itu, apakah mereka tidak bertanya pada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut ini?
(1) Tidakkah mereka mengabdikan keimanan mereka dan berpegang teguh pada sebuah rumah fisik? dan
(2) Bukankah mereka membungkuk dan bersujud pada rumah fisik tersebut?

Jika mereka dengan tegas menjawab TIDAK!
(i) Lantas, mengapa mereka mengatakannya bahwa itu adalah ‘Rumah Tuhan’?
(ii) Mengapa mereka menyebutnya ‘Baytul-lah’ yang tidak ditemukan di dalam Al Qur’an?

Yang benar adalah, para penemu Agama Arab telah berhasil menipu manusia. Mereka menyuruh para pengikutnya melakukan gerakan tubuh yang menggelikan tanpa menjelaskan alasannya. Hari ini mereka bahkan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sederhana!

Tak ada orang-orang Arab modern atau kalangan terpelajar Agama Arab yang dapat memberikan jawaban cerdas atas pertanyaan-pertanyaan dasar seperti:
• Apakah benar rumah batu di Mekah itu adalah rumah Tuhan atau ‘baytu-lah’?
• Lalu, mengapa Tuhan tidak tinggal di dalam rumah-Nya?
• Mengapa mereka harus membungkuk dan bersujud pada rumah batu?
• Apakah mereka bersujud kepada Tuhan atau kepada rumah batu itu?
• Mengapa mereka berjalan mengelilingi rumah berlawanan dengan arah jarum jam?
• Jika mereka sujud kepada Tuhan dan bukan kepada rumah batu, dapatkah rumah batu itu dihilangkan?
• Jika ibadah haji ritual dan sholat lima waktu ritual mereka dihapuskan tanpa Ka’aba ‘rumah batu’ (padahal Tuhan selalu ada selama 24 jam sehari), maka mereka harus menjawab lagi
• Apakah mereka bersujud kepada rumah batu atau Tuhan?

Tentu hal terpenting terletak pada logika yang sederhana. Bila mereka menyembah rumah itu, maka Tuhan pasti ada di dalamnya. Jika ini masalahnya, maka hal itu sah-sah saja. Akan tetapi, bila Tuhan tidak tinggal di dalam Kubus itu, maka jelas mereka mengagungkan Kubus/Berhala itu. Yang harus mereka lakukan adalah membuktikan bahwa Tuhan ada di sana.

Jika orang-orang Arab sendiri tidak memiliki jawabannya, mengapa orang-orang non-Arab terus menaruh kepercayaan kepada orang-orang Arab? Mungkin mereka menganggap tidak berbahaya mengikuti orang-orang Arab secara membabi buta, tetapi pertanyaannya adalah apakah mematuhi hal-hal aneh semacam itu akan memberikan mereka tiket ke surga? Apakah pantas mengabaikan sesuatu yang begitu penting dengan tidak menguji kebenaran arti-arti dengan menggunakan logika? Menurut Al Qur’an, ‘makhluk yang paling buruk di sisi Allah adalah mereka yang tidak menggunakan akal sehat mereka’. Tentu saja, mereka yang tidak tahu, khususnya orang-orang non-Arab tidak berharap ingin digolongkan dalam kategori yang sama, atau mereka memang berharap?

Apakah belum saatnya bagi orang-orang non-Arab untuk menyadarinya dan mencari ampunan serta karunia dari Tuhan mereka, padahal sebetulnya mereka mampu melakukannya? Sangat sulit bagi mereka untuk bersikap tulus hanya kepadanya dalam upaya mendapatkan kemurahan dan berkah-Nya? Ini adalah beberapa pertanyaan dasar yang harus dipertimbangkan oleh orang-orang non-Arab dengan sangat serius.

Orang-orang Arab memang telah mengubah begitu banyak makna kata yang ada dalam Al Qur’an untuk menyesatkan umat manusia dari jalan Tuhan termasuk kata wa-roka’is-sujud dalam Surat 2 Ayat 125. ‘Wa roka’is sujud’ bermakna ‘berserah diri dengan rendah hati’.

Pesan dalam Surat 2 Ayat 125 mengatakan Ibrahim berkomitmen kepada sistem Tuhan dan bukan pada rumah fisik. Anaknya, Ismail, juga berkomitmen dan keduanya membersihkan sistem bagi sekumpulan orang-orang yang setia dan juga mereka yang berserah diri dalam kerendahan hati kepada sistem yang sama. Ibrahim dan Ismail tidak mengabdikan diri mereka kepada rumah fisik dan juga tidak ‘membungkuk’ serta ‘bersujud’ secara fisik ke rumah batu itu.

Mereka yang mengikuti jejak langkah Ibrahim diharapkan tidak ‘membungkuk’ atau ‘bersujud’ pada apapun. Mereka harus mengabdikan diri dan berserah diri dengan rendah hati kepada sistem tersebut dengan menjunjung tinggi komitmen untuk mematuhi ‘din’ yang ditetapkan Allah. Hanya itu saja yang dikatakan.

Tidak ada ayat dalam Al Qur’an yang mengatakan ‘roka’ is-sujud adalah adalah ‘membungkuk’ dan bersujud’ secara fisik karena kata yang sama digunakan untuk semua makhluk hidup di langit dan bumi termasuk planet-planet ruang angkasa.

SUJUD TIDAK BERARTI SUJUD FISIK

Begitupula, dalam Al Qur’an kata ‘sujud’ berarti menyerahkan diri atau menjadi hamba. Orang-orang Arab secara konsisten mengatakan dalam berbagai ayat Al Qur’an bahwa kata itu tidak berarti sujud secara fisik, tetapi mereka mencoba membuat pengecualian saat kata itu digunakan untuk merujuk kepada manusia. Mereka menyadari sangat menggelikan mengatakan matahari, bulan, bintang, dan pohon-pohon bersujud kepada Tuhan ketika Al Qur’an menggunakan kata yang ‘sujud’ yang sama.

(Qor-laqol-insan a’lama-hul bayan ash-shamsu wal-qomaror bil-husban wal-najmu wal-sajaru yasjudan was-sama’a ro-fa’aha wa-watho’a mi-zan).
Dia menciptakan manusia. Dialah yang mengajarkan kepada manusia dengan jelas. Matahari dan bulan dengan gerakan yang diperhitungkan, dan pohon-pohon semuanya berserah diri (yasjudan) serta langit, yang Dia tinggikan dengan keseimbangan (Surat 55 Ayat 3-7).

Ayat itu mengatakan bahwa pohon-pohon dan segala sesuatu yang ada di langit bersujud kepada Tuhan. Mungkin orang-orang Arab dan kalangan terpelajar Arab dapat menjelaskan kepada kita bagaimana matahari, semua bintang di langit, dan semua pohon-pohon di permukaan bumi ini bersujud kepada Tuhan sebelum mereka mengatakan kepada setiap orang untuk bersujud kepada Tuhan secara fisik. Dalam pendaluan, penulis juga mengutip ayat Al Qur’an untuk merujukkan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi ’Aslama’ atau menjadi Islam kepada Tuhan. Dapatkah orang-orang Arab itu mengatakan kepada kita bagaimana matahari, bulan, bintang, pepohonan, dan semua kerajaan binatang menjadi Muslim? Apakah mereka harus menyatakan ‘Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan, kecuali Allah, dan kami bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah? Lalu mengapa pernyataan semacam itu menjadi pilar utama dalam Agama Arab?

Ada milyaran bintang di langit, rerumputan di atas bumi, sayur-sayuran yang kita makan, bunga Bougenvil yang kita tanam disekitar rumah kita, pepohonan di hutan bersujud kepada satu Tuhan. Kami tidak menyaksikan satupun dari mereka bersujud secara fisik.

Jika kita membaca dengan cermat teks lain dari Al Qur’an kita akan menemukan kata yang sama yasjudun merujuk pada kondisi umat manusia. Dalam Surat 84 Ayat 21 dikatakan:

(Waiza quri-a’alaihim qur-anun la-yasjudun)
Dan ketika Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak menyerahkan diri.

Kami belum melihat seorang Arab pun atau para Ahli Arab bersujud setiap saat Al Qur’an dibacakan kepada mereka, tetapi pada saat yang sama mereka bersikeras bahwa kata ‘sujud’ berarti bersujud. Sujud di sini hanya berarti satu hal. Menerima perintah Al Qur’an. Sebagaimana pendapat yang ada saat ini, setiap Muslim setelah mendengar Al Qur’an dibacakan akan segera bersujud. Sekarang kita semua tahu bahwa hal itu tidak dilakukan. Orang berharap bahwa orang-orang Arab akan lebih konsisten.

Setiap orang akan melihat bahwa ayat itu tidak memerintahkan kita untuk bersujud secara fisik ketika Al Qur’an dibacakan kepada kita, tetapi pada hakekatnya kita harus berserah diri ketika kita mendengar pesan itu. Ada ayat yang berlawanan yang mengatakan bahwa orang-orang sombong menolak untuk BERSERAH DIRI saat pesan itu dibacakan kepada mereka dengan merujukkan penolakan.

Mereka yang menolak ayat-ayat Kami, dan mereka yang bersikap sombong kepadanya, mereka adalah penghuni neraka dan mereka akan tinggal selamanya di sana (Surat 7 Ayat 36).

Jelas bahwa kata Sujud tidak merujuk kepada sujud fisik apapun. Jika apa yang dikatakan orang-orang Arab tentang sujud fisik memiliki dasar, kita akan menyaksikan umat Muslim di seluruh dunia bersujud di semua tempat, di dalam mobil, kompleks pertokoan atau pinggir jalan saat mereka mendengar Al Qur’an dibacakan di radio dan televisi. Ini sangat menggelikan.

Bahkan contoh lain dari Al Qur’an yang merujukkan bahwa kata sujud itu bukan berarti sujud fisik. Dalam Surat 2 Ayat 58, ditulis:

Wad-qulul ba-ban suj-jadan
Dan masuklah ke pintu dengan penyerahan diri.

Ketika Bani Israil diperintahkan untuk memasuki pintu gerbang di sebuah kota, kata suj-jadan digunakan sebagai perintah untuk merujuk pada keadaan penyerahan diri dengan kesederhanaan yang mereka harus ikuti dengan patuh. Ini tidak berarti mereka harus memasuki pintu gerbang dalam posisi sujud kecuali orang-orang Arab dapat mendemonstrasikan kepada kita bagaimana melakukannya. Bani Israil mengetahui kata suj-jadan tidak berarti mereka harus memasuki pintu gerbang sambil merangkak dengan perut mereka.

Riwayat Yusuf dalam Surat 12 Ayat 4 menghancurkan kesalahan interpretasi orang-orang Arab bahwa sujud merupakan tindakan sujud fisik. Yusuf mengatakan kepada ayahnya bahwa dia melihat sebelas bintang, bulan dan matahari sujud kepadanya dalam mimpi yang secara positif merujukkan benda-benda ruang angkasa itu tidak secara fisik ‘bersujud’ kepadanya.

Ingat apa yang dikatakan Yusuf kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, saya melihat sebelas planet dan matahari serta bulan menyerahkan diri (sa-jidin) kepada saya. (Surat 12 Ayat 4).

Kata ‘sujud’, ‘yas-judan’, ‘su-jadan’, ‘Ma-sajid’ dan ‘Sajid-din’ berasal dari akar kata ‘sajada’ yang berarti ‘Menyerahkan diri’. Tak satu pun dari kata-kata ini merujuk kepada tindakan sujud fisik.

Kata ‘Ma-sajid’ juga berasal dari akar kata ‘Sajada’ dan kita akan membahas tentang kata ini pada Bagian selanjutnya. Para pembaca akan terkejut melihat bagaimana orang-orang Arab secara menggelikan menyatakan keadaan penyerahan diri menjadi rumah penyembahan fisik, yang mereka sebut masjid.

Kembali pada kata Sujud. Setelah membaca ayat-ayat Al Qur’an tampak jelas bahwa arti sesungguhnya dari kata ini adalah penyerahan, menghormati, rendah hati, mengakui sesuatu, atau menghamba pada sesuatu.

Jelasnya, Penguasa alam semesta ini tidak tertarik dengan gerakan tubuh. Dia tidak memiliki waktu untuk menyaksikan ‘sujud fisik’ dari hamba-Nya. Kita tidak perlu mendemonstrasikan kesucian pada saat tertentu ketika Dia berkata bahwa Dia Maha Mengetahui. Lakukan saja hal-hal baik dan bekerja dengan giat setiap saat sepanjang hidup kita dan selalu ingat bahwa kita akan dikumpulkan di hadapan-Nya pada Hari Pembalasan.

Kamu harus tahu bahwa Allah berada di antara kamu dan hatimu dan kamu akan dikumpulkan dihadapan-Nya (Surat 8 Ayat 24).

Ibrahim tidak mulai dengan kelas aerobik, tetapi Al Qur’an mengatakan kepada kita bahwa dia berserah diri kepada kehendak Penguasa alam semesta untuk menjalani kehidupan yang benar dengan melayani satu Tuhan, dan tetap monoteis.

Ketika Tuannya berkata kepadanya, ‘Berserah dirilah (Aslim), dia berkata, ‘Saya berserah diri kepada Penguasa Alam Semesta’ atau (Aslam-tu-li-rob-bil-‘alamin) (Surat 2 Ayat 131).

Ibrahim tidak mendemonstrasikan penyerahan dirinya melalui gerakan tubuh, namun melalui hati, pikiran, dan komitmen pribadinya untuk memenuhi kewajibannya.

Sayangnya dia menjadi target utama orang-orang yang keji yang menuduhnya menjadi manusia pertama yang ‘menyembah’ kepada berhala batu di Mekah melalui gerakan membungkuk dan bersujud.

RUKUK BUKANLAH MEMBUNGKUK SECARA FISIK

Dalam Agama Arab mereka mengatakan kata rukuk berarti membungkuk. Lagi, ini adalah kesalahan konsepsi yang lain yang dibuat oleh orang-orang Arab.

Tidak ada bukti dalam Al Qur’an bahwa rukuk adalah membungkuk. Rukuk berarti merendahkan hati, merendahkan diri dalam kesederhanaan. Sama sekali tidak ada ayat di dalam Al Qur’an yang menyatakan orang yang berkomitmen, harus membungkuk pada saat-saat tertentu dalam sehari.

Celakalah orang-orang yang berdusta. Dan ketika mereka diperintahkan merendahkan hati (‘irkaau’), mereka tidak merendahkan hati (laa yar kauun) (Surat 77 Ayat 47-48).

Dan ketika malaikat berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya Tuhan telah memilihmu dan Dia menyucikan kamu (thahara) serta mengangkatmu di antara semua wanita di seluruh dunia. Hai, Maryam, patuhilah Tuhanmu dan berserah dirilah (sujud) dan rendahkanlah hatimu (ruk’u) bersama orang-orang yang rendah hati (ruk’u) (Surat 3 Ayat 42-43).

Maryam tidak diminta untuk membungkuk dan sujud secara ritual atau fisik oleh siapapun dalam sholat ritual.

Oleh karena itu, kita melihat bahwa ruk’u dan sujud bukanlah membungkuk dan bersujud dalam bentuk fisik, tetapi berarti rendah hati atau merendahkan diri (ruk’u) dan menyerahkan diri atau menghamba kepada sesuatu (sujud) dengan keyakinan. Harap perhatikan pula bahwa Tuhan tidak menyucikan (tho-hira) Maryam secara fisik.

Oleh karena itu, wa-ruka’is-sujud dalam Surat 2 Ayat 125 tidak berarti ‘Dan mereka yang membungkuk dan bersujud secara fisik’, tetapi berarti ‘Dan mereka yang berpasrah diri kepada Sistem Tuhan.

Tho-hira Bayti-ya Membersihkan SistemKu
Lit-thor-iffin Bagi sekelompok orang
Wal-a’ki-ffin Dan mereka orang-orang yang setia
Wa-ruka’is-sujud Dan menyembah dengan rendah hati

Inti dari korupsi tersebut di temukan dalam ayat ini. Kata ‘sekelompok orang’ diubah menjadi ‘mereka yang berjalan mengelilingi’, kata ‘setia’ menjadi ‘kembali’ dan kata ‘menyerahkan diri dengan rendah hati’ menjadi ‘membungkuk dan bersujud’. Tujuannya adalah membuat semua kata-kata ini menjadi tindakan melakukan ritual.

Orang-orang Arab sungguh telah menemukan jalan mereka untuk menyatakan kembali agama nenek moyang mereka kendati mereka secara tidak bermoral harus melanggar esensi kesucian kitab suci yang diwahyukan kepada nabi terakhir. Kita telah melihat bukti-bukti dari Al Qur’an bahwa distorsi tersebut disengaja. Untuk mengingat distorsi tersebut, saya akan menjelaskan beberapa bukti yang sejauh ini telah terungkap. Mungkin bukti-bukti itu hanya berupa ujung dari gunung es.
1. ‘Deen’ atau Cara Hidup menjadi Agama
2. ‘ta’budu’ atau MELAYANI menjadi menyembah
3. ‘Sol-laa’ atau Komitmen menjadi sholat ritual
4. ‘mu-sol-lan’ atau Berkomitmen menjadi tempat penyembahan ritual
5. ‘Bayti-ya’ atau SistemKu menjadi Rumah Tuhan
6. ‘tho-iffin’ atau sekumpulan orang menjadi berjalan berkeliling
7. ‘Zakaa’ atau Menyucikan menjadi pungutan Keagamaan.
8. ‘A’kiffin’ atau mendekatkan diri dengan penyerahan diri menjadi Kembali ke Masjid.
9. ‘wa-ruku’is-sujud atau menyerahkan diri dengan rendah hati menjadi membungkuk dan bersujud secara fisik.
10. ‘Maqami-ibrohim’ atau status Ibrahim menjadi jejak kaki Ibrahim dalam cap tembaga yang dipajang berhadapan dengan rumah batu berbentuk kubus yang diperoleh dari batuan gunung di Mekah.

Menurut Al Qur’an, Yahudi yang mendistorsi ucapan-ucapan Tuhan adalah sekelompok orang berhati jahat dan mereka adalah bangsa pemberontak, karena hati mereka telah mengeras. Informasi dalam Al Qur’an ini telah diulang berkali-kali.

Apakah kamu berharap mereka akan beriman sebagaimana dirimu, meskipun beberapa dari mereka telah memngubah FIRMAN-FIRMAN Tuhan setelah mereka mendengarnya, memahaminya, dan bersikap jahat? (Surat 2 Ayat 75).

Ketika mereka diperintahkan, ‘Berimanlah kepada ayat-ayat Tuhan’, mereka mengatakan, ‘Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami’. Oleh karena itu, mereka menolak semua kitab suci selanjutnya meskipun mereka tahu bahwa itu merupakan kebenaran, dan meskipun hal itu memastikan kitab suci mereka sendiri. Katakanlah, ‘Mengapa kamu membantai nabi-nabi Tuhan di masa lalu, bila kamu betul-betul beriman? Musa datang kepadamu dengan tanda-tanda yang jelas, namun kamu menyembah anak lembu ketika Musa tidak berada di sana dan kamu kembali berbuat keji. Kami berjanji kepadamu saat Kami mengangkat Gunung Sinai di atasmu, dan mengatakan berfirman, ‘Kamu harus berpegang pada perintah yang Kami tetapkan kepadamu dan dengarkanlah. Namun mereka berkata, ‘Kami mendengar namun kami tidak akan mematuhinya’. Hati mereka telah dipenuhi dengan kekaguman terhadap anak lembu itu sebagai konsekuensi atas sikap kafir mereka (Surat 2 Ayat 91-93).

Karena mereka melanggar janji maka Kami mengutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka mengeras. Akibatnya, mereka MENGUBAH FIRMAN-FIRMAN dari tempat-tempat aslinya dan mereka mengabaikan sebagian darinya, Kamu akan selalu melihat pengkhianatan mereka kecuali beberapa dari mereka. Maka, maafkanlah mereka dan lupakan kesalahan mereka, karena Tuhan hanya menyukai orang-orang yang saling menyayangi (Surat 5 Ayat 13).

Akan tetapi, setiap orang tidak mengindahkan kebenaran lain dari Tuhan ketika Allah berfirman bahwa orang-orang Arab itu telah dibutakan hatinya, yang lebih buruk ketimbang hati orang Yahudi. Kita tidak bisa menyangkal sekelompok orang yang disebutkan dalam Surat 2 Ayat 8 sampai ayat 10 yang merujuk pada orang-orang Arab. Tuhan telah menggolongkan orang-orang Arab sebagai orang yang sangat setia dengan sikap kafir dan munafik dalam Surat 9 Ayat 97.

Orang-orang Arab itu sungguh setia dengan sikap kafir dan munafik (Qur’an Surat 9 Ayat 97).

Tidak mengherankan bila mereka mencontoh orang-orang yang digambarkan dalam Surat 2 Ayat 8 sampai 10.

Di antara mereka ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhirat”, padahal mereka bukanlah orang-orang yang beriman. Dalam upaya menipu Tuhan dan orang-orang beriman mereka sesungguhnya hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya. Di dalam hati mereka ada penyakit, dan akibatnya Tuhan menambah penyakit mereka. Mereka pantas menerima siksa yang pedih atas kebohongan mereka. (Qur’an Surat 2 Ayat 8-10)

Meskipun orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang suka memberontak, mereka tidak terlalu jauh melampaui batas seperti yang dilakukan orang-orang Arab. Orang-orang Yahudi menyembah anak lembu emas dan hati mereka dipenuhi dengan kekaguman pada anak lembu itu dan mereka menolak Al Masih, Yesus, putra Maryam yang bertugas untuk mengubah mereka. Akan tetapi, orang-orang Arab itu bertindak sangat keji untuk menipu Din Tuhan atau deen-nil-lah. Hanya orang-orang yang tidak menghendaki kedamaian sejati dengan Kitab Suci yang akan melakukan semua tindakan keji ini dan terus melanjutkan semuanya hingga hari ini. Warisan mereka telah bertahan hingga saat ini dan merupakan ‘Konspirasi Terbesar’ dalam sejarah umat manusia, dalam waktu 1400 tahun.































faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:47 pm

BAGIAN SEMBILAN

BERSERAH DIRI MENJADI MASJID

Bahasa Arab, bahasa Al Qur’an, masuk dalam anggota rumpun bahasa yang disebut rumpun bahasa Semit. Ini merujukkan bahwa bahasa ini bersama anggota rumpun yang lainnya memiliki struktur karakteristik tata tertentu dan leksikologi yang sama. Bahasa Arab lebih dekat dengan rumpun bahasa Semit lain yang secara teori disusun kembali sebagai ‘proto semitik’. Dengan kata lain, bahasa Arab, dibandingkan bahasa Semit lain lebih melindungi elemen fonologi dan morfologinya yang pernah dikenal luas oleh semua anggota rumpun bahasa ini.

Mungkin hal yang baik menyebutkan kembali bahwa bahasa Arab memperoleh kosakatanya dari ‘akar kata’. Hal ini bisa berupa kelompok konsonan bilateral, trilateral, atau kuadrilateral dimana kata-kata itu berkembang.

Misalnya, konsonan S K N yang diucapkan sebagai ‘Sakana’ secara harfiah berarti ‘Membatasi’. Kata ini bisa menghasilkan kata kerja lain dengan inti makna yang sama seperti ‘yaskunu’ yang berarti ‘beristirahat’, atau ‘uskun’ yang berarti ‘tinggal’, atau ‘yus-kanu’ yang berarti ‘tempat tinggal’, ‘sakan’ yang berarti ‘nyaman’, ‘sakun’ yang berarti ‘istirahat’ dan ‘maskunah’ yang berarti ‘ditinggali’.

Selain bentuk dasar yang diperoleh dari akar kata, penggunaannya dalam bentuk kedua sangat umum. Bentuk itu bisa disusun dengan menambahkan pada huruf vokal stem tertentu, awalan atau sisipan atau keduanya sesuai dengan pola yang ada.

Verbal noun mengungkapkan ide tindakan kata kerja, kata ini sering diterjemahkan sebagai kata kerja beraturan yang sering kali berbentuk infinitive atau gerund seperti To read = Reading atau To live = Living, dll.

Bentuk participle (bentuk kata kerja) berasal dari kata kerja yang menandakan pelaku atau penerima tindakan. Kata kerja tersebut merepresentasikan tindakan yang mungkin bersifat sementara, sedang berlangsung atau merupakan kebiasaan. Meskipun merupakan kata sifat, namun kata tersebut digunakan sebagai kata benda substantif.

Umat Muslim yang berbahasa non-Arab dibuat untuk meyakini bahwa orang-orang Arab adalah penguasa bahasa Arab Al Qur’an. Kita tidak boleh lupa pada satu fakta yang penting, Tuhan tidak meminjam bahasa orang-orang Arab ketika Dia mewahyukan kitab suci kepada nabi Arab. Orang-orang Arab modern hingga hari ini masih terus berjuang untuk memahami berbagai ayat dalam Al Qur’an. Ada begitu banyak kata dalam Al Qur’an yang tidak mereka pahami. Marilah kita tunjukkan beberapa contoh khusus pemahaman orang-orang Arab terhadap subyek berikut:

Al Qur’an menggambarkan bumi seperti bentuk telur, tetapi orang-orang Arab mengatakan bumi itu datar dan berdiri pada dua tanduk banteng. Menurut para ahli bahasa Arab setiap saat banteng itu menggetarkan kepalanya, maka akan terjadi gempa bumi di suatu tempat di dunia.

Al Qur’an menjelaskan tentang partikel-partikel atom, tetapi ahli bahasa Arab mengatakan ukuran partikel atom sama dengan sebutir biji mustar.

Al Qur’an menggambarkan tentang pembelahan bulan secara metafor, tetapi orang-orang Arab menggambarkan separuh bulan itu jatuh dari langit dan mendarat di belakang rumah milik menantu lelaki nabi dan separuhnya lagi jatuh di balik gunung.

Al Qur’an mengatakan matahari berputar pada orbit khusus. Orang-orang Arab mengatakan, ‘Pada saat terbenam, matahari bersujud di bawah singgasana dan memohon izin untuk terbit lagi dan diizinkan dan kemudian bila saatnya tiba dia akan bersujud, meminta izin untuk memulai perjalanannya. Matahari akan diperintahkan untuk kembali dan darimana datangnya maka matahari akan terbit dari barat’. Ini merujukkan bahwa pergerakan matahari berkaitan dengan bumi. Dan itulah pemahaman ahli Arab tentang bahasa Arab dalam Al Qur’an.

Mayoritas orang-orang Arab modern masih berkutat dalam hal makna beragam kata dalam Al Qur’an, milyaran orang non-Arab percaya bahwa orang-orang Arab adalah penguasa bahasa di masa lalu. Ini memungkinkan mereka mengambil keuntungan dari orang-orang tak berdosa di seluruh dunia dengan membiarkan mereka memanipulasi kata-kata sederhana di dalam Kitab tersebut.

Dalam Bagian ini, penulis akan membuktikan bahwa kata-kata yang ditujukan pada konsep tindakan yang berkelanjutan yang diperintahkan kepada bagi umat manusia telah dengan sengaja didistorsi menjadi bangunan fisik. Tujuan pengubahan tersebut adalah untuk menciptakan rumah-rumah penyembahan untuk melengkapi Agama Arab temuan sehingga mereka dapat mengenalkan kembali versi rumah penyembahan mereka seperti agama yang lain.

Kata yang berasal dari akar kata ‘Sajada’ yang berarti ‘Menyerahkan diri’ telah diubah menjadi masjid. Ada beberapa verba yang dihasilkan dari akar kata ini yang menjadi bentuk dasar yang tidak mengubah makna akar kata tersebut. Dalam Al Qur’an, kata ‘Sajadu’, ‘yas-judun’, ‘usjud’, ‘Sujud’, ‘Sajid’, dan ‘ma-sjid’ berasal dari akar kata yang sama.

Perbandingan sederhana dengan ayat-ayat lain dalam Al Qur’an akan merujukkan pelanggaran disiplin linguistik yang dilakukan orang-orang Arab berkenaan dengan penggunaan awalan dan akhiran. Misalnya, kita lihat dalam Al Qur’an kata-kata berikut:
• Akar kata ‘Sahara’ berarti ‘mengucapkan mantera atau menyihir’. Ketika seseorang disihir maka awalan ‘Ma’ ditambahkan pada akar kata, yang menjadi bentuk dasar dari kata kerja ‘Mashur’. ‘Mas-hur’ bukan sebuah tempat atau bangunan fisik, tetapi kondisi dimana seseorang disihir adalah ‘Mas-hur’.

Dalam surat 15 Ayat 14 dikatakan, Jika Tuhan membuka pintu gerbang langit, yang bisa kita daki maka kita akan mengatakan mata kita akan disihir’.
• Akar kata ‘Satara’ berarti ‘Mengukir atau menulis’. Ketika Kitab Tuhan ditetapkan dengan peraturan-peraturan tetapnya, awalan ‘Ma’ ditambahkan pada akar kata sehingga menjadi bentuk dasar ‘Mastur’. Kitab ini bukan ‘Mastur’, tetapi apa yang diperintahkan atau yang diinspirasikan adalah ‘Mastur’.

Dalam Surat 52 Ayat 2 ada ayat yang merujuk pada Musa dan dikatakan, ‘Dan Kitab yang ditulis’, yang berarti perintah Tuhan yang ditetapkan di dalam kitab tersebut.
• Akar kata ‘shahid’ berarti ‘Menyaksikan’. Kalau dimaksudkan untuk merujukkan bahwa orang-orang menyaksikan, maka awalan ‘Ma’ dilekatkan pada akar kata dan menjadi bentuk dasar dari kata kerja ‘Mashud’. Tempat peristiwa itu terjadi bukan berarti ‘Mashud’, tetapi kondisi menyaksikan adalah ‘Mashud’.

Dalam Surat 11 Ayat 103 dikatakan, ‘Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang takut akan hukuman pada hari akhirat. Yaitu hari ketika orang-orang dikumpulkan dan mereka akan menyaksikan/Mashud.
• Kata dasar ‘Sajana’ berarti ‘Memenjarakan’. ‘Mas-juni’ merujukkan menjalani hukuman penjara. ‘Masjuni’ bukan ‘Penjara’.
• Akar kata ‘Sakana’ dalam Al Qur’an berarti ‘tinggal atau mendiami’. Tindakan mendiami adalah ‘Mas-kuna’. Bangunan tempat orang tinggal disebut ‘Buyut’ atau rumah dan BUKAN ‘Mas-kuna’.

Kamu tidak bersalah bila memasuki ‘rumah’ (buyutan) yang tidak ditempati (ghoiro mas-kuna)’. (ghoiro secara harfiah berarti ‘tidak’) (Surat 24 ayat 29).

Demikian juga, kata ‘sajada’ dalam Al Qur’an berarti ‘berserah’. Kata ‘Ma-sajid’ merupakan turunan dari akar katanya. Kata tersebut tidak merepresentasikan ‘tempat dimana orang-orang pergi untuk berserah diri. ‘Ma-sajid’ berarti orang-orang yang patuh dengan ‘berserah diri’.

Ini adalah beberapa perbandingan dari daftar contoh yang panjang dalam Al Qur’an. Kata-kata ‘mas-hur’, ‘mas-kuna’, ‘mas-sajid, ‘mas-hud dan ‘mas-juni’ adalah kata kerja yang ditambahkan dengan awalan ‘Ma’ di depan masing-masing akar kata. Kata-kata tambahan tersebut merujuk pada bentuk keadaan berkelanjutan dari suatu kata kerja aktif atau penerima pelaku. Pemeriksaan yang sederhana dalam Al Qur’an dapat dengan mudah mengungkapkan distorsi yang tidak perlu yang terus dilakukan oleh orang-orang Arab untuk mengubah makna kata-kata sederhana dalam upaya mencapai tujuan mereka.

Dalam Bagian ini kita akan membahas tentang kata Ma-sajid yang berarti penyerahan diri. Kita juga akan membahas kata masjidi-lah, yang diberikan akhiran ‘Lah’ yang menandakan ‘Tuhan’ sebagai pihak pertama yang memerintahkan penyerahan diri tersebut. Kemudian kita akan membahas kata masajida-lil-lah, yang ditambahkan akhiran ‘Li’, yang berarti ‘Kepada’ dan ‘Lah’ yang berarti Tuhan. Kata itu berarti menyerahkan diri ‘Hanya kepada Tuhan’ saja. Terakhir, kita akan membahas kata ‘masjidil-harami’ yang ditambahkan pada bentuk dasar dengan kata kerja lain bila diterjemahkan secara harfiah berarti batasan-batasan khusus yang ditetapkan pada penyerahan diri atau ma-sajid.

Kata ‘ma-sajid’ pertama kali muncul dalam Al Qur’an pada Surat 2 Ayat 187. Dalam ayat ini orang yang menjalankan puasa juga diharuskan untuk mematuhi aturan tertentu. Jika dia berpegang kuat pada perintah itu, berarti dia dalam keadaan berserah diri. Al Qur’an merujuk tindakan semacam itu sebagai ‘berpegang dengan kuat atau patuh pada penyerahan diri’.
(a-kulu washrobu hat-ta yat-tabaiyana lakumul khoithu abyathu minal qhoithi aswadi minal-fajri som-maa atimul siam-ma ilal-ilaili walatubashiru hun-naa wa antum a’kiffun-na fil-masaji-di. Tilka hududul-lah) bagian ke dua dari ayat 187 surat Al Baqarah.

Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang hitam dan benang putih pada waktu fajar. Kemudian, jalankan puasa hingga malam dan janganlah kamu menyentuhnya saat kamu patuh pada penyerahan diri. Itulah larangan-larangan Allah (hudu-dul-lah).

Daftar kata-katanya adalah:

Wa-antum Dan kamu
A’kifun-na patuh
Fi dalam
Ma-sajid dalam penyerahan diri

Perintah itu hanya mengatakan, ‘bila seseorang mengabdikan dirinya dalam penyerahan diri’, maka dia tidak boleh melakukan hubungan intim dengan isteri-isteri mereka. Perintah itu muncul pada bagian ke dua Surat 2 Ayat 187.

Akan tetapi, orang-orang Arab mengubah makna (1) ‘a’kiffun’ yang berarti ‘mengabdikan atau patuh’ menjadi ‘kembali’ dan (2) ‘fil-ma-sajidi’ yang berarti ‘dalam penyerahan’ menjadi ‘di dalam masjid’.

Makna kata ‘A’kiffin’ yang dijelaskan dalam Bagian sebelumnya, dan dalam ayat ini mereka mengubah makna kata ‘Ma-sajid’ menjadi ‘Masjid’. Dengan menyatukannya mereka mengatakan kepada setiap orang bahwa maknanya adalah, ‘ketika kamu kembali ke masjid’. Mereka mengesampingkan pesan pada bagian pertama ayat tersebut yang mengatakan kamu boleh berhubungan intim dengan isteri-isteri kalian di waktu malam tanpa kecuali mereka dalam keadaan tidak bersih.

(Uhil-la-lakum lailata-siam-mil rofash ila-nisaa-ikum hun-na li-bashal lakum wa-antum li-bashan lahun-na a’limal-lah ain-nakum kun-tun tah-tanu an-fusakum)
Diperbolehkan kepadamu pada waktu malam puasa untuk berhubungan intim dengan istri-istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian untuk mereka. Allah mengetahui bahwa kamu telah berbuat salah (Bagian pertama dari Surat 2 Ayat 187).
Bagian pertama dari Surat 2 Ayat 187 mengatakan, tidak diharamkan bagi orang-orang yang berhubungan intim dengan istri-istri mereka pada malam puasa. Dan ini juga merupakan bagian dari penyerahan diri atau ma-sajid. Tetapi pada saat mengabdikan diri mereka dalam penyerahan diri (a’kifuuna fi masaajid), mereka tidak boleh menyalahkan diri mereka sendiri dengan peraturan tambahan. Itu saja. Ini hanyalah perintah yang sederhana.

DIN ITU DITETAPKAN

Konsep penyerahan diri menurut Al Qur’an tidak mendukung terbentuknya rumah penyembahan dan juga bukan merupakan bagian dari Jalan yang ditetapkan oleh Tuhan atau deen-nil-lah. Ini bukan merupakan bagian dari peraturan Tuhan atau ‘sha’iral-lah’. Ide di balik kepatuhan terhadap penyerahan diri adalah nilai-nilai kemanusiaan dalam menerjemahkan peraturan-peraturan tersebut ke dalam tindakan pribadi dan perbuatan berdasarkan pada undang-undang Tuhan yang diwahyukan kepada semua nabi-nabi. Ini bukanlah suatu lembaga yang mudah dicapai melalui rumah penyembahan sebagai sarana umum yang digunakan oleh semua agama.

Untuk mengingat perintah dalam Surat 2 Ayat 187, berpuasa merupakan bagian dari hukum Tuhan yang diperintahkan kepada orang-orang terdahulu jauh sebelum Al Qur’an diwahyukan. Tentu, mereka yang patuh berpuasa akan mengabdikan diri mereka melalui penyerahan diri atau a’kiffuna-fil-ma-sajid dan mungkin mereka tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan ‘masjid’. Akan tetapi, ketika perintah yang sama diberikan kepada orang-orang Arab, mereka mengenalkan konsep ritual yang baru untuk mendorong para pengikut mereka kembali pada bangunan fisik dan secara menggelikan mengatakan, ‘kamu tidak boleh melakukan hubungan intim dengan istri-istrimu bila kamu pergi ke masjid’. Kita tidak melihat logika apapun dalam perintah tersebut.

Dalam Surat 2 Ayat 183 Al Qur’an memberikan alasan mengapa puasa diperintahkan kepada orang-orang Muslim.

Hai orang-orang yang beriman, puasa diperintahkan kepadamu, sebagaimana diperintahkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu patuhi (Surat 2 Ayat 183).

Jadi, puasa bukan baru saja diperkenalkan, namun merupakan perintah Tuhan yang diperkenalkan pada awal sejarah, tetapi ini bukan jawaban umum yang kita peroleh dari pemuka agama Arab setiap saat kita bertanya kepada mereka mengapa umat Muslim harus berpuasa. Namun yang mereka lakukan adalah memberikan daftar panjang tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam hal puasa yang bukan berasal dari Al Qur’an.

Setiap kali orang-orang Arab mendistorsi sebuah kata dari sebuah ayat, mereka terpaksa mengubah kata-kata lain untuk merujukkan bahwa kata-kata itu berhubungan dengan agama mereka. Setelah kita membuat perbandingan untuk meneliti rasionalitasnya dan sebagai konsep seperti yang dimaksudkan oleh Al Qur’an, kita akan melihat perbedaan makna dalam pesan itu.

MA-SAJID ADALAH PENYERAHAN DIRI

Orang-orang Arab dan para pemuka agama mereka tidak sadar bahwa kata ‘ma-sajid’ yang digunakan dalam Al Qur’an merujuk pada orang-orang jauh sebelum masa nabi terakhir dan tidak merujuk pada masjid fisik apapun. Mereka sepenuhnya menghilangkan riwayat Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, Musa, dan Yesus yang menyerahkan diri kepada Tuhan seakan mereka tidak pantas mendapatkan posisi apapun dalam Islam. Sebelum orang-orang Arab menjadi Muslim ada banyak lainnya yang tunduk kepada Tuhan pada saat yang sama banyak dari mereka menyalahgunakan penyerahan diri tersebut. Dalam Surat 9 Ayat 107 dikatakan:

(Wallazi taqqozu masjidan dhiro-ro wakuf-ran watab-riqan bainal mu’munin-na wa-irsodan liman ha-robal-lah wa-rosulahu min-qoblu)
Dan ada orang-orang yang menyalahgunakan penyerahan diri dalam kerusakan dan kemusyrikan dan mereka menciptakan perbedaan di antara orang-orang yang beriman, sementara mengakomodasi orang-orang yang menentang Tuhan dan Rasul-Nya dari sebelumnya (bagian pertama Surat 9 Ayat 107).

Pengamatan yang cermat akan merujukkan bahwa kata ‘Min-qobla’ mengindikasikan peristiwa yang terjadi di masa lalu, yang secara harfiah berarti sebelumnya. Kata ma-sjidan merujukkan bentuk jamak. Ini untuk merujukkan bahwa bukan mesjid yang disalahgunakan, namun penyerahan diri tersebut. Dengan kata lain, sebelum masa nabi terakhir kata ‘mas-sajidan’ atau ‘penyerahan diri’ telah dikorupsi guna menciptakan masalah dan ketidakyakinan.

Kata Ma-sajidan merupakan istilah umum yang digunakan dalam Al Qur’an untuk merujuk pada penyerahan diri dan digunakan jauh sebelum masa Muhammad. Selain itu, tidak ada fakta sejarah yang mendukung keberadaan masjid fisik apapun yang didukung oleh umat Muslim sebelum Al Qur’an diwahyukan. Kaum Yahudi dan Kristen menyebut rumah penyembahan mereka sebagai sinagog dan gereja. Menurut orang-orang Arab Islam yang dilahirkan setelah zaman nabi terakhir.

Orang-orang Arab membual bahwa masjid pertama yang dibangun oleh nabi di tempat khusus dipilih oleh binatang unta di Madinah duabelas tahun setelah dia menerima wahyu itu. Sambil mencoba menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an mereka mengatakan, nabi terakhir diperintahkan oleh Tuhan untuk mengubah arah sholat ritual dari Yerusalem ke masjid suci di tempat kelahirannya di Mekah jauh sebelum masjid pertama dibangun. Mungkin hanya orang-orang Arab yang dapat menjelaskan kontradiksi semacam itu.

Dalam Agama Arab tidak disebutkan riwayat apapun tentang bangunan fisik yang disebut masjid atau masjid Tuhan atau ‘masjid suci’ selama masa nabi Nuh, Ibrahim, Musa atau Yesus.

Mari kita melihat kutipan lain Surat 9 Ayat 107.

(Wala-yahlifun-na ain-arodna il-laa husna. Wal-lah-yshadu, in-nahum la-kazibun).
Dan mereka bersumpah, ‘kami tidak menghendaki apapun selain kebaikan’. Dan Tuhan menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (bagian ke dua ayat 107).

Pada bagian kedua ayat ini dikatakan, ‘Wal-lah-yashadu, in-nahum la-kazibun’ yang berarti, ‘Tuhan menjadi saksi bahwa memang mereka adalah pendusta’. Adalah salah bila berasumsi orang-orang berbohong tentang masjid mereka, namun kita bisa berkata bahwa mereka berbohong tentang keyakinan mereka. Apapun yang mereka lakukan di dalam masajidan atau penyerahan diri, yang digunakan dalam bentuk jamak, bukanlah dari Tuhan dan Rasul-Nya. Pastinya mereka tidak menyalahgunakan bangunan fisik apapun.

Kelompok orang yang ada dalam Surat 107 menyatakan bahwa mereka bermaksud baik. Akan tetapi, Tuhan mengatakan bahwa Dia menyaksikan mereka berbohong tentang keyakinan mereka sendiri. Sulit membayangkan bagaimana seseorang bisa menyalahgunakan masjid fisik. Jika kita membaca ayat berikutnya, kita melihat bahwa orang-orang didorong untuk ikut serta dalam penyerahan diri dan alasan yang mendasarinya.

(La-taqum fihi abadan, lamasjidan usisa ‘ala-taqwa min-aw-wali yau-mi ahaq-qu an-taqum-ma fihi. Fihi rijalun yuhib-bun aiya-tha-thoh-haru. Wal-lah yuhib-bul mu-dhoh-hirin).
Jangan pernah kamu ikut serta di dalamnya. Sungguh penyerahan diri yang didirikan di atas ketakwaan sejak awal kebenaran adalah yang patut kamu ikuti. Ada orang-orang yang hendak membersihkan diri mereka. Dan sesungguhnya Tuhan menyukai orang-orang yang membersihkan diri mereka (Surat 9 Ayat 108).

Tujuan dari penyerahan diri atau ma-sajid dalam Surat 9 Ayat 108 menjadi jelas. Yaitu untuk membersihkan orang-orang. Jika orang-orang Arab bersikeras bahwa masjid mereka dapat membersihkan orang-orang, maka apa salahnya mengatakan kuil, sinagog dan gereja dapat melakukan hal yang sama?

Penting pula untuk melihat daftar kata-kata dalam Surat 9 Ayat 108 yang mengatakan, ‘la masjidan usisa ala taqwa minal-aw-wali yaumi ahaqqu’:

Lamasjidan penyerahan diri
Usi-sa yang didirikan
Alataqwa atas ketakwaan
Minal sejak
Aw-wali pertama
Yau-mi hari
Ahaqu tentang kebenaran

Kata ‘minal aw-wali yau-mi ahaqu’ berarti ‘sejak awal’. Ini hal yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh orang-orang Arab itu. Apakah kata dari ‘sejak awal kebenaran’ itu berarti meminta arsitek dan kontraktor untuk mendirikan bangunan secara benar atau untuk menegakkan ketakwaan dengan kebenaran sejak awal? Apakah kita menemukan kebenaran di dalam rumah penyembahan, atau penjaga yang merampok di dalamnya?

Faktanya adalah ayat-ayat tersebut menekankan pentingnya untuk tidak menyalahgunakan penyerahan diri yang ditetapkan Tuhan setelah kebenaran ditegakkan. Penyerahan diri tersebut mencakup komitmen pribadi melakukan hal-hal yang baik dalam rutinitas kehidupan kita kepada masyarakat, orang tua, keluarga, saudara-saudara, teman dekat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, orang-orang yang membutuhkan dan memegang janji yang kita buat dan terus mempertahankan kewajiban kita serta menjaga kemurniannya. Kita harus tetap tegar dalam menghadapi bahaya, kesukaran dan peperangan.

Akan tetapi, hal itu merupakan keyakinan dasar bagi setiap orang, yaitu dia percaya pada (1) Satu Tuhan, (2) Hari Pembalasan atau Hari Akhir, dan (3) bekerja dengan baik selagi hidup di dunia. Jelasnya, semua itu bisa dipatuhi tanpa rumah penyembahan.

Setiap orang tidak perlu pergi ke bangunan fisik untuk mencari ahli agama guna mempelajari cara beriman kepada Tuhan, hari akhir atau bagaimana dia harus menjalani kehidupan sebagai orang berbudi. Dia perlu memahami kitab suci Tuhan dan di dalamnya dia akan menemukan sumber kebenaran. Setelah mengetahuinya, dia akan melakukan penyerahan diri atau masajid dan bisa membedakan antara yang benar dan salah.

PENYERAHAN DIRI ITU DITETAPKAN

Orang-orang Arab dengan rencana besarnya pertama mengubah kata ma-sajid, yang berarti penyerahan diri menjadi masjid fisik. Mereka kemudian mengubah kata yang sama yang ditambah akhiran; ‘Lah’ atribut yang merujuk pada kata Tuhan. Kata ma-sajidil-lah di dalam Al Qur’an berarti penyerahan diri yang ditetapkan oleh Tuhan. Begitupula ketika Al Qur’an mengatakan ‘deenil-lah’, berarti din yang ditetapkan oleh Allah, namun diubah menjadi agama ‘Tuhan’.

Penemu Agama Arab memberi kesan pada dunia bahwa Penguasa Alam Semesta telah merujuk orang-orang Arab untuk menghancurkan gunung yang Dia ciptakan di sekitar Mekah dan memotongnya menjadi balok-balok untuk membangun sebuah ‘rumah’ dan ‘masjid’ dan kemudian menyatakannya sebagai rumah dan masjid suci. Tuhan kemudian memerintahkan kepada orang-orang Arab modern untuk memasang pompa air di bawah bangunan batu ini dan sekali lagi menyatakan bahwa air itu suci.

Menurut Surat 9 Ayat 97, Tuhan berfirman, ‘Orang-orang Arab itu sangat kuat dalam sikap kafir dan munafik’. Orang-orang Arab tidak bisa menghapuskan peraturan ini dalam Al Qur’an. Apapun yang mereka lakukan, mereka akan menyatakan bahwa mereka bermaksud baik, namun kenyataannya mereka adalah orang-orang keji yang mencegah orang lain agar tidak berserah diri sesuai dengan yang ditetapkan Tuhan atau ma-saajidil-lah.

Al Qur’an telah menyatakan dalam Surat 6 Ayat 38 bahwa kitab tersebut itu sangat lengkap dan Tuhan tidak menyisakan apapun dari kitab suci tersebut. Mengubah kitab suci Tuhan adalah tindakan yang keji. Kita telah melihat bagaimana orang-orang Arab itu menyalahgunakan Al Qur’an dan juga kekejian mereka dalam Surat 2 Ayat 114:

(waman adhlamu mim-man mana’a masajidal-lah aiyaz-karor fihas muhu wasa’a fi-qoror-biha. Ulaa-ika makana lahm aiyad-khulu-ha ilaa-qor-iffin lahum fid-dunya khizyun walahum fil-akhirati a’zabun a’zim).
Siapakah yang lebih keji daripada mereka yang menghalang-halangi penyerahan diri yang ditetapkan Allah (masajidil-lah) dengan menyebutkan nama-Nya dan terus menghancurkannya? Mereka itu yang seharusnya tidak diizinkan melakukannya (menyerahkan diri), kecuali mereka yang takut akan penghinaan di dunia ini dan hukuman yang kejam di akhirat kelak’ (Surat 2 Ayat 114).

Konspirasi itu sudah terungkap. Orang-orang yang keji (musyrik) dalam ayat ini berusaha menghalangi orang lain dari sistem penyerahan diri yang ditetapkan Tuhan atas nama Allah. Orang-orang Arab telah mengubah firman-firman Tuhan atau kalimahnya dalam Al Qur’an untuk menciptakan Agama Arab yang palsu. Dan mereka juga menggunakan nama Tuhan.

Orang-orang musyrik yang dimaksud dalam ayat ini adalah para pemuja berhala yang melakukan kegiatan ‘pemujaan’ dan ‘ritual’. Mereka menyebut nama Allah dalam penyembahan yang mereka lakukan guna menghancurkan penyerahan diri yang ditetapkan Allah atau ‘ma-sajidil-lah. Bangsa Arab tidak berhasil merujukkan kepatuhan sesungguhnya yang diperintahkan kepada umat manusia, namun mereka menipu manusia di seluruh dunia dengan Agama Arab temuan mereka sehingga membuat manusia memuja berhala. Mereka menggunakan nama Allah untuk mempertahankan agar niat mereka dianggap sebagai niat baik.

Menurut Al Qur’an para pemuja berhala ini tidak pantas mengembangkan atau menghidupkan penyerahan diri yang ditetapkan Allah. Dalam Qur’an Surat 9 ayat 17, Allah berfirman:

(Makana lil-musyrikin ai-ya’maru masa-jidal-lah shahidin-na a’la-anfusihim bil-kufri. Ulaa-ika habithod a’ma-luhum wafin-nar hum qorlidun)
Para pemuja berhala itu tidak pantas untuk memelihara penyerahan diri yang ditetapkan Allah. Mereka mengakui bahwa mereka adalah orang-orang kafir. Apa yang mereka lakukan adalah sia-sia dan mereka akan kekal berada dalam neraka (QS 9:17).

Kata ai-ya’maru berarti menghidupkan atau memelihara (lihat Bagian 11). Tentu saja kita tidak bisa memberikan jiwa bagi bangunan fisik khususnya sebuah masjid. Kata ma-sajidal-lah berarti kepatuhan yang diperintahkan oleh Allah. Namun manusia bisa memelihara atau memberikan jiwa pada bentuk kepatuhan kepada Allah dimanapun dan oleh siapapun asalkan fokus mereka adalah pada perintah terhadap kepatuhan tersebut, yang disebut Al Qur’an ‘masjidil-harami’.

Orang yang pantas menghidupkan atau memelihara masjid-masjid Allah hanyalah mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat serta mereka yang mendirikan komitmen/memegang erat komitmen dan menjaga kemurniannya.

(In-nama ya’muru masajidal-lah man amana bil-lah wal-yaumil akhiri wa-aqor-mas Solaa-ta waataz Zakaa-ta).
Sesungguhnya orang yang pantas memelihara kepatuhan yang diperintahkan Allah (mas-sajidal-lah) adalah mereka yang percaya kepada Allah dan hari akhir serta menegakkan komitmen menjaga kemurniannya (QS 9:18).

Tampak sangat jelas bahwa ‘ma-sajidal-lah’ BUKAN merupakan suatu bangunan namun itu merupakan bentuk kepatuhan kepada Allah. Orang-orang yang beriman adalah orang yang tepat untuk memberikan kehidupan atau memelihara kepatuhan yang diperintahkan.

Din yang diperintahkan tidak meminta mereka untuk melakukan pemujaan atau sembahyang ritual pada lokasi tertentu atau dalam rumah pemujaan.

Orang-orang beriman yang sejati dapat memelihara kepatuhan yang diperintahkan Allah dengan meminta kepada umat manusia untuk mematuhi Allah dan melayani Tuhan dari alam semesta ini untuk berbuat baik kepada masyarakat, orang tua, keluarga, kerabat, teman-teman, anak-anak yatim dan orang-orang miskin.

Menurut Al Qur’an, Allah menciptakan segalanya yang ada di langit dan bumi ini dan semua ciptaan-Nya diserahkan kepada din-Nya secara sukarela maupun tidak. Jadi Allah tidak perlu menunggu umat manusia yang diciptakan-Nya untuk membangun masjid dari batu karang, kayu, semen atau batu dan kemudian berkata ‘bangunan-bangunan ini adalah rumah Allah’, karena Allah adalah pemilik dari segala mineral, logam, kayu dan batu di dunia. Sangatlah tidak masuk akal dengan mengatakan bahwa manusia harus mengambil sedikit pasir, batu, batu karang, dan kayu, mencampurnya menjadi satu, dan kemudian berkata, ‘Inilah Rumah Allah’ atau Inilah Masjid Allah’.

PESAN DALAM AYAT-AYAT SUCI AL QUR’AN

Allah menurunkan ayat-ayat dalam kitab suci-Nya yang merupakan rahmat dari-Nya. Ayat-ayat Allah tak lebih dari sekadar pedoman “Cara hidup” atau din. Untuk membalasnya, manusia diminta untuk berbuat baik guna merujukkan penghargaan terhadap Sang Pencipta. Itu saja. Sang Pencipta memastikan bahwa mereka yang menjalani hidup sesuai dengan perintah Allah tidak akan mengalami kesulitan, rasa takut, atau kesedihan baik di dunia maupun akhirat.

Umat manusia mengikuti jalan yang berbeda, mereka memiliki budaya dan cara hidup yang berbeda dalam mematuhi sistem yang berbeda. Kendati diciptakan dengan warna kulit dan bahasa yang berbeda, namun satu-satunya faktor yang menyatukan mereka adalah Tuhan mereka yang telah memberi mereka kehidupan dan kematian. Namun yang terbaik di antara mereka, adalah mereka yang berbuat kebajikan.

Di antara tanda-tanda-Nya adalah diciptakan-Nya langit dan bumi, dan berbagai macam bahasa serta warna kulit. Ini semua adalah tanda-tanda bagi semua umat manusia (QS 30:22).

Hai manusia, Kami menciptakan kamu semua dari pria dan wanita yang sama dan Kami menjadikan kamu dalam berbagai macam bangsa dan suku agar kamu saling mengenal satu sama lain. Namun yang terbaik di antara kamu adalah orang yang berbuat kebaikan. Allah Maha Tahu lagi Maha Mengerti QS 49:13.

Al Qur’an tidak menggambarkan agama ‘suci’ atau kehidupan ‘mulia’. Ini adalah kitab yang berisi pedoman dan berita baik bagi mereka yang berniat menjalani kehidupan yang lurus dengan bersikap rendah hati dan berbuat kebajikan, dengan membuang jauh ego mereka, ketamakan, serta sikap mementingkan diri sendiri.

Memang Al Qur’an adalah pedoman bagi orang jujur dan berita baik bagi orang-orang beriman yang berbuat kebajikan. Mereka itu pantas mendapatkan pahala yang besar (QS 17:9).

Kita bisa menjalani kehidupan yang lebih baik bila bangsa Arab mengikuti contoh yang ditunjukkan oleh rasul terakhir yaitu dengan menyampaikan kabar baik kepada dunia, namun mereka memilih untuk mendukung peraturan-peraturan sadis pada Zaman Batu dengan menentang hak asasi manusia dan kebebasan berbicara. Selama kunjungan singkat yang dilakukan penulis ke Mekkah, Medinah dan Jeddah, penulis merasa terkejut melihat semua toko dan bisnis dipaksa untuk menghentikan kegiatannya setiap azan di masjid berkumandang yang mengingatkan waktu salat. Kerumunan orang, para pria berbusana putih yang panjangnya hingga lutut dengan penutup kepala kotak-kotak, serta wanita berbusana tertutup berwarna hitam dari kepala hingga kaki, mengikuti tradisi orang-orang tak beragama, bergegas menuju masjid. Dan di jalan-jalan, pasukan mutawwa yaitu polisi yang menakutkan menarik para pembangkang. Peraturan perilaku dan cara berbusana sangatlah ketat dan diterapkan dengan prinsip-prinsip kekejaman. Mereka dengan sengaja merusak pedoman dan kabar baik dari Allah.

KETAKWAAN PADA PERIODE PRA AL QUR’AN

Qur’an Surat 9 ayat 107 menjelaskan tentang Ma-sajidan atau kepatuhan yang telah dikorupsi selama masa nabi-nabi sebelumnya. Dengan berbuat demikian, mereka secara langsung menghalangi orang lain untuk patuh pada perintah Allah, yang disebut Al Qur’an ‘mas-jidil-lah’.

1. Saat kitab Taurat diturunkan kepada Musa, para pengikutnya diperintahkan untuk menegakkan agama yang sama dengan yang diturunkan kepada Nuh dan Ibrahim. Namun mereka mengabaikan ketakwaan itu (ma-sajidil-lah). Mereka memperkenalkan agama Yahudi, kemudian menyebut diri mereka kaum Yahudi, agama yang tidak diketahui oleh Musa.

2. Yesus putra Maria segera dikirim kepada Anak-Anak Israel untuk memastikan apa yang sebenarnya diberikan kepada Musa. Namun mereka berkomplot menentangnya dan mengabaikan ketakwaan tersebut (ma-sajid) untuk menjauhkan umat manusia untuk masuk ke dalam ketakwaan (ma-sajidil-lah). Yesus tidak menyebut setiap pengikutnya dengan Kristen, Katolik, atau Protestan.

3. Begitu juga dengan bangsa Arab yang mengabaikan ketakwaan itu atau ma-sajid dan menggantinya dengan Agama Arab. Mereka mengesampingkan kitab suci yang diturunkan kepada nabi terakhir yang memastikan diturunkannya kitab suci kepada Musa dan Yesus. Mereka juga menghalangi manusia di seluruh dunia untuk masuk ke dalam ketakwaan (ma-sajidil-lah). Nabi terakhir tidak pernah menyebut para pengikutnya dengan Suni, Syiah, atau Wahabi.
Beginilah cara ketakwaan tersebut disalahgunakan. Mereka bermaksud menghancurkan ketakwaan yang ditetapkan Tuhan (ma-sajidil-lah) sebagaimana yang tertera dalam Qur’an Surat 2 ayat 114.

Kita tidak dapat melewatkan fakta-fakta sejarah tentang anak-anak Israel yang disebutkan di seluruh Al Qur’an. Ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari mereka. Misalnya, saat pertama kali mereka menerima kitab suci, sebelumnya mereka diperingatkan bahwa mereka akan melakukan pelanggaran di dunia sebanyak dua kali.

Menurut Al Qur’an, saat pelanggaran yang pertama terjadi, Allah menghukum mereka melalui hamba-hamba Allah yang sangat kuat yang akan menyerang negara mereka. Selanjutnya arus mengarah pada pertemanan mereka dengan yang lain yang memperingatkan bahwa bila mereka berbuat baik maka itu demi kebaikan mereka, namun bila mereka berbuat jahat maka mereka akan merasakan akibatnya.

Saat pelanggaran yang kedua terjadi, para lawan akan mengalahkan mereka dan memasuki Masajid tempat mereka pertama kali masuk. Saat kita melihat kata ini ditujukan kepada anak-anak Israel, maka kita berkesimpulan bahwa ‘Ma-sajid’ bukanlah bangunan fisik yang disebut masjid. Hal itu berarti bahwa jauh sebelum jaman Muhammad, anak-anak Israel telah berada di dalam ‘Ma-sajid’ atau ketakwaan. Sayangnya mereka menyalahgunakannya. Sebagai dampaknya mereka menderita di tangan orang lain. Secara positif kita bisa mengatakan bahwa anak-anak Israel tidak berada dalam ‘masjid” fisik manapun.

Semua pelanggaran yang disebutkan dalam Al Qur’an selalu terhadap kitab suci Allah. Mereka salah mengartikan kitab suci tersebut dan menentangnya. Sekali lagi atas Rahmat-Nya, Allah mengirimkan Yesus putra Maryam untuk memastikan apa yang telah diturunkan kepada Musa.

Kami menurunkan kitab suci kepada Musa, dan setelah itu Kami kirimkan para nabi, dan Kami memberikan kepada Yesus putra Maryam tanda-tanda yang hebat dan mendukungnya dengan Roh Kudus. Kapanpun seorang nabi mendatangimu dengan perintah-perintah yang bertentangan dengan dirimu, kamu berubah menjadi angkuh, kamu menolak orang lain, dan membunuh orang lain (QS 2:87).

Mereka menolak Yesus putra Maryam dan melanggarnya. Allah berkata bila mereka berbuat baik maka itu demi kebaikan mereka, namun bila mereka berbuat jahat maka mereka akan menderita.

Bertahun-tahun kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada seorang manusia yang bukan bagian dari mereka, namun pesan yang terkandung dalam Al Qur’an serupa dengan yang diberikan kepada Musa. Allah memberikan perhatian khusus kepada anak-anak Israel dalam bagian awal Al Qur’an mulai dari Surat 2 ayat 40 dengan mengatakan kepada mereka bahwa mereka seharusnya bukanlah menjadi yang pertama menentang kitab suci tersebut. Dia meyakinkan mereka bahwa kitab tersebut adalah kitab yang diberikan kepada mereka sebelumnya. Bila anak-anak Israel membaca Al Qur’an maka mereka akan mengetahui sejarah sesungguhnya tentang bangsa mereka sendiri (QS 2:40-123).

Susunan dalam surat kedua Al Qur’an adalah sebagai berikut:
1. Qur’an Surat 2 ayat 1-5 tentang orang-orang beriman yang percaya kepada kitab suci Allah
2. Qur’an Surat 2 ayat 6-7 tentang mereka yang tidak beriman (kafir)
3. Qur’an Surat 2 ayat 8-20 tentang orang-orang hipokrit (orang munafik)
4. Qur’an Surat 2 ayat 21-29 pesan yang ditujukan kepada semua umat manusia
5. Qur’an Surat 2 ayat 30-39 sejarah seorang manusia yang mengikuti petunjuk Allah
6. Qur’an Surat 2 ayat 40-123 pesan kepada anak-anak Israel
7. Qur’an Surat 2 ayat 124-134 mereka diingatkan tentang sejarah monotheisme
8. Qur’an Surat 2 ayat 135-141 mereka ingin mempertahankan keyakinan yang lama
9. Qur’an Surat 2 ayat 142 mereka bertanya mengapa Al Qur’an diturunkan kepada orang-orang non-Israel
10. Qur’an Surat 2 ayat 143 Allah mengatakan bahwa itu merupakan ujian bagi mereka yang mau mengikuti Rasul-Nya
11. Qur’an Surat 2 ayat 144-147 mereka tahu bahwa itu adalah hal yang sesungguhnya, mereka mengakuinya
12. Qur’an Surat 2 ayat 148-152 fokus pada sanksi-sanksi dalam ketakwaan yang diturunkan kepada nabi atau Masjidil-harami. Setiap orang harus mengarah padanya.

Kendati kitab suci Allah diturunkan kepada orang-orang non-Israel, namun pesan dalam surat awal kitab suci tersebut utamanya ditujukan kepada anak-anak Israel. Fakta yang jelas ini ditemukan dalam Qur’an Surat 2 ayat 40 sampai 123. Dalam ayat-ayat ini anak-anak Israel juga diingatkan tentang sejarah sesungguhnya Ibrahim yang menjalankan sistem Allah dan komitmen yang ditunjukkan olehnya dan Israel terhadap sistem Allah dalam Qur’an Surat 2 ayat 124-131. Pilihannya kemudian adalah terserah pada manusia yang menerima kitab suci sebelumnya untuk menerima atau menentang ayat-ayat tersebut.

Banyak orang tidak memahami esensi dari pesan tentang anak-anak Israel yang tertera dalam Al Qur’an. Detail tentang batasan-batasan terhadap ketakwaan itu telah ada dalam Taurat, namun mereka mengesampingkan dan mengabaikannya. Mereka yang pertama kali memasuki Ma-sajid atau ketakwaan untuk pertama kalinya.

Bila kita membaca Surat 17 ayat 7 dengan cermat kita akan melihat bahwa:

In-naa ahsan-tum bila kamu berbuat baik
Ahsan-tum maka hal itu baik untukmu
li-anfusikum bagi dirimu sendiri
Wa-ain asa’tum dan bila kamu berbuat jahat
Falaha maka buruklah itu bagimu
Faiza Oleh karena itu, bila
Ja’a wa’dul janji itu tiba
Akhirah akhirnya
Li-yasuu’u mereka akan mempermalukan
Wuju-haakum wajahmu
Wali-yad-khulu dan mereka akan masuk/datang
Masjida ketakwaan
Kama cara yang sama
Da-qolu kamu masuk
Au-wala mar-rotin untuk pertama kalinya
Wali-yutab-biru dan mereka menguasai
Ma apa
A’lu tat-bi-ror yang akan mereka kuasai sepenuhnya.

Anak-anak Israel sebelumnya telah masuk ke dalam Ma-sajid saat mereka menerima Taurat. ‘Da-qolu auwala mar-rotin’ berarti ‘dimana kamu masuk pertama kali’. Hal itu merujukkan bahwa mereka bertakwa kepada Allah setelah berjanji kepada-Nya. Inilah periode saat mereka masuk kedalam ketakwaan atau ma-sajid. Jelas bahwa anak-anak Israel tidak mengetahui segala sesuatu tentang masjid saat kata itu digunakan untuknya.



faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:49 pm

BAGIAN SEMBILAN (lanjutan)

SANKSI-SANKSI PADA PERIODE PRA QUR’AN

Setiap surat dalam Al Qur’an diberi nama untuk mengindikasikan beberapa deskripsi yang berkaitan dengan nama surat itu. Beberapa surat itu diberi nama orang seperti Ibrahim, Yusuf, Maryam, Nuh, Sheba, Yunus, dan lain-lain. Judul dari Surat 17 adalah ‘Anak-anak Israel’ atau Bani Israel. Dalam surat ini kita akan mengetahui banyak fakta sejarah tentang anak-anak Israel termasuk pengulangan Sepuluh Perintah yang berbaur dengan subyek-subyek lain. Tujuh ayat pertama menjelaskan prinsip fundamental dari perintah yang diberikan kepada Bani Israel. Seperti yang diduga, arti dan pesan sesungguhnya dari Surat 17 ayat 1 tersebut sekali lagi diputarbalikkan oleh bangsa Arab yang menganggapnya sebagai sumber asli dari sembahyang ritual mereka.

Mereka yang tidak berprasangka akan mudah memahami arti dan tujuan dari Surat 17 ayat 1 dan 2.

Maha Suci Allah yang telah membawa hamba-Nya selama satu malam dari kepatuhan yang diperintahkan ke batasan-batasan kepatuhan yang telah diberkahi, untuk merujukkan kepadanya tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dan Kami berikan kepada Musa kitab tersebut dan Kami menetapkannya sebagai Pedoman bagi Bani Israel. Kamu tidak boleh mengambilnya dari tempat lain selain dari Aku sebagai pembimbingmu (QS 17:1-2).

Singkatnya, kisah dalam Surat 17 ayat 1 adalah tentang perjalanan yang telah direncanakan sebelumnya oleh Musa. Surat itu harus dibaca bersama dengan ayat selanjutnya yang dimulai dengan diftong ‘wa’ yang berarti ‘Dan’ yang mengindikasikan kesinambungannya dengan ayat pertama, ‘Dan Kami memberikan kepada Musa Kitab Suci tersebut dan Kami menjadikannya sebagai pedoman’. Ketika dua ayat tersebut dibaca bersama maka terlihat bahwa subyeknya adalah tentang tanda-tanda dan ayat-ayat yang diturunkan kepada Musa. Kata-kata masjidil-harami dan masjidil-aqsa digunakan pada zaman Musa. Namun apakah yang disebut dengan masjidil-harami dan masjidil-aqsa?

Secara harfiah arti masajid adalah ketakwaan, kata harami adalah larangan yang ditetapkan atau tepatnya sanksi dan kata aqsa berarti batas-batas atau dalam area yang sama.

Perjalanan dari ‘masjidil-harami’ ketakwaan yang diperintahkan menuju ‘masjidil aqsa’ atau batas-batas ketakwaan bukanlah dari satu ‘masjid’ fisik ke ‘masjid’fisik lainnya yang letaknya berjauhan. Pertama saya ingin memperjelas bahwa arti kata aqsa bukanlah ‘jauh’ namun batas yang dekat, (hal ini akan dijelaskan secara ringkas).

Qur’an Surat 17 ayat 1 mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada malam hari. Menurut Al Qur’an, Musa adalah satu-satunya manusia yang berjumpa dengan Allah dan ia berbicara kepada-Nya di malam hari. Tak ada nabi lain yang memiliki keistimewaan semacam itu. Namun Musa mengalami dua pertemuan selama zamannya dan keduanya terjadi di malam hari.

Bila kita membaca Surat 17 ayat 1 bersama dengan ayat-ayat selanjutnya kita akan mengetahui bahwa dalam ayat itu dijelaskan tentang sejarah Bani Israel dari saat Musa menyaksikan tanda-tanda Allah sebelum kitab suci yang sesungguhnya diturunkan kepadanya di lokasi yang berbeda. Tidak seperti dongeng yang dikarang oleh ahli-ahli bangsa Arab yang mengatakan bahwa nabi terakhir terbang ke surga ketujuh dengan berkendara kuda setengah manusia, Qur’an tidak mendukung hal yang tidak masuk akal semacam itu. Peristiwa-peristiwa signifikan seperti menyaksikan tanda-tanda Allah umumnya dijelaskan dalam ayat-ayat lain yang tersebar dalam kitab suci tersebut yang menjelaskan tentang detail atau setidaknya menggambarkan kondisi-kondisi seputar hal itu. Tentang dongeng yang berkaitan dengan perjalanan ke surga, tak ada satu ayatpun dalam Al Qur’an yang mendukung kisah tersebut. Sumber-sumber keajaiban tersebut mungkin merupakan sisa kemusyrikan yang meresap ke dalam Agama Arab. Sejarah perjalanan Musa ke gunung untuk menyaksikan tanda-tanda Allah jelas tertera dalam Al Qur’an.

Perjumpaan pertama:

Qur’an Surat 20 ayat 9 sampai 16.

Apakah sejarah Musa telah kamu ketahui? Saat ia melihat api, ia berkata kepada keluarganya, ‘Tunggulah di sini, aku melihat api, mungkin aku bisa membawanya atau menemukan petunjuk dalam api tersebut. Saat ia tiba di sana ia dipanggil, ‘Hai Musa, Aku Tuhanmu, maka lepaskan sepatumu. Kamu berada di lembah suci Tuwa. Dan Aku telah memilihmu, jadi dengarkan apa yang akan diturunkan. Aku satu-satunya Allah, tak ada Tuhan selain Aku. Kamu harus menyembah kepada-Ku dan mematuhi komitmenmu untuk selalu mengingat Aku. Waktunya pasti akan tiba; Aku akan merahasiakannya, untuk memberikan pahala kepada setiap jiwa atas apapun yang dilakukannya. Oleh karenanya, janganlah kamu dialihkan dari sana oleh orang-orang yang tidak beriman dan mengikuti pendapat mereka, yang bisa membinasakan kamu.

• Dalam Surat 20 ayat 17 sampai 21, Allah bertanya kepada Musa tentang tongkat di tangannya dan mengubahnya menjadi seekor ular, itulah tanda pertama yang ditunjukkan kepada Musa.
• Dalam Surat 20 ayat 22, tangan Musa menjadi lebih terang dan Allah berkata ‘Itulah tanda yang lain!’
• Dalam Surat 20 ayat 23, Allah memberikan kepada Musa Tanda-Tanda Kekuasaan-Nya yang Besar atau ‘min-ayatina-kubror’
• Dalam Surat 20 ayat 24-25, Allah meminta Musa untuk pergi bertemu Fir’aun.
• Dalam Surat 20 ayat 26-27, percakapan itu berlanjut, namun hanya membahas tentang tugas-tugasnya
• Dalam Surat 20, ayat 38-40, Allah memberitahu Musa tentang kisah pribadinya dan pada bagian akhir dari ayat 40 dan ayat 41 berikutnya Allah berkata, ‘Kamu telah hidup di Midyan selama beberapa tahun dan kini kamu telah datang sesuai dengan rencana. Musa, Aku memilihmu hanya untuk-Ku’. (Tugas besar untuknya adalah bertemu dengan Fir’aun seperti yang tertera dalam Surat 20 ayat 24)

Bila kita membaca Surat 17 ayat 1, kita akan melihat bahwa perjalanan yang telah direncanakan dengan tujuan ‘mewujudkan Tanda-tanda Kami untuknya atau Li-nuriyahu min ayatina’. Hal yang terpenting dari pesan ini adalah memperlihatkan tanda-tanda tersebut. Tampaknya Allah hanya menampakkan Tanda-tanda-Nya kepada Musa dengan mengubah sebatang tongkat menjadi ular dan secara ajaib mencerahkan tangannya. Inilah satu-satunya bukti dari Al Qur’an tentang penampakan tanda Allah pada malam hari. Maksudnya jelas; manusia yang melihat tanda tersebut diperintahkan untuk melaksanakan suatu tugas. Perjumpaan pertama Musa dengan Allah mengindikasikan awal dari tugas pertamanya sebagai nabi untuk membebaskan anak-anak Israel dari penindasan Fir’aun. Selama pertemuan pertama tersebut satu-satunya penampakan tanda disertai dengan beberapa instruksi. Itu saja. Kitab suci tidak diwahyukan kepadanya.

Semakin jelas bahwa perjalanan di malam hari seperti yang tertera dalam Surat 17 ayat 1 menjadi referensi bagi sejarah Musa dan hal itu sesuai dengan ayat-ayat dalam Surat 20 ayat 9-48. Namun bangsa Arab menciptakan kisah panjang tentang perjalanan nabi Muhammad dari masjid yang tak ada di Mekkah ke masjid lain yang juga tidak ada di Jerusalem dan kemudian mengembangkannya dengan mengatakan bahwa Muhammad terbang ke ‘surga ke tujuh’ untuk bertemu dengan Allah membicarakan ‘sembahyang ritual’. Tak ada bukti dalam Al Qur’an bahwa nabi terakhir menyaksikan tanda-tanda dari Allah pada siang atau malam hari kecuali menerima wahyu melalui malaikat Jibril.

Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa adalah kata-kata yang berkaitan dengan ketakwaan, telah hadir jauh sebelum masa nabi terakhir sebagai bagian dari sistem Allah. Saat Al Qur’an diturunkan kisah perjalanan malam menjadi jelas bagi nabi terakhir bahwa hal itu merujuk pada kejadian sebelumnya dimana seseorang melihat tanda Allah pada malam hari.

Tak ada yang misterius dengan perjalanan malam bila kita membaca ayat-ayat lain dalam Al Qur’an untuk mengidentifikasi orang yang sesungguhnya melihat tanda-tanda Allah. Selanjutnya saat Al Qur’an diturunkan tak ada hal semacam masjid suci dimanapun di Jerusalem atau Mekkah. Marilah kita mencermati ayat tersebut dan membacanya sesuai dengan kosa katanya:

Minal masjidil-harami dari sanksi terhadap ketakwaan
Illa Masjidil-aqsa hingga ke batas ketakwaan
Al-lazi barak-na yang telah Kami berkahi
Haw-lahuu di sekitarnya
Linuri-yahu untuk merujukkan
Min-ayaa-tina tanda-tanda Kami

Ayat tersebut berbicara tentang perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang jelas tidak memiliki tujuan lain selain untuk menyaksikan suatu manifestasi dari tanda-tanda Allah. Kita harus membaca ayat itu secara keseluruhan untuk mengetahui maksud dari perjalanan tersebut sebelum kita mengamati kondisi seputar hal itu. Di sini kita mengetahui bahwa perjalanan tersebut tidak dimaksudkan untuk berdoa atau menyembah namun untuk menyaksikan tanda-tanda Allah. Dari semua tujuan dan maksud kita melihat bahwa Musa adalah satu-satunya manusia yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk mengetahui bahwa perjalanannya sebetulnya telah direncanakan dan menyaksikan apa yang dilihatnya. Saat itu ia seharusnya bisa memutuskan apakah akan bertakwa kepada Allah atau tidak setelah menyaksikan tanda-tanda tersebut. Apapun yang akan dia lakukan hanyalah batas-batas dari ketakwaan kepada Allah dan Al Qur’an menggunakan kata Masjidil Aqsa. Itu hanyalah sebagian kecil dari tugasnya di dalam keseluruhan konsep ketakwaan yang harus dipatuhinya. Kata masjidil-harami digunakan dalam Al Qur’an untuk merujukkan sanksi yang mencakup keseluruhan konsep kepatuhan.

Saat Musa melihat api, dia memutuskan untuk menuju ke arah api tersebut dan meninggalkan istrinya di pinggir jalan tidak jauh dari lembah Tuwa. Tidak seperti pertemuan pertama perjalanan tersebut singkat dan pertemuan tersebut sangatlah singkat. Bangsa Arab tidak mencoba untuk menghubungkan rangkaian kejadian ini dengan Surat 17 ayat 1, melainkan mulai memanipulasi pesan tersebut.

Sebelum saya mulai menjelaskan kesalahpahaman tentang arti dari kata ‘aqsa’, sebaiknya kita tidak melupakan sejarah dari orang-orang terdahulu. Pada masa Musa atau bahkan setelah masa tugasnya tak ada hal seperti bangunan ‘masjid suci’ atau bangunan ‘masjid yang jauh’ atau segala bentuk masjid fisik. Namun telah ada ketakwaan atau ma-sajid, ma-sajidal-lah, Masjidil-haram dan Masjidil-aqsa sebagai parameter ketakwaan kepada Allah yang Maha Esa.

Mari kita melihat arti sesungguhnya dari kata Aqsa seperti yang dimaksud oleh Al Qur’an. Umumnya kata ini berarti ‘Jauh’ atau ‘terpencil’. Bila kita membaca ayat lain dalam Al Qur’an kita akan mengetahui bahwa arti sebenarnya dari kata ini bukanlah ‘jauh’ atau ‘terpencil’ namun berarti ‘ada di wilayah yang sama’. Marilah kita melihat bagaimana Al Qur’an ditulis saat kata ‘jauh’ diterapkan pada beberapa ayat. Setiap saat kata ‘jauh’ disebutkan kata itu menggunakan kata ‘Ba’id dari kata kerja ‘Ba’uda’ untuk merujukkan suatu jarak, misalnya:

(lau-kana a’rothon qoriban wa-safaran khor-sidon la-taba’uka walakin ba’udat alaihim shu-qortu wa-sayah-lifu)
Bila ada keuntungan yang diperoleh dengan cepat, atau perjalanan singkat, tentu mereka akan mengikuti kamu. Dan bila itu tempat itu jauh maka mereka berjanji akan sampai ke tempat itu (Surat 9 ayat 42).

Dalam Surat 9 ayat 42 kata ‘Ba’uda’ digunakan untuk menjelaskan ‘jarak yang jauh’. Untuk arti serupa lainnya dari kata ‘jauh’ Al Qur’an menggunakan kata ‘Ba’id’ untuk menerangkan sesuatu yang sangat jauh.

(fa-in tawal-lau fa-qul aa-zantukum a’la-sawa-e wa-ain-adri aqor-ribun am-ba’idan ma-tu’adun).
Bila mereka berpaling, maka katakanlah, ‘Aku telah memberitahumu hal yang sama. Dan Aku tidak tahu apakah itu dekat atau jauh yang mengancammu (Surat 21 ayat 109).

Kata Aqsa berasal dari akar kata Qasiy yang berarti ‘batas-batas dari lokasi tertentu’ atau ‘batas dari serangkaian aturan tertentu’. Marilah kita mengutip beberapa ayat dari Al Qur’an untuk melihat bagaimana kata ini diterapkan pada beberapa subyek lain.

(Iz-antum bil-u’dwan donya wahum bil-u’dwan qus-wa war-rokbu asfala min kum)
Bila engkau berada di lembah dan mereka berada di batas lembah, maka landasan ada di bawah kamu (Surat 8 ayat 42).

Ayat dalam Surat 8 ayat 42 menjelaskan kehadiran dua kelompok orang di area yang sama. Arti dari kata Bil u’dwan adalah lembah dan kata qus-wa merupakan turunan yang dihasilkan dari akar kata yang sama yaitu qasiy yang berarti di sekitar area yang sama. Oleh karena itu, ayat tersebut menjelaskan bahwa musuh telah mendekat dan mereka berada tidak jauh dari lokasi Anda. Dengan demikian arti kata Aqsa bukanlah jauh. Mari kita melihat contoh yang jelas lainnya dari Al Qur’an.

(Wajaa-a rojulon min-Aqsal madinatu yash’a, qorla ya-musaa in-nal mala-aa ya-tamiru na-bika liyak-tuluka)
Dan seorang pria dari batas kota berjalan terburu-buru, dia berkata, ‘Hai Musa tentu para penguasa akan menuntut kamu’ (Surat 28 ayat 20).

Arti kata Aqsal Madinah bukanlah ‘kota yang jauh’. Laki-laki yang datang tergesa-gesa untuk memperingatkan Musa tidak datang dari kota lain. Arti kata itu adalah di sekitar wilayah yang sama. Menurut sejarah dari Al Qur’an, Musa telah membunuh seorang pria dan ia dikejar oleh pihak penguasa untuk diajukan ke pengadilan. Berita itu didengar oleh seorang pria yang berada di wilayah yang sama yang kemudian bergegas mencari Musa dan mengatakan kepadanya bahwa pihak berwenang mencarinya.

Karenanya kata Masjidil-Aqsa tidak merujuk pada bangunan fisik yang terletak di suatu tempat yang sangat jauh. Istilah masjid yang digunakan dalam Al Qur’an bukanlah sebuah kata baru yang merujuk pada bangunan fisik namun selalu mengindikasikan ketakwaan; selain itu mulai dari zaman Ibrahim tak ada rumah ibadat yang disebut masjid. Musa tidak mengharuskan para pengikutnya untuk membangun rumah ibadat, namun kaum Yahudi membangun rumah ibadahnya. Mereka tidak menyebutnya masjid. Yesus putra Maryam pergi ke Jerusalem untuk menghancurkan praktek-praktek keagamaan di dalam rumah ibadah orang-orang Yahudi; sayangnya pendeta tinggi memerintahkan penyalibannya. Selanjutnya para pengikutnya membangun gereja, Musa tidak tahu sama sekali tentang rumah ibadah kaum Yahudi; Yesus tidak tahu sama sekali tentang gereja, begitupula dengan Muhammad yang tidak tahu tentang masjid. Arti Masjidil-Aqsa adalah ‘batas-batas ketakwaan’.

Pertemuan kedua:

(Wa-iz wa’adna Musaa arba’ina lai-latan)
Dan ketika Kami memanggil Musa selama empatpuluh hari (Surat 2 ayat 51).

(Wa-wa’adna Musaa salasina lai-lata waatmum-naha bi-a’sri fatama miqorta rob-bihi ar-ba’ina lai-lata)
Dan Kami memanggil Musa selama tigapuluh malam dan Kami melengkapinya dengan sepuluh. Maka penunjukkan dari Tuhannya adalah empatpuluh malam (Surat 7 ayat 142).

Sejarah Musa memiliki tempat yang utama dalam Al Qur’an. Selain menyaksikan tanda-tanda selama pertemuan pertama, pertemuan keduanya dengan Allah diulang dalam dua ayat dan kemudian disebutkan kembali dalam Surat 53 ayat 1-18 untuk menjelaskan bahwa yang dilihatnya adalah nyata. Banyak orang salah mengartikan Surat 53 ayat 1-18 sebagai peristiwa yang dialami oleh nabi terakhir. Namun demikian, nabi terakhir tidak melihat tanda-tanda menakjubkan yang ditunjukkan kepadanya di sepanjang hidupnya kecuali Al Qur’an.

Setiap orang yang membaca Al Qur’an untuk pertama kalinya akan dihadapkan pada suatu pernyataan yang tidak pernah ia harapkan akan ditemukan dalam sebuah kitab yang ditujukan kepada bangsa khusus, namun ternyata memberikan detail tentang bangsa-bangsa lain serta menjelaskannya dengan cara yang sangat hebat di seluruh kitab tersebut. Muhammad yang menerima kitab tersebut bukanlah rasul dari kaum Yahudi dan dari semua kemungkinan ia heran mengapa buku tersebut ditujukan kepada bangsa lain. Karena tugasnya adalah menyampaikan pesan, maka ia tidak punya pilihan selain dari melaksanakan tugasnya tersebut dan bukan urusannya bila si penerima akan menerima pesan tersebut atau tidak. Dalam bagian awal dari ayat-ayat itu dikatakan:

(Ya Bani-Israel, laz-kuru ni’amatal-lati an-amtu alaikum wa-u-qu bi-‘ahdi ufi-bi’adikum-wa-iya-ya-farhabun
Wahai Bani Israel ingatlah akan nikmat yang telah Aku limpahkan kepadamu dan kamu harus memenuhi janjimu pada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi janji-Ku padamu dan kamu harus menyembah kepada-Ku (Surat 2 ayat 40).

(Wa-aminu bima anzalta musod-dikhon lima ma’akum wala takunu aw-wala kafiri bihi wala tash-taru bi-ayaati samanan qorlilan wa-iya-ya fat-taqun).
Dan berimanlah kepada apa yang telah Aku turunkan yang memastikan apa yang kamu miliki dan janganlah menjadi orang pertama yang menentangnya, dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah dan patuhlah kepada-Ku (Surat 2 ayat 41).

Ini adalah sesuatu yang sangat menakjubkan; Bani Israel bukanlah milik bangsa Arab namun pesan tersebut ditujukan kepada mereka seolah mereka adalah orang-orang yang pantas menerima kitab suci tersebut.

Menurut Al Qur’an, nabi terakhir dan orang-orang yang ada di sekitarnya adalah bangsa non-Yahudi, yang berarti bahwa mereka tidak mengetahui tentang kitab Allah. Namun bangsa Arab muncul dengan pemahaman yang aneh dengan mengatakan bahwa kata gentile atau ummyin berarti nabi dan semua orang Arab yang ada di sekitarnya adalah buta huruf. Dengan kata lain semua bangsa Arab tidak bisa membaca atau menulis. Menurut Al Qur’an dalam Surat 25 ayat 5, orang-orang kafir menuduh nabi telah menulis kisah masa lalu yang dibacakan kepadanya siang dan malam. Dalam surat 25 ayat 6 ia diperintahkan untuk menyatakan kepada orang-orang Arab yang kafir bahwa apapun yang ditulisnya diturunkan oleh Allah yang mengetahui rahasia langit dan bumi. Bangsa Arab tidak mampu melihat fakta sederhana ini dalam Al Qur’an.

(Huwal-lazi ba’a-sha fil-ummi-yin rosulan min-hum yatlu alaihim ayaatihi wayuzak-kihim wayu’alimuhumul kitaba walhikmata wa-inkaanu minqoblu lafithola-lin mubin)
Dia, yang mengirimkan kepada bangsa yang tidak tahu sama sekali tentang kitab suci (ummyin), seorang rasul dari kalangan mereka sendiri untuk membacakan ayat-ayat tersebut dan memurnikan mereka serta mengajarkan tentang kitab suci serta kearifan. Dan sesungguhnya, sebelumnya mereka adalah bangsa yang sangat merugi (Surat 62 ayat 2).

Ayat di atas mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut diturunkan kepada nabi dari kalangan non- Yahudi. Kaum Yahudi dan Nasrani yang berada di wilayah yang sama mengetahui bahwa ini bukanlah hal biasa. Mungkin saat nabi terakhir mencoba berbicara kepada mereka, reaksi mereka adalah mempertanyakan relevansi diberikannya Al Qur’an kepada bangsa ini.

Untuk menanggapi sikap heran mereka Al Qur’an berkata, ‘orang-orang bodoh di antara mereka bertanya, ‘Apakah yang telah mengalihkan perhatian mereka dari fokus (kiblat) mereka (Surat 2 ayat 142) untuk merujukkan, bahwa sepanjang sejarah bangsa Arab tidak tahu tentang kitab Allah, sehingga mereka tidak berhak berbicara tentang Allah. Allah dengan arif menjawab pertanyaan mereka yang mengganggu tersebut dengan ayat sama dengan mengatakan bahwa Dia memiliki Timur dan Barat yang berarti bahwa hanya Dia-lah yang berhak membuat keputusan.

Dia menguasai Timur dan Barat dan Dia mengarahkan siapapun yang Dia inginkan melangkah di jalan yang benar, demikian arti akhir dari ayat tersebut.

Awalnya mereka mengajukan keberatan dalam beberapa ayat dan membuatnya jelas bagi setiap orang, mereka yang ingin dibimbing oleh Allah, harus menjadi umat Yahudi atau Nasrani. Kami melihat argumen yang sangat singkat antara umat Muslim sejati dan orang-orang yang diberikan kitab suci sebelumnya.

Mereka mengatakan, Kamu harus menjadi umat Yahudi atau Nasrani agar bisa dibimbing. (Bagian pertama Surat 2 ayat 135).

Untuk menanggapi argumen mereka yang bersifat doktrin, umat Muslim sejati menjawab dengan ayat yang sama.

Katakan kepada mereka, Kami mengikuti prinsip-prinsip Ibrahim, orang yang jujur, ia tidak pernah menjadi pemuja berhala (Bagian kedua Surat 2 ayat 135).

Dari jawaban ini kita secara positif bisa mengatakan bahwa umat Yahudi dan Nasrani termasuk dalam golongan orang-orang musyrik kecuali bila mereka mengikuti prinsip-prinsip Ibrahim yaitu monotheisme, bila mereka ingin dibimbing oleh Allah. Tak lama setelah berkata demikian umat Muslim harus segera menjelaskan konsep Muslim sejati kepada umat Yahudi dan Nasrani dari sudut pandang ayat dalam ayat berikut ini:

Katakan kepadanya, kami percaya kepada Allah dan apa yang diwahyukan-Nya kepada kami dan apa yang diwahyukan-Nya kepada Ibrahim dan Ismail serta Ishak dan Yakub serta para ulama dan apa yang diwahyukan kepada Musa dan Yesus serta apa yang telah diberikan Tuhan mereka kepada para nabi. Kami tidak membedakan antara mereka. Hanya kepada Allah kami berserah diri.

Ini adalah konsep sempurna dari Muslim yang sejati karena sejalan dengan ajaran-ajaran dalam Al Qur’an. Mereka harus beriman kepada Allah, ayat-ayat-Nya, dan apa yang telah diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, para ulama, dan apa yang telah diturunkan kepada Musa dan Yesus serta apa yang diberikan Tuhan mereka kepada para nabi. Tak ada yang boleh membeda-bedakan mereka, Ini adalah bentuk kebajikan yang sesungguhnya.

Sayangnya saat ini di seluruh dunia hanya memilih satu nabi khusus dan mengesampingkan yang lainnya. Umat Yahudi tidak mengakui nabi lain setelah Musa. Umat Nasrani mengabaikan Ibrahim, Ishak, Ismail, Jakub dan Musa atau nabi lain kecuali Yesus, dan bangsa Arab mengabaikan setiap nabi termasuk Muhammad yang mereka anggap sebagai sumber dari fanatisme, terorisme dan golongan ekstrim dalam Agama Arab. Menurut Al Qur’an kaum kafir yang sejati adalah mereka yang membuat perbedaan antara nabi-nabi Allah. Orang-orang dari kitab-kitab terdahulu diberitahu bahwa Al Qur’an diturunkan di Arab sebagai suatu ujian guna membedakan mereka yang patuh pada rasul Allah dengan mereka yang memalingkan diri.



FOKUS KE ARAH SANKSI KETAKWAAN (MENGHADAP KE KIBLAT)

Beberapa tahun sebelum Al Qur’an diturunkan ada banyak orang yang patuh kepada agama dan menyatakan diri mereka sebagai Muslim. Misalnya, Ibrahim secara khusus menggunakan kata Muslim saat ia berdoa kepada Allah.

Ya Tuhan kami, jadikan kami Muslim untukmu dan jadikanlah anak cucu kami bangsa Muslim (Surat 2 ayat 128).

Selanjutnya para pengikut Yesus menyatakan diri mereka sebagai Muslim:

Dan ingatlah bahwa Aku menghimbau para pengikut, ‘Berimanlah kepada-Ku dan rasul-Ku’. Mereka berkata, ‘Kami percaya dan bersaksi bahwa kami adalah Muslim (Surat 5 ayat 111).

Kata Muslim berarti mereka yang melayani dan menyerahkan dirinya kepada Allah. Menurut Qur’an Surat 2 ayat 140, Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan semua ulama bukanlah umat Yahudi ataupun Nasrani. Mereka melayani Allah dan memenuhi komitmen mereka. Sebagai Muslim mereka diharuskan untuk memenuhi beberapa persyaratan tertentu dan dalam hal ini jelas bahwa mereka harus mengarahkan diri mereka pada serangkaian peraturan tertentu atau sanksi-sanksi Allah.

Bila kita membaca Al Qur’an, hal pertama yang tampak jelas adalah kata-kata yang ditambahkan dengan akhiran ‘lah’ yang merujuk pada Allah. Ada beberapa kata semacam itu yang muncul di seluruh bagian Al Qur’an. Misalnya, bila ketakwaan secara kategori mengandung arti diperintahkan oleh Allah maka disebut ma-sajidal-lah. Bila menyangkut batas-batas yang ditetapkan oleh Allah maka disebut hudu-dul-lah. Ketetapan Allah disebut sh’iaral-lah dan jalan Allah disebut sabi-lilah. Bila kata-kata ini muncul dalam Al Qur’an maka itu mengindikasikan hal-hal khusus dan dianggap sebagai pedoman dalam sanksi. Tak satupun dari kata-kata ini yang memiliki deskripsi fisik namun diartikan sebagai perintah-perintah spesifik. Sebelum Al Qur’an diturunkan umat Muslim menjalankan komitmen mereka dengan mengarahkan pada sanksi-sanksi spesifik ini.

Nabi terakhir juga berkomitmen pada agama yang sama. Mereka yang ingin menyerahkan dirinya kepada agama harus fokus kepada sanksi-sanksi ketakwaan atau mas-jidil-harami. Siapapun mereka dan dimanapun mereka berada, mereka harus mengarahkan perhatian kepadanya. Kendati setiap individu bertanggung jawab terhadap diri mereka, namun masing-masing dari mereka harus bersaing dalam berbuat kebajikan dengan mengarahkan ketakwaan mereka dalam batas-batas sanksi dalam ketakwaan. Masjidil-Harami tak lain adalah detail dari pedoman-pedoman yang harus ditaati sebagaimana yang ditetapkan dalam kitab suci.

Kata Masjidil-harami dalam Al Qur’an tidak merujuk pada struktur fisik yang secara geografis terletak dimanapun di tanah Arab pada zaman nabi terakhir. bangsa Arab mengetahui sebuah bangunan yang melambangkan Allah, dimana mereka sebenarnya mengetahui tentang kitab Allah.

Menurut Qur’an Surat 62 ayat 2 bangsa Arab disebut ‘ummyin’ yang berarti bahwa mereka tidak mengetahui tentang ayat-ayat Allah. Saat Al Qur’an diturunkan mereka adalah golongan yang merugi selama mereka mengacu pada agama.

Wainkanu min qoblu lafi dhola-lin mubin
Dan memang mereka sebelumnya adalah orang-orang yang merugi (Surat 62 ayat 2).

Ayat ini dengan jelas merujukkan bahwa bangsa Arab tidak tahu sama sekali tentang masjid suci dan mereka juga tidak memiliki bangunan yang ada di tengah padang pasir. Menurut legenda Arab, apa yang disebut dengan ‘masjid suci’ mulanya adalah pagar kayu yang serupa dengan lahan peternakan yang sedikit lebih luas dibandingkan dengan lapangan bola basket. Bangsa Arab berkata bahwa pada jaman nabi terakhir tak ada masjid di Mekkah, namun mereka menyatakan bahwa ia diperintahkan untuk menghadap ke arah masjid di Mekkah.

Bangsa Arab merasa bingung sehingga mereka membangun begitu banyak di satu tempat dan memberikan banyak nama pada struktur batu berbentuk segi empat. Mereka lebih suka menyebutnya ‘Baitul-lah’ sebuah kata asing dalam Al Qur’an atau ‘ka’aba’ sebuah kata yang berarti pergelangan kaki, namun mereka tidak pernah menyebutnya ‘Baytil-harami’ atau ‘Baytul-muharami’ kendati dua kata ini disebutkan dalam Al Qur’an. Mereka juga menyebut bangunan di sekitar struktur batu tersebut sebagai ‘masajidal-lah’. Kata ‘masajidal-lah’ adalah bentuk jamak yang berarti ada lebih dari satu ‘masajidal-lah’ namun bangsa Arab bersikeras bahwa arti kata itu hanya merujuk pada satu masjid di wilayah mereka. Para pembaca akan terkejut bila mengetahui bahwa:

1. Dalam Al Qur’an tidak disebutkan bahwa ada bangunan yang bernama ‘Masjid Suci’ selama zaman nabi terakhir.
2. Tidak ada instruksi dalam Al Qur’an bahwa nabi terakhir diperintahkan untuk membangun suatu bangunan yang disebut ‘Masjid Suci’.
3. Dalam Al Qur’an tidak disebutkan bahwa manusia harus melaksanakan ‘sembahyang ritual’ dengan menghadap ke arah Mekkah.

SANKSI-SANKSI YANG DIPERINTAHKAN YANG DITURUNKAN

Saat nabi terakhir menerima kitab suci ia diperintahkan untuk melakukan hal yang paling penting seperti umat Muslim lain sebelum dirinya. Ia diperintahkan untuk mengarahkan dirinya pada sanksi-sanksi ketakwaan, yaitu masjidil-harami.

(Falanuwa-liyan-naka qiblatan tar-dhoha fawa-li wajhaka sa-dhrol masjidil-harami. Wahaisu ma-kuntum fawal-lu uju-hakum sat-dhoro-hu wa-inal-lazi utul-kitab liya’lamun-na in-nahu hak-qu min ob-bihim).
Demikianlah, kami tetapkan petunjuk-petunjuk yang menyenangkan hatimu. Oleh karenanya arahkan dirimu ke arah sanksi ketakwaan (masjidil-harami) dimanapun kamu berada. Hadapkan dirimu ke arahnya. Tentu mereka yang diberikan kitab suci mengetahui bahwa ini adalah kebenaran dari Tuhan kamu (Surat 2 ayat 144).

Bangsa Arab menyatakan bahwa nabi terakhir diperintahkan untuk mengubah arah dari sholat lima kali sehari dari Jerusalem ke arah Mekkah. Poin penting yang harus diingat adalah, pada saat Al Qur’an diturunkan tak ada bangunan fisik dimanapun di seluruh dunia bahkan di Jerusalem. Dengan mengatakan bahwa arti dari kata ‘masjidil-harami’ sebagai masjid suci dalam bentuk fisik adalah kebohongan lain karena tak ada masjid suci di Al Qur’an. Kata ‘harami’ yang ditambahkan pada kata ‘masjidil’ dengan sengaja diubah oleh bangsa Arab menjadi ‘suci’. Tak ada intelektual Arab yang mampu menjelaskan bagaimana kata ‘masjidil-haram’ bisa menjadi masjid suci bila tak ditemukan bangunan masjid fisik dimanapun di dunia, khususnya di tanah Arab, pada saat kekafiran mulai berkembang.

Bangsa Arab mengikuti agama leluhur mereka dan mereka tidak tahu tentang Islam, dan mereka juga tidak tahu tentang ayat-ayat-Nya. Al Qur’an berkata bahwa mereka sangat memusuhi ayat-ayat itu, yang sifatnya sangat umum bahkan di antara umat Muslim saat ini yang dibelenggu oleh Agama Arab.

Nabi terakhir tidak mempedulikan kaum kafir Arab yang menolak Al Qur’an, namun ia harus membuktikan kepada umat Yahudi dan Nasrani yang mengetahui tentang ayat-ayat Allah. Tugasnya adalah memberitahu mereka bahwa Allah telah menurunkan kitab suci kepadanya yang memastikan tentang apa yang diberikan kepada Musa dan hal itu menggantikan sanksi-sanksi sebelumnya dalam ketakwaan.

Dalam dua ayat berikutnya dikatakan, bahwa meskipun ia merujukkan kepada mereka tanda-tanda, banyak dari mereka yang tidak menerima meskipun mereka mengenal ayat-ayat tersebut layaknya anak mereka sendiri, namun banyak dari mereka yang terus menyembunyikan kebenaran.

Dalam Qur’an Surat 17 ayat 7 dikatakan bahwa Bani Israel yang pertama kali masuk ke dalam ketakwaan atau ‘ma-sajid’, berarti mereka telah berjanji kepada Allah saat kitab Taurat diturunkan kepada mereka. Mereka memfokuskan diri mereka ke arah sanksi ketakwaan atau ‘masjdil-harami’ dan mereka mengetahui kebenaran tentang sanksi yang ditetapkan oleh Allah. Namun, tak lama kemudian Musa meninggalkan mereka yang mengubah ketakwaan tersebut, dan Al Qur’an menyebut mereka sebagai orang-orang yang menerima kitab suci yang terdahulu. Bagian dari tugas nabi terakhir adalah meminta mereka untuk kembali kepada sanksi yang sama; sayangnya banyak dari mereka yang menolak untuk mengarahkan diri mereka pada sanksi tersebut.

(Wala-in atai-tal lazi utul-kitaba bikul-li ayaa-tin ma-tabi-‘u qibla-taka wama-anta bita-bi’e qibla-tahum)
Dan tentu bila kamu memberikan kepada mereka yang menerima setiap tanda dari kitab suci itu, maka mereka tidak akan mengikuti perintahmu, dan janganlah kamu menuruti perintah mereka (Surat 2 ayat 145).

(Al-lazi na-ataina humul-kitaba ya’rifunahu kama-ya’rifun abna-ahum wa-inna fariqan min-hum liya’tumunal haq-qor wahum ya’lamun)
Mereka yang menerima kitab suci mengenal kitab suci tersebut layaknya anak mereka sendiri. Sesungguhnya mereka menyembunyikan kebenaran dan mereka mengetahuinya (Surat 2 ayat 146).

Ayat tersebut tidak mengatakan bahwa mereka mengenal nabi atau masjid fisik namun mereka mengetahui sanksi-sanksi ketakwaan, yaitu ‘masjidil-harami’, yang diturunkan kepada nabi terakhir. Dan ia diperintahkan untuk mengarahkan dirinya pada sanksi-sanksi ini meskipun orang-orang yang menerima kitab sebelumnya menolak untuk mematuhinya.

Segera setelah ayat 146, Allah berfirman, kebenaran adalah dari Tuhan kamu. Dengan kata lain, orang-orang yang menerima kitab sebelumnya mengetahui bahwa Allah menurunkan sanksi ketakwaan atau ‘masjidil-harami’ kepada bangsa Arab!

(Al-haq-qu min-rob-bika fala-taku-nan-na mum-tarin)
Kebenaran adalah dari Tuhanmu, oleh karena itu janganlah kamu merasa ragu (Surat 2 ayat 147).

Ayat-ayat berikutnya mengulang hampir setiap kata demi kata dimana nabi terakhir dan para pengikutnya harus terus memusatkan perhatiannya ke arah sanksi ketakwaan Masjidil-harami dimanapun mereka berada. Fokus itu terarah pada ayat-ayat tersebut dan bukan pada bangunan fisik. Bangsa Arab mengubah arti kata ini menjadi suatu rumah ibadah seperti bangunan karena ini merupakan keyakinan para leluhur mereka bahwa dewa-dewa mereka berada dalam batu dan batu karang.

(Wamin haisu khoroj-ta fawal-li waj-haka sath-rol masjidil-harami wa-in-nahu lal-haq-qu min-rob-bika wamal-lah bi-ghor-filin am-maa ta’malun)
Dan dimanapun kamu berada, arahkanlah perhatianmu pada sanksi ketakwaan ‘masjidil-harami’. Sesungguhnya kebenaran itu adalah dari Tuhan kamu. Dan Allah tidak pernah lengah atas apa yang kamu kerjakan (Surat 2 ayat 149).

(Wamin haisu khoroj-ta fawal-li haj-haka sath-rol masjidil-harami, wa-haisuma kuntum fawal-lu huju-hakum satroh-hu li-al-aa laku-nan-nas alai-kum huj-jatun il-laal lazi dhul-luma min-hum)
Dan darimanapun kamu datang, hendaknya kamu mengarahkan dirimu pada sanksi ketakwaan sehingga tak seorangpun mampu menantang kamu kecuali orang-orang zalim di antara mereka (Surat 2 ayat 150).

Bahkan tak ada petunjuk tentang ‘Sembahyang ritual’ atau masjid dalam setiap ayat dari Surat 2 ayat 142 sampai Surat 2 ayat 150. Namun bangsa Arab setelah membodohi orang-orang agar mereka melakukan ritual doa, dan lebih lanjut menipu mereka dengan mengatakan bahwa setiap orang harus menghadapkan wajah mereka ke arah bangunan fisik di Mekkah yang mereka sebut ‘Masjid Suci’. Pada saat Al Qur’an diturunkan tak ada bangunan semacam itu di tanah Arab, dan bangsa Arab membangunnya selama berabad-abad setelah wafatnya nabi terakhir.

Al Qur’an tidak menyebutkan tentang sembahyang ritual bangsa Arab dan tak ada detail tentang gerakan tubuh yang aneh ini dalam kitab suci tersebut. Sembahyang ritual sebenarnya berasal dari mitologi orang-orang Arab yang tidak beragama yang mengisahkan bahwa nabi terakhir melakukan perjalanan yang menyenangkan dari masjid yang tak ada di Mekkah ke masjid lain yang juga tidak ada di Jerusalem.

Saat ia berada di Jerusalem dan memimpin sembahyang bagi semua nabi yang telah wafat di dekat masjid di samping rumah ibadah kaum Yahudi dan gereja di sisi yang lain kaum Yahudi menemukan ‘Kota Terlarang’ yang mereka sebut Jerusalem. Kemudian makhluk kuda setengah manusia yang bersayap yang ada dalam mitologi Yahudi mengambilnya dan terbang ke langit ketujuh untuk bernegosiasi dengan Allah tentang berapa kali sembahyang ritual harus dilaksanakan.

Namun sebelum perjalanan itu dimulai, demikian si pendongeng bercerita, nabi tersebut menjalani operasi jantung dimana jantungnya diambil dan dicuci dengan air suci ‘zam-zam’ untuk membersihkannya. Beginilah awal munculnya masjid suci, sembahyang ritual dan air ‘zam-zam’. Banyak sekali tahayul semacam itu dalam budaya primitif Arab yang dikarang untuk menghibur pikiran yang cemas, namun merupakan suatu yang mulia bagi mereka yang setia pada Agama Arab.

Bangsa Arab yang tidak tahu tentang jarak di bumi dan sistem matahari juga mengatakan, bahwa waktu yang dibutuhkan nabi untuk memulai perjalanan dari Mekkah ke Jerusalem sebelum terbang ke langit ketujuh dan kembali ke Mekkah hanyalah satu malam. Tanpa pengetahuan ilmiah, kita bisa secara kasar berkesimpulan bahwa perjalanan semacam itu adalah mustahil karena Al Qur’an memang mengatakan demikian:

Para malaikat dan roh menuju kepada Dia dalam waktu satu hari yang setara dengan lima puluh ribu tahun menurut perhitunganmu (Surat 70 ayat 4).

Kendati Al Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa perjalanan itu adalah suatu yang mustahil, namun bangsa Arab dengan gigih menyatakan sebaliknya. Marilah kita berasumsi tanpa mempertimbangkan pernyataan dalam Al Qur’an bahwa perjalanan itu terjadi sekitar 1400 tahun yang lalu, dan Nabi Muhammad akan membutuhkan waktu sekitar 48.600 tahun mulai saat ini untuk mencapai Allah dan ia harus kembali lagi ke Mekkah pada 98.600 tahun kemudian. Tidak banyak orang yang bisa memahami ide yang aneh tersebut. Mungkin kisah tentang asal usul doa lima kali sehari hanya bisa dimengerti oleh bangsa Arab dan para pengikut Agama Arab.

KONTEKSNYA ADA DALAM AYAT 142-152

Mari kita merangkum pesan-pesan Al Qur’an mulai dari Surat 2 ayat 142 sampai 152.
• Ayat 142: Orang-orang bodoh di antara mereka bertanya ‘Apa yang membuat mereka mengubah fokus mereka?’ Nabi terakhir diperintahkan untuk menjawabnya. ‘Allah memiliki Timur dan Barat. Dia mengarahkan siapapun yang Dia inginkan untuk melangkah di jalan yang benar.’

Komentar: Orang-orang yang menerima kitab sebelumnya bertanya apa yang membuat orang-orang Arab mengubah fokus mereka).
• Ayat 143: Allah berkata, ‘Kami mengubah arah tersebut sebagai suatu ujian untuk membedakan antara orang-orang yang mengikuti nabi dengan orang-orang yang memalingkan muka. Ini merupakan ujian yang sulit, namun tidak bagi mereka yang dibimbing oleh Allah.’

Komentar: Ayat-ayat itu kini diberikan kepada bangsa Arab dari bangsa non-Arab yang menerima kitab suci sebelumnya.
• Ayat 144: Allah berkata, ‘Kami telah melihat wajahmu memandang ke langit. Kini kami merujukkan arah yang menyenangkan hatimu. Mulai sekarang, kamu harus menghadapkan dirimu ke sanksi ketakwaan (masjidil-harami) dimanapun kamu berada. Kamu harus mengarahkan dirimu ke sana. Mereka yang menerima kitab sebelumnya mengakui ‘bahwa ini adalah kebenaran’ dari Tuhan mereka.

Komentar: Mereka yang menerima kitab sebelumnya mengakui bahwa masajidil-harami adalah kebenaran dari Tuhan mereka.
• Ayat 145: Allah berkata kepada nabi terakhir: Meskipun engkau merujukkan para pengikut kitab sebelumnya segala tanda, mereka tidak akan mengikuti perintahmu, dan janganlah kamu mengikuti perintah mereka. Sebenarnya mereka tidak mengikuti arah masing-masing (kiblat).
• Ayat 146: Orang-orang yang menerima kitab suci tersebut mengenalnya ‘nya’ sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Banyak dari mereka yang menyembunyikan kebenaran.

Komentar: Mereka mengenal masjidil-haram seperti anak mereka sendiri karena mereka telah menerima kitab sebelumnya.
• Ayat 147: KEBENARAN ADALAH DARI TUHAN-MU. Janganlah engkau merasa ragu.

Komentar: Allah memastikan bahwa nabi terakhir ‘Sanksi ketakwaan (masjidil-harami) adalah kebenaran dari Tuhanmu dan janganlah merasa ragu terhadap hal itu.

• Ayat 148: Masing-masing memiliki fokus mereka sendiri, maka kamu harus berbuat kebajikan. Dimanapun kamu berada Allah akan mengumpulkan kamu semua.
• Ayat 149: Kemanapun kamu pergi, kamu harus menghadapkan dirimu ke arah sanksi ketakwaan (masjidil-harami). Ini adalah kebenaran dari Tuhanmu.
• Ayat 150: Dengan demikian, kemanapun kamu pergi, kamu harus mengarahkan dirimu ke sanksi ketakwaan (masjidil-harami). Dimanapun kamu berada, kamu harus menghadap ke arahnya. Orang-orang tidak akan menentangmu kecuali orang-orang zalim di antara mereka. Janganlah kamu merasa takut, kamu hanya boleh takut kepada-Ku sehingga Aku bisa menyempurnakan nikmat yang Aku berikan kepadamu, supaya kamu mendapat petunjuk.

Surat 2 ayat 142 sampai 150 adalah tentang pengalihan ayat-ayat dari orang-orang yang menerima kitab sebelumnya kepada nabi Arab. Masjidil-harami ditetapkan dalam AL QUR’AN karena dalam ayat 151 dikatakan bahwa masjidil-harami atau sanksi ketakwaan dibacakan oleh nabi.

Sebagaimana penyempurnaan nikmat itu dengan mengutus seorang nabi di antara kamu, UNTUK MEMBACAKAN AYAT-AYAT KAMI, dan untuk membersihkan, mengajarkan kepada kamu kitab suci dan hikmah, dan untuk mengajarkan kepada kamu hal-hal yang tidak kamu ketahui. Karena itu, kamu harus mengingat Aku, maka Aku akan mengingatmu dan bersyukurlah kepada-Ku. Dan syukurilah nikmat yang telah Kuberikan kepadamu (Surat 2 ayat 151-152).

Bani Israel menerima kitab Allah yang berisi detail tentang sanksi ketakwaan, yang menjadi fokus ketakwaan mereka kepada Allah Yang Maha Esa yang disebut Al Qur’an ‘masajidil-harami’.

Meskipun Allah telah memberikan rahmat dan anugerah, namun mereka tetap saja memutarbalikkan kitab suci tersebut. Mereka adalah yang pertama berkonspirasi menentang Allah dan para rasul-Nya. Mereka memisahkan diri dari jalan Allah dan menciptakan suatu agama dan memberikan nama baru, Yahudi Kerajaan Yudas. Musa tidak tahu sama sekali tentang Agama Yahudi. Saat Yesus putra Maryam pergi mengunjungi mereka, pendeta tertinggi cemas bahwa ia akan menghapuskan Agama Yahudi dan kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk menyalib pria itu. Memang suatu kebenaran bahwa tak ada yang membunuh Yesus namun mereka menyebarkan berita yang salah bahwa Yesus disalib dan bangkit dari kematian setelah tiga hari dan tiga malam, kendati bila dihitung dari Jum’at malam hingga Minggu pagi hanyalah satu setengah hari dan dua malam. Mereka yang percaya dengan ucapan kaum Yahudi disebut ‘Kristiani’ nama yang dikarang oleh umat Yahudi di Antioch. Yesus putra Maryam tidak tahu sama sekali tentang Agama ‘Kristen’.

Namun bangsa Arab memang konspirator hebat yang memperdaya umat Yahudi. Mereka mampu memperkenalkan kembali Agama Arab primitif dan menyebutnya Agama Islam dan melanjutkan agama leluhur mereka yang memelihara batu hitam. Orang-orang di seluruh dunia kini menegaskan keberadaan dewa-dewa leluhur bangsa Arab di tengah ‘masjid suci’ hasil temuan mereka’. Mereka mengganti sanksi ketakwaan yang diperintahkan oleh Allah dengan bangunan fisik dan menyalahgunakan arti masjidil-harami menjadi tempat ibadah bagi pemujaan batu yang sesungguhnya.

Mungkin semua penerjemah tidak bermaksud memberikan arti yang salah saat menginterpretasikan Al Qur’an, namun tugas setiap orang untuk menguji kebenaran interpretasi dan terjemahan bila mereka mengetahui bahwa ayat-ayat dalam Al Qur’an meragukan atau tidak masuk akal.

Pengingat yang sangat penting bagi orang-orang tulus yang mencari kemurahan hati dan kegembiraan dari Tuhan mereka adalah, Allah yang Maha Besar tidak bisa dihubungkan dengan manusia atau malaikat atau segala sesuatu yang berwujud khususnya bila mereka dinyatakan ‘suci’ oleh manusia. Hari ini semua agama di dunia menganggap suci semua hal termasuk api, air, kayu, logam, batu, batu karang, binatang, pepohonan, dan serangga. Bangsa Arab memperkenalkan ‘masjid suci’, ‘rumah suci’, ‘air suci’, ‘jejak kaki suci’ dan ‘batu gunung hitam berbingkai perak yang suci’ di satu sudut ‘rumah suci’ untuk dicium orang. Memang benar perkataan beberapa orang, inilah agama yang mencium batu.

faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:52 pm

BAGIAN SEPULUH

PENGHENTIAN KONSERVASI SATWA LIAR

Dalam Bagian ini kami akan membahas tentang konservasi satwa liar yang mungkin membuat terkesima semua orang yang tetap setia pada ritual haji dan setiap orang di dunia termasuk para ulama dalam Agama Arab. Selama berabad-abad belum ada orang yang mengungkapkan keyakinan salah bangsa Arab saat mereka menutupi suatu penyimpangan dalam Surat 5 ayat 1. Pesan tersebut seluruhnya diubah menjadi ritual orang-orang yang tidak beragama.

Saat mengumpulkan semua ayat tentang makanan, saya menemukan subyek yang penting ini yang tidak saya harapkan akan terungkap. Setelah membaca Surat 5 ayat 1 beberapa kali bersama dengan ayat-ayat berikutnya saya dihadapkan pada masalah serius saat saya mencoba untuk mengetahui bagaimana kata ‘diharamkan’ diterjemahkan menjadi ‘busana yang religius’. Dari dua belas terjemahan yang saya kerjakan, baik kosakata dan susunan kata-kata merujukkan bahwa kata ‘Hurumun’ berarti pakaian haji atau keadaan suci saat melaksanakan haji. Setelah penemuan itu saya melihat bahwa penyimpangan tersebut tidak hanya pada pembukaan ayat dalam surat ini saja, namun sebab dan akibatnya telah mendesak bangsa Arab untuk melakukan hal yang sama pada ayat selanjutnya. Secara keseluruhan mereka telah mengubah enam (6) kata dalam dua ayat.

Umat Muslim tergantung pada bangsa Arab untuk menjelaskan kepada mereka tentang ritual agama mereka dan penyembahan lainnya. Selama beberapa tahun saya tahu bahwa tak ada satupun ritual Arab yang berasal dari Al Qur’an, semua sumber berasal dari yang disebut hadist, dan beberapa ajaran salah yang diyakini berasal dari nabi. Saat mengembangkan Agama Arab mungkin bangsa Arab dengan gigih mempertahankan identitas agama leluhur mereka dalam tata cara pelaksanaan haji. Jelas terlihat saat mereka mencoba untuk mengubah dua ayat dalam Surat 5 untuk membenarkan pernyataan mereka.

Mereka menemukan bahwa Surat 5 ayat 1 dan 2 adalah ayat-ayat yang paling cocok untuk mendukung pernyataan mereka tentang pemakaian busana religius dengan harapan tak ada orang yang memperhatikan manipulasi tersebut. Dalam Surat 39 ayat 23 Al Qur’an mendeklarasikan dirinya sebagai hadis yang terbaik dan konsisten. Kitab tersebut juga mengklaim sebagai kitab yang mudah dipahami dan tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Bila ada pertentangan tentang pesan tersebut maka bisa diverifikasi dalam kitab itu sendiri. Biarkan pengungkapan teks-teks yang membuktikan bahwa kata ‘hurumun’ dalam Surat 5 ayat 1 sengaja dimanipulasi. Saya akan merujukkan bagaimana Al Qur’an menyajikan jawaban yang jelas terhadap pertanyaan tersebut. Sementara itu saya akan menjabarkan ayat-ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa Al Qur’an adalah hadis terbaik, konsisten dan juga mudah dipahami dan tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.

‘Allah menurunkan ‘hadis’ yang terbaik atau narasi terbaik (ahsanal hadis), kitab suci yang konsisten’ (Surat 39 ayat 23).

Jangan pedulikan pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan kepadamu, karena kami merujukkan kebenaran kepadamu, dan penafsiran yang paling tepat (ahsana tafsir) (Surat 25 ayat 33).

Kata hurumun muncul dalam Al Qur’an dalam empat ayat yang berbeda termasuk Surat 5 ayat 1. Kata ini diputarbalikkan menjadi ihram, kebiasaan aneh mengenakan dua potong kain putih yang tidak dijahit (untuk pria) dengan harapan kain putih tersebut adalah busana yang disyaratkan dalam perjalanan haji suci yang melaksanakan ritual aneh dan asing. Dua potong kain putih tersebut sebenarnya merupakan sisa dari warisan kaum yang tidak beragama dari jaman sebelum Roma dan bahkan Yunani, dimana untuk alasan-alasan tertentu, para pendeta bahkan orang-orang terhormat mengenakan dua potong kain putih untuk menandakan ‘kesucian’ atau mengindikasikan ‘posisi’ mereka dalam masyarakat. Inilah replika yang sesungguhnya dari Roman Togas.

TENTANG MAKANAN DAN KONSERVASI SATWA LIAR

Subyek utama dalam Surat 5 ayat 1 adalah tentang makanan.

Tidak disinggung sama sekali tentang haji dalam kelima ayat ini atau dalam ayat-ayat lainnya dalam Al Qur’an, meskipun kami tetap yakin bahwa kita diharuskan merendahkan diri dengan bertakwa (wa-ro-ka i’ssujud) kepada bangunan fisik. Yang kita lihat sebelumnya bukanlah permasalahannya. Bila kita melakukannya, maka kita menyerahkan diri kepada setan yang memberikan ide tersebut.
Semua penerjemah tidak bertentangan dengan dirinya sendiri tentang instruksi yang ada dalam bagian pertama Surat 5 ayat 1. Ini selalu menjadi masalah bila hal itu tidak mengganggu keyakinan pribadi mereka:

(Ya-aiyu-hal lazi na-amanu aufu-bil ‘uqadi)
Hai orang-orang yang beriman, kamu harus memenuhi janjimu

(Uhil-lat lakum bahi-matul an-aam)
Kamu diperbolehkan untuk memakan daging hewan ternak

(il-laa ma-utla alai-kum)
Kecuali hewan yang dibacakan kepadamu

Ini adalah bagian pertama dari Surat 5 ayat 1. Pembuka dari ayat ini adalah tentang janji Allah terhadap kita dan janji itu adalah tentang makanan. Selanjutnya bagian lain dari ayat itu berbunyi:

(Ghoi-ro mu-hil-lis soii-di)
Dilarang untuk berburu

(Wa-antum-hurumun)
(Biasanya diterjemahkan) ‘Dan ketika kamu sedang mengenakan ihram/pakaian haji

Bagian akhir dari ayat Wa-antum-hurumun adalah terikat pada busana haji. Ini adalah korupsi.

Bacaan umum tentang ayat ini merujukkan suatu penggantian konteks yang tidak terduga tentang satu subyek dan kemudian berpindah ke ayat lain dalam ayat yang sangat singkat. Penyimpangan semacam itu tidak terjadi dimanapun dalam Al Qur’an.

Bertentangan dengan interpretasi umum, bagian pertama dari ayat tersebut memberi kita kebebasan sepenuhnya untuk mengkonsumsi daging dari segala macam hewan ternak, kecuali hewan yang dibacakan kepada kita. Bagian kedua adalah tentang konsumsi daging satwa liar yang bersifat kondisional, karena kata Wa-antum hurumun.
Kata wa-antum berarti ‘dan ketika kamu’ atau ‘dan dimana kamu’.

Misalnya dalam Surat 109 ayat 3 ‘wa LAA antum’ berarti ‘dan TIDAK dimana’.

Oleh karena itu Wa-antum-hurumun berarti ‘dan dimana kamu membuat hurumun’.

Hurumun adalah turunan dari akar kata HRM atau Haram. Semua turunan yang dihasilkan dari akar kata ini memiliki petunjuk yang berbeda, namun esensi dari arti kata tersebut adalah sama.

Kata-kata itu berarti dilarang atau dibatasi atau dikenakan sanksi, namun setiap saat turunan yang berbeda digunakan untuk kata-kata itu seperti haram, hurum, hurumat, harrama, yuhar-rimu, hurima dan muhar-ram.

Kita akan tahu arti dari turunan kata ini hanya dengan merujuk pada konteks dimana kata-kata itu muncul. Ini hal penting namun sederhana.

Misalnya dalam Surat 3 ayat 93 yaitu semua makanan diperkenankan (halal) bagi Bani Israel kecuali apa yang dilarang bagi mereka (haram) sebelum kitab Taurat diturunkan.

(Kulluu tha-ami kaana hillan li bani Israella)
Semua makanan diperbolehkan bagi kaum Israel

(Illa MAA HARRAMA israa iilu alaa nafsihi)
Kecuali apa yang dilarang bagi kaum Israel

(min qabli an tunazzila tauraatu)
Sebelum kitab Taurat diturunkan

Anak-anak Israel melarang (mengharamkan) bagi mereka makanan-makanan sebelum Taurat diturunkan.

Karenanya dalam Surat 5 ayat 1,

Wa-antum-hurumun berarti, ‘dan apa yang diharamkan kepadamu’.
Dengan kata lain dalam Surat 5 ayat 1, kitalah yang harus melarang perburuan satwa liar. Keseluruhan ayat ini adalah tentang perlindungan terhadap satwa liar untuk konsumsi manusia. Hal ini menjadi isu besar saat ini dan jutaan orang peduli dengan pelestarian satwa liar.

Al Qur’an tidak mengatakan berapa lama kita dilarang perburuan satwa liar, namun Al Qur’an mengatakan bahwa itu adalah bagian dari perintah Allah. Dengan demikian ini tergantung pada keputusan kita. Bila kambing gunung di Afganistan perlu lima bulan untuk berkembang biak, maka kita harus menahan diri untuk tidak berburu kambing itu selama lima bulan.

Bila kura-kura leatherback membawa telurnya selama dua bulan dan kemudian meletakkan telur-telurnya pada suatu malam di bulan purnama dalam setahun di Nikaragua, maka kita tidak boleh berburu binatang itu atau mengharamkannya katakan selama tiga bulan sebelum bulan purnama khusus itu.

Bila populasi rusa hampir punah dan mereka membutuhkan waktu tahunan untuk memperbanyak populasinya, maka kita harus mengharamkan perburuan terhadap rusa atau ‘hurumun’ selama jumlah tahun itu. ‘Wa antum hurumun’ berarti ‘dan itulah yang diharamkan bagimu’.

Surat 5 ayat 1 dengan tegas melarang perburuan.

ghoi-ro jangan
mu-hil-li membiarkan
soi-di dilakukannya perburuan

Larangan berburu harus dicantumkan dalam hukum negara untuk melindungi spesies binatang yang berbeda. Hukum negara harus memberlakukan batasan-batasan berburu pada saat yang tepat.

Agar bisa memahami arti pesan ini secara menyeluruh, mungkin kita harus berkunjung ke Departemen Konservasi Satwa Liar yang ada di setiap negara di muka bumi ini untuk mengetahui mengapa mereka memberlakukan jenis batasan yang berbeda terhadap perburuan binatang yang berbeda selama bulan-bulan tertentu. Musim berburu rusa di India mungkin berbeda dengan musim berburu kambing di Yaman. Ada musim-musim tertentu bagi hewan-hewan yang berbeda. Dan kitalah yang harus memutuskan kapan melarang perburuan dan kita harus menghormatinya.
Inilah arti sesungguhnya dari Surat 5 ayat 1. Hal itu tidak ada hubungannya dengan mengenakan dua potong kain putih yang dikenal sebagai IHRAM dan berjalan mengelilingi berhala batu berbentuk kubus di tengah masjid untuk mencari Allah dan menangisi-Nya.

Dalam Surat 5 ayat 1 kita tidak mengharamkan segala daging hewan buruan, namun kita diharamkan untuk berburu binatang-binatang itu selama periode tertentu.

Bila kita mematuhi Tuhan dari Alam Semesta, kita diperintahkan untuk tidak melanggar keputusan-Nya tentang berburu satwa liar selama bulan-bulan yang diharamkan sebagaimana yang tertera dalam Surat 5 ayat 2 selanjutnya.

Janganlah kamu melanggar peraturan Allah (sha’iral-lah), dan bulan-bulan yang diharamkan (untuk berburu), dan petunjuk (tentang berburu), dan indikator (berburu) dan larangan dalam agama (bai-tal-harama) bila ingin mencari karunia dan ridho Allah. Namun bila dihalalkan (halal-tum), maka kamu boleh berburu. Janganlah terpengaruh oleh kebencian terhadap orang-orang yang menghalangimu untuk bertakwa kepada sanksi dari ketakwaan (anil-mas-jidil-harami) dan janganlah kamu melanggarnya. Hendaknya kamu saling tolong menolong dalam berbuat kebajikan dan bertakwa, dan janganlah kamu bekerja sama dalam melakukan kejahatan dan pelanggaran (Surat 5 ayat 2).

Namun, bila kita sengaja membunuh satwa liar selama bulan-bulan yang diharamkan (shah-rul-harrama), maka hewan itu bisa kita makan, namun kita harus membayar denda.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang liar saat kamu dilarang (diharamkan). Bila seseorang dengan sengaja membunuhnya, maka ia harus menebusnya dengan hewan ternak yang seimbang yang ditentukan oleh dua orang laki-laki yang adil di antara kamu sebagai pedoman untuk menentukan ‘pergelangan kaki’ (ka’bati). Atau menebusnya dengan memberi makan orang miskin atau memperbaiki kesalahan dengan berpuasa, sehingga ia merasakan akibat dari tindakannya. Allah telah memaafkan perbuatan jahatnya yang terdahulu. Barangsiapa yang mengulangi perbuatannya, maka Allah akan menghukumnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan berkuasa untuk menghukumnya (Surat 5 ayat 95).

Arti sesungguhnya dari kata ‘hurumun’ bisa diverifikasi dari ayat-ayat lain dalam Al Qur’an. Misalnya dalam Surat 9 ayat 36, rasanya tidak mungkin mengubah arti dari kata ini kecuali ‘dilarang’.

Surat 9 ayat 36:

“Tentu saja hitungan bulan menurut Allah adalah duabelas bulan sesuai dengan hitungan Allah (fil-kitaabi-llaah) sejak hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dari kedua belas bulan ini, empat diantaranya diharamkan (arba’atun hurumun) itulah cara hidup yang lurus (deenul qayyimu)’.

Kata Arba’atum hurumun berarti ‘empat diantaranya (dari bulan-bulan itu) diharamkan’.

Keempat bulan yang diharamkan dalam ayat ini merujuk pada masa tenang setelah dinyatakannya suatu deklarasi terhadap para pemuja berhala dimana Allah dan para Rasul-Nya tidak mengakui cara-cara pemujaan itu. Pada hari pengumuman itu, dikenal sebagai hari Tantangan Besar atau Hajji Akbar. Dalam surat 9 ayat 1-4, para pemuja berhala dan orang-orang kafir diberikan waktu empat bulan untuk menjelajah bumi guna memutuskan pendakwaan terhadap mereka dalam agama.

Kata hurumun dalam Surat 9 ayat 36 memiliki arti sama dengan kata hurumun dalam Surat 5 ayat 1, yang berarti, ‘diharamkan’.

Kini, lebih dari satu milyar manusia di dunia percaya bahwa mereka harus ‘mensucikan’ diri selama beberapa hari. Mereka mengenakan dua potong kain yang tidak layak yang disebut IHRAM dan berjalan mengitari berhala batu berbentuk kubus ketika YANG DIINGINKAN ALLAH UNTUK MEREKA LAKUKAN HANYALAH mematuhi sanksi-sanksi dalam sistem agar tidak berburu binatang liar selama periode yang diharamkan. Itu saja.

Hanya sedikit mengubah satu kata sederhana seperti ini bisa menyebabkan bencana bagi kehidupan seorang manusia di dunia dan dunia akhirat.

Mayoritas umat Muslim kurang memperhatikan kepatuhan terhadap sanksi-sanksi untuk melindungi satwa liar, yang jelas tertulis dalam kitab suci mereka sendiri. Bangsa Arab mempengaruhi mereka agar menyembah batu itu.

Merupakan kehendak Allah untuk menciptakan semua makhluk hidup lain di dunia dan manusia diperintahkan untuk hidup berdampingan dengan mereka dalam suatu keharmonisan. Dalam Qur’an Surat 6 ayat 38 dikatakan:

(Wa-mamin dab-batin fil-ardi wala-thor’iri yathi-ru bijana-haihi il-laa um-matin amshalakum)
Segala makhluk di dunia termasuk burung yang terbang dengan sayapnya, adalah umat juga seperti kamu.

Manusia tidak diperbolehkan untuk membunuh secara serampangan kecuali hal itu dibenarkan. Dalam Surat 17 ayat 33 dikatakan:

(Wala-taq-tulu nafsal-lati haramal-lah il-la-bilhak)
Kamu tidak boleh membunuh jiwa karena itu dilarang oleh Allah kecuali disertai dengan alasan.

Kehadiran makhluk hidup lain adalah bagian dari ciptaan Allah. Manusia tidak bisa seenaknya membunuh atau membinasakan segala sesuatu sesuai kehendak mereka, kecuali dengan suatu tujuan.

Allah telah menciptakan hewan ternak untuk dikonsumsi oleh manusia. Membunuh hewan ternak untuk dijadikan makanan adalah hal yang dibenarkan. Allah juga memperkenankan manusia menikmati daging dari satwa liar; karenanya membunuh mereka juga dibenarkan, namun tergantung pada kondisi-kondisi tertentu.

Ada dua jenis satwa liar, yaitu binatang yang hidup di air dan di darat. Kita tidak perlu menetapkan batasan-batasan guna melindungi perburuan di air namun kita harus menetapkan beberapa larangan agar melindungi kehidupan satwa liar di darat. Asalkan kita mematuhi larangan-larangan itu, maka itu merupakan kondisi hurumun. Ini diterangkan secara jelas dalam ayat berikut ini, dalam Surat 5 ayat 96 dikatakan:

(Uhi-laa lakum soi-dul BAH-RI)
Kamu diperbolehkan (uhil-la-lakum) untuk berburu di air (soi-dul BAH-RI).

(wathor-‘amuhu mata-al-lakum walis-syai-roti)
Menyantapnya sebagai makanan bagimu dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan

(Wa-hur-rima alaikum soi-dul BAR-RI ma’duntum huruman)
Dan kamu dilarang (hur-rima) untuk berburu di darat terhadap (MA’DUNTUM) apa yang diharamkan (HURUMAN) kepadamu.

Wa-taqul-lah hal-lazi ilaihi taq-syarun
Kamu harus bertakwa kepada Allah, dan dihadapan-Nyalah kamu akan dikumpulkan.

Dalam Surat 5 ayat 96 disebutkan bahwa kita diperbolehkan memakan binatang buruan dari laut (BAH-RI) namun untuk berburu binatang di darat (BAR-RI) adalah diharamkan asalkan (MA’DUNTUM) memang kita mengharamkan (HURUMUN) perburuan tersebut.

CATATAN PENTING: Kita bisa melihat terjadinya KORUPSI yang dilakukan oleh para penemu Agama Arab sekali lagi terpapar dalam Surat 5 ayat 96 itu sendiri. Dalam Surat 5 ayat 96 ditemukan kedua kata HURRIMA dan HURUMUN tersebut. Keduanya berasal dari akar kata yang sama yaitu H R M atau ‘Haram’.

Namun mereka mengatakan bahwa HURRIMA dalam bagian pertama dari kalimat tersebut berarti dilarang namun HURUMUN pada bagian kedua dari kalimat yang sama berarti kesucian. Mereka menyatakan bahwa itu berarti IHRAM, yaitu dua potong kain putih yang dikenakan saat mereka berjalan mengelilingi berhala kubah batu yang terletak di tengah masjid mereka.

Pertentangan yang mereka munculkan antara HURRIMA dan HURUMUN dalam satu kalimat memperlihatkan maksud mereka yang sebenarnya. Kata hurumun dalam Surat 5 ayat 1 dan Surat 5 ayat 96 tidak berhubungan sama sekali dengan haji.

Menyantap daging hewan buruan dilakukan dimana saja dan kita masih tetap berburu hewan liar. Aktifitas semacam itu disebut perburuan dan merupakan ujian bagi pemburu untuk melihat apakah mereka menahan nafsu mereka untuk tidak membunuh hewan liar secara sembarangan. Dalam surat 5 ayat 94 dikatakan, ‘Allah menguji kamu melalui permainan berburu yang berada dalam jangkauan tanganmu’.

(Ya-aiyuhal-lazi na-amanu la-yub-luwa-nakamul-lah bi-shai’ain minal-soi-di tana-luhu ai-diyakum wa-rimahukum li-yak-lamal-lah man-yu-ghor-fuhu bil-ghaib. Fa-manikh-tada ba’da zalika falahu azaban alim).
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah menguji kamu dengan binatang buruan yang mudah engkau dapat dengan tangan dan alat yang engkau gunakan. Allah ingin memastikan siapa di antara kamu yang takut kepada-Nya (meskipun) Dia tidak melihat-Nya. Orang-orang yang melanggar sesudah ini maka dia pantas mendapatkan siksa yang pedih (Surat 5 ayat 94).

Mayoritas masyarakat yang berbudaya menerapkan hukum guna melindungi satwa liar tanpa mengetahui bahwa mereka sebenarnya menjaga keharmonisan sanksi dalam sistem Allah atau Baitul-harama. Mereka melakukan hal ini setelah mempelajari masalah lingkungan dan pola kehidupan binatang, dan mereka menyadari bahwa merupakan tanggung jawab mereka untuk melindungi makhluk hidup lainnya. Asalkan sesuai dengan Al Qur’an, persepsi semacam itu merupakan suatu kebaikan. Perintah Ghoi-ro mu-hil-lli so-idii wa-antum-hurumun berarti, janganlah kamu berburu terhadap apa yang DIHARAMKAN atas dirimu.

Kata Hurumun sepenuhnya dan tentunya tidak mengandung arti selama ibadah haji atau ‘dua potong pakaian haji’ yang mereka sebut IHRAM. Dan ini merupakan ujian bagi para ahli bahasa – kata IHRAM bukan merupakan turunan dari HARAM. Dan kesimpulannya, kata IHRAM bahkan TIDAK ditemukan dalam Al Qur’an.

Kita harus menyadari keindahan komposisi Al Qur’an. Dalam banyak hal, suatu subyek dijelaskan secara terperinci dalam ayat-ayat yang berurutan dan kemudian disebutkan lagi dalam ayat lain.

Larangan tentang makanan yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah bagian dari sanksi-sanksi sistem (baytal-harami) yang harus dipatuhi oleh orang-orang yang bertakwa kepada Allah.

Larangan tersebut pertama kali disebutkan dalam lima ayat yang berurutan yaitu – Surat 2 ayat 172-173 dan kemudian diikuti dengan pengingat bagi mereka yang menyimpang dari perintah yang ada dalam perintah Surat 2 ayat 174-176.

Selanjutnya detail dari larangan-larangan tersebut dikembangkan dalam lima ayat berurutan pada Surat 5 ayat 1 sampai 5, dalam Surat 5 ayat 3 di tengah-tengah penjelasan tentang makanan, Allah berkata:

Hari ini Aku sempurnakan DIN untukmu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku. Dan Aku nyatakan Islam sebagai DIN.

Cara hidup tersebut dengan lengkap menjelaskan tentang larangan-larangan dalam hal makanan. Muslim yang taat dilarang untuk mematuhi segala larangan di luar batas. Namun demikian ayat tersebut diakhiri dengan suatu pengecualian.

Bila seseorang terpaksa untuk memakan ini semua tanpa sengaja, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Topik yang sama berlanjut pada dua ayat berikutnya sebelum subyek baru ditetapkan.

Subyek tentang makanan diulang pada delapan ayat berurutan dalam surat 6 ayat 141-150 untuk menegaskan larangan-larangan yang disebutkan dalam surat-surat sebelumnya. Bagian akhir disebutkan sekali lagi dalam delapan ayat berurutan pada surat 16 ayat 112 sampai 119.

Dalam hal komposisi Al Qur’an tersebut bila ada subyek yang terpisah maka selalu disebutkan dalam satu ayat itu sendiri. Namun dua subyek yang tidak berhubungan tidak pernah dibahas dalam ayat yang sama dalam Al Qur’an.


KONSERVASI SATWA LIAR MENJADI BUSANA HAJI

Dari penelitian sederhana terhadap pesan dalam lima ayat pertama dalam Surat 5 terungkap hal-hal berikut:

Ayat 1 Kita harus memenuhi janji kita pada Allah yaitu tidak melarang setiap makanan kecuali yang dibacakan kepadamu. Tidak boleh berburu selama periode yang diharamkan.

Ayat 2 Janganlah kamu melanggar perintah Allah (sha’iral-lah) dan bulan-bulan yang diharamkan (untuk berburu), dan petunjuk (tentang berburu), dan indikator (berburu) serta keselarasan sanksi-sanksi sistem bila kamu ingin mengharapkan karunia dan ridho Allah. Namun bila kamu diperbolehkan, maka kamu bisa berburu. Janganlah terpengaruh oleh kebencian terhadap mereka yang menghalangi kamu untuk bertakwa kepada Allah dan janganlah kamu melanggarnya.

Ayat 3 Diharamkan bagimu untuk memakan bangkai, darah, daging babi, dan segala jenis binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Larangan itu juga meliputi binatang-binatang yang dicekik hingga mati, binatang yang dipukul, binatang yang mati karena terjatuh, yang ditanduk, makanan yang dipersembahkan untuk berhala dan makanan dibagikan untuk mengundi nasib. Ini adalah hanyalah serangkaian larangan tentang makanan dalam cara sempurna Allah, dan Dia menyebutnya Islam.

Ayat 4 Orang bertanya, apakah yang diperkenankan? Katakan kepada mereka, ‘Segala sesuatu yang baik termasuk apa yang ditangkap oleh anjing yang terlatih’.

Ayat 5 Hari ini, semua makanan dihalalkan, termasuk makanan yang disajikan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.

Semua ayat ini membahas tentang makanan termasuk daging dari hewan liar. JANGANLAH melanggar perintah Allah (sha’iral-lah) pada bulan-bulan yang diharamkan, petunjuk, indikator yang ditetapkan dalam sistem bila mengharapkan karunia dan ridho Allah. Janganlah marah dengan orang-orang yang menghalangi Anda untuk mematuhi sanksi-sanksi ketakwaan yang diperintahkan oleh Allah.

Melaksanakan haji atau mengenakan busana haji (ihram) bukanlah ITEM MAKANAN ATAU tidak berhubungan dengan makanan. Subyek tersebut sama sekali TIDAK ADA di sana.

Ini adalah kesalahan interpretasi yang dilakukan oleh penemu Agama Arab yang mengatakan bahwa HURUMUN adalah melaksanakan haji dengan mengenakan IHRAM. Ini merupakan korupsi yang parah.

Penelitian sederhana dari kelima ayat tersebut merujukkan:

1. Surat 5 ayat 1

(Ya-aiyu-hal-lazi na-amanu au-fu bil-u’khud-di Uhil-lat lakum bahi-matul an-aam illa-ma-tutla alai-kum ghoir-ro mu-hil-lis soy-di wa-antum hurumun)
Hai orang-orang yang beriman, kamu harus memenuhi janjimu. Kamu diperbolehkan (uhil-lat) untuk memakan semua jenis daging hewan ternak kecuali yang dibacakan atas dirimu. Kamu tidak boleh berburu (ghoiror Mu-hillis soi-di) dan dimana kamu diharamkan atasnya (wa antum huru-mun).

Hanna Kasis, pengarang The Concordance of the Qur’an tergantung pada tiga penerjemah dan ia memutuskan bahwa arti dari kata HURUMUN adalah disucikan, atau suci. Namun Kassis juga tidak bisa menghindar untuk mempertahankan istilah teknis haji. Dengan demikian, memang Kassis juga melakukan korupsi tersebut.

A.J Arberry memilih untuk tidak bersikap terlalu berani dan hanya mengatakan bahwa arti dari HURUMUN adalah ‘saat berada dalam kesucian ibadah haji’.

Mamaduke Pickhall mengatakan Saat Berhaji tanpa menghubungkan pemakaian busana haji.

Yusuf Ali mencoba menutupinya dengan mengatakan dalam ‘Balutan kesucian atau busana haji atau umumnya dikenal sebagai Ihram. Dengan demikian para intelektual dan penerjemah tidak menyelesaikan kekeliruan tersebut.

KATA IHRAM TIDAK DITEMUKAN DALAM AL QUR’AN

Penting untuk diperhatikan bahwa kata Ihram bukanlah turunan dari kata Haram dan kata ini tidak ditemukan dalam Al Qur’an.

Kecerobohan kecil tersebut akan mengalihkan arti sesungguhnya dari kata HURUMUN yang sama bila kata tersebut diinterpretasikan sebagai ‘ibadah haji’ atau ‘busana haji’. Arba’atun Hurumun dalam Surat 9 ayat 36 berbunyi:

• Jumlah bulanan menurut hitungan Allah adalah duabelas, empat diantaranya merupakan bulan haji.

Atau

• Jumlah bulan menurut hitungan Allah adalah duabelas, empat diantaranya dalam busana haji.

Kami harap pembaca melihatnya sebagai suatu yang ganjil.

Teks lengkap dari Surat 9 ayat 36 berbunyi:

(Inna ‘inda-tul shuh-ri ‘indal-lah hisna-‘a-sharor shah-ran fi-kitabil-lah yauma qorlaqas samawa-til ardht min-ha arba’atun hurumun. Zalikal deenu nul-qoyim. Fala tudht-limu fi-hin-na anfusakum wa-qorlitu musyrikin-na kaf-fatan kama yu-qotilunakum kaf-fatan. Wa’lamu an-nal-lah ma’al mut-taqin).
Hitungan bulan menurut Allah adalah duabelas, sebagaimana yang ditetapkan dalam kitab Allah dimulai saat Dia menciptakan bumi dan langit, empat di antaranya diharamkan. Ini adalah din yang sempurna. Oleh karenanya janganlah kamu berbuat jahat dalam bulan-bulan tersebut, dan kamu harus selalu menentang para pemuja berhala (orang musyrik), setiap saat mereka menentangmu. Dan kamu harus tahu bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa (Surat 9 ayat 36).

Karena pesan yang terkandung dalam Surat 9 ayat 36 menyebutkan bahwa kata Hurumun berarti ibadah haji atau busana haji, maka ibadah haji harus dilaksanakan selama empat bulan dan mengenakan busana haji. Di sinilah kita melihat hal yang tidak masuk akal.

Surat 5 ayat 2 akan memuaskan para pembaca dengan gerakan bangsa Arab yang tidak masuk akal dengan mencoba untuk menyelaraskan kata-kata yang tidak cocok dalam agama ciptaan mereka.

Distorsi tersebut dilakukan oleh para penghujat din Allah atau cara hidup yang diperintahkan-Nya. Hal itu merupakan konspirasi terhebat dari semua ras untuk menentang Allah. Bangsa Arab yang menguasai bahasa Arab terus mengeksploitasi orang-orang non-Arab dengan memanipulasi bahasa sempurna dalam Al Qur’an.

2. Surat 5 ayat 2

(Ya-aiyuhal-lazi ana-amanu la-tuhilu sha-a’iril-lah)
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu melanggar perintah Allah

(wala-sharul-harom)
dan bulan-bulan yang diharamkan

(wal-hadya)
dan petunjuk-petunjuknya

(walal-qolaida)
dan indikator-indikatornya (dari larangan berburu)

(wala-aman-nal baitil-harama)
dan keselarasan larangan-larangan dalam sistem

(yab-taghru fad-lan min rob-bihim warid-wa-nan)
dalam mencari karunia dan ridho dari Tuhan kamu

(Wa-iza-halal-tum fas-dho-dhu)
dan jika kamu diperbolehkan, maka kamu bisa berburu

(wala-yaj-riman-nakum shai-an qau-m)
janganlah terpengaruh oleh setiap kebencian dari semua orang

(an-yasud-dukum anil-masjidil-harami)
yang menghalangi kamu untuk bertakwa

(an-taq-tadu wa-ta’awanu alal-bir-ri wal-taq-walaa-ta’awanu alal-ismi wal-udwan-ni wat-taqul-lah ha-in-nal-lah sadi’dul-‘iqob)
dan janganlah kamu bertindak kasar. Saling bekerja sama dalam kebajikan, dan jangan bekerja sama dengan mereka yang berbuat dosa dan kekerasan.

Pesan dalam Surat 5 ayat 2 merupakan kelanjutan dari subyek yang disebutkan dalam ayat sebelumnya. Pesan itu adalah tentang hewan ternak dan berburu binatang liar. Kata berburu atau fas-tho-dhu dalam ayat ini sebenarnya merupakan pengulangan dari ayat 1 yang menjelaskan dua ayat tambahan tentang subyek yang sama.

Instruksi dalam Surat 5 ayat 2 berbunyi:

• Janganlah melanggar ketetapan Allah (sha-a’iril-lah) yaitu jangan melanggar perintah Allah.
• Jangan melanggar bulan-bulan yang diharamkan (shah-rul-harama) yaitu jangan melanggar bulan-bulan yang diharamkan untuk berburu.
• Jangan melanggar petunjuk-petunjuk (hadya) tentang berburu satwa liar.
• Jangan melanggar indikator-indikator (qola-ida) larangan berburu.
• Jangan melanggar kesesuaian sanksi kepatuhan (aminal-baital-harami) bila menghendaki karunia dan ridho Allah.
• Jangan terpengaruh oleh orang-orang yang menghalangimu untuk mematuhi sanksi ketakwaan (anil-mas-jidil-harami).

Banyak kata dari ayat ini yang sengaja dialihkan untuk mengindikasikannya sebagai ‘kepatuhan ritual’ yang disebut ibadah haji di Mekkah.

Penemu Agama Arab memberikan arti baru pada kata hadya yang berasal dari kata huda atau petunjuk. Mereka mengubah kata ini menjadi suatu persembahan/sajian, atau persembahan suci dari seekor binatang. Allah berkata dalam Al Qur’an mempersembahkan sajian kepada Allah berupa hasil pertanian dan hewan ternak adalah perbuatan yang BURUK.

Mereka bahkan memberikan Allah sebagian dari hasil pertanian dan hewan ternak yang diciptakan Allah kepada mereka dengan berkata, ‘Ini untuk Allah’. Mereka juga menyatakan, ‘Ini untuk berhala kami’. Namun demikian, apa yang diberikan kepada berhala-berhala mereka TIDAK PERNAH sampai kepada Allah, sementara yang diberikan kepada Allah secara tidak berubah akan sampai kepada berhala-berhala mereka. Sungguh mereka telah berbuat JAHAT (Surat 6 ayat 136).

Harap perhatikan baik-baik ayat ini. Allah tidak meminta mereka mempersembahkan sajian atau memberikan segala sesuatu kepada-Nya. Merekalah yang mempersembahkan makanan dan hewan ternak kepada Allah atau berhala-berhala mereka. Allah mengatakan bahwa perilaku mereka jahat, kata sangat kuat yang digunakan dalam Al Qur’an untuk menentang mereka yang mempersembahkan makanan kepada Allah yang merupakan hal umum dalam Agama Arab.

Jemaah haji yang mengunjungi berhala batu di Mekkah, ‘mengorbankan’ kambing, unta, dan hewan ternak lain untuk Allah selama ibadah haji. Dan Allah mengatakan,

Hewan kurban TIDAK AKAN PERNAH sampai kepada-Nya dan pada akhirnya akan sampai pada batu berhala mereka.

Hewan kurban yang diberikan kepada berhala batu adalah kebudayaan Arab yang lebih berpengaruh jauh sebelum zaman nabi terakhir. Saya ingin mengatakan bahwa bangsa Arab telah salah dalam meyakini asal mula pengorbanan binatang yang dilakukan Nabi Ibrahim, itu kisah yang panjang.

PETUNJUK MENJADI ‘PERSEMBAHAN BINATANG’

Kata hadya dalam Surat 5 ayat 2 berarti petunjuk. Akar katanya adalah Hada, yang berarti membimbing/merujukkan, dan Hudan adalah petunjuk. Bangsa Arab tidak menyangka bahwa pemotongan kata Arab yang sederhana dalam Al Qur’an pada akhirnya akan terungkap. Kata hadya muncul berulangkali dalam Al Qur’an. Kata Hadiiya dalam Surat 7 ayat 186 dan Surat 25 ayat 31 berarti merujukkan.

Man-yud-lilil-lah fala hadi-ya lahu wayazaru-hum fi-dhog-yanihim ya’mahun
Siapapun yang tersesat, maka Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada mereka (Hadi-ya lahu). Dan Dia akan membiarkan mereka berjalan tanpa arah (Surat 7 ayat 186).

Wakazalika ja’alna likul-linabiayan ‘aduwon minal-mujrimim wakafabirob-bika hadiiyan mahjur’.
Dengan demikian kami berikan musuh kepada tiap-tiap nabi dari orang-orang yang berdosa. Telah cukup Tuhanmu sebagai Pemberi Petunjuk dan penolong’ (Surat 25 ayat 31).

Namun lihatlah, saat kata hadya yang sama muncul dalam Surat 5 ayat 2 dan ayat-ayat yang lain, bangsa Arab memutarbalikkan kata tersebut menjadi persembahan hewan kurban sebagai ritual keagamaan dalam Agama Arab mereka.

KORUPSI YANG LEBIH JAUH

Selain korupsi dari kata hurumun dalam Surat 5 ayat 1, para musuh Allah dan nabi telah mengkorupsi enam (6) kata dalam Surat 5 ayat 2 untuk menipu orang-orang non-Arab agar berkunjung dan menyembah berhala mereka. Mereka telah memutarbalikkan kata-kata berikut ini:
• Kata hadya menjadi persembahan kurban. Orang-orang non-Arab sebenarnya menyukai kaum kafir Arab mempersembahkan makanan kepada berhala batu.
• Kata Qola-ida juga diubah menjadi kalung bunga penanda binatang. Tak ada maksud dari Allah dengan mengatakan kepada para hamba-Nya ‘Janganlah kamu melanggar kalung bunga penanda binatang? Kendati mereka mengatakan untuk mengalungi bunga pada binatang kurban, namun tidak satupun binatang kurban di Mina dikalungi bunga setiap tahun.

Ayat itu hanyalah mengatakan agar mematuhi petunjuk hadya dan indikator Qola-ida mendasari larangan untuk berburu binatang liar. Bila hukum negara melarang untuk berburu kambing gunung selama musim berkembang biak, maka jangan lakukan itu. Hal sederhana.

Menurut Surat 5 ayat 94 berburu bisa merupakan ujian bagi umat manusia. Tentu hal itu tidak berarti mengalungi karangan bunga di leher sapi dan kambing. Menurut agama tertentu mengalungi leher kambing, unta, sapi, atau hewan ternak dengan karangan bunga merujukkan kesucian dari binatang tersebut, namun bukan Islam yang diturunkan oleh Allah.

• Mereka memutarbalikkan kata Wala-aminal Baittal-harama menjadi ‘Janganlah menentang mereka yang mengunjungi rumah suci’. Pada kedua kejadian tersebut, mengalungi leher binatang dengan bunga dan menjadikan bangunan batu suci adalah perbuatan yang menghujat Allah, demikian yang dikatakan oleh Al Qur’an. Bangsa Arab benar-benar membodohi setiap orang dengan membuat mereka menyembah berhala batu di Mekkah.

Pesan dalam ayat tersebut sangat jelas: ‘Jangan merusak keselarasan ketetapan dalam sistem bila ingin mencari karunia dan ridho Allah’

• Kata Waiza-halal-tum fas-tho-du juga telah dimanipulasi

Ini adalah kata yang paling mudah dipahami bahkan oleh orang non-Arab.

Waiza -dan kemudian
Halal-tum -ini diijinkan (halal) bagimu
Fas-tho-du -kemudian engkau boleh berburu

Semua anak-anak muslim berusia 10 tahun mengerti makna kata halal. Orang tua mereka melatih mereka untuk menyantap makanan yang “Halal” saja. Kebalikan dari ‘halal’ adalah ‘haram’. Yang satu diijinkan dan yang lainnya dilarang. Sederhana saja. Tetapi orang Arab tetap saja mengkorupsi kalimat yang begitu sederhana dan jelas tersebut menjadi ‘Dan jika engkau telah menunaikan ibadah hajimu, maka engkau boleh berburu’. Untuk kesalahan pengartian yang begitu buruk seperti itu, penulis menyerahkan pada imajinasi pembaca.

Konservasi satwa liar tidak ada dalam Agama Arab. Bangsa Arab menciptakan penanggalan Arab, yang bahkan tidak dapat menetapkan empat musim dalam setahun. Meskipun mereka menetapkan jumlah bulan sebanyak duabelas, namun musim dingin bisa terjadi pada bulan apa saja karena penanggalan mereka berubah-ubah dan tidak sesuai dengan musim. Penanggalan tersebut tidak dapat menetapkan larangan berburu yang merupakan peraturan Tuhan.

• Yang lebih parah, mereka mengubah kata Mas-jidil-harami. Mereka menipu manusia dengan mengatakan ‘Janganlah engkau terpancing oleh kebencian terhadap mereka yang menghalangimu bepergian ke masjid suci (masjidil haram). Mereka mencoba memberi kesan bahwa di sana ada dua bangunan suci dalam satu lokasi. Menurut Al Qur’an di sana tidak ada bangunan suci. Dongeng-dongeng Agama Arab juga tidak menyebutkan adanya bangunan suci sebelum masa nabi terakhir. Tidak ada satupun. Titik. Bangsa Arab tidak pernah peduli dengan masjid sebelum Qur’an diturunkan. Semua sejarah mereka berpusat pada bagaimana mereka harus melindungi batu hitam tersebut.

Kata masjidil–harami bisa dengan mudah dipahami dengan membaca konteks pesan Tuhan tentang sanksi-sanksi peraturan dalam sistem. Dikatakan, ‘Janganlah engkau terpancing oleh kebencian terhadap mereka yang menghalangimu untuk mematuhi batasan ketakwaaan’. Bagian awal dari pesan tersebut berbunyi; jangan melanggar ketetapan Tuhan yang berkaitan dengan bulan-bulan yang diharamkan, petunjuk dan juga tanda-tanda larangan berburu. Semua itu ditetapkan dalam keselarasan sistem. Abaikan saja musuh yang menolak untuk mematuhi larangan-larangan tersebut.

SANKSI-SANKSI TERHADAP MAKANAN
3. Surat 5 Ayat 3

Larangan terhadap konsumsi makanan kemudian ditetapkan dalam ayat berikut:

(Hur-rimat alaikumul mai-tahu wal dam-maa walah-mul khin-ziri wa-ma-uhil-la li-ghyoi-ril-lah-bihi. Wal-mun-‘haani-qotu wal-mutarad-diyatu wal nathee-hatu wamaa-akalas sa-buhu il-la ma zakai-tum wa-ma zubiha’alan nusubi wa-antas-taksimu-bil-azlam).
Dilarang bagimu bangkai, darah dan daging babi dan apapun yang dipertuhankan selaian Allah. Hewan yang dicekik hingga mati, hewan yang mati karena tertabrak sesuatu, dan hewan yang mati karena jatuh dari ketinggian dan hewan yang mati tertanduk dan hewan yang mati karena sebagian badannya dimakan binatang buas kecuali kamu sempat menyelamatkannya. Dan hewan yang dijadikan persembahan bagi berhala dan yang dibagikan berdasarkan pengundian. Semua itu adalah dosa (Surat 5 Ayat 3).

Ini masih berkaitan dengan subyek tentang makanan pada Surat 5 Ayat 1, yang juga memperbolehkan untuk mengkonsumsi daging binatang liar dengan kondisi tertentu.

Relevansi pesan dalam Surat 5 Ayat 2 adalah menekankan pada kepatuhan yang ketat terhadap perintah Allah yang diperkenankan dalam sistem sebelum batasan-batasan diberlakukan dalam kepatuhan terkait dengan makanan yang telah ditetapkan.

Namun pada pertengahan Surat 5 Ayat 3 dikatakan:

Saat ini, orang-orang kafir merasa putus asa karena Cara Hidupmu (dee-nakum). Jangan takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-KU. Hari ini telah Aku sempurnakan Cara Hidupmu (dee-nakum) dan telah aku lengkapi anugerah-KU atasmu, dan Aku tetapkan Islam sebagai jalan hidupmu (dee-nan).

Tuhan telah menyempurnakan Cara Hidup setelah Dia menjelaskan semua larangan.

Dengan kata lain batasan-batasan tersebut diberlakukan, oleh karena itu para hamba-Nya tidak diperkenankan untuk memberlakukan larangan lain di luar itu. Itulah Islam dalam arti kata yang sesungguhnya.

Manusia diingatkan untuk selalu berhati-hati. Syatan akan selalu berusaha menyesatkan dengan menambah larangan. Semua makanan adalah halal sepanjang itu baik:

(Fakulu mim-ma roza-qo’r’-kumul-lah hala-lan thoyyiban waskuru ni’matal-lah ainkuntum aiyahu ta’budun).
Oleh karenanya makanlah dari apa yang telah disediakan oleh Tuhan, yaitu yang diperkenankan dan baik. Maka bersyukurlah atas rahmat Tuhan jika engkau melayani-Nya (Surat 16 Ayat 114).

Jika seseorang menyatakan ada larangan lain tentang makanan selain dari yang telah dijelaskan, Qur’an menyatakan mereka telah berbohong kepada Tuhan.

(Wala-taqulu lima tasifu al-sinatukumul kaziba haza halalun wa-haza haramun litaftaru alal-lahi kaziba in-nal-lazi yaftaruna alal-lahil kaziba la-yuf-lihun).
Dan janganlah mengatakan sesuatu kebohongan, ‘Ini adalah Halal (diperbolehkan) dan ini adalah Haram (dilarang)’ dan berbohong kepada Tuhan. Tentu mereka yang berbohong tidak akan berhasil (Surat 16 Ayat 116).

Surat 16 Ayat 116 mengatakan mereka yang memberlakukan larangan di luar yang diperintahkannya, adalah mereka yang berbohong.

HEWAN YANG DITANGKAP OLEH ANJING ADALAH
DIPERKENANKAN

4) Surat 5 Ayat 4

(Yus-alunaka ma-zaa uhil-la lahum. Qul uhil-la lakumul thor-ibatu wama ‘al-lamtum minal jawarihi mukalibina tu’al-limu-nahun-na mim-ma ‘a-lamakumul-lah fa-kulu-mim-ma am-sak-na alaikum waz-kurus mal-lah alai-hi. Wat-taqul-lah in-nal-lah sari-ul hisab).
Mereka bertanya kepadamu apakah yang diperbolehkan atas diri mereka. Katakan pada mereka, ‘Diperbolehkan bagimu semua hal baik yang ditangkap oleh anjing yang terlatih, sebagaimana yang diajarkan Tuhan kepadamu. Engkau boleh memakan apa yang telah mereka tangkap untukmu dan dengan menyebutkan nama Tuhan atasnya. Hendaknya engkau mematuhi Tuhan-mu, karena Tuhan sangat akurat dalam berhitung (Surat 5 Ayat 4).

Tidak banyak penterjemah yang bersedia menerjemahkan kata mukalibin sebagai anjing-anjing karena banyak dari mereka yang disebut Muslim percaya bahwa memelihara adalah dilarang (Haram). Sedangkan bahasa Arab untuk anjing adalah Kalb dan kata yang sama muncul di Surat 7 Ayat 176:

(Walau shik-na la-rofaknahu biha wala-kin-nahu aq-lada ilal-ardhi wat-taba’a-huwa-hu kama-salil kalbi ain-tahmil alai-hi yal-hash ay-tat-rukhu yal-hash. Zalika masalul qaumil lazi kaz-zabu bi-ayaatina. Fa qu-su-sil qoru-sorsa la-al-lahum yad-tafakarun).
Jika Kami menghendaki, Kami bisa mengangkatnya dengan kitab suci, tetapi dia tetap berpegang pada dasar dan mengikuti pendapatnya sendiri. Contoh dari Tuhan-mu adalah anjing (kalbi). Jika engkau memberinya perhatian maka dia akan mengibaskan ekornya dan jika engkau mengabaikannya maka dia juga mengibaskan ekornya. Ini adalah contoh dari orang-orang yang menolak wahyu kami. Engkau harus menyampaikan kepada mereka agar mereka berpikir dengan benar (Surat 7 Ayat 176).


5) Surat 5 Ayat 5

(Al-yauma uhil-la-lakumud thoi-iba-tu wa-thor-‘a-mul-lazi utul-kitab hil-lul lakum wa-tho-‘a-mukum hil-lun lahum. Wah-musornatu minal-mukninati wal-muh-sonatu minal-lazi utul-kitab min qob-likum).
Saat ini semua yang baik adalah diperbolehkan untukmu dan makanan bagi orang-orang yang menerima kitab terdahulu adalah diperbolehkan bagimu. Dan makananmu juga diperbolehkan bagi mereka (surat 5 Ayat 5).

Catatan: Dalam satu ayat yang sama subjek-subyek ini selalu berkaitan. Subjek-subyek yang tidak berkaitan tidak dijelaskan dalam ayat yang sama.

Dalam Surat 2 Ayat 62 dan Surat 5 Ayat 69 orang yang benar-benar beriman pada kitab-kitab sebelumnya juga didukung. Kemudian pada Surat 5 Ayat 5 kita melihat bahwa makanan yang disajikan oleh golongan apapun juga diperkenankan bagi satu sama lain. Ketika Dia membicarakan tentang umat dari kitab-kitab terdahulu, Dia menambahkan pesan lain yang sederhana dan jelas mengenai mereka dalam ayat yang sama. Hal ini terkadang dilakukan pada bagian akhir ayat yang berkaitan dengan masalah tertentu namun tidak pernah pada pertengahan subyek.

Dalam Surat 5 Ayat 5 ayatnya dimulai dengan kata ‘Hari ini’ dan perintah yang diakhiri dengan hal yang senada dengan ‘Hari ini, makananmu diperkenankan untuk mereka’ dan kemudian subyek baru tentang tiga golongan ditambahkan didalamnya, ‘Begitupula, kamu diperkenankan menikahi wanita dari golongan manapun diantara mereka’.

Sepanjang Surat 5 Ayat 1 sampai Ayat 5, subyeknya adalah mengenai makanan dan kesamaan sanksi yang ditetapkan bagi orang-orang dari kitab-kitab terdahulu dan umat Muslim.

Haji dan baju haji (ihram) temuan disisipkan secara acak oleh bangsa Arab dalam ayat yang sama yang merusak kesempurnaan komposisi Al Qur’an.

Kata Harumun dalam Surat 5 Ayat 1 bukanlah berarti haji ataupun busana haji (Ihram) yang terdiri dari dua potong kain putih. Ini hanyalah konspirasi lain yang dilakukan oleh bangsa Arab untuk menyesatkan manusia dari jalan Tuhan.


BANGSA ARAB MEMENUHI JANJI SETAN

Korupsi besar-besaran terhadap firman Tuhan dalam Qur’an yang dilakukan oleh bangsa Arab tersebut justru memastikan bahwa mereka telah memenuhi harapan setan. Menurut Qur’an, setan telah berjanji:

(Qola fabima a’waitani la-aq’udan-na lahum siro-thokal mustaqim).
Dia berkata, karena engkau telah memastikan bahwa aku telah menyimpang, maka aku akan menyesatkan semua orang dari jalanmu yang lurus (surat 7 ayat 16).

Dalam Surat 9 Ayat 97 dikatakan, ‘bangsa Arab adalah sangat kuat dalam sikap kafir dan sikap munafiknya’. Bangsa Arab tahu tentang peraturan yang permanent ini dan tak ada satupun yang bisa mengubahnya. Mereka harus melaksanakan persis apa yang diinginkan setan seperti yang disampaikan setan pada Tuhan: ‘Karena engkau telah memastikan bahwa aku telah menyimpang, maka aku akan menyesatkan semua orang dari jalanmu yang lurus’ sebagaimana dikutip diatas. Surat 9 Ayat 97 mengatakan:

Bangsa Arab adalah bangsa yang sangat kuat dalam sikap kafir dan munafiknya dan terlebih mengabaikan larangan-larangan Tuhan sebagaimana yang diturunkan kepada nabinya (Surat 9 Ayat 97).

Di antara bangsa Arab yang ada di sekitarmu terdapat orang-orang munafik, mereka berasal dari kota berpenghuni. Dan mereka sangat munafik (Surat 9 Ayat 101).

Kita tidak memiliki alasan untuk mempercayai yang sebaliknya. Dengan demikian maka kita tidak punya alasan untuk mempercayainya. Mereka bukanlah bangsa Arab yang suka berpindah tempat (nomaden) dan tentunya juga bukan bangsa Arab Bedouin. Kita telah melihat dampak luar biasa ketika orang Arab mengubah ucapan-ucapan Tuhan dalam Al Qur’an. Mereka telah berhasil menyesatkan milyaran manusia dari jalan lurus Tuhan.

KA’BATA (TUNGKAI) DITERJEMAHKAN MENJADI RUMAH TUHAN

Para pendukung Agama Arab telah merubah kata ‘Ka’ba yang berarti tungkai kaki menjadi rumah Tuhan. Penyelesaian ini mereka lakukan untuk mengakomodir pengubahan terencana tanpa dasar yang mereka lakukan sebelumnya terhadap kata Hurumun’ dalam ayat 2.

Kata Ka’aba disebutkan pada tiga bagian yang berbeda dalam Qur’an dan ketiganya dikelompokkan dalam Surat 5. Judul dari Surat 5 adalah ‘Al Maaidah’ yang berarti ‘Pesta/Hidangan’.

Sebelum menelaah lebih jauh tentang makna sesungguhnya dari kata ‘Ka’aba’ saya akan memberikan rangkuman dari Surat 5.

Ada 120 ayat dalam Surat 5 ini dan subyek tentang makanan tersebar di seluruh ayat termasuk satu tentang minuman. Esensi umum dari pesan dalam surat ini adalah mengenai tiga nabi yang menerima kitab suci Tuhan yaitu Musa, Isa dan Muhammad.

• Lima ayat pertama menjelaskan masalah sanksi makanan. Dalam ayat 6 sampai Ayat 11 tentang pentingnya penegakan peraturan Tuhan mendukung lima ayat pertama.
• Ayat 12 sampai ayat 47 berhubungan dengan sejarah Bani Israel yang melanggar peraturan yang diwahyukan kepada Musa dan Isa.
• Ayat 48 sampai 89 berisi pesan tentang kitab yang diwahyukan kepada nabi terakhir yang mengingatkan pembaca tentang pelanggaran yang dilakukan manusia dari kitab-kitab sebelumnya.
• Ayat 90 sampai 93 subyek tentang makanan disebutkan lagi untuk memperingatkan tentang kebiasaan mabuk, berjudi dan membagi daging dengan menggunakan undian bukan karena terpaksa. Dalam ayat 93 dikatakan bahwa mereka yang beriman dan menjalani hidup di jalan yang lurus serta tidak berbuat dosa dengan memakan apa saja sepanjang mereka mematuhi perintah untuk berbuat baik dan menjalani kehidupan yang lurus.
• Ayat 94 sampai 98 subyeknya berkembang pada kehidupan satwa liar sebagai titik utama, yang sekali lagi berkaitan dengan makanan. Ini berkaitan dengan konservasi kehidupan satwa liar.
• Subyek dari ayat 99 ke ayat 109 berubah yaitu tentang keterbatasan peran nabi terakhir. Meskipun demikian diantara kutipan-kutipan dalam ayat tersebut subyek tentang makanan disebutkan kembali dalam ayat 103. Beberapa nama yang disebutkan dalam ayat ini berada di luar pemahaman orang banyak bahkan bagi orang Arab sendiri. Ada banyak nama seperti ‘Baheerah’ ‘Saa’ibah’ dan ‘Waseelah’. Mereka bukanlah onta, domba ataupun keledai yang umum bagi bangsa Arab.
• Nabi Isa disebutkan dalam ayat 110 sampai 120. Di sini kita lihat bahwa umat nabi Isa ingin meyakinkan hati mereka dengan membuat permintaan yang sangat tidak masuk akal pada nabi Isa agar nabi memohon kepada Tuhannya untuk menurunkan hidangan dari langit sebagai tanda perayaan. Permintaan mereka dipenuhi dengan disertai ancaman bahwa mereka akan di hukum seberat-beratnya apabila mereka tetap tidak juga percaya setelah hidangan dikirimkan.

Inilah esensi kontekstual surat 5 dalam Qur’an yaitu utamanya berkenaan dengan makanan. Dan ini adalah satu-satunya surat dimana kita menemukan kata ka-aba disebut sebanyak tiga kali:

Kata ini disebut pertama kali dalam ayat 6:

Wahai orang-orang yang beriman, jika engkau hendak menegakkan komitmen maka basuhlah mukamu, tanganmu sampai siku, basahilah rambutmu, dan basuhlah kakimu hingga ke pergelangan kaki (ka’abaini) (Surat 5 Ayat 6).

Kata ka’baini dalam ayat ini berarti pergelangan kaki. Kata yang sama juga muncul pada Surat 5 Ayat 95 yang berarti pergelangan kaki binatang.

Yaaiyuhallazi na-amanu la-taqtalu soida wa-antum hurumun waman qotalahu minkum muqota’amidan fajaza-un misluma qotala-minalna’ami yah-kumu bihi zawa’adli minkum hadyan balighor ka’bati aukafarotun tho’amu masakina au’adlu zaalika siyaman liyazuqo wabala amrihi ‘afal-lah ‘am-ma salafa waman ‘aada fayantaqimul-lah minhu wal-lahu ‘azizun zuntiqom.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah engkau membunuh binatang liar yang diharamkan atasmu (Harumun). Jika seseorang membunuh dengan sengaja dia harus menggantinya dengan hewan ternak yang setara yang ditentukan oleh dua orang laki-laki yang bijak (hakim) dari kaummu sendiri sebagai penunjuk dalam menentukan ‘tungkai kaki’ mereka (ka’abati) atau engkau diharuskan memberi makan fakir miskin atau membayarnya dengan berpuasa, dengan demikian dia merasakan akibat dari perbuatannya. Tuhan mengampuni dosanya yang terdahulu. Barangsiapa kembali melakukan dosa yang sama, Tuhan akan membalasnya. Tuhan adalah Pembalas (Surat 5 Ayat 95).

Kata sebelum kata ka’abati dalam ayat tersebut adalah hadyan baligha yang secara harfiah berarti diberi petunjuk menuju dewasa. Kata hadyan berakar dari kata hada, yang berarti ‘membimbing’ atau ‘merujukkan’ atau ‘mengarahkan’. Kata baligha berakar dari akar kata balagh, yang berarti menuju kematangan, atau menuju ‘dewasa/matang’ menuju suatu tujuan.
Misalnya dalam Surat 4 Ayat 6, jika kita memelihara anak yatim kita harus menguji kematangan mereka begitu mereka memasuki usia perkawinan sebelum kita menyerahkan harta warisan mereka. Kata balagh yang berarti ‘matang’ pada Surat 4 Ayat 6 adalah kata yang sama persis yang digunakan dalam Surat 5 Ayat 95 yang mengacu kepada kematangan tungkai hewan.

Engkau harus menguji anak yatim ketika telah mencapai usia matang untuk menikah (balaghu nikaha). Jika engkau melihat bahwa mereka telah berakal, engkau harus menyerahkan harta kekayaan mereka dan jangan menggunakan harta mereka secara berlebihan sebelum mereka dewasa (aiya’baru) (Surat 4 Ayat 6).

Dalam Surat 4 Ayat 6 kata balagh yang berarti matang lebih diperkuat dengan kata aiya’baru yang berarti sebelum mereka dewasa. Dengan kata lain anak yatim tersebut harus sudah matang sebelum kita menyerahkan harta mereka kepada mereka dan jangan menghabiskan harta mereka dengan semena-mena sebelum mereka dewasa.

Contoh lain dalam Qur’an yang menyatakan kedewasaan manusia atau kematangan pada jalan lurus adalah tidak berguna bagi sebagian orang bahkan setelah kebijaksanaan mendalam mencapai mereka. Kata yang sama yaitu Balighor-tun digunakan dalam Surat 54 Ayat 4-6:

Mereka telah menerima cukup banyak pengetahuan untuk membuat mereka tetap lurus, bijaksana, tetapi kematangan mereka (baligha-tun) nampaknya tidak berguna. Karenanya, tinggalkanlah mereka (Surat 54 Ayat 4-6).

Konservasi kehidupan satwa liar merupakan bagian tak terpisahkan dari ciptaan Tuhan. Ini adalah ketetapan yang harus dipatuhi oleh umat manusia. Surat 5 Ayat 95 kata ka’bati berhubungan dengan pelanggaran terhadap larangan dan denda yang harus dibayar seseorang jika ada hewan yang dibunuh dengan sengaja selama periode terlarang. Berburu diperbolehkan selama hewan buruan telah mencapai kematangan. Ayat 2 dalam Surat yang sama manusia diperingatkan untuk tidak melanggar ketetapan Tuhan tentang berburu binatang liar selama periode terlarang (bulan Muharram). Dalam Surat 5 Ayat 2 dikatakan,

Wahai orang yang beriman, janganlah engkau melanggar ketentuan Tuhan (sha’iral-lah), dan jangan melanggar bulan-bulan terlarang (shahrul harama) dan jangan melanggar petunjuk (hadya), dan jangan pula mengganggu tanda-tanda (qo-laa-ida) dan keselarasan batasan pada system (bai-tal-harama) jika engkau menghendaki kemuliaan dan kesenangan dari Tuhan. Tetapi jika mereka diperbolehkan untukmu (halal-tum), engkau boleh berburu. Jangan terpengaruh oleh musuhmu yang menghalang-halangimu untuk mematuhi sanksi kepatuhan (anil-mas-jidil-haromi) dan janganlah bersikap kasar. Bekerjasamalah dalam melakukan kebaikan dan kesabaran dan jangan bekerjasama dalam melakukan dosa dan kejahatan (Surat 5 Ayat 2).

Pesan dalam Ayat 2 adalah untuk memberikan penekanan mengenai masalah pembatasan perburuan binatang liar. Begitu larangan tersebut dicabut, maka engkau boleh berburu.

Pesan dalam Surat 5 Ayat 95 mudah dipahami. Contohnya, begitu larangan (harumun) berburu kijang ditetapkan, maka jika ada seseorang yang membunuh kijang, maka dia harus membayar denda yang setara dengan binatang ternak. Si pemburu harus diadili oleh dua orang yang memiliki sifat adil dari golongannya sendiri untuk memastikan bahwa larangan itu dipatuhi sampai larangan tersebut dicabut.

‘Hadyan baligha al ka’bati’ secara harfiah berarti penunjuk kematangan tungkai artinya mereka harus menentukan kedewasaan seekor kijang berdasarkan tungkainya.

Yang juga penting adalah fakta bahwa harus ada denda bagi seseorang yang melanggar tanda-tanda larangan berburu (qo-laa-ida) dan diketahui membunuh hewan ketika hal tersebut dilarang (harumun) untuk diburu, dia harus dibuat merasakan konsekuensi perbuatannya membunuh kijang.

Karenanya menjadi kewajiban orang adil (polisi hutan yang kompeten) untuk menentukan kedewasaan seekor hewan yang dibunuh dan menetapkan denda berupa hewan ternak dewasa yang setara dengan nilai hewan ternak yang telah dewasa.

Bila seseorang secara tidak sengaja membunuh kijang selama musim burung liar sementara dia adalah orang yang taat, maka kewajiban baginya untuk melapor ke petugas agar mereka membuat keputusan untuknya. Hendaknya dia menegakkan komitmen dan menjaga kemurniannya dengan menjaga keselarasan batasan-batasan dalam sistem. Jika hakim tidak meminta denda maka kewajiban dia untuk memberi makan fakir miskin secara sukarela dengan jumlah setara nilai binatang ternak atau diwajibkan atasnya berpuasa sehingga dia merasakan akibat perbuatannya.

Kata yang sama Ka’aba juga muncul dalam surat 5 Ayat 97. Pesan tersebut sama dengan Ayat 2 dalam Surat yang sama:

Tuhan telah menetapkan ‘tungkai’ (ka’bata) diperbolehkan dalam sistem (baytil-harami) untuk ditegakkan oleh umat manusia dan bulan-bulan yang dilarang (shahrul harami) dan petunjuk-petunjuk (hadya) dan tanda-tanda (qo laa ida). Agar engkau ketahui bahwa Tuhan; Dialah yang maha mengetahui (mestinya guru besar) segala sesuatunya baik yang di langit maupun yang di bumi dan yang ada di balik bumi. Tuhan mengetahui segalanya yang ada di langit dan bumi dan apa yang ada di bawah bumi. Dan tentu Tuhan sangat mengetahui segalanya (Surat 5 Ayat 97).

Beberapa ahli yang ingin batu berhala mungkin mengatakan bahwa penjelasan di atas adalah tidak logis. Mereka telah mengabaikan pentingnya konservasi kehidupan liar sebagai bagian dari ketetapan Tuhan sebagaimana yang termuat dalam Surat 22 Ayat 36. Kata ‘Al Budna’ dalam ayat ini berarti binatang liar atau binatang buas, tetapi para penterjemah berbeda dalam memahami dan beberapa dari mereka telah begitu salah menerjemahkan kata tersebut sebagai onta. Kata ka’aba dalam Surat 5 Ayat 95 dan 97 berkaitan dengan tungkai hewan liar, dimana kata ini telah dimulai dari Surat 5 Ayat 94. Kata tersebut disebutkan lagi untuk merujukkan bahwa umat manusia hendaknya mengamati kedewasaan binatang-binatang ini melalui tungkainya, sanksi dalam sistem, petunjuk dan tanda-tanda larangan berburu pada bulan-bulan khusus. Para ahli menentukan kedewasaan hewan berdasarkan langkah kaki mereka.

Kehidupan liar ditetapkan berdasarkan peraturan Tuhan (sha’iril-lah), dan itu baik untukmu. Ingatlah nama Tuhanmu saat membidik mereka dan saat mereka jatuh di kejauhan. Karenanya makanlah darinya dan sedekahkan kepada orang lain dan juga kepada orang yang memintanya. Itu adalah yang Kami ciptakan untukmu, supaya engkau bersyukur (Surat 22 Ayat 36).

Dalam Surat 5 Ayat 97 Qur’an mengatakan, Tuhan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dan apa yang di balik bumi. Dia mengetahui apa yang kita bunuh dan apa yang tidak kita bunuh. Dia juga mengetahui apakah hewan tersebut masih muda atau telah dewasa, pembunuhan tersebut disengaja atau tidak, pembayarannya dipenuhi atau tidak, atau kita membunuh hewan-hewan tersebut di saat semestinya kita tidak diperkenankan melakukannya (harumun) atau tidak. Inti pembahasan tersebut adalah kehidupan liar harus dijaga dan diatur sesuai dengan sistem Tuhan. Manusia tidak seharusnya berburu hewan liar pada masa larangan tertentu bagi mereka yang percaya pada yang ‘Ghaib’. Jika misalnya, mereka melakukan pelanggaran maka mereka harus di hukum atas kesalahan mereka secara sukarela sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Surat 5 Ayat 95. Berburu binatang liar adalah ujian nyata bagi mereka yang takut pada Tuhan yang Ghaib.

Wahai orang-orang yang beriman, Tuhan mungkin mengujimu melalui perburuan binatang liar yang berada dalam jangkauanmu dan juga dalam kemampuan hartamu. Tuhan ingin membedakan siapa diantara kalian yang takut pada Yang Maha GHAIB. Barang siapa yang melanggar setelah adanya peringatan ini maka pantas baginya mendapatkan azab yang pedih (Surat 5 Ayat 94).

Bagi mereka yang tidak mencegah dirinya dari melakukan perburuan di saat mereka seharusnya tidak melakukannya maka mereka pantas mendapat azab yang pedih.

Binatang liar hendaknya dilindungi dan dibiarkan hidup sesuai dengan sistem Tuhan. Hewan tidak seharusnya dibunuh kecuali mereka bisa bertahan hidup di atas kaki (tungkai) mereka sendiri sebagai tanda kedewasaan mereka. Itu saja

Sayangnya, bangsa Arab menutup-nutupi pesan yang dibawa Qur’an yang berkaitan dengan konservasi kehidupan binatang liar dan membodohi manusia agar memakai Toga yang disebut Ihram. Manusia dibuat percaya bahwa tungkai hewan (ka’bah) sebagai rumah Tuhan dan disebut sebagai ‘baytul-lah’.

Mereka memaksa Surat 5 Ayat 95 dibaca:

Wahai orang-orang beriman, janganlah membunuh binatang liar selama menunaikan ibadah haji. Jika seseorang membunuh dengan sengaja maka dia harus didenda dengan binatang ternak yang setara dan ditentukan oleh dua hakim yang adil dari golongannya sendiri sebagai penawaran untuk meraih rumah Tuhan.

Kembali saya katakan bahwa hadiah berupa hewan yang dikorbankan menurut Qur’an adalah KEJAHATAN. Mempersembahkan upacara keagamaan semacam itu untuk Tuhan adalah dusta yang besar, tetapi para musuh Tuhan telah berhasil menyesatkan manusia agar melaksanakan tindakan jahat dengan memanipulasi firman Tuhan dalam Qur’an. Saya harus kembali menggarisbawahi ayat tersebut untuk merujukkan betapa seriusnya masalah ritual keagamaan primitif orang kafir ini.

Mereka bahkan menawarkan pembagian hasil pada Tuhan dari panen dan binatang ternak yang telah Tuhan ciptakan untuk mereka, katakanlah, ‘Ini untuk Tuhan’ sebagaimana pernyataan mereka. Dan mereka juga berkata, ‘Ini adalah untuk berhala kami’. Padahal apa yang mereka persembahkan untuk sesembahan mereka TIDAK PERNAH sampai kepada Tuhan sementara apa yang mereka kira sebagai persembahkan untuk Tuhan benar-benar akan berakhir sampai kepada sesembahan mereka saja. KEJAHATAN sungguh ada dalam keputusan mereka (Surat 6 Ayat 136).

Mempersembahkan makanan kepada sesembahan seperti rumah batu TIDAK AKAN PERNAH sampai kepada Tuhan. Memanipulasi kalimat sederhana ‘hadyan baligha al ka’bati’ dalam Surat 9 Ayat 95 dengan sewenang-wenang telah menyesatkan banyak orang sehingga mereka dengan rajinnya melakukan tindakan kejam yaitu mengorbankan binatang ternak setiap tahunnya. Ini adalah persis seperti apa yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas. Tuhan meminta kurban sebagai persembahan adalah perbuatan setan. Mereka adalah PENDOSA.

Setiap tahunnya sekitar dua juta orang menyembelih binatang ternak selama mereka menunaikan ibadah haji di Mekah sebagai persembahan kepada Tuhan. Pemujaan yang dilakukan dalam Kepercayaan Arab juga melakukan penyembelihan hewan yang sama di seluruh dunia pada hari yang sama. Mereka menamakan hari tersebut sebagai Eidil Adha[ ].

Binatang ternak dan juga binatang liar adalah persediaan dari Tuhan. Manusia seharusnya melakukan latihan pengorbanan diri dengan cara menyumbangkan pemberian Tuhan tersebut kepada orang lain. Mereka yang berhak atas daging hewan buruan juga harus menyumbangkan sebagian darinya kepada orang lain.

Bagi setiap bangsa telah Kami tetapkan cara mereka sendiri untuk mengorbankan diri agar selalu mengingat nama Tuhan atas anugerah berupa binatang liar dan binatang ternak. Tuhanmu adalah satu, karenanya kamu harus tunduk kepada-Nya dan menyampaikan berita baik kepada mereka yang bertakwa yang hatinya tunduk dan takut setiap kali mengingat nama-Nya. Mereka yang tetap teguh saat mengalami kesusahan dan mereka yang menegakkan komitmen serta berderma dari apa yang telah apa yang telah Aku anugerahkan kepada mereka. Kehidupan liar adalah ketetapan dari Tuhanmu, dimana hal tersebut baik untukmu. Ingatlah nama Tuhanmu saat engkau membidiknya dan saat dia telah jatuh di kejauhan. Karenanya makanlah sebagian daripadanya dan sedekahkan sebagian yang lain dan berikan juga bagi mereka yang membutuhkannya. Ini adalah apa yang Kami ciptakan untukmu, maka bersyukurlah (Surat 22 Ayat 34-36).

Qur’an TIDAK PERNAH memerintahkan manusia untuk memberikan persembahan hewan kurban. Manusia itu sendiri yang seharusnya berlatih untuk mengorbankan diri dengan bersedekah dari apa yang Tuhan anugerahkan kepadanya. Mereka seharusnya memperlihatkan rasa syukur mereka kepada Tuhan mereka dengan menegakkan komitmen mereka pada Tuhan serta bersedekah meskipun dalam keadaan sulit.

Kata Bahimahi-an-am dalam Surat 22 Ayat 34 berarti ‘Hewan ternak’. Kata Al Badna dalam Surat 22 Ayat 36 berarti ‘Satwa liar’. Sebelum membunuh hewan liar, pemburu hendaknya mengingat nama Tuhan atasnya dan kemudian mereka boleh memakan dagingnya dan mereka juga harus menyedekahkan sebagian darinya. Semua itu adalah pemberian dari Tuhan.

Bangsa Arab dengan cerdas memanipulasi esensi makna semua ayat yang berkaitan dengan sedekah dan makanan dalam Qur’an. Mereka telah membuat umat manusia melaksanakan ritual kafir dan melakukan pemujaan dengan jalan mengorbankan hewan. Semua itu adalah perbuatan SETAN untuk bersekongkol dalam melawan din yang sesungguhnya.

Meskipun Surat 6 Ayat 136 menyatakan secara sederhana bahwa, ‘Mempersembahkan makanan dari hasil panen dan binatang ternak kepada Tuhan adalah DOSA’. Tetapi para musuh nabi berkata bahwa manusia harus mengorbankan binatang ternak sebagai persembahan.

Saat ini Saudi Arabia menggunakan kekayaan minyaknya untuk membangun kompleks hotel, restoran dan pusat perbelanjaan untuk melayani kebutuhan jemaah haji. Tetapi limapuluh tahun atau seratus tahun lalu bagaimana bisa para jemaah haji melaksanakan ‘kehajian’ mereka tanpa bergantung pada binatang buruan untuk makan mereka?

Bangsa Arab bagaimanapun sebenarnya menyadari masalah ini tetapi mereka telah menyiapkan jalan keluar yang sederhana. Mereka berkata, Engkau tidak diperbolehkan berburu hanya pada area sekitar yang dinamakan ‘masjid suci’ yang berdiri di Mekah. Karena adanya bangunan tinggi yang mengelilingi masjid suci yang letaknya sampai beberapa kilometer jauhnya, maka mungkin tidak akan pernah ditemukan binatang buruan di tengah gurun sampai jarak 50 kilometer jauhnya. Apapun saran mereka, tidak akan ada haji yang mau melakukan perjalanan berburu ketika mereka bisa memberikan penghormatan kepada tuhan atau tuhan-tuhan mereka dengan cara membayar. Para penjaga batu berhala yang merancangnya sehingga mereka mengikutinya.



faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:57 pm

BAGIAN SEBELAS

U’MRAH DAN HAJI ADALAH IBADAH HAJI YANG MENGADA-ADA

Agama Arab yang menyimpang dan aneh yang berkedok sebagai ‘Islam’ saat ini memiliki banyak ritual ciptaan yang menyesatkan banyak orang untuk membayar tebusan untuk bangunan batu di Mekah. Mereka telah memanipulasi dua kata dalam Qur’an dengan menyalahartikannya sebagai ibadah wajib yang menjadi bagian dari bentuk keyakinan. Kata ‘Haj’ dan umrah didistorsi menjadi ibadah haji tahunan dan yang disebut terakhir dianggap sebagai ibadah yang sedikit lebih rendah dari haji. Ritual ini tidak diperintahkan dan sama sekali bertolak belakang dan bertentangan dengan ajaran nabi terakhir.

TUHAN MEMAKMURKAN MANUSIA

Kata U’mro-ata yang secara umum diartikan U’mro berasal dari akar kata ‘M R yang dieja a’ayan atau ‘ayn mim ror yang dibaca dengan nada sengau, dan tidak ada padanan katanya dalam bahasa barat manapun.

Akar kata ‘Amr’ merujuk pada ‘Kehidupan’ dari sesuatu. Dalam Qur’an kata ini biasanya merujuk pada suatu respon yang dilakukan terus menerus yang memiliki tujuan. Contohnya kalau kita ingin membuat tanah yang tandus menjadi subur, kita harus mengolahnya atau menanaminya sampai kita melihat hasilnya dan berkaitan dengan hal ini, Qur’an menyebutnya a’maru. Ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia ta’mara atas mereka atau memberi hidup pada apa yang telah Dia ciptakan. Ini juga terdapat dalam Qur’an.

Dari akar kata yang sama ‘Amr’ (hidup) kita lihat bahwa Tuhan selamanya melakukan u’rah (memberi kehidupan) pada manusia sehingga mereka tetap hidup atau ma’muri selama periode tertentu hingga saatnya ‘umur atau usia habis masanya. Semua kata-kata ini berasal dari akar kata yang sama yaitu ‘Amr’.

Namun, apakah Dia harus memutuskan untuk berhenti memberikan kemakmuran bagi kehidupan, Dia berfirman,
‘Wama-yu-‘am-maru min mu-‘ammarin (Surat 35 Ayat 11)

Secara harfiah berarti ‘Tidak akan terus memberi hidup (yu-‘am-maru) dari kehidupan (min mu’ammar).

Untuk mengilustrasikan firman tersebut, mari kita meneliti beberapa contoh dari Qur’an:

Huwa ansha akum minal ard was ta’mara-kum fi-haa fas-taq-fi-ruhu som-ma tubu ilai-hi
Dia adalah satu-satunya yang menciptakanmu dari tanah dan memberikan kehidupan (ta’mara-kum) bagimu di dalamnya. Maka hendaknya engkau memohon ampun dan bertaubatlah (Surat 11 Ayat 61).

Dari sejak awal Tuhan menciptakan kehidupan di muka bumi, Dia terus memberikan kehidupan padanya sampai pada saat yang telah ditentukan. Sebaliknya, hendaknya makhluk hidup meminta pengampunan Tuhan dan bertaubat sepanjang hayat masih bersamanya.

Akar kata A’mr yang berarti ‘Hidup’ kembali muncul di Qur’an Surat 15 Ayat 72. Dari akar kata ini bisa dihasilkan banyak turunan kata dan kata-kata ini banyak digunakan dalam Qur’an.

La-‘amru-ka in-nahum lafi-shak-ro-bihem yak-mahun .
Demi kehidupanmu, sungguh mereka mabuk dalam pencarian mereka (Surat 15 Ayat 72).

Kita tahu bahwa umur kita terbatas pada masa yang telah ditetapkan dan kita tidak bisa menentukan sendiri kapan harus hidup dan kapan harus mati. Dengan kata lain kita tidak akan tahu kapan dan dimana kita akan hidup ataupun mati. Dokter kita mungkin mengatakan berapa lama waktu yang tersisa setelah dia menentukan penyakit yang kita derita, tetapi diagnosa mereka tidak bisa menentukan hari dan jam yang tepat kita akan mati kecuali hanya dengan menebak saja. Tetapi satu yang telah memberikan hidup kepada kita adalah hanya Dia yang menentukan masalah hidup dan mati. Untuk mengilustrasikan hal ini, mari kita baca kutipan dalam Surat 35 Ayat 11 dimana tiga turunan kata yang berbeda dari akar kata yang sama yaitu AMR menggambarkan tentang proses kehidupan.

Wa-ma-yu-‘am-maru min-mu-‘am-marin wala-yon-qoshu min u’muri-hi il-laa fi-kita-bin (Surat 35 Ayat 11).



Jika diterjemahkan secara harfiah, berbunyi:

‘Wa-maa dan tidak
‘Yu-‘am-maru’ mempunyai kehidupan (atau untuk hidup)
‘Min’ dari
‘Mu-‘am-marin’ kehidupan yang diberikan
‘Wala-yun-qo-shu’ dan tidak diambil sebelum waktunya
‘Min-u’muri-hi’ dari hidupnya
‘Il-laa fi-kita-bin’ kecuali sebagaimana yang telah dituliskan

Menurut terjemahan Yusuf Ali:
‘Dan tidak panjangnya usia seseorang menjamin panjangnya hari, dan tidak juga sebagiannya dipotong dari kehidupannya’.

TB Irving mengatakan:
‘Tidak orang yang berumur panjang diberikan tambahan hari, dan tidak juga diperpendek umurnya’.

TB Irving mengatakan:
‘Orang tua tidak ditambah umurnya begitupula tidak dikurangi umurnya’

Muhammad Asad mengatakan:
‘Dan tidak ada seorangpun yang panjang umurnya ditambah – dan tidak pula dikurangi harinya’.

Rasyad Khalifa, berkata:
‘Tidak ada seorangpun yang hidup lama ataupun sebentar’.

Ayat yang rumit tidak dapat diterjemahkan secara harfiah oleh penerjemah yang berorientasikan agama sebagai kosa kata yang deskriptif yang membutuhkan refleksi sekuler dan di sinilah para penerjemah gagal mengungkapkan bagian pentingnya. Dengan demikian relevansi esensi pesan dalam Qur’an menjadi kabur atau terabaikan.

Banyak orang tidak menyadari, tanpa Tuhan sang Pencipta - maka tidak mungkin kita ada di dunia ini. Dialah yang telah memberikan kita hidup dari tanah dan Dialah yang terus menjaga kemakmuran kita di atas bumi dan Dialah yang menentukannya. Semuanya telah direkam atau direncanakan sebelumnya dimana begitu banyak orang yang telah salah menyebutnya sebagai ‘telah ditentukan sebelumnya’ atau telah ditakdirkan. Bagaimana hal ini bisa terjadi adalah di luar jangkauan segala pengetahuan ilmiah, meskipun kita mendengar spekulasi mengenai adanya cloning namun tetap saja sumber kehidupan berasal dari kekuatan Tuhan. Ilmu pengetahuan tentang genetik telah berkembang begitu pesat, tetapi manusia tetap tidak mengetahui tentang sumber kehidupan. Kata ‘ta’mara-kum’ dalam Surat 11 Ayat 61 sebagaimana yang telah dikutip sebelumnya merujuk pada ‘terus memberi hidup’ sebagai proses pemberian rahmat pada kehidupan yang telah Dia ciptakan.


MANUSIA MEMAKMURKAN (U’MRA) BUMI

Guna lebih mengembangkan hidup, manusia diberi kemampuan untuk memberi kehidupan atau memakmurkan bumi yang diwariskan padanya. Dalam Surat 30 Ayat 9 kita lihat bahwa masyarakat yang kuat suatu saat akan menjadi masyarakat yang berhasil setelah mereka membangun apa yang tersedia bagi mereka. Qur’an mengatakan ada beberapa komunitas sebelumnya yang kuat dan berhasil setelah mereka ‘amaru bumi atau memberi hidup pada bumi dengan menyuburkannya.

Wa-asha-rul ard-tho wa-‘amaru-ha ak-saror min-man ‘amaru-ha wa-ja-athum rosuluhum bil-bai-inati.
Dan mereka mengolah tanah dan (‘amaru-ha) memberi hidup padanya lebih dari apa yang telah (‘amaru-ha) diberikannya, dan para utusan mereka datang kepadanya dengan pemberitahuan yang jelas (Surat 30 Ayat 9).

Kata ‘amaru dalam Surat 30 Ayat 9 dan ta’mara dalam Surat 11 Ayat 72 memiliki esensi makna yang sama yang menandakan tindakan untuk menyelesaikan suatu sebab, dan kedua kata tersebut berasal dari akar kata yang sama yaitu AMR. Secara harfiah kedua ayat tersebut merujuk pada tindakan memberikan hidup atau memakmurkan.

Kita juga menemukan kata m’amur yang berasal dari akar kata yang sama yang berarti hidup dalam Surat 52 Ayat 4 untuk merujukkan karakteristik yang berkelanjutan.

Wal-baitil m’amuri
Dan inilah sistem kehidupan (Surat 52 Ayat 4).

Penelitian yang cermat terhadap konteks tersebut merujukkan bahwa teks tersebut telah diterjemahkan secara salah dan tidak ada alasan untuk itu kecuali untuk melayani Agama Arab. Bangsa Arab telah memaksa para penerjemah untuk menerjemahkan kata bait-il m’amuri dengan ‘kunjungan rutin ke rumah suci’ atau ‘rumah yang sering dikunjungi’. Pada awalnya mereka menerjemahkan kata bayta dengan rumah, tetapi kali ini rumah tersebut telah dinaikkan statusnya menjadi rumah suci atau kuil. Kata ‘ma’muri’ yang berarti ‘hidup’ secara aneh diterjemahkan menjadi ‘sering’. Ini adalah contoh lain bagaimana teks dalam Qur’an dengan begitu mudahnya diubah oleh musuh Tuhan dan para utusannya untuk memperlihatkan betapa tidak masuk akalnya pernyataan yang ada dalam Qur’an. Tradisi mengunjungi kuil mungkin hanya cocok untuk keyakinan pada zaman para-sejarah Arab tetapi tidak setelah diturunkannya Qur’an.

Kata baiti-ma’muri dalam Surat 52 Ayat 4 merupakan lanjutan konteks dari ayat 1 pada surat yang sama. Nama surat tersebut adalah ‘Gunung’ tempat dimana Musa menerima kitab suci dari Tuhan. Ayat ini menyebutkan tentang kehebatan Tuhan dalam penciptaan langit dan laut:

Surat 52 ayat 1 Wat-thoori (Ayat 2) wa-kitaa-bin mas-thoo-ri (Ayat 3) fi-ro-khi man-shoo-ri (Ayat 4) wal baiti-ma’muri (Ayat 5) was-sak-fil mar-fu-‘a (Ayat 6) wal-bar-ril mas-juri
Demi Gunung dan Kitab Suci yang tertulis, dalam lembaran yang terbuka dan sistem kehidupan dan langit yang ditinggikan serta lautan yang diisi dengan ombak (Surat 52 Ayat 1-6).

Hanya ada satu bayta dalam Qur’an. Bayta yang sama sebagaimana yang ditunjukkan kepada Ibrahim dalam surat 2 ayat 125, yang disucikan olehnya bagi mereka yang setia (a’kiffin) dan bagi mereka yang merendahkan diri dalam penyerahan (wa-roka’is-sujud). Dalam Surat 52 Ayat 4 disampaikan kepada kita semua, bahwa saat Musa menerima kitab suci sistem Tuhan telah ada. Musa tidak pergi ke Mekah untuk mengunjungi batu hitam orang Arab. Mungkin pada saat Musa menerima kitab suci, Mekah merupakan padang pasir tandus seperti tempat lain di Arab dimana suku-suku berjalan tanpa arah dengan kaki telanjang dan berbusana gamis:

Pesan yang disampaikan kepada Musa merupakan petunjuk bahwa sistem Tuhan telah ada dan hidup serta akan terus berlanjut dalam keadaan tersebut setelah kitab suci disampaikan kepadanya. Qur’an menyatakan ini adalah sistem dan pesan yang sama yang disampaikan kepada nabi terakhir:

Ini adalah hal yang sama sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya, yaitu kitab Ibrahim dan Musa (Surat 87 Ayat 18-19).

Kata baitil-ma’muri tidak berhubungan sama sekali dengan altar, rumah, tempat pemujaan, rumah suci, kuil, sinagog, gereja, masjid, ataupun rumah pemujaan yang lainnya. Qur’an tidak menyukai semua bentuk ‘pemujaan’, ‘ritual orang-orang kafir’, ataupun ‘sembahyang ritual’. Semua ini hanyalah ciptaan manusia.

Manusialah yang menjadikan apa yang mereka bangun sebagai suci atau sakral. Bangsa Arab sebenarnya bersaing dengan agama lain dan membodohi orang lain agar menyembah apa yang disembah oleh nenek moyangnya. Mereka mengambil keuntungan dengan menyatakan bahwa semua kebohongan ini berasal dari Tuhan karena Qur’an diturunkan di Arab. Itu saja.

Kata U’mra dalam Qur’an tidak merujuk pada perjalanan khusus ataupun kunjungan keagamaan pada tempat tertentu. U’mra secara sederhana bermakna ‘meningkatkan’ ketaatan pada apa yang diperintahkan Tuhan atau masajidil-lah bagi mereka yang telah menemukan jalan menuju sistem.

In-nama ya’muru masa-jidil-lah man-amana-bil-lah wal-yaumil akhirah al-ak-siri wa-aqor-mus-solaa ta-wa-ataz zaka-ta wa-lamyaksha il-lal-lah fa-‘sha. Ulaa-ika aye-yaku-nu minal-muh-tadin.
Manusia yang pantas untuk meningkatkan (ya’muru) ketaatan pada Tuhan (masa-jidil-lah) hanyalah mereka yang percaya pada Tuhan dan hari akhir. Mereka mematuhi komitmen dan menjaga kemurniannya. Mereka tidak takut kecuali pada Allah. Mereka inilah orang-orang yang memperoleh petunjuk (Surat 9 Ayat 18).

Kata masa-jidal-lah itu sendiri telah diterjemahkan sebagai bentuk jamak yang berarti ‘Masjid-masjid Tuhan’. Jika yang dikatakan bangsa Arab memang benar, maka, semua masjid yang ada di dunia adalah milik Tuhan. Tetapi sekali lagi, mereka memaksa manusia harus ya’muru atau memakmurkan HANYA satu masjid di Mekah. Jika ada seseorang yang mengatakan masjid di luar negara mereka sebagai masa-jidil-lah maka mereka akan menuduh orang-orang ini sebagai pendusta agama dan pantas dilempari batu sampai mati.


BAGAIMANA UMRAH DALAM AYAT 19 DIMANIPULASI

Dalam Surat 9 Ayat 18 bangsa Arab menyatakan dengan tegas bahwa kata ‘ya’muru’ berarti ‘secara teratur mengunjungi masjid Tuhan’ tetapi mereka dengan bodohnya juga menyatakan kata yang sama dalam Ayat 19 sebagai ‘mengatur masjid suci’. Padahal kedua kata tersebut berasal dari akar kata yang sama yaitu ‘Amr. Beberapa penerjemah bahkan mengatakan, ‘tinggal di dalam masjid suci’. Ini adalah pemutarbalikkan yang mereka lakukan.

Berdasarkan Qur’an seseorang yang mengatur atau menangani sesuatu disebut ‘amil yang dilafalkan ‘amil’ dari kata ‘amila’. Akar kata ‘amil adalah ‘M L dan akar kata ‘umra’ adalah ‘M R. Mereka TIDAKLAH sama. Kata ‘amil muncul beberapa kali dalam Qur’an:

In-namas sor-da-qortu lil foqoror wal-masakin wal-‘amilin alai-ha.
Sesungguhnya sedekah harus diberikan kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan dan kepada mereka yang mengurusnya (Surat 9 Ayat 60).

Mungkin menguntungkan bagi bangsa Arab untuk menyesatkan mereka yang non-Arab tentang makna sesungguhnya dari kata-kata Arab yang tertulis dalam Qur’an, tetapi mereka tidak berdaya untuk merubah teks aslinya. Tidak seperti buku lain, Qur’an tidak akan pernah dikaji ataupun disunting sejak dia diturunkan. Jika kita mengamati Qur’an yang ditulis 800 ratus tahun lalu ataupun lebih dan kita bandingkan dengan teks Qur’an yang dicetak pada saat ini dimanapun di dunia, maka kita akan menemukan bahwa teks Arab kata per kata, kalimat per kalimat adalah sama. Penulis sangat percaya bahwa pernyataan dalam Qur’an adalah benar dalam sifat dan bentuknya saat dikatakan:

Sungguh, Kamilah yang menurunkan peringatan tersebut dan pasti Kami akan menjaganya (Surat 15 Ayat 9).

Kesalahan fatal dalam pernyataan yang dibuat oleh bangsa Arab yaitu Qur’an pada awalnya ditulis di atas daun, kertas kulit, batu dan kulit hewan yang semuanya itu merupakan akibat dari ketidakpedulian mereka dan penistaan sistematis. Bagaimanapun kebenaran akan terungkap jika dikaitkan dengan logika manusia.

Jelas, satu-satunya cara mengelabui manusia adalah dengan taktik memutarbalikkan lidah. Meyakinkan manusia bahwa Qur’an tidak bisa diterjemahkan sehingga mereka bisa terus mendistorsi kitab suci tersebut, dan kemudian memproklamirkan bahwa dasar dari apapun ucapan mereka adalah dari Tuhan. Para pengikut Agama Arab di seluruh dunia terjebak dalam jaringan ini setelah mereka mempercayai ulama Arab yang mempelajari hal tersebut dari bangsa Arab yang korup.

Sungguh diantara mereka adalah para pengkhianat yang berbohong dengan lidah mereka mengenai kitab suci sehingga engkau mengira itu berasal dari kitab suci padahal tidak. Dan mereka menyatakan itu berasal dari Tuhan padahal tidak. Mereka telah telah berbohong kepada Tuhan padahal mereka mengetahuinya (Surat 3 Ayat 78).

Satu kata sederhana yaitu ‘baytul-lah’ atau Rumah Tuhan. Setiap pengikut Sunni ataupun Syiah mengetahui sampai ke tulang sumsum mereka bahwa apa yang disebut sebagai ‘baytil-lah’ atau rumah Tuhan adalah suatu bangunan berbentuk persegi bernama ‘ka’abah’ yang saat ini terletak di Mekah. Sebagai informasi kepada pembaca, tidak ada hal seperti ‘baytil-lah’ dalam Qur’an. Konsep tentang ‘Rumah Tuhan’ hanyalah mitos lain dari bangsa Arab yang kafir. Mereka memutar lidah mereka untuk membuat manusia percaya bahwa kata ini ditemukan dalam Qur’an. Sayangnya tidak.

Qur’an berkata benar ketika Qur’an berkata bahwa beberapa orang memutar lidahnya mengenai kitab suci sehingga orang lain berpikir bahwa itu dari Tuhan padahal hal tersebut tidak berasal dari kitab suci, tetapi orang-orang munafik akan terus memaksa Islam harus dinyatakan/diucapkan dalam bahasa asli mereka. Di samping apa yang telah ditetapkan Tuhan dalam Qur’an mengenai bangsa Arab, sungguh tidak diragukan bahwa bangsa Arab bertanggung jawab terhadap penyelewengan Qur’an. Kata sederhana seperti ‘I’mara-ta’ yang berarti ‘kemakmuran’ tiba-tiba saja menjadi ‘mengatur atau tinggal di dalamnya atau mengunjungi’.

Para penerjemah dipaksa untuk merubah makna kata I’marata karena perbudakan yang membelenggu mereka. Keyakinan yang ditanamkan adalah bahwa sikap yang benar menyembah Tuhan melalui bangunan batu. Karenanya mereka tidak merasa bersalah ketika mengatakan bahwa kata ya’muru dalam Surat 52 Ayat 4 sebagai kunjungan ke rumah suci dan dalam Surat 9 Ayat 18 sebagai ‘mengunjungi masjid Tuhan secara berkala’.

Kemudian segera terjadi reaksi berantai setelah satu kata dirubah dari Buku tersebut. Mereka harus terus mengubah kata yang lain. Pengubahan itu tidak akan ada akhirnya dan banyak dari teks-teks dalam Qur’an menjadi tidak jelas ketika ditelaah secara keseluruhan. Saat ini buku tersebut dianggap sebagai dokumen spiritual khususnya ketika dibaca dalam terjemahannya atau apa yang disebut ‘interpretasi’ atau ‘tafsir’ Qur’an.

Makna kata ya’muru masjidil-lah dalam Surat 9 Ayat 18 bukan mengunjungi masjid Tuhan secara berkala namun menandakan tindakan orang-orang yang meningkatkan ketaatan terhadap perintah ditetapkan Tuhan. Sama dengan kata ‘I’marata masjidil-haromi dalam Surat 9 Ayat 19 bukan merujuk pada orang yang ‘mengatur’ Masjid Suci atau ‘tinggal di dalam’ masjid sakral. Tidak ada hal semacam masjid fisik yang dibicarakan dalam Qur’an, tetapi itu adalah istilah yang dipakai Qur’an untuk menjelaskan ‘peningkatan’ ketaatan terhadap perintah yang ditetapkan Qur’an. Karenanya kata umrah bukan berarti perjalanan melakukan kegiatan ritual pada suatu daerah tertentu.

Banyak manusia dibuat percaya bahwa umrah adalah haji kecil dimana ritual yang dilakukan serupa dengan haji hanya saja tanpa ‘melempari setan’ di Mina. Ini adalah cara bangsa Arab mengelabui mereka yang mudah percaya. Mereka bahkan percaya bahwa Tuhan tidak tinggal sendiri di Mekah, Dia mempunyai tetangga setan di Mina. Hanya bangsa Arab yang punya ide gila semacam itu.

Ma’mur, yu’am-mar, mu’am-mar, u’mur, dan u’mra adalah turunan dari akar kata yang sama yaitu ‘Amr yang berarti ‘memberi hidup, memberi hidup, makmur atau kemakmuran, atau menanami’ dan BUKAN ‘kunjungan’ khusus ke tempat suci atau kuil sebagaimana yang diinginkan bangsa Arab untuk kita percayai.

TANTANGAN ATAU HAJI

Mungkin kita bertanya mengapa konsep tantangan, relevan dengan Qur’an. Untuk semua maksud dan tujuan, manusia akan menghadapi banyak tantangan dalam hidupnya bahkan ketika mencari ilmu. Kecuali bila ia dengan tulus berupaya mencari jalan yang benar, maka hidupnya akan sia-sia. Orang bijak melihat, mendengar dan mengerti. Dia tidak mengikuti begitu saja suatu jalan, dia berpikir secara kritis, menimbang segalanya sebagai baik atau buruk, melakukan pembuktian atas segala hal, memikirkan akibat sebelum membuat keputusan.

Ketika seseorang meminta kita melakukan perjalanan ke Mekah untuk berhaji atas nama Tuhan, bukankah kita berhak untuk bertanya mengapa? Betapapun manusia diharapkan menggunakan logikanya.

Setelah melihat teks, kita tidak menemukan perintah langsung mengenai berhaji kecuali satu teks dalam Surat 3 Ayat 97 yang memberikan petunjuk tentang kemungkinan perjalanan yang meragukan. Bagaimanapun ketika ayat ini dibaca secara terpisah akan lebih banyak menimbulkan pertanyaan ketimbang memberikan jawaban. Untuk memahami surat tersebut kita perlu membaca dua ayat sebelumnya, hanya untuk membuat kita sadar bahwa bukan ini dinginkan bangsa Arab untuk kita percayai. Ayat tersebut memuat sebuah referensi tentang mengikuti langkah Ibrahim yang menemukan sistem dan menjadi tugas manusia untuk berusaha mencari sistem tersebut.

Bangsa Arab setelah mereka mengkorup kata Umrah menjadi ‘mengunjungi’, mereka melangkah lebih jauh lagi untuk memutar balikkan makna kata lain dalam Qur’an dengan mangatakan bahwa makna kata Haj adalah ibadah haji tahunan.

Saat kita meneliti akar kata haj maka huruf konsonannya adalah kaitan antara H dan J. Kita akan menemukan arti yang tepat untuk kata ini yaitu Pertentangan atau ‘pertengkaran’ yang memiliki esensi sama.

Banyak dari mereka yang mengatakan makna dari kata haj adalah ibadah haji. Pada saat yang sama mereka mengatakan beberapa turunan kata ini dalam surat lain di Qur’an seperti ta-hajja dan yu-hajju memiliki arti berdebat. Di sinilah muncul kekacauan dan kontradiksi. Kata yang sama tetapi berbeda makna dari ayat berbeda dari Qur’an yang sama. Qur’an secara kategori menggunakan kata Jadal yang berarti berdebat. Kami akan menjelaskan masing-masing kata ini satu per satu dari ayat-ayat yang terdapat dalam Qur’an.

Kata Jadal muncul beberapa kali dalam Qur’an. Dalam Surat 11 Ayat 32 umat nabi Nuh menuduhnya terlalu sering ‘berdebat’ dengan mereka. Mereka mengatakan ‘engkau berdebat’ dengan ‘dengan begitu banyak argumentasi’.

Qolu ya-Nuhu qod jada-tana fak-sharta jadala-na fa’tinabiha ta’eduna ainkonta minal sodiqin.
Mereka berkata, ‘Wahai Nuh’ engkau berdebat dengan terlalu banyak argumentasi. Bawakan kami kiamat yang selalu engkau ancamkan kepada kami. Jika engkau orang yang bisa dipercaya (Surat 11 Ayat 32).

Jelas bahwa kata Jadal yang disebutkan dalam ayat ini merujuk pada kata ‘perdebatan’ antara Nuh dan umatnya.

Ayat lain dalam Qur’an menegaskan bahwa arti kata Jadal adalah berdebat. Selama masa nabi terakhir ada seorang wanita yang berhasil ‘berdebat’ dengannya dalam Surat 58 Ayat 1.

Qod sami’ allah qaula lati tu-jadil-ka fi-zaujiha wa-tastaki il-lal-lah. Wal-lah yasma’hu taha wurokuma. In-nal-lah sami’un basir.
Tuhan mendengar ada seorang wanita yang berdebat denganmu tentang suaminya dan berkeluh kesah kepada Tuhan. Dan Tuhan mendengar perdebatan itu. Tuhan Maha Mendengar dan Maha Melihat (Surat 58 Ayat 1).

Wanita tersebut tidak berkeluh kesah kepada nabi tentang suaminya itu. Dia berdebat dengan nabi dan kemudian berkeluh kesah pada Tuhan. Dari dua ayat ini kita melihat bahwa ‘debat’ tidak bisa dimasukkan dalam kategori yang sama dengan menentang. Selain itu kata-kata tersebut memiliki akar kata sendiri.

Dalam Surat 42 Ayat 16 digunakan dua turunan kata dari akar kata Haji atau H J. Kata pertama adalah hajuu dan kata kedua adalah hujaa yang lebih tepat diartikan sebagai ‘pertentangan’. Mari kita periksa ayat tersebut:

Wal-lazi dan mereka yang
Yu-haa-ju-na menentang
Fil-lah Tuhan
Min dari
Ba’dimaa setelah apa yang
Tu-hii-ba mereka terima
Lahu yang dengannya
Hujaa-tuhum tantangan mereka
Da-hi-dho-than dibatalkan
A’in-da berkenaan dengan
Ro-bihim Tuhan mereka
Wa-‘alai-him dan atas mereka
Gha-dha-bun kemurkaan
Wa-lahum dan atas mereka
‘Aza-bun hukuman
Sha-did yang amat pedih.

Kata ha-juu dan hujaa berasal dari akar kata yang sama yaitu ‘haj’.

Bila akar kata tersebut ditambah dengan dua awalan seperti ya-ta-haa-ju maka ini merujukkan kata kerja aktif dan kata kerja untuk masa yang akan datang. Namun, bisa saja arti kata tersebut sedikit berubah menjadi ‘pertentangan’. Esensi dari arti kata ‘perdebatan’ dan ‘pertentangan’ tidaklah berbeda. Dalam Surat 40 Ayat 47, dikatakan:

Wa-izza-ya-ta-haa-ju fin-nar
Dan ketika mereka berdebat dalam neraka (Surat 40 Ayat 47).

Kata yang paling tepat untuk teks ini adalah ketika manusia bertengkar dan bertentangan satu sama lain dan bukannya berdebat. Bagaimanapun mereka telah berada di dalam api neraka.

Oleh karenanya, makna yang tepat dari kata Hajaa atau Hajii atau Hajuu saat disebutkan dalam teks Qur’an lebih tepat diterjemahkan sebagai bertentangan ketimbang yang umumnya dipahami sebagai kegiatan ibadah haji tahunan. Kita lihat satu teks sederhana dalam Surat 9 tentang dihentikannya permusuhan untuk sementara waktu antara antara Tuhan dan para utusan-Nya terhadap para penyembah berhala pada saat dikeluarkannya deklarasi yang disebut Hari Pertentangan Besar.

Penundaan tersebut diberikan oleh Tuhan dan nabi-Nya kepada para penyembah berhala yang terikat perjanjian damai denganmu. Sehingga kamu bisa menjelajah bumi ini dengan bebas selama bulan-bulan penuh kemuraman dan ketahuilah bahwa engkau tidak bisa melepaskan diri dari Tuhan, dan Tuhan pasti akan mengalahkan orang-orang kafir. Tuhan dan rasul-Nya mengeluarkan pengumuman tentang Hari Besar Tantangan (yau-mal-haj-ji-ak-bar), dan Tuhan beserta rasul-Nya menolak para penyembah berhala. Jika engkau bertaubat maka itu baik bagimu. Tetapi jika engkau berpaling maka ketahuilah bahwa engkau tidak bisa lari dari Tuhan (Surat 9 Ayat 1-3).

Dalam Agama Arab deklarasi semacam itu tidak pernah terjadi selama kehidupan nabi Muhammad di Mekah atau disebutkan dalam kitab agama mereka bahwa deklarasi tersebut pernah terjadi selama masa haji. Selama lebih dari seribu tahun deklarasi tersebut tidak pernah terjadi dimanapun di muka bumi ini bahkan di Mekah sekalipun.

Ayat tersebut secara jelas menekankan pentingnya deklarasi tersebut yaitu menolak para penyembah berhala, yaitu hari Tantangan Besar bagi para rasul dan para pengikut rasul.

Jadi BUKAN deklarasi dilaksanakannya (hari) Haji Besar, tetapi deklarasi Tantangan Besar terhadap para pemuja berhala! Saat ini bangsa Arab dalam kebingungannya menyatakan, bila musim haji jatuh pada hari Jumat dalam penanggalan manapun maka hal itu digolongkan sebagai (hari) Haji Besar tanpa menyatakan penolakan terhadap para penyembah berhala. Inilah cara bangsa Arab memutarbalikkan arti kata dalam Qur’an.

Dalam Agama Arab tidak ada ‘deklarasi’ semacam itu untuk melawan ‘para pemuja berhala’ karena mereka sendiri adalah penyembah batu! Kata Haj-ji Akbar dalam Surat 9 Ayat 3 jelas bermakna ‘Tantangan Besar’ bukan ‘Haji Besar’.

HAJJAA IBRAHIM

Tidak banyak orang yang tahu kata Hajjaa Ibrahim ada dalam Qur’an.

Dalam Surat 2 Ayat 258, dikisahkan seorang laki-laki yang menantang nabi Ibrahim, dan kata yang digunakan dalam ayat tersebut adalah Hajjaa Ibrohim. Ini tidak berarti bahwa nabi Ibrahim adalah Haji yang pergi ke Mekah melaksanakan haji.

Banyak orang non-Arab yang telah melaksanakan berkunjung ke batu pemujaan di Mekah akan menambahkan kata Haji di depan nama mereka. Bangsa Arab tertawa setiap kali melihat orang non-Arab memakai nama seperti ‘Haji Raheemudin’ atau ‘Haji Sulaiman’ sebagai titel.

Alam-tara-ilal-lazi Hajjaa Ibrohim fi-rob-bi-hi.
Pernahkah engkau memperhatikan tentang seorang laki-laki yang menantang nabi Ibrahim mengenai Tuhan yang bersamanya? (surat 2 ayat 258).

Kata Hajjaa Ibrohim dibaca sama persis dalam bahasa Arab sebagai Hajji imra-ta mas-jidil-harami dalam Surat 9 Ayat 19, yang merujuk kepada orang-orang yang menghadapi tantangan untuk meningkatkan sanksi atas ketaatannya.

Jika kita mengamati teks-teks dalam Qur’an, pengubahan yang dilakukan oleh bangsa Arab sangatlah merusak. Begitu mereka mengubah satu kata saja dari Qur’an agar bisa sesuai dengan ‘penyembahan’ dalam agama mereka, maka reaksi berantai yang terjadi merusak bagi pengikutnya karena mereka harus mengubah makna kata-kata lain dalam Qur’an yang berasal dari akar kata yang sama untuk mendukung konspirasi tersebut. Banyak turunan akar kata H J atau Haj yang dengan sengaja dirubah untuk mendukung konspirasi tersebut.

Dari hal-hal di atas, begitupula dalam banyak halaman lain dalam buku ini, kami telah menjelaskan bahwa inilah korupsi yang memaparkan konspirasi Arab saat ini. Kejahatan mereka mudah terlihat karena tidak konsisten dan saling bertentangan. Mereka memberi makna berbeda pada kata yang sama, yang secara keseluruhan bertentangan di berbagai bagian yang berbeda dalam Qur’an agar sesuai dengan Agama Arab yang penuh dengan kebohongan.

Contoh lain adalah kata, Hajaa-ru, Mu-hajii-rin dan Yu-hajii-run dari akar kata yang sama yaitu H J atau Haj yang juga dirubah dari Qur’an menjadi ‘berpindah’ atau ‘perpindahan’.

Kenyataannya kata sebenarnya untuk ‘berpindah’ dalam Qur’an adalah dz’ana, dan kata untuk ‘perjalanan’ atau ‘bepergian’ adalah Safar. Mereka yang ‘melakukan perjalanan’ dari rumah mereka juga dikatakan ‘daraba’ yang secara harfiah berarti ‘serangan’. Jadi tak satupun dari kata-kata ini yang mempunyai akar kata yang sama dengan H J atau Haj.

Tuhan berfirman dalam Qur’an:

Jika seandainya semua pohon di dunia ini dirubah menjadi pena dan lautan, ditambahkan tinta sebanyak tujuh kali lipat, Tuhan tidak akan pernah kehabisan kata-kata. Tuhan Maha Bijaksana (Surat 31 Ayat 27).

Ini berarti bahwa Tuhan mengetahui kata-kata digunakan untuk mengungkapkan petunjuk-Nya dalam Qur’an. Tidak perlu mengubah lautan menjadi tinta dan semua pohon menjadi pena. Tetapi bangsa Arab telah membuktikan kepada diri mereka bahwa mereka adalah musuh Tuhan dan rasul-Nya. Bagi mereka kata-kata Tuhan saja tidak cukup. Mereka harus menciptakan kata baru. Mengapa? Untuk menjelaskan Qur’an secara lebih baik. Mengapa? Karena bagi mereka Qur’an yang diturunkan Tuhan belum jelas. Tuhan menggunakan kata-kata yang terlalu sedikit. Kita membutuhkan kata-kata lain untuk menjelaskan perbendaharaan kata dari Tuhan yang terlalu sedikit itu. Kita harus memotong beberapa pohon dan mengubah lautan menjadi tinta.

Mereka telah mengubah secara acak arti kata-kata seperti Hajaa-ru, Mu-hajii-rin dan Yu-hajii-ru yang berasal dari akar kata yang sama yaitu H J atau Haj yang sebenarnya bermakna tantangan dan mengubahnya menjadi bermakna berbeda yang justru bertentangan. Pada akhirnya bangsa Arab-lah yang kehabisan kata-kata.

Mereka menipu umat manusia dengan mencoba menghubungkan kata-kata tersebut dengan akar kata lain yaitu H J R atau Hajara. Tetapi makna kata hajara adalah mengabaikan, pergi dari, meninggalkan, tidak hadir, menghindari, menjauhkan dari dan bukannya ‘berpindah’ atau untuk meninggalkan rumah mereka. Dalam Qur’an kata ‘Dz’ana’ itulah yang dipakai untuk kata ‘perpindahan’.

Kata Hajaa-ru dan Yu-hajii-ru dalam Qur’an seringkali digunakan bersamaan dengan kata jahidu atau berjuang di ‘jalan Tuhan/fi-sabi-lilah’. Tidak ada petunjuk dalam Qur’an bahwa semua nabi sebelum nabi terakhir Muhammad pergi dari rumahnya untuk berjuang di jalan Tuhan. Tuhan mengutus semua nabi dan rasul-Nya untuk menyampaikan firman-Nya bagi bangsanya sendiri.

Kami telah mengutus nabi-nabi sebelum kamu untuk bangsa mereka sendiri dengan tanda yang jelas kemudian Kami menghukum orang-orang yang memberontak. Aku telah mewajibkan pada Diriku sendiri untuk memberi kemenangan bagi mereka yang beriman (Surat 30 Ayat 47).

Setiap nabi dan rasul diutus untuk bangsa mereka sendiri. Para nabi dan pengikutnya yang percaya kepadanya akan menghadapi tantangan untuk berjuang dengan uang dan hidup mereka di jalan Tuhan. Dan selama perjuangan itu mereka akan diserang, ditindas dan terkadang diusir dari rumah mereka sendiri. Satu contoh dalam Qur’an memperlihatkan kepada kita bahwa mereka menderita dan dipaksa untuk pindah lantaran perjuangan mereka tersebut.

Tuhan mereka menjawab dengan berfirman:

‘Aku tidak akan pernah mengabaikan mereka dengan memberikan balasan bagi mereka yang berjuang, laki-laki ataupun perempuan, karena kedudukan kalian sama. Jadi bagi mereka yang berjuang/hajaa-ru dan mereka yang terusir dari rumahnya dan menderita di jalanKu/fi-sabi-li dan mereka yang berperang dan terbunuh, tentu Aku akan menghapus dosa mereka dan mengijinkan mereka masuk ke dalam kebun yang dengan aliran sungai. Itulah balasan dari Tuhan. Tuhan memiliki balasan terbaik (Surat 3 Ayat 195).
Tujuan dari hajaa-ru dalam ayat ini berhubungan dengan dilakukannya suatu pekerjaan, dengan kemungkinan cobaan di dalamnya, dan juga penderitaan. Tetapi orang Arab ingin kita percaya bahwa arti kata hajaa-ru adalah berpindah. Jika kita membaca Surat 3 Ayat 195 di atas, musuh mereka tidak bisa mengusir mereka laki-laki dan wanita yang beriman jika mereka telah pindah dari rumah mereka. Mereka diusir dari rumah mereka lantaran berjuang dengan uang dan nyawa mereka untuk berjuang di jalan Tuhan pada tempat yang sama.

Mari kita ambil contoh lain dari Qur’an. Ada dua macam manusia berdasarkan Surat 8 Ayat 72. Yaitu manusia yang beriman dan berani berjuang/hajaa-ru dengan uang dan nyawa mereka di jalan Tuhan dan adapula kelompok lain yang beriman tetapi tidak mau berjuang/ yu-hajii-ru. Kedua kata yaitu hajaa-ru dan yu-hajii-ru disebutkan dalam ayat yang sama.

Sesungguhnya mereka yang beriman dan menerima tantangan/hajaa-ru dan berjuang/ja-hadu dengan uang dan nyawa mereka di jalan Tuhan bersama mereka yang memberi perlindungan dan memberi bantuan; mereka adalah bersaudara. Bagi mereka yang beriman tetapi tidak mau menerima tantangan/yu-hajii-ru kamu tidak memiliki kewajiban sampai mereka bersedia menerima tantangan/yu-hajii-ru. Tetapi jika mereka meminta pertolonganmu dalam din maka kamu wajib membantu mereka asalkan kamu memiliki perjanjian dengan mereka. Tuhan Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu lakukan dan Dia Maha Melihat (Surat 8 Ayat 72).

Yang disebutkan di atas adalah perintah yang sangat jelas. Orang-orang yang beriman akan menerima tantangan di tempat mereka sendiri dan ada orang-orang yang melindungi dan membantu mereka. Di tempat yang sama juga ada orang yang beriman tetapi mereka tidak mau mengambil tantangan dan tidak mau berjuang dengan harta dan nyawa mereka di jalan Tuhan. Dan bagi mereka yang berjuang di tempat yang sama tidak memiliki kewajiban hingga mereka menerima tantangan dan berjuang bersama.

Orang Arab merubah kata haj-ru dan yu-hajii-ru dalam Surat 8 Ayat 72 menjadi ‘berpindah’ seperti berikut:

Sungguh bagi mereka yang beriman dan berpindah (hijrah) serta berjuang dengan harta dan nyawa mereka di jalan Tuhan dan mereka yang memberikan perlindungan dan pertolongan, mereka itu bersaudara. Mereka yang beriman tetapi tidak mau pindah, tidak ada kewajiban bagimu sampai mereka hijrah. Tetapi jika mereka mencari pertolongan darimu dalam din maka kamu wajib untuk membantu mereka asalkan kamu memiliki perjanjian dengan mereka. Tuhan mengetahui segala sesuatu yang engkau perbuat dan Dia Maha Mengetahui (Surat 8 Ayat 72).

• Adalah tidak masuk akal mengatakan bahwa orang yang berhijrah dan berjuang di jalan Tuhan akan diterima dengan baik oleh orang asing di kota lain atau akan dilindungi dan mendapatkan bantuan dari orang asing tersebut. Yang paling mungkin adalah orang asing tersebut memiliki keyakinan yang sama dengan orang yang mereka jauhi tersebut.
• Ayat tersebut juga mengatakan, ‘Jika orang-orang beriman yang tidak mau berhijrah mencari pertolongan darimu dalam din maka engkau berkewajiban membantu mereka’. Bagaimana orang yang telah pindah jauh mampu memberikan pertolongan kepada orang-orang beriman yang masih tertinggal; adalah di luar bayangan siapapun.

Karenanya kata ‘hajaa-ru, yu-hajii-ru, mu-hajii-rin tidak merujuk pada kata ‘keluar dari tempat tinggal’ atau ‘berpindah tempat’. Mereka itu bermakna tindakan orang-orang yang berani mengambil tantangan dengan cara berjuang di jalan Tuhan dalam area yang sama dimana mereka tinggal untuk mengembangkan din Tuhan.

Sejarah dalam Qur’an merujukkan, bahwa semua orang sebelum masa nabi terakhir dianiaya, dianiaya dan ditindas oleh bangsa mereka sendiri di negara mereka sendiri. Mereka tidak ingin pindah dari negara mereka tetapi mereka diusir dan dipaksa keluar dari rumah mereka sendiri tanpa alasan kecuali hanya dengan mengatakan, ‘Raja kami adalah Tuhan’ atau ‘ Rob-bu-nal-lah’. Tuhan tidak pernah memberikan kesulitan kepada para hambanya untuk keluar dari rumahnya sendiri pindah ke tempat atau negara lain untuk berjuang dijalan-Nya. Dia telah menugaskan diri-Nya untuk memberikan kemenangan bagi mereka yang beriman. Jika mereka, yang menganggap dirinya beriman kepada Tuhan, tetapi gagal meraih kemenangan setelah berjuang di jalan Tuhan dengan harta dan nyawanya di rumah mereka sendiri, maka mereka tidak perlu pindah ke tempat lain. Ada yang salah dengan diri mereka, bukan lokasi tempat mereka berjuang.

Bahasa dalam Qur’an mudah dan sempurna. Mari kita buktikan maksud kami tersebut dengan merujukkan penggunaan dasar kata-kata dalam Qur’an.
• Makna kata So-laa adalah komitmen atau kewajiban. Seseorang yang (tunggal) berkomitmen dinamakan Mu-sol-lan. (Surat 2 Ayat 125). Jika banyak orang (jamak) disebut Mu-sol-lin (Surat 107 Ayat 5)
• Makna kata Islam adalah Menyerahkan diri. Satu orang (tunggal) yang menyerahkan diri disebut Aslim. (Surat 2 Ayat 131). Banyak orang (jamak) disebut Muslimin.
• Makna kata Ihtada adalah orang mendapat petunjuk. Banyak orang yang mendapat petunjuk disebut Muh-tadin (Surat 2 Ayat 16).
• Makna kata Azan adalah mengumumkan. Seseorang yang mengumandangkan azan dinamakan Mu-az-zinun (Surat 7 Ayat 44).

Begitu pula, makna kata Haji adalah untuk menantang. Orang yang menerima tantangan disebut Hajii (Surat 19 Ayat 19). Orang-orang yang terlibat dalam tantangan dinamakan Mu-hajii-rin (Surat 9 Ayat 100). Dan mereka yang menanggapi tantangan dinamakan Hajaa-ru (Surat 9 Ayat 20).

Harap lihat beberapa konteks yang digunakan dalam Qur’an yang berhubungan dengan kata Haj.

Tantangan adalah haj. Tuhan berkata menerima tantangan ‘hajuu’ (Surat 3 Ayat 97) untuk sistem yang telah ditetapkan-Nya. Setelah mereka bisa menemukan jalan ke arah sana (Surat 2 Ayat 196), maka mereka harus menyampaikan petunjuk ‘hadya’ kepada orang lain sampai diizinkan (ma-hil-la). Mereka adalah orang yang tepat untuk meningkatkan ‘ya’muru’ ketaatan yang ditetapkan Tuhan atau ‘mas-jidil-lah (Surat 9 Ayat 18). Menghadapi tantangan Hajii (Surat 9 Ayat 19) dengan cara memakmurkan (im’rata) ketaatan (mas-jidil-harami) yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Mereka yang memberikan tanggapan terhadap tantangan hajaa-ru (Surat 9 Ayat 20), mereka dinamakan muhajjii-rin (Surat 9 Ayat 100). Mereka yang mau menghadapi tantangan di jalan Tuhan dinamakan yu-hajjiir fi-sabi-lilah (Surat 4 Ayat 100).

Komposisi di atas memiliki enam turunan kata yang berasal dari akar kata yang sama yaitu H J atau Haj.

Tetapi orang Arab mengatakan itu sebagai ibadah haji, berpindah dan ‘menyembah’ rumah batu di Mekah.

Marilah kita mengutip contoh-contoh lain dari Qur’an:

Surat 9 Ayat 100.

Was-sabi-qun dan mereka yang berupaya
Aw-walun sejak awal
Minal dari antara
Mu-hajii-rin mereka yang menerima tantangan
Wal-ansor dan yang mendukung/membantu
Wal-lazi dan orang-orang
Nat-tabi’u yang mengikuti mereka

Ayat tersebut mengatakan:

Dan mereka yang berupaya sejak dari awal diantara mereka yang mengambil tantangan dan yang membantu yaitu orang-orang yang mengikuti mereka (Surat 9 Ayat 100).

Tapi orang Arab mengatakan, ‘Orang pertama yang hijrah dan para penolong serta para pengikutnya’. Mereka ingin hal itu diartikan bahwa nabi terakhir bersabda hendaknya orang-orang berhijrah dari rumah mereka untuk berjuang di jalan Tuhan. Inilah mengapa banyak ulama berkelana di seluruh dunia menyebarkan kebohongan dan penyembahan berhala. Mereka mengubah kata-kata dalam Qur’an agar sesuai dengan kepercayaan temuan mereka.

Jika beberapa contoh tersebut masih kurang, mari kita mengutip contoh lain dalam Surat 4 Ayat 100. Qur’an yang mengatakan:

Wa-man dan mereka yang
Yu-hajjiir mengambil tantangan
Fi-sabi-lilah di jalan Tuhan

Makna dalam Surat 4 Ayat 100 sangat jelas. Tetapi orang Arab mengatakan, ‘mereka yang berhijrah di jalan Tuhan’. Disinilah letak perbedaan antara logika dan prasangka.

Dengan kata lain, setiap saat manusia ingin menyerahkan diri pada jalan hidup yang telah ditetapkan Tuhan atau ‘deen-nil-lah’ maka dia harus pindah dari rumah atau negaranya. Yang kita perlukan hanyalah satu alasan bagus untuk ide-ide yang tidak logis tersebut.

Tidak ada satu halpun dalam Agama Arab yang rasional. Orang Arab memutarbalikkan makna ayat-ayat tersebut dan menganggap itu sebagai tanggung jawab nabi terakhir karena mereka telah menciptakan begitu banyak kisah-kisah rekaan mengenai sejarah kehidupan rasul terakhir. Mereka mengubah makna kata dalam Qur’an untuk menghalang-halangi manusia berjuang di jalan Tuhan. Dengan cara lain manusia akan berjuang melawan agama ciptaan bangsa Arab yang ‘menyembah’ batu pemujaan di Mekah.

Bagi mereka yang yakin tentang Tuhan dan mematuhi jalan hidup yang telah ditetapkan Tuhan, mereka harus menerima tantangan hajuu pada sistemnya ‘jika mereka bisa menemukan jalan’. Inilah tantangan atau haji.

Kita tidak hanya memakai baju ala Roma, menggunduli kepala kita, melempar batu ke arah pilar batu bata, mencium batu hitam, berjalan mengelilingi struktur batu lain sambil menangis meneriakkan ‘aku telah datang kepada-Mu Tuhan, aku telah datang’ dan merasa bersyukur karena telah memenuhi komitmen kita. Kita harus aktif dan sadar menghadapi tantangan atau Haji untuk bergerak mendekati Jalan hidup atau deen yang merupakan ketetapan Tuhan. Itulah Haj.

Merupakan kewajiban manusia terhadap Tuhannya untuk menerima tantangan (hajuu) terhadap sistem (bayti) bagi mereka yang bisa menemukan jalan menuju ke arahnya (Surat 3 Ayat 97).

Dikatakan kepada mereka,

Di dalam sistem tersebut (bayti) ada tanda-tanda yang mengindikasikan status nabi Ibrahim.

Harap perhatikan dengan cermat bahasa Arab yang sangat jelas dalam Surat 3 Ayat 97 ‘manis-tha-tha’a ilaihi sabiilaan’ yang artinya ‘siapapun yang bisa menemukan jalannya di sana’.

Jika haji memang merupakan ritual agama dengan pergi ke Ka’aba yang sekarang ada di Mekah Saudi Arabia, atau bahkan Mekah 500 tahun yang lalu, apa sulitnya mengatakan, ‘bagi siapapun yang bisa menemukan jalan kesana’? Tidak ada misteri untuk menemukan jalan kita menuju Mekah. Bahkan 500 tahun yang lalu, orang tahu dimana letak Mekah. Kita hanya perlu naik unta, kuda atau menggunakan pesawat terbang dan kita akan sampai di Mekah.

Tetapi kita tidak bisa mencapai sistem Tuhan hanya dengan naik pesawat jumbo jet atau mengendarai onta. Kita harus mengambil tantangan untuk sampai kesana. Ini adalah ujian bagi komitmen kita. Kita pasti tidak bisa sampai kesana hanya dengan menggunduli kepala kita, mengenakan toga, melempar batu ke tiang batu seperti anak kecil, mencium batu granit hitam (hajar aswad), atau berjalan mengelilingi tiang yang lain (sa’i). Jika kita tetap memaksa melakukan, maka kita hanya akan menjadi ‘orang beragama yang tidak peduli’. Mengerjakan sesuatu tanpa menggunakan logika dan tanpa memiliki pengetahuan tentang Qur’an, yang merupakan ajaran yang benar yang dibawa Nabi dan berasal dari Tuhan.

Tidaklah sulit bagi manusia untuk mengambil tantangan Hajju pada sistem Tuhan dan setia pada sistemnya atau merendahkan diri dalam ketaatan pada sistem Tuhan. Sistem Tuhan bukanlah ‘agama’. Titik.

Islam adalah jalan hidup yang bersifat universal dan bisa diikuti oleh setiap manusia di bumi tanpa harus melembagakannya sehingga setiap orang bertanggung jawab atas apapun yang dilakukannya selama hidupnya. Masing-masing dari mereka akan diadili secara individual sebagaimana saat pertama kali mereka diciptakan. Mereka diharapkan melayani Tuhan yang menciptakan mereka dan menjadi tugas mereka untuk mematuhi jalan yang telah ditetapkan Tuhan serta menjaga kemurniannya.



faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 1:59 pm

BAGIAN SEBELAS (lanjutan)

IBRAHIM DAN ISMAIL TIDAK PERNAH BERADA DI MEKAH

Tidak ada bukti dalam Qur’an, khususnya dalam Surat 2 Ayat 125 sampai Ayat 129, bahwa Ibrahim dan Ismail pernah membangun rumah fisik di suatu tempat yang bernama Mekah. Yang benar adalah, Musa, Isa, Ibrahim, dan Ismail tidak pernah berada di Mekah sebagai nabi ataupun rasul untuk memberi peringatan kepada bangsa Arab.

Jika Ibrahim diberi inspirasi oleh Tuhan untuk pergi ke Mekah untuk membersihkan rumahnya, maka dia berkewajiban untuk memberi peringatan kepada semua bangsa Arab di Mekah dan di sekitarnya. Tetapi Qur’an mengatakan, bangsa Arab tidak tahu apapun tentang kitab suci Tuhan, dan mereka juga tidak pernah melihat Pemberi Peringatan yang lain sebelum Muhammad:

Kami tidak memberikan kitab suci kepada mereka untuk dipelajari, dan Kami tidak mengirimkan rasul kepada mereka sebelum engkau sebagai pemberi Peringatan[ ] (Wa-maa-arsalna-ilaihim-qoblika-Nazirin) (Surat 34 Ayat 44).

Ayat tersebut dengan jelas mengatakan bahwa ‘Tidak ada rasul bagi bangsa Arab di sekitar masyarakat Muhammad sebelum Qur’an diturunkan’. Karenanya nabi Ibrahim dan juga nabi Ismail tidak berbicara dengan orang Arab di ‘Mekah’ atau di manapun di jazirah Arab dimana kemudian nabi Muhammad lahir. Muhammad adalah nabi pertama bagi bangsa Arab yang ada di sekitarnya. Jadi jika ada orang yang percaya bahwa nabi Muhammad lahir di Mekah, itu memastikan bahwa nabi Ibrahim tidak pernah dikirim ke Mekah.

Selain itu dalam Surat 22 Ayat 27 nabi Ibrahim diperintah, ‘Sampaikan kepada manusia bahwa mereka harus mematuhi ‘hajjii’. Mereka akan datang kepadamu dengan berjalan ataupun berkendara, mereka akan datang dari seluruh penjuru’. Kumpulkan semua itu, maka jelas terlihat teori orang Arab mengenai rumah Tuhan dan ibadah haji adalah salah total. Tidak ada bukti baik dalam Qur’an ataupun dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang mengindikasikan adanya rasul terdahulu termasuk Iskhak, Yakub, Ismail, Yusuf, Zakaria, Yunus, Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Jonah bahkan Isa yang pernah melakukan perjalanan ke Mekah untuk mengunjungi ka’bah dan menjalankan ibadah haji.

BANGSA ARAB ADALAH KAFIR

Bangsa Arab mengabaikan Kitab Suci Tuhan dan mereka tidak tahu apa-apa tentang din yang diikuti oleh Ibrahim, Ismail, Iskhak, Yakub dan nabi-nabi lain atau apa yang diturunkan kepada Musa dan Isa. Karenanya mereka tidak mengetahui tentang Cara Hidup yang ditetapkan Tuhan, perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, ataupun keberadaan kata-kata seperti Baytal-harami, Masa-jidil-lah ataupun Masjidil-harami yang diketahui oleh Ibrahim, Musa dan Isa dan nabi-nabi sebelumnya.



Tuhan berfirman bahwa bangsa Arab adalah Ummyin[ ] menyebut mereka sebagai bangsa kafir, yaitu satu bangsa yang tidak mengenal kitab suci Tuhan. Qur’an mengatakan dalam Surat 62 Ayat 2:

Huwal-lazi ba’asha Dia adalah satu-satunya yang mengutus
Fil-ummiyin kepada mereka yang tidak berpengetahuan
Rosulan min-hum seorang rasul dari golongan mereka sendiri
Yatlu a’laihem untuk menyampaikan kepada mereka
Wa-yuzak-kihem dan untuk menyucikan mereka
Wa-yua’limuhumul dan untuk mengajari mereka
Kitaba kitab suci
Wal-hikmata dan hikmah
Wa-ainkanu sungguh, mereka adalah
Min-qolbu sejak dulu
Lafi-thola-lin mubin mereka adalah orang-orang yang tersesat.

Memang sebelum Muhammad dikirim kepada bangsa Arab, mereka sama sekali tidak mengenal ‘din’ atau jalan hidup Tuhan.

Bangsa Arab menolak untuk menerima Qur’an sejak awal kitab tersebut diturunkan dan mereka menuduh nabi terakhir berusaha menjauhkan mereka dari pelayanan terhadap dewa batu yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Mereka berkata:

Ini adalah hal yang tak berarti kecuali hanya seorang laki-laki yang berusaha menjauhkanmu dari apa yang disembah oleh nenek moyangmu. Ini bukanlah hal yang berarti kecuali kebohongan yang diciptakan. Ini hanyalah sihir belaka (Surat 34 Ayat 43).

Sebagaimana nabi-nabi yang lain dia juga tidak diterima dengan baik, sebaliknya mereka menuduhnya mengarang Kitab Suci.

Apakah mereka mengatakan bahwa dia yang membuatnya? Sungguh, ini adalah kebenaran dari Tuhanmu untuk memberi peringatan bagi suatu kaum yang tidak menerima Pembawa Peringatan sebelum kamu[ ] sehingga mereka mendapat petunjuk (Surat 32 ayat 3).

Ini adalah contoh lain bagaimana Qur’an disusun. Dia mengulang dirinya sendiri dimana-mana dan memastikan kembali masalah yang sama. Dalam ayat ini dikatakan bahwa bangsa Arab belum pernah menerima Pembawa Peringatan sebelum Muhammad.

Bertolak belakang dengan kepercayaan umum bahwa misi nabi terakhir tidak mendapatkan sambutan dari umatnya. Kekecewaan Muhammad nampak dari ayat berikut:

Mungkin engkau ingin menghancurkan dirimu sendiri akibat penolakan mereka mempercayai firman ini (Surat 18 Ayat 6).

Dalam beberapa terjemahan dikatakan bahwa sang nabi ingin bunuh diri akibat penolakan bangsa Arab terhadap Qur’an. Kita bisa memahami situasinya setelah membacanya dalam Qur’an. Bangsa Arab modern mengatakan bahwa mereka mengikuti ajaran Qur’an tetapi kenyataannya adalah, mereka tidak dan tidak akan pernah. Mereka hanya bisa memimpikannya. Tuhan bagaimanapun telah mencegah mereka melakukannya. Bangsa Arab dan pengikut kepercayaan mereka akan terus menyembah batu sampai Hari Kiamat.

Tidak ada bukti dari Qur’an bahwa nabi Ibrahim diutus untuk bangsa Arab sebagai Pemberi Peringatan yang mengajari mereka teknik bangunan untuk membangun rumah musim panas untuk Tuhan diperkirakan di suatu tempat bernama Mekah.

Nabi Ibrahim dan nabi Ismail bukan pekerja bangunan yang dikirim untuk bangsa Arab di Mekah.

Nabi Ibrahim adalah lebih dari sekadar ahli penghancur yang telah menghancurkan berhala-berhala. Dia tidak menciptakan berhala baru dalam bentuk bangunan persegi empat dan kemudian berkata, ‘Ini adalah rumah Tuhan’. Ini adalah yang dikatakan oleh penganut polytheis. Mereka menciptakan berhala-berhala dan mengatakan, ini adalah Tuhanku.


Rumah batu yang diklaim sebagai Ka’bah di Mekah saat ini adalah salah satu pengkhianatan terbesar bangsa Arab. Bangsa Arab-lah yang membangunnya, jelas bukan nabi Ibrahim. Mereka telah membodohi ratusan juta orang untuk merendahkan hati mereka dalam ketaatan terhadap rumah batu yang meniru gereja umat Yahudi yang berdiri ditengah-tengah masjid yang menyembah batu hitam. Apa yang manusia lihat sekarang BUKANLAH Islam, itu adalah Agama Arab yang dibungkus dengan budaya primitif bangsa Arab dan aturan-aturan suku Arab.

TANTANGAN BESAR

Bagi para penganut Sunni dan Syiah yang membaca ini yang percaya adanya ‘Masjid Suci’, ‘Rumah Suci’, ‘Tanah Suci’, ‘Air Suci’, ‘Batu Hitam Suci’, Makam Suci’, dan ‘Telapak Kaki Suci’ mereka harus memilih salah satu dari dua pilihan. Mereka bisa memberitakannya atau menyimpannya sendiri untuk terus:

1. Memuja dan menghambakan diri kepada Batu Pemujaan atau Rumah Batu, yang mana mereka telah salah menyebutnya sebagai yang sakral atau suci. Untuk ini mereka harus memaksa kata bay-ta sebagai Rumah Tuhan. Mereka juga harus memaksa kata haram bermakna suci. (Ini adalah penyembahan berhala – ingat …… apapun yang mereka sembunyikan dalam hati, mereka tidak akan pernah bisa lari dari Tuhan).

Atau mereka berhenti memuja batu yang ada di Mekah dan mulai melayani hanya satu Tuhan dengan cara:

2. Memuja dan menghambakan diri dalam kepasrahan melalui sistem Tuhan Bay-ta yang secara murni berdasarkan ajaran Qur’an saja, bebas dari intensi agama. Pikirkan hal ini untuk sesaat … Tanpa berhala batu di Mekah maka Agama Arab tidak akan ada. Anda hanya punya satu Tuhan, satu kali kesempatan hidup, satu cara untuk sampai kepada Tuhan, dan satu Buku yang membimbing Anda. Jadi sadarlah, Anda adalah milik Tuhan dan kepada-Nya Anda akan kembali!

PIKIRKAN PILIHANNYA

1. Mengapa kata Bay-ta bukan berarti Rumah?

(i) Kata bayta pertama kali muncul dalam Qur’an Surat 2 Ayat 125 setelah kisah nabi Ibrahim yang diuji oleh Tuhan melalui beberapa kalimat yang disebutkan dalam Surat 2 Ayat 124. Lalu dia ditunjuk untuk sistem Tuhan atau Bayta, akhir yang damai bagi mereka yang mau mengikuti jejaknya.

(ii) Dia diciptakan untuk membersihkan Bayta Tuhan bersama Ismail bagi orang-orang yang memuja (A’kiffin) dan bagi mereka yang menghambakan dirinya dalam kepasrahan (wa-ru-ka’is-sujud).

Entah sengaja atau tidak orang Arab menyatakan kata bayta dalam Surat 2 Ayat 125 sebagai rumah Tuhan, kita lihat saat ini adalah sebuah bangunan batu berbentuk persegi empat yang berdiri di tengah masjid. Sejauh yang disebutkan Qur’an HANYA para kafir yang mendedikasian dan menyerahkan dirinya dan merendahkan dirinya dalam kepatuhan pada bangunan yang dibuat manusia.

Qur’an mengatakan bahwa Tuhan hadir dimana-mana. Saat ini bangunan tersebut telah menjadi titik fokus bagi mereka pengikut Agama Arab. Mereka yang sedang ‘bersembahyang’ di dekat rumah tersebut harus membungkuk dan bersujud terhadapnya dan mereka yang ‘bersembahyang’ jauh darinya harus menghadapkan wajahnya pada bangunan batu tersebut. Ini adalah potret dari pemujaan berhala.

(iii) Dalam Surat 2 Ayat 127 disebutkan Ibrahim dan Ismail yang meninggikan pondasi bangunan ‘deen’ dari sistem Tuhan (bayta) dan bukan dari sebuah bangunan. Mereka juga tidak membangun rumah untuk tempat tinggal Tuhan. Nabi Ibrahim justru menolak semua bentuk berhala ataupun citra.

Ketika kita membaca Surat 6 Ayat 74-82 kita lihat bahwa nabi Ibrahim tidak akan membodohi diri sendiri dengan membangun rumah batu setelah menolak bahkan keajaiban di langit dan bumi yang merepresentasikan Tuhan. Dia berkata,

Aku menghadapkan diriku kepada Yang Maha Esa yang telah menciptakan langit dan alam semesta dengan segala rahmat dan aku bukanlah penyembah berhala. Tetapi bangsa Arab dengan penuh kebencian mengatakan bahwa nabi Ibrahim telah membangun sebuah tempat pemujaan. Pernyataan ini sama sekali tidak mendasar. Pernyataan dalam Surat 22 Ayat 26 adalah:

(iv) (Wa-izza-baw-wana- li-ibro-him-ma makaa-nal bai-ti) dan ketika Kami menemukan untuk Ibrahim sebuah tempat dalam ‘sistem’, (‘An-laa-tusrik-bi-shai-a’in’) mengatakan, ‘engkau TIDAK SEMESTINYA menyekutukan-Ku dengan apapun’, (Thoh-hir-Bayti-ya) murnikanlah SistemKu (Lit-tho-iffin-na) bagi sekelompok orang, (wal-qor-imin) dan bagi meerka yang berdiri, (wa-ru-ka’is-sujud) dan mereka yang menundukkan diri dalam penyerahan.

Bangsa Arab secara tidak masuk akal mengartikannya sebagai, ‘Kami telah menempatkan Ibrahim di sebuah tempat didalam rumah’ dimana kita dengan bodohnya percaya bahwa Tuhan berbagi rumah dengan Ibrahim. Ini mengundang pertanyaan yang bersifat implisit, apa artinya menjadi Tuhan?

Dalam Surat 21 Ayat 51-53 nabi Ibrahim datang kepada ayahnya dan para pengikutnya. Dia bertanya pada mereka,

‘Apakah ini berhala-berhala yang kalian puja (A’kiffun)? Mereka menjawab, ‘Kami tahu bahwa nenek moyang kami menghamba kepada mereka (Abideen).

Tantangan nabi Ibrahim adalah semacam kesaksian sebagai faktor nyata untuk melawan praktek tradisional yang biasa dilakukan yaitu menyembah berhala menuju pemujaan yang lebih tinggi yaitu kepada Tuhan yang ghaib. Dia menentang semua bentuk pemujaan berhala termasuk pemujaan a’kaffin terhadap berhala dan citra. Kata bay-ta dalam Surat 2 Ayat 125 dan kata baytil ma’muri dalam Surat 52 Ayat 4 benar ataupun salah tidak bisa dipahami sebagai bangunan fisik milik Tuhan Yang Maha Kuasa.

(v) Dalam Surat 26 Ayat 71-73 mereka berkata, ‘Kami menyembah para berhala dan kami sungguh-sungguh akan setia (A’kiffin) kepada mereka. Dalam Surat 26 Ayat 72-73 nabi Ibrahim bertanya kepada mereka, ‘Apakah mereka bisa mendengar ketika engkau memohon padanya? Dapatkah mereka memberimu kebaikan ataupun kerugian?

Nabi Ibrahim bertanya kepada mereka dengan pertanyaan yang mendasar. ‘Dapatkah mereka mendengar permohonanmu, atau dapatkah mereka memberimu kebaikan ataupun kerugian?’ Pengikut Sunni dan Syiah mestinya dapat berpikir, tanya orang Arab, ‘Dapatkah bangunan batu dan batu hitam mendengar mereka dan menanggapi tangisan mereka ketika mereka memohon pada Tuhan? Nabi Ibrahim dengan jelas mengatakan Tuhan tidak bisa diwujudkan dalam bentuk simbolisasi apapun.

Lantas mengapa bagi Agama Arab, bangunan batu bisa jadi simbol untuk meraih Tuhan? Sesuatu yang masuk akal adalah bukan sesuatu yang bisa engkau tolak; namun sesuatu yang bisa engkau atur. Orang Arab menghormati si batu hitam dengan memberinya penutup dari sutra hitam yang indah, bagaimanapun itu bisa dihancurkan dan dibangun kembali. Mestinya kaum Sunni dan Syiah bisa berpikir bagaimana mungkin bangunan selemah itu pantas dihormati.

(vi) Dalam Surat 26 Ayat 77-84 nabi Ibrahim berkata kepada para pengikutnya yang kafir, ‘Kalian semua adalah musuhku kecuali Tuhan alam semesta. Yaitu satu yang telah menciptakanku dan memberiku petunjuk. Dia satu-satunya yang telah memberiku makan dan minum. Ketika aku sakit, Dialah satu-satunya penyembuhku. Dia juga satu-satunya yang mematikanku, dan Dia pula yang kelak membangkitkanku. Dia satu-satunya yang aku harapkan akan mengampuni dosa-dosaku pada Hari Kiamat nanti.’

(vii) Dalam Surat 21 Ayat 58 nabi Ibrahim menghancurkan semua berhala kecuali satu yang terbesar untuk menyampaikan maksudnya.

(viii) Dalam Surat 21 Ayat 67 Ibrahim berkata, ‘Sungguh memalukan bagimu dan segala macam berhala yang engkau siapkan di samping Tuhanmu. Tidakkah kalian mengerti?

Orang non-Arab seharusnya malu pada diri sendiri. Mereka seharusnya menggunakan logika sesuai kehendak Tuhan mereka. Mereka seharusnya malu pada diri sendiri karena orang Arab bisa mengeksploitasi dan menghina kepintaran mereka. Mereka juga seharusnya malu pada diri sendiri karena mengikuti Agama Arab secara membabi buta, membungkuk dan bersujud kepada hal yang tak berarti kecuali pada sebongkah batu. Mereka harusnya malu pada Tuhan yang Maha Pemurah karena telah menghamba kepada ikon selain kepada Tuhan yang ghaib yang memberi mereka hidup. Memalukan bagi mereka yang ingin mempertahankan sang BATU. Nabi Ibrahim bertanya kepada bangsanya secara terus terang … tidakkah engkau mengerti?

(ix) Dalam Surat 60 Ayat 4 nabi Ibrahim berkata kepada rakyatnya, ‘Diantara aku dan kalian kita bermusuhan selamanya dan saling membenci selamanya, kecuali engkau hanya percaya kepada Tuhan (hat-taa tu’minu-bil-lah wah-dahu)!

Peraturan emas Ibrahim ini kemudian diterapkan selama masa kenabiannya, sekarang dan selamanya. Bagi mereka yang menghamba kepada ikon ataupun berhala adalah musuh mereka yang mengikuti ‘deen’ Tuhan dan permusuhan di antara mereka akan terus ada sampai mereka hanya beriman dan bertakwa pada Tuhan.

Ibrahim sangat membenci penyembahan berhala dan mendorong pengikutnya untuk percaya pada Tuhan, rasul Tuhan dan semua kitab suci yang diturunkan, malaikat, hari akhir dan supaya bekerja dengan benar. Kita tidak akan pernah bisa menemukan satu teks-pun dalam Qur’an yang menyatakan bahwa manusia sebaiknya mempercayai bangunan batu, batu hitam, ataupun bekas jejak kaki yang ada di Mekah, kecuali kita adalah termasuk para penyembah berhala.

2. Mengapa Bayti-ka mu-har-rami bukan bermakna ‘Rumah Sakral-Mu’ tetapi ‘Sanksi-sanksi dalam sistem?

Dalam Surat 14 Ayat 35 nabi Ibrahim berkata,

Tuhanku jadikanlah negara ini damai dan lindungi kami dan keturunan kami dari para penyembah berhala. Tuhanku, sungguh mereka telah menyesatkan banyak orang. Barangsiapa yang mengikutiku, maka mereka berasal dariku, dan bagi mereka yang melawanku, sungguh Engkau Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Tuhanku, sungguh aku tinggalkan keturunanku di lembah ini tanpa makanan sebagaimana sanksimu-Mu dalam sistem (a’in-dal-bay-tika-mu-har-rami). Tuhanku biarkan mereka menegakkan komitmen (solaa-ta) dan buatlah hati orang-orang cenderung kepada mereka, dan anugerahkan kepada mereka buah-buahan, semoga dengan begitu mereka menjadi orang yang bersyukur.

Para penerjemah menghilangkan semua esensi pesan tersebut dalam ayat ini ketika mereka berkata, ‘Ibrahim meninggalkan keturunannya di suatu tempat di sekitar rumah Tuhan’. Kita harus membuang pernyataan-pernyataan yang dianggap tidak benar ketika hal tersebut bertentangan dengan logika.

Nabi Ibrahim sangat berhati-hati menyampaikan kepada Tuhan bahwa dia akan bertempat tinggal di lembah yang gersang. Keinginan Ibrahim adalah menjalani kehidupan dalam sistem yang telah diciptakan Tuhan. Permintaan beliau adalah agar keturunannya akan melakukan hal yang sama dan memakmurkan tanah sementara melaksanakan komitmen mereka sehingga orang lain akan cenderung menjalani hidup sesuai dengan sistem yang sama.

A’in-dal-bay-ti-ka dengan atau sesuai dengan sistem-Mu. Kata a’in-da muncul beberapa kali dalam Qur’an, tetapi kita mengutip satu teks saja yang cukup sederhana dalam Surat 9 Ayat 36 untuk memperlihatkan apa makna sebenarnya dari kata tersebut. Secara singkat teks tersebut berbunyi, ‘Sungguh, perhitungan jumlah bulan menurut Tuhan adalah duabelas bulan’, sebagaimana tertera dalam daftar kata-kata:-

In-naa sungguh
A’in-data perhitungan
Shu-hu-ri dari bulan-bulan
A’in-dal-lah menurut Allah atau Tuhan
Hish-na adalah duabelas
A’sha-ror bulan

Kata a’in-da secara sederhana berarti ‘sesuai dengan’. Karenanya ketika nabi Ibrahim berkata pada Tuhannya bahwa dia meninggalkan keturunannya a’in-dal-bay-ti-ka dia bermaksud mengatakan, ‘Aku meninggalkan keturunanku di tanah yang tandus ini untuk hidup sesuai dengan ‘Sanksi-sanksimu dalam sistem’ (a’in-da-lah-bay-tika-mu-har-rami) dengan demikian mereka bisa melaksanakan kewajiban mereka.

Orang Arab dengan begitu mudahnya mengabaikan pentingnya pesan tersebut ketika mereka dengan sengaja mengubah kata ‘dengan’ atau ‘sesuai dengan’ menjadi ‘dekat’. Dan para translator terus saja berbicara ngawur pada diri sendiri untuk menerjemahkan cara yang diinginkan orang Arab untuk mereka percayai. Hal yang salah menerjemahkan kata bayti-ka muharrami dalam Surat 14 Ayat 37 dengan ‘rumah Tuhan yang sakral’.

3. Mengapa kata baytal-harama bukanlah Rumah Suci tetapi sanksi-sanksi dalam sistem?

Kata baytal-harama saat diterjemahkan secara harfiah berarti -Bayta yaitu Sistem dan Harama yaitu larangan atau sanksi. Kata ini hanya muncul sekali dalam Qur’an yaitu pada Surat 5 Ayat 2. Kita telah melihat dalam bab sebelumnya bagaimana kata ini muncul secara bersamaan dengan pelestarian kehidupan liar.

Kata tersebut dipakai untuk merujukkan suatu sistem bagi manusia untuk mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh sang pencipta. Bagi mereka yang mencari rahmat dan kesenangan darinya hendaknya tidak melanggar semua peraturannya. Orang Arab yang bingung dan tidak memiliki arah itu menginginkan setiap orang percaya bahwa kedua kata ‘bayti-ka-muharami’ dan ‘baytal-harama’ memiliki makna sama sebagai rumah sakral. Setelah membaca teks itu dengan cermat kita akan menemukan pola ayat-ayat yang sangat intens, kata pertama berkaitan dengan sistem Tuhan dan kata kedua berkaitan dengan sanksi-sanksi yang ditetapkan dalam sistem tersebut.

Nabi Ibrahim hidup sesuai dengan sanksi-sanksi dalam sistem Tuhan dan dia menghendaki keturunannya juga menjalani hidup sesuai dengan sistem yang sama. Mereka yang ingin mengikuti jejaknya hendaknya mematuhi pembatasan yang serupa yang ditetapkan dalam sistem. Dalam hal ini adalah masalah berburu sebagaimana yang disampaikan kepada kita dalam Surat 5 Ayat 2 yaitu:

Janganlah melanggar peraturan Tuhan, bulan-bulan terlarang, arah petunjuk, tanda-tanda berburu, dan keselarasan sanksi-sanksi dalam sistem (baytal-harama) bagi mereka yang mencari rahmat dan kemurahan Tuhannya’.

Penekanan dari Surat 5 Ayat 2 adalah ketentuan mengenai konservasi alam selama bulan-bulan yang diharamkan. Mereka (Thor-iffin) yang mencari rahmat dan kesenangan dari Tuhan hendaknya mematuhi larangan ini dalam upaya menjaga keharmonisan sistem.

Dalam keputusasaannya, bangsa Arab mengatakan hampir semua kata yang berkaitan dengan kata Bayta adalah rumah Tuhan yang secara salah dinamakan ka’bah. Ini kesalahan yang lain. Hal itu berarti, untuk menyelamatkan kehidupan alam seseorang seharusnya tidak merusak keselarasan ‘rumah’ sakral atau ‘rumah’ yang dibatasi. Islam versi Arab tidak mempertimbangkan konservasi alam sebagai bagian dari kepercayaan mereka.

4. Mengapa makna bayti-ya bukan ‘RumahKu’ tetapi SistemKu?

1) Pertama-tama, tidak ada makhluk hidup di planet ini yang percaya Tuhan tinggal di dalam RUMAH!

2) Jika bayti-ya berarti ‘rumahKu’, tetapi orang Arab mengatakan bahwa Tuhan tidak tinggal di dalamnya, maka para penganut Sunni dan Syiah terlebih dahulu harus mencari kejelasannya dengan pengajar mereka. (i). APA yang mereka ‘SEMBAH’?, (ii). MENGAPA mereka ‘Menyembahnya?’, (iii). MENGAPA orang Arab mengundang setiap orang untuk melaksanakan ibadah haji ke rumah itu setiap tahun?, (iv). MENGAPA orang Arab menyebutnya Baytul-lah atau Rumah milik Tuhan?

3) Kebenarannya adalah, Tuhan tidak perlu rumah. Dia adalah Tuhan Yang Maha Hidup, Dia kekal. Dia tidak perlu tempat berlindung. Dia tidak perlu tidur. Dia tidak perlu istirahat. Faktanya, Dia tidak membutuhkan apapun. Apapun yang ada di langit dan dibumi adalah milik-Nya. Tetapi orang Arab mengatakan Tuhan memiliki sebuah rumah di Mekah tetapi Dia tidak pernah ada di rumah.

4) Memuja apapun kecuali Tuhan adalah bertentangan dengan konsep dasar nabi Ibrahim. Tidak ada perbedaan antara rumah batu dan berhala yang dihancurkan nabi Ibrahim. Benda-benda itu juga terbuat dari beberapa material seperti batu dan kayu.

5) Tuhan mungkin memberkati atau (barak-na) tanah tersebut, tetapi Dia tidak akan menciptakan tanah khusus, atau rumah atau manusia yang sakral atau suci. Isa dilengkapi dengan ruh suci atau Ruh Qudus dan Tuhan memang memanggilnya hamba Isa putra Mariam. Tetapi pemuja berhala dan orang kafir menjadikannya ‘suci’ atau ‘sakral’, dan kemudian memanggilnya ‘Jesus yang Suci’. Lucunya orang Amerika menyebutnya ‘Sweet Jesus’.

6) Orang yang mengarahkan dirinya di jalan Tuhan sesuai dengan sistem Tuhan tidak akan melayani Tuhan melalui segala bentuk Patung, Rumah, Tempat Pemujaan, Gereja, Synagog, Kuil, ataupun Masjid. Mereka melayani Tuhan mereka yang ghaib dengan berserah diri pada-Nya dengan terus menjaga perbuatannya di dalam peraturan-peraturan yang telah ditetapkan-Nya.

7) Nabi Ibrahim mengajukan sebuah permintaan pada Tuhan agar Dia menurunkan kitab suci kepada utusan-Nya sehingga orang-orang yang ingin mengikuti jejaknya akan menggunakan kitab suci tersebut sebagai petunjuk. Tidak ada dimanapun di dalam Qur’an disebutkan Tuhan berfirman bahwa ada sebuah Rumah di Mekah yang menjadi petunjuk bagi umat manusia.

Katakanlah, Tuhan telah berkata benar. Kamu sebaiknya mengikuti perilaku Ibrahim, orang yang jujur; dia bukanlah dari golongan pemuja berhala. Sistem pertama (au-wa-laa bay-tin) yang diperkenalkan kepada umat manusia yang diberkati dan merupakan sebuah petunjuk bagi alam semesta yaitu bagi mereka yang yakin (bi-bakata). Ada beberapa tanda yang sangat jelas; yaitu status Ibrahim. Siapapun yang masuk akan diyakinkan tentang keselarasan. Merupakan kewajiban manusia saat ini untuk mengambil tantangan (Hajuu) terhadap sistem (bayti) jika mereka ingin menemukan jalan mereka di sana. Bagi mereka yang ingkar, Tuhan tidak memerlukan siapapun (Surat 3 Ayat 95-97).

Bangsa Arab modern mengatakan kata Bi-Bakata dalam ayat ini adalah nama lama dari Mekah. Mereka tidak peduli dengan negara mereka, bangsa mereka, dan kitab suci Tuhan. Nama kuno dari Mekah adalah Macoraba, bukan Bakata! Untuk menutupi satu kebohongan, mereka harus menciptakan ribuan lainnya. Mereka melakukan ini semua untuk memperkuat Agama Arab dan pada saat yang sama memperoleh pendapatan dari bisnis pariwisata mereka.

Banyak orang mengabaikan awalan kata dalam ayat ini. Mereka terdiri dari tiga kata dalam satu kalimat. Ayat tersebut terangkai menurut struktur berikut, Lin-nas Lal-lazi bi-ba-kata yang secara harfiah bermakna, ‘Bagi segenap manusia dengan keimanannya’. Jika diterjemahkan sesuai kosa kata definitif akan berbunyi:-

Lin-nas untuk umat manusia
Lal-lazi dari mereka
Bi dengan
Bakata keyakinan

Awalan kata bi berarti ‘dengan’, sementara li atau la berarti untuk. Jadi salah kalau menerjemahkan Bi-bakata seperti dalam Bakata atau pada Bakata. Ini adalah kesalahan yang dilakukan oleh penerjemah terhadap apa yang dikatakan oleh orang Arab.

Arti harfiah dari kata ‘Baka’ adalah perasaan yang mendalam atau keyakinan seseorang. Bakata bukanlah nama tempat. Kata Lal-lazi-bi-bakata berarti ‘Untuk umat manusia yang percaya’. Banyak orang Arab dan juga non-Arab yang tidak sadar bahwa para penjaga berhala batu di Mekah itu telah memanipulasi makna teks Qur’an tersebut dan memaksa mereka untuk melakukan perjalanan bermil-mil demi batu hitam, sambil memperkaya pemilik berhala batu.




LIMA PENYELEWENGAN DALAM DUA AYAT

Mereka sebenarnya telah mengubah lima kata dalam Surat 3 Ayat 96 dan 97:

1. Penyelewengan pertama: Kata Bayti (Sistem) diubah menjadi ‘Rumah’. Ini membodohi setiap orang bahwa rumah tersebut adalah batu berhala yang sekarang ada di Mekah.

2. Penyelewengan kedua: Kata Bakata (Keyakinan) diubah menjadi nama lama kota Mekah kendati sejarah arab tentang suku-suku Arab mengatakan bahwa nama lama dari Mekah adalah Makoraba.

3. Penyelewengan ketiga: Kata Maqami Ibrohim (Status Ibrahim) diubah menjadi tempat atau lokasi dimana Ibrahim melakukan sembahyang ritual. Kita telah melihat pada beberapa Bagian terakhir makna yang sebenarnya telah sengaja diputarbalikkan.

4. Penyelewengan keempat: Makna kata Ayya-tun bai-inatun (Tanda yang nyata atau Wahyu yang nyata) telah diubah menjadi sepasang jejak kaki.

5. Penyelewengan kelima: Kata Hajuu (menerima tantangan) diubah menjadi ‘Ibadah Haji’. Kami telah menjelaskan tentang makna yang benar di bagian-bagian awal Bagian ini.

Ibadah haji adalah konspirasi agama terbesar dalam sejarah manusia. Orang berbicara dan menulis tentang teori-teori Zionis dan konspirasi Yahudi. Mereka mengatakan bahwa Islam selalu menjadi target Zionis dan Yahudi. Yahudi, Kristen, ataupun Hindu tidak menyerang Islam namun ideologi Agama Arab. Bangsa Arab-lah yang telah berkonspirasi menentang Islam. Saat ini para pengikut Agama Arab sedang menderita akibat perbuatan Arab pada Islam seperti yang ditetapkan dalam Qur’an. Mereka akan terus menderita di dunia ini dan mendapatkan pembalasan yang kejam di akhirat kelak selama mereka mengikuti jalan orang Arab. Namun demikian cahaya Tuhan, akan tetap sempurna dan bersinar dalam Qur’an meskipun mengalami penyelewengan yang dilakukan orang Arab.

Laki-laki dan perempuan yang mematuhi orang Arab berarti kembali ke Zaman Batu dan banyak dari mereka yang mengabaikan budaya dan identitas mereka sendiri karena ingin meniru Arab. Para professional, kepala negara dan juga para selebritis, mereka semua ingin meniru Arab. Mereka lebih suka menghamba kepada batu ketimbang Tuhan.
faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 2:02 pm

BAGIAN DUABELAS

PESAN QUR’AN

Pesan mendasar dari Qur’an adalah mematuhi Tuhan Penguasa Alam Semesta dengan menyerahkan diri pada jalan hidup yang telah ditetapkan-Nya. Mempercayai hanya satu Tuhan, percaya pada Hari Akhir dan berbuat kebajikan. Memenuhi kewajiban dengan mempertahankan janji melalui komitmen.

Dalam ketaatan yang diperintahkan Tuhan agar masjidil-lah, adapula peraturan Tuhan dan larangan Tuhan yaitu ‘sha’iral-lah’ dan ‘hudu-dul-lah. Itulah sanksi ketaatan atau ‘masjidil-harami’. Siapapun kita dan dimanapun kita mungkin berada, fokuskan diri kita pada sanksi-sanksi ketaatan sebagai individu.

Contohnya dalam Surat 5 Ayat 3 Tuhan telah menetapkan larangan tentang makanan. Dia berfirman, dilarang bagimu untuk memakan:

(1) Darah, (2) Bangkai, (3) Daging babi, (4) Makanan yang didedikasikan selain dari Tuhan, dan (5) Hewan yang mati karena kekerasan/kekejaman.

Masalah makanan merupakan bagian dari ketetapan Tuhan. Tuhan menetapkan larangan tersebut dalam ketaatan. Bagi siapa yang taat pada ‘deen’ diharapkan untuk memperhatikan sanksi-sanksi tersebut. Dalam Surat 2 Ayat 144, dikatakan:

Kamu harus fokus pada sanksi-sanksi ketaatan (masjidil-harami). Dimanapun kamu berada, kamu harus tetap fokus terhadapnya. Bahkan mereka yang menerima kitab-kitab terdahulu mengenali bahwa hal itu adalah kebenaran dari Tuhan. Tuhan mengetahui apa yang kamu perbuat.

Tuhan berfirman bahwa Dia mengetahui apapun yang kita lakukan. Dia tidak peduli dimana kita tinggal atau kemana kita pergi. Tetapi dimanapun kita berada, kita harus fokus pada sanksi-sanksi ketaatan yang diturunkan oleh-Nya.

Setiap kali Tuhan memerintahkan sesuatu untuk menyelesaikan masalah keluarga atau memerintahkan para utusan-Nya untuk mematuhi serangkaian komitmen, Dia akan berfirman ‘ini adalah batasan-batasan dari Tuhan’ atau hudu-dul-lah, contohnya:

Perceraian boleh dibatalkan dua kali. Kemudian kamu harus membiarkan mereka tinggal di rumahmu dan perlakukanlah dengan baik jika mereka menginginkannya, atau ijinkan mereka pergi dengan baik. Kamu tidak bisa meminta kembali apa yang telah engkau berikan pada mereka, kecuali pasangan tersebut takut melanggar batasan Tuhan (hudu-dul-lah). Jika mereka takut melanggar batasan Tuhan (hudu-dul-lah) maka mereka tidak berdosa bila si istri menyerahkannya secara sukarela. Ini adalah batasan dari Tuhanmu. Kamu tidak boleh melanggarnya. Jika seseorang melanggar batasan Tuhan (hudu-dul-lah), maka mereka adalah orang-orang yang keji’ (Surat 2 Ayat 229).

Itu adalah batasan yang ditetapkan Tuhan yang bisa diterapkan dalam menyelesaikan masalah rumah tangga. Dalam Qur’an batasan yang ditetapkan Tuhan ini atau hudu-dul-lah disebutkan sebanyak 14 kali dan semuanya terbatas pada masalah rumah tangga dan BUKAN atas nama agama. Tetapi bangsa Arab memperkenalkan hukum yang bersifat kejam dan menamakannya ‘hudud-law’.

Dengan demikian mereka melecehkan nama Tuhan. Dalam hukum mereka, mereka bahkan bisa menghukum manusia dengan melempari batu hingga mati, mereka bisa mengakhiri pernikahan orang lain, bahkan mengambil alih harta benda Anda. Dan semua itu dilakukan atas nama Tuhan.

Ini merupakan tantangan lain bagi para ulama. Karena tidak ada satupun ‘hudud-law’ agama Arab yang dipraktekkan oleh negara-negara Islam, yang berasal dari Qur’an. Tidak satupun.

Bisakah Anda membuktikan sebaliknya?

Semua hukum suku Arab TIDAK diperintahkan oleh Tuhan dimanapun dalam Qur’an. Dan karenanya ini merupakan keadaan yang penting dimana hukum-hukum ini bervariasi dan berbeda antara satu negara Islam dengan negara Islam yang lain. Ini kenyataan. Para konspirator telah membodohi pengikut Agama Arab mereka.




MELAYANI TUHAN SECARA INDIVIDUAL

Dari sejak zaman Adam Tuhan telah berhubungan dengan semua hamba-Nya secara individual. Dia mempertimbangkan setiap manusia yang diciptakan-Nya dan setiap orang akan menghadap kepada-Nya sebagai individual pada Hari Kiamat. Dia tidak berbagi kekuasaan-Nya dengan siapapun dan Dia TIDAK AKAN PERNAH mengizinkan setiap pelayan-Nya untuk memberlakukan setiap peraturan-peraturan yang ditetapkan-Nya pada manusia lain, bahkan kepada nabi-Nya.

Bangsa Arab tidak pernah mendapat izin dari Tuhan untuk membangun sebuah bangunan yang disebut Masjid. Mereka mendirikan kuil dan kemudian membangun batu berhala berbentuk kubus di tengah-tengah kuil, sama seperti semua kuil-kuil lain di seluruh dunia, yang selama ini mereka anggap sebagai kuil orang kafir.

Tidak peduli apa yang ingin kita percayai, kita tidak bisa menentang kebenaran Tuhan ketika Dia berkata bahwa bangsa Arab adalah bangsa terburuk. Para penerjemah dipaksa untuk membenarkannya dengan mengatakan bahwa kata A’robi sebagaimana yang disebut dalam Qur’an merujuk pada Badui atau julukan khusus bagi bangsa Arab. Tuhan berfirman kepada kita bahwa mereka bukan saja orang Badui Arab padang pasir namun juga orang Arab dari seluruh jazirah:

Wa mim man hau lakum minal A’robi munafikun wa min ahlihi Madina ti.
Dan mereka yang berada di sekitarmu yang berasal dari bangsa Arab adalah orang munafik dan dari seluruh orang yang ada di Kota (Surat 9 Ayat 101).

Apakah penting tipe-tipe bangsa Arab itu? Sejauh yang disebutkan dalam Qur’an tidak seorangpun yang dianjurkan untuk menggunakan batu atau ikon lainnya sebagai objek pemujaan untuk melayani satu Tuhan. Kata Arab dalam Surat 9 Ayat 101 bisa saja siapapun yang berada di Maroko, Aljazair, Oman, Yordania, Kuwait, atau tepatnya mereka para penjaga batu hitam itu sendiri.

Qur’an adalah baik pada saat dia diturunkan, saat ini dan tetap akan baik sampai Hari Pembalasan. Saat menyebutkan tentang Arab maka yang dimaksud adalah ‘Arab’ yang sebenarnya. Orang Arab harus menyelesaikan masalah diantara mereka sendiri guna mengidentifikasi orang-orang Arab yang bersalah. Sementara itu tidak satu orangpun yang bisa merubah kebenaran Qur’an dan tidak seorangpun yang bisa membatalkan ayat-ayat untuk mengatakan hal-hal menyenangkan tentang orang-orang Arab yang tidak beriman. Kecuali mereka bertaubat dan percaya pada Qur’an, Tuhan mengutuk bangsa Arab selamanya.

Mungkin orang Arab yang tidak berdosa akan menemukan jawabannya bila mereka bertanya pada diri sendiri:

• Adakah konsep tentang rumah Tuhan dalam Islam?
• Lantas siapa yang membangun rumah Tuhan?
• Apa relevansi ‘Batu Hitam’ dalam Islam?
• Mengapa orang-orang melaksanakan ritual agama di sekitar bangunan batu?

Penulis harus menyatakan kembali bahwa semua ide ini tidak terdapat dalam Qur’an.

Sejak dari pemugaran rumah berbentuk kubus dikelilingi oleh lautan pasir 40 tahun yang lalu, sekarang ini rumah tersebut berlantaikan batu marmer Italia dan dilengkapi dengan pompa air untuk mengalirkan persediaan air osmosis beku dari bawah rumah kubus yang mereka anggap suci. Di atas tanah Arab segalanya mungkin. Batu dan air laut bisa dianggap sakral dan suci.

Hanya bangsa Arab yang bisa mengajukan ide yang teramat lucu ini, yaitu menempatkan rumah Tuhan di Mekah dan kemudian menjadikan setan sebagai tetangganya di dekat Mina.

Tentang para pengunjung yang menyedihkan tersebut, mereka tidak tertarik untuk mengetahui makna sebenarnya dari kata U’mrata dan Haji karena kata-kata ini adalah bahasa Arab. Mereka menyerahkan masalah bahasa itu kepada bangsa Arab. Konsentrasi utama mereka hanyalah melaksanakan u’mrah dan haji meskipun mereka harus membungkuk dan bersujud kepada batu dari gunung.

TUHAN TIDAK BERADA DI DALAM RUMAH

Beberapa penyembah berhala menyatakan bahwa rumah batu di Mekah itu merepresentasikan Kebesaran Tuhan, dan hal itu tidak berarti Tuhan memilikinya. Mereka juga mengatakan bahwa itu hanyalah simbol rumah Tuhan. Ucapan mereka tersebut adalah permainan kata-kata. Begitupula, mereka mengatakan bahwa pilar-pilar yang ada di Mina bukanlah setan tetapi melambangkan setan. Mungkin di hari akhirat nanti mereka akan berkata, ‘Tuhanku, kami tidak menyembah rumah. Meskipun kami membungkuk dan bersujud padanya, kami sesungguhnya menyembah-Mu.

Setelah kita menelaah semua bukti dari Qur’an maka tidak ada keraguan bahwa kata ‘umrata atau yang biasa disebut dengan umrah berarti memberikan hidup atau meningkatkan kepatuhan kepada perintah Tuhan (masjidil-lah). Tidak ada dibicarakan mengenai mengembangkan batu yang dibangun bangsa Arab di Mekah.

Merupakan tugas bagi mereka yang berserah diri pada din untuk membersihkan sistem, menjaga kemurniannya dan menjawab tantangan dengan berjuang di jalan Tuhan melawan para penyembah berhala dan orang-orang kafir yang mengotori din Tuhan.

Manusia membutuhkan perubahan paradigma untuk bisa mengikuti din yang telah diperintahkan oleh Tuhan. Merupakan tugas mereka untuk menjawab tantangan sistem Tuhan. Inilah sistem untuk mematuhi sikap moral berdasarkan nilai-nilai universal. Hal itu sangat mudah diikuti dan bagi mereka yang PATUH pada sistem akan terjamin keselamatannya dan pada akhirnya akan terbebas dari belenggu yang mengikat mereka. Sistem Tuhan bisa dipatuhi oleh siapapun tanpa memandang ras, budaya, ataupun warna kulit. Semua manusia adalah sama di Mata Tuhan karena hanya Dia-lah yang menciptakan mereka, karenanya mereka harus mematuhi Tuhan dengan cara semestinya Dia dipatuhi. Pepatah mengatakan, ‘Berikan pada kaisar apa yang semestinya diberikan untuk kaisar dan berikan pada Tuhan apa yang semestinya diberikan untuk Tuhan’.

Dengan demikian manusia harus menjawab tantangan (hajuu) untuk sistem Tuhan (Bayta) dan berikan kehidupan untuknya (I’mara-ta). Lupakan Agama Arab, Agama Kristen, Agama Yahudi, atau Agama apapun yang tidak disahkan oleh Tuhan. Biarkan Tuhan yang menangani mereka pada Hari Akhir. Mereka tidak akan pernah bebas dari Satu Tuhan yang telah memberi hidup dan mematikan mereka.

Manusia diharapkan untuk mematuhi jalan hidup Tuhan dari rumah mereka, kantor mereka, atau dimanapun mereka berada karena Tuhan memiliki Timur dan Barat dan Dia memberi petunjuk kepada siapapun yang Dia kehendaki. Menurut Qur’an, orang yang berbusana religius yang aneh dan mereka yang terlibat dalam kegiatan penyembahan tidak menjalani hidup sesuai dengan ‘din’ yang ditetapkan Tuhan. Mereka yang membungkuk dan bersujud secara fisik, tetapi tidak menjalani hidup dengan cara yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Orang-orang yang mengikuti jalan hidup sesuai dengan mereka, Agama apapun, berarti tidak mengikuti nabi Tuhan. Tuhan mengirimkan para utusan-Nya untuk mengajarkan cara hidup yang berasal dari Dia, bukan agama.

PENYELEWENGAN

Bagi mereka yang memuja Agama Arab, bila mereka juga mempercayai Qur’an sebagai firman Tuhan, maka mereka harus tahu bahwa bangsa Arab telah dengan sengaja mengubah banyak kata dalam Qur’an. Mereka membuat orang mengikuti Agama Arab. Beberapa diantaranya tertera sekali lagi dalam daftar berikut:

1. Kata (As’kiffin wa-roka’is-sujud) dalam Surat 2 Ayat 125 dan Surat 22 Ayat 26 diubah menjadi membungkuk dan bersujud secara fisik ketika harus berserah diri dalam kerendahan hati pada sistem yang disahkan oleh Tuhan.

2. (Solaa-ta wa-atu-Zakaa) bukanlah sembahyang lima waktu setiap hari tetapi maknanya adalah ‘menegakkan komitmen dan jagalah kemurniannya’

Bagi umat Muslim yang percaya bahwa Qur’an adalah firman Tuhan maka mereka harus:

(i) Menemukan jalan menuju sistem Bayta untuk menjawab tantangan Hajuu dalam sistem. Taat pada ‘din’ yang ditetapkan Tuhan.

(ii) Menegakkan komitmen Sol-laa dan menjaga kemurniannya Zakaa sesuai dengan ketetapan Tuhan atau sha’iral-lah dan tingkatkan ya’muru kepatuhan sesuai yang diperintahkan.

(iii) Jawablah tantangan atau Hajji dan makmurkan atau i’mara-ta sanksi kepatuhan Masjidil-haromi dan berjuang ja-hidu melawan para penyembah berhala Musyrikeen dan orang-orang kafir wal-kafireen yaitu orang-orang yang membungkuk dan bersujud pada batu, gunung, dan kayu dan telah salah menganggap itu sebagai Islam.

(iv) Janganlah melanggar ketetapan-ketetapan yang akan mengganggu keselarasan dalam sistem yang disahkan ‘baytal-harami’.

(v) Menjalani hidup sesuai dengan sanksi-sanksi dalam sistem dan tunaikan kewajiban-kewajibanmu.

(vi) Yang terakhir namun yang terpenting, ‘din’ Tuhan bukanlah sebuah agama. Tuhan tidak menetapkan agama apapun selain cara hidup. Tujuan dari agama adalah untuk memerangi Tuhan dan utusan-Nya. Ini BUKANLAH ‘din’ yang diturunkan.

(vii) Para pengikut Agama Arab masih juga mencari Tuhan mereka. Oleh karenanya setiap kali selesai membungkuk dan bersujud kepada rumah batu mereka akan mengelilinginya dalam bentuk lingkaran untuk melihat apakah Tuhan mereka bersembunyi di sisi yang lain.

Sejauh ini, Qur’an berisi ayat-ayat yang memastikan bahwa:

1. Sol-laa sama sekali tidak merujuk pada sembahyang ritual. Artinya telah diselewengkan menjadi ritual. Qur’an mendorong komitmen yang bersifat pribadi melalui perbuatan.

2. Thor-iffin bukanlah berjalan atau ‘Taw-waf’ di sekitar Batu pemujaan di Mekah tetapi artinya ialah ‘sekumpulan orang’.

3. A’kif-fun bukanlah mengunjungi rumah atau masjid tetapi berpegang teguh pada sistem Tuhan atau Bayta. Kata ‘Wa-antum A’kif-fun fi-masaajid’ dalam Surat 2 Ayat 187 berarti ‘Dan ketika kamu berserah diri’.

4. Ro-ka-‘is-sujud bukanlah membungkuk dan bersujud secara fisik, tetapi merendahkan diri dalam kepasrahan pada sistem Tuhan. Qur’an tidak pernah mendukung dilakukannya gerakan membungkuk dan bersujud karena Qur’an berhubungan dengan Allah Yang Maha Hebat dan bukan dewa-dewa.

5. Bayta bukanlah rumah milik Tuhan dalam arti fisik. Kata ini dibelokkan untuk membingungkan orang banyak dengan kata Buyuta yang berarti rumah.

6. Ma-sajid bukanlah bangunan tetapi kepasrahan. Akar kata untuk Ma-sajid adalah S J D atau Sajada yang berarti Menyerahkan diri. Kata Sujud berasal dari akar kata yang sama yaitu Sajada. Imbuhan ‘Ma’ yang ditambahkan pada kata ‘sajada’ bukan berarti menjadi bangunan fisik. Kata ma-sajid’ berarti Kepasrahan.

7. Masaa-jidil-lah bukanlah masjid Tuhan, tetapi penyerahan diri sebagaimana yang diperintahkan Tuhan dalam sistem-Nya. Kata ini juga berasal dari akar kata yang sama S J D atau sajada. Akhiran ‘il-lah’ berarti milik Tuhan

8. Masaa-jidil-lil-lah bukanlah Masjid milik Tuhan, tetapi ‘semua kepasrahan hanyalah untuk Tuhan’. Kata ini diperoleh dari akar kata yang sama S J D atau sajada. Kata ‘Lil-lah’ berarti ‘Hanya Untuk Tuhan’. Oleh karenanya ‘Semua Kepasrahan Hanya Untuk Tuhan’.

9. Masa-jidil-harami bukanlah Masjid Suci tetapi ‘sanksi kepasrahan’ yang ditetapkan oleh Tuhan. Kata tersebut juga berasal dari akar kata yang sama ‘S J D’ atau ‘sajada’. Kata ‘Harami’ yang ditambahkan disini menandakan sanksi.

10. Bayti-ya bukan rumah-Ku, tetapi sistem-Ku

11. Hurumun bukanlah ibadah Haji atau baju haji (ihram) tetapi kata dalam Surat 5 Ayat 1 yang diputar balikkan untuk memperkuat ibadah haji ciptaan Agama Arab. Kata hurumun adalah larangan berburu satwa liar.

12. U’mra-ata atau Umrah bukanlah berkunjung ke Rumah Batu, tetapi untuk meningkatkan kepasrahan diri sebagaimana diperintahkan Tuhan atau Mas-jidil-lah.

13. Haj bukanlah ibadah haji tahunan ke rumah batu. Ini bermakna menerima tantangan:

(1). pada sistem, (2). untuk menyebarkan pesan sampai diterima oleh masyarakat, (3). untuk meningkatkan kepasrahan yang diperintahkan, (4). di jalan Tuhan. (Ref Surat 3 Ayat 97, Surat 2 Ayat 196, Surat 9 Ayat 19, dan Surat 4 Ayat 100)

14. Banyak kata-kata dalam Qur’an yang dipotong sangat parah agar sesuai dengan ritual Agama Arab. Pembelokan terparah dalam firman Tuhan terjadi pada Surat 2 Ayat 196. Hampir semua kata dalam ayat tersebut dibelokkan.

Hewan, hasil panen, hewan ternak yang dikorbankan tidak akan pernah dapat diberikan kepada Tuhan. Makanan ini yang biasa disebut sebagai sesembahan TIDAK AKAN PERNAH mencapai Dia. Tuhanlah yang telah memberikan makanan kepada mereka. Karenanya mengirim makanan kepada Tuhan adalah JAHAT. Dia berfirman agar ingat nama-Nya sebelum kita memakan apapun bahkan ketika makan sayur-sayuran dan juga sebelum membunuh binatang. Dia TIDAK PERNAH berfirman tentang hewan ataupun sayuran apapun yang harus ‘dikorbankan’ atau ‘dipersembahkan’ ATAS NAMA-NYA.

Mereka bahkan memberikan Tuhan sebagian dari hasil panen dan binatang ternak yang Dia berikan kepada manusia dengan berkata, ‘Ini Untuk Tuhan’. Sesuai dengan pernyataan tersebut mereka juga berkata, ‘ini juga untuk berhala kami’. Bagaimanapun, apapun yang mereka persembahkan untuk berhala TIDAK AKAN PERNAH mencapai Tuhan, sementara yang mereka berikan kepada Tuhan selalu berakhir pada berhala mereka. KEJAHATAN memang merupakan keputusan mereka (Surat 6 Ayat 136).

Karenanya kata Hadya, Hadtu, Hadyi’, yang disebutkan dalam Surat 2 Ayat 196 dan Surat 48 Ayat 25 BUKANLAH ‘hewan persembahan untuk Tuhan atau batu dan gunung pemujaan. Sama dengan kata ‘Hadyan’ dalam Surat 5 Ayat 95 juga BUKAN ‘hewan yang dipersembahkan’ kepada Tuhan atau batu berhala. Bangsa Arab secara hati-hati membuat orang-orang tidak berdosa di seluruh dunia berbuat jahat dan mengarahkan semua ini kepada Tuhan.

PARA PEMBACA TERJEMAHAN

Bagi mereka yang menolak buku hadis yang ditulis manusia, ini adalah langkah lain dalam perjalanan mereka menuju jalan Tuhan. Tetapi setan berkata, Aku menunggu mereka di jalan Lurus-Mu dan aku akan menyesatkan mereka semua’ (Surat 7 Ayat 16).

Jika mereka telah merasa puas dengan apa yang mereka pahami dari terjemahan-terjemahan tersebut tanpa penelitian yang cermat atau verifikasi, maka mereka akan membeku bersama pemahaman pribadi penerjemah, yang mungkin saja salah. Seringkali mereka menemukan kesulitan untuk menjelaskan mengapa mereka melakukan hal tersebut.

Kami telah membuktikan berdasarkan penelitian, bahwa:

Nuh, Ibrahim, Ismail, Yaqub, Musa, Isa dan Muhammad tidak diutus oleh Tuhan untuk mengajarkan agama, pemujaan, ritual, tempat pemujaan dan melaksanakan ibadah Haji. Semua itu adalah praktek orang-orang kafir.

Jika apa yang mereka kerjakan tidak terdapat dalam Qur’an, maka berarti hal tersebut tidak pernah diperintahkan oleh Tuhan, tetapi oleh setan! Jika mereka tidak bisa menemukan sembahyang ritual apapun dalam Qur’an, maka orang Arab adalah setan yang menciptakan sembahyang ritual. Karena adanya pengaruh yang terlalu kuat dari kepercayaan lama mereka, maka ego mereka mengatakan ini dari Qur’an. Ini adalah ego yang dikembangkan oleh setan. Mestinya mereka tidak membiarkan ego mereka untuk menantang kebenaran. Ego mereka akan menghancurkan mereka di dunia dan mendapatkan hukuman yang kejam di akhirat. Tidak banyak orang yang menyadari betapa menderitanya terpanggang api neraka selamanya.
Tidak seorangpun tahu kapan konspirasi Arab dimulai, tetapi berdasarkan Qur’an konspirasi tersebut telah ada sejak zaman nabi terakhir.

Mereka menyatakan diri mereka taat, tetapi begitu mereka beranjak, mereka memutuskan bersama untuk berkonspirasi dengan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Dan Tuhan mencatat apapun tindakan mereka. Maka, berpalinglah dari mereka, dan percaya pada Tuhanmu saja, dan Tuhanlah yang layak menjadi pelindungmu (Surat 4 Ayat 81).

Jadi berpalinglah dari orang Arab dan letakkan kepercayaanmu pada Tuhan. Dia-lah SATU-SATUNYA pelindung.



faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 2:03 pm

SEBUAH PESAN UNTUK UMAT KRISTEN DAN YAHUDI

Dalam Kitab Perjanjian Lama, Musa berkata, perintah pertama adalah, ‘Hendaknya engkau MELAYANI Satu Tuhan’ ketika perintah yang sama diulang beberapa teks hilang dan diubah menjadi ‘hendaknya engkau MENYEMBAH satu Tuhan’. Perubahannya memang sedikit, tetapi membuat banyak perbedaan. Apakah kita mempercayai Musa atau pendeta?

Menurut Qur’an, umat Yahudi dan Nasrani adalah pewaris Taurat yang diturunkan ke Musa. Isa putra Mariam yang datang kemudian membenarkan kitab suci tersebut. Surat 2 Ayat 87 dari Qur’an mengatakan:

Kami menurunkan kepada Musa sebuah kitab, dan berikutnya kami kirimkan utusan. Dan kami beri Isa putra Mariam tanda-tanda yang nyata, dan membantunya dengan roh suci. Kapanpun seorang utusan datang kepadamu dengan perintah yang bertentangan dengan harapanmu maka kalian berubah menjadi sombong; kalian menolak sebagian daripadanya dan membunuh sebagian daripadanya.

Isa berkata:

Aku datang untuk membenarkan kitab suci, yaitu Taurat dan untuk menarik kembali larangan tertentu. Aku telah datang kepadamu dengan mukjizat dari Tuhanmu. Kalian harus taat kepada Tuhan dan patuh kepadaku. Tuhan adalah Rajaku dan Rajamu, kalian harus MELAYANI Dia. Inilah jalan yang benar (Surat 3 Ayat 51-52).

Tuhan tidak pernah menetapkan Agama Yahudi maupun Kristen dan tidak juga memerintahkan mereka untuk memuja-Nya, sebagai Penguasa alam semesta. Semuanya itu adalah nama-nama agama yang ditemukan oleh Bani Israel setelah mereka berkonspirasi melawan Tuhan dan para para utusan-Nya. Qur’an diturunkan untuk membenarkan Taurat dan Injil untuk membimbing manusia dan sebagai Pegangan. Mereka tidak seharusnya menolak wahyu Tuhan. Qur’an mengatakan:

Wahai bani Israel, bersyukurlah atas rahmat yang telah Aku berikan padamu dan penuhilah janjimu pada-Ku dan Aku akan penuhi janji-Ku padamu, dan sembahlah Aku. Dan percayalah apa yang Aku turunkan membenarkan apa yang telah engkau peroleh. Janganlah menjadi yang pertama menolaknya. Jangan memperdagangkan firman-Ku dengan harga yang murah, dan taatlah kepada-Ku (Surat 2 Ayat 40-41).

Taurat, Injil dan Qur’an bukanlah tentang agama. Musa, Isa, dan Muhammad tidak menyebarkan agama tetapi din tanpa pemujaan, ritual, ataupun rumah pemujaan. Kata Islam adalah kata yang paling dilecehkan di dunia saat ini akibat dari konspirasi Arab. Islam yang Anda lihat saat ini tidak ada di dalam Qur’an. Ini juga merupakan tantangan lain bagi ulama. Tidak satupun praktek religius dalam Agama Arab, sebagaimana yang Anda lakukan saat ini, ditemukan di Qur’an. Tidak satupun. Dapatkah Anda membuktikan sebaliknya?

Qur’an diturunkan di Arab bukan karena Tuhan lebih menyukai bangsa Arab lebih dari bangsa lain. Justru sebaliknya, Dia berfirman, ‘bangsa Arab adalah yang sangat kuat dalam sikap kafir dan munafik’. Apakah Qur’an ada di Arab ataupun di non-Arab, pesannya akan tetap sama dengan kitab-kitab suci Tuhan sebelumnya. Kitab suci merupakan petunjuk, kabar gembira, dan obat bagi yang percaya pada Tuhan dan hari akhir. Qur’an berkata:

Qur’an berisi pesan yang sama dengan kitab-kitab terdahulu. Tidakkah itu merupakan sebuah bukti bagi mereka bahwa hal itu dikenali oleh kalangan terpelajar dari bani Israel? (surat 26 ayat 196-197).

Oleh karenanya bani Israel seharusnya tidak mengganti kebenaran dengan kebohongan, dan tidak menyembunyikan kebenaran yang telah diketahui ini. Mereka seharusnya berkomitmen pada jalan hidup yang ditetapkan Tuhan dan menjaga kemurniannya. Mereka seharusnya tidak melanggar batasan-batasan yang ditetapkan Tuhan dan tidak berkata-kata tentang Tuhan selain kebenaran. Meskipun mereka memintahkan orang lain agar berbuat kebajikan namun mereka melupakan dirinya setelah membaca kitab tersebut. Mereka seharusnya bersyukur atas rahmat Tuhan yang telah dianugerahkan kepada mereka.

Mereka seharusnya mengikuti aturan Ibrahim yang mereka temukan dalam kitab mereka. Dia adalah manusia terhormat yang berkomitmen pada sistem Tuhan dan dia tidak menyembah berhala. Dia tidak punya agama. Musa dan Isa mengikuti jejaknya begitupula nabi terakhir. Semua umat Yahudi dan Nasrani menyatakan bahwa mereka mematuhi apa yang diperintahkan Tuhan, tetapi Qur’an berkata:

Bangsa Yahudi mengatakan Ezra adalah anak Tuhan, sementara umat Nasrani mengatakan Yesus anak Tuhan. Begitulah ucapan mereka, yang mirip dengan ucapan-ucapan orang kafir. Tuhan mengutuk mereka. Bagaimana bisa mereka begitu menyimpang? (Surat 9 Ayat 30).

Mereka tidak lebih baik ketimbang Orang Arab.

Penyembahan dan ritual adalah cara hidup orang kafir. Tuhan TIDAK mengatur cara-cara tersebut dan cara-cara demikian tidaklah sesuai. Setiap orang harus melepaskan diri dari belenggu yang mengikat mereka dan menghadapi kenyataan dengan menyerahkan diri pada jalan hidup yang ditetapkan Tuhan tanpa agama. Kematian akan menjemput setiap orang dan mereka akan kembali kepada Tuhan sebagai individu. Apapun yang mereka nyatakan atau sembunyikan, Tuhan kita di surga akan meminta pertanggungjawaban atas janji-janji mereka. Tetapi Dia akan mengampuni siapapun yang Dia kehendaki, dan menghukum siapapun yang Dia kehendaki. Dia adalah yang Maha Perkasa.

Banyak umat Nasrani percaya bahwa Yesus adalah satu dari Tritunggal. Mereka seharusnya menggunakan logika sebelum mengucapkan kata-kata tersebut. Kristus, putra Mariam tak lebih dari sekadar rasul Tuhan sama dengan rasul-rasul lain sebelum dia. Ibunda mereka adalah wanita yang jujur dan keduanya makan makanan biasa. Baik ibu maupun putranya menjalani kehidupan biasa layaknya orang lain dan dari hal ini saja pengikut mereka mestinya dapat berpikir dengan bijaksana. Hal yang mutlak bahwa tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Esa di surga. Inilah yang dikatakan Musa dan Isa dalam kitab suci. Dan kitab suci mengatakan:

Orang kafir adalah yang mengatakan bahwa Kristus, putra Mariam, adalah Tuhan. Kristus sendiri bersabda; ‘Wahai bani Israel, kalian harus melayani Tuhan, Tuhanku dan Tuhan kalian semua (Surat 9 Ayat 72).

Karenanya, mereka seharusnya mengulang kata-kata tersebut demi kebaikan mereka sendiri dan percaya pada Tuhan yang Esa dan hari akhir serta bekerja dengan benar. Para musuh Musa dan Isa berkonspirasi untuk melawan mereka dengan menciptakan agama. Janganlah hidup sesuai dengan ‘agama’ tetapi hiduplah sesuai dengan sanksi-sanksi Tuhan yang disarankan oleh Musa dan Isa. Panggil Dia Tuhan, atau Yang Maha Pengasih atau Yang Maha Baik. Apapun panggilanmu Dia adalah memiliki nama-nama terindah. Anda tidak harus berteriak atau bernyanyi untuk menghormati Tuhan. Agungkanlah Dia secara terus menerus dan Dia terlalu mulia untuk mengambil anak untuk diri-Nya sendiri atau memiliki mitra dalam kerajaan-Nya. Dia tidak memerlukan sekutu karena suatu kelemahan.

Kami mengutus Nuh dan Ibrahim dan mempercayakan keturunan mereka dengan kenabian dan juga kitab suci. Beberapa dari mereka mendapat petunjuk, tetapi kebanyakan dari mereka tersesat. Setelah mereka, Kami kirimkan rasul-rasul yang lain, kemudian Kami utus Isa putra Mariam. Kami berikan kepadanya kitab Injil (Gospel) dan Kami tempatkan di hati para pengikutnya kebaikan dan rahmat. Tetapi karena cara hidup yang begitu tertutup, maka hal itu tidak pernah sampai ke mereka. Mereka hanya diminta untuk menegakkan apa yang telah ditetapkan Tuhan, tetapi mereka tidak mematuhi perintah, sebagaimana mereka seharusnya (Surat 57 Ayat 26-27).

Damai bersamamu.

Kesimpulan:

Sesuai dengan Surat 3 Ayat 20 dikatakan:

Cara hidup (din) sesuai dengan Tuhan adalah Islam.

Musa, Isa, dan Muhammad semuanya adalah rasul Tuhan. Ketiganya membawa din yang sama atau Islam untuk umat manusia.

Bani Israel pertama berkonspirasi menentang Islam ketika mereka mengabaikan Taurat dan menyebut diri mereka umat Yahudi. Selanjutnya mereka menolak Isa putra Mariam yang datang untuk membenarkan kitab tersebut. Mereka tetap sebagai Yahudi.

Isa putra Mariam datang untuk menghancurkan agama Yahudi tetapi beberapa Yahudi berkonspirasi melawannya:

Ketika Isa merasakan ketidakpercayaan mereka, dia berkata, ‘siapa yang akan mendukungku pada Tuhan? Mereka berkata, ‘kami adalah pendukung Tuhan. Kami percaya pada Tuhan dan bersaksi bahwa kami adalah Musim. Tuhan yang kami percaya adalah yang terdapat dalam kitabmu dan kami mengikuti para rasul, jadi masukkanlah kami diantara orang-orang yang bersaksi. Mereka berkonspirasi dan bersekongkol, tetapi Tuhan adalah perencana yang hebat.

Pengikut Isa yang sebenarnya mengatakan bahwa mereka adalah ‘Muslim’. Bani Israel ‘menyesatkan’ mereka dengan mengatakan bahwa dia disalib di palang kayu. Mereka melumurinya dengan ‘kekristenan’ dan membuat lebih dari satu setengah milyar manusia berpikir bahwa mereka pengikut Isa.

Arab adalah konspirator berikutnya ketika Tuhan menurunkan Kitab-Nya di Arab. Mereka menciptakan Agama Arab dan mereka membodohi lebih dari satu milyar orang di seluruh dunia untuk membungkuk dan bersujud tujuh belas kali perhari kepada batu berhala yang berdiri di tengah-tengah masjid di Mekah.

Mereka tahu bahwa Tuhan tidak memerintahkan para hamba-Nya untuk memuja tetapi MELAYANI-NYA sebaliknya orang Arab mengubah kata ya’budu yang berarti MELAYANI menjadi menyembah. Kemudian mereka menyelewengkan kata Bayta yang berarti sistem menjadi rumah Tuhan.

Sebenarnya TIDAK ADA yang membungkuk ataupun bersujud kepada Tuhan saat ini. Mereka dibuat percaya bahwa mereka sedang membungkuk dan bersujud kepada Tuhan. Pada kenyataannya mereka menyembah batu pemujaan di Mekah. Ini adalah dasar sesungguhnya dari Agama Arab. Siapapun dan dimanapun pengikut Agama Arab berada mereka sebenarnya MENGARAHKAN diri mereka pada batu berhala.

Bani Israel sebenarnya TIDAK menyalib Isa putra Mariam tetapi mereka membuat umat Nasrani percaya bahwa mereka melakukannya. Itulah landasan Agama Kristen. Siapapun dan dimanapun pemeluk Kristen berada FOKUS mereka adalah kayu salib dengan seseorang yang tersalib yang dengan salah mereka sebut sebagai Kristus. Mereka lupa bahwa kaum Yahudilah yang menulis di atas kepala orang tersebut, ‘Ini adalah Yesus, Raja bangsa Yahudi’. Namun Yesus, tidak menyebut dirinya umat Yahudi ataupun Kristen.

Begitupula dengan Musa dan Harun tidak menyebut pengikut mereka kaum Yahudi, dan mereka tidak pergi ke Yerusalem untuk membangun kuil, tetapi bani Israel saat ini menggunakan Tembok Tangisan sebagai tempat penyembahan. Siapapun dan dimanapun umat Yahudi berada, FOKUS mereka adalah tembok setengah hancur di Yerusalem.

Semua ini adalah konspirasi menentang din yang ditetapkan Tuhan yang diwahyukan kepada Musa, Isa dan Muhammad. Ini adalah din Cara Hidup yang sama. Tuhan memperingatkan para hamba-Nya untuk menjauhi manusia yang memasukkan din ke dalam agama. Yahudi, Kristiani dan Agama Arab semuanya adalah agama.

Kamu harus sepenuhnya mendedikasikan dirimu kepada din yang lurus. Ini adalah naluri alami yang ditanamkan kepada manusia. Tidak ada satupun yang bisa mengubah ciptaan Tuhan. Ini adalah din yang sempurna, tetapi banyak orang tidak mengetahuinya. Kalian semua hendaknya kembali kepada Tuhan dan bertakwa padanya serta penuhi janjimu padanya. Janganlah bersama orang-orang penyembah berhala yaitu mereka yang memasukkan din ke dalam AGAMA. Masing-masing golongan merasa puas dengan apa yang mereka miliki (Surat 30 Ayat 30-32).

Yahudi merasa puas dengan apa yang mereka miliki, umat Kristen bahagia dengan apa yang mereka miliki, demikian juga dengan bangsa Arab bahagia dengan apa yang mereka miliki. Para konspirator yang menciptakan semua agama tersebut adalah mereka yang menerima kitab suci dari Tuhan melalui nabi mereka sendiri. Tuhan telah menetapkan bahwa bagi setiap nabi akan ada musuh dari setan yang berwujud manusia yang akan menciptakan kata-kata indah untuk mengelabuhi manusia:

Kami telah siapkan bagi setiap nabi musuh-musuh yang berasal dari setan dari jenis manusia dan dari jin-jin jahat yang menciptakan dan menyampaikan kepada mereka kata-kata yang indah untuk saling menipu. Jika Tuhanmu menghendaki, mereka tidak akan melakukan itu. Sebaiknya kalian menjauhi mereka dan ciptaan mereka (Surat 6 Ayat 112).

Nabi Isa akan menjadi saksi bagi bani Israel dan Muhammad akan menjadi saksi bagi umatnya di hari kiamat kelak.

Muhammad pada saat itu akan menyatakan kepada Tuhan:

Utusan tersebut akan bersabda, ‘Tuhanku, sesungguhnya umatku telah mengabaikan Qur’an (Surat 25 Ayat 30).

Begitu pula nabi Isa putra Mariam juga berkata:

Dan Tuhan berfirman, ‘wahai Isa putra Mariam, pernahkah engkau menyampaikan kepada umatmu agar mereka mempertimbangkan dirimu dan ibundamu sebagai sesembahan selain Tuhan? Dia akan berkata, ‘Kemuliaan ada pada-Mu, bukanlah hakku untuk mengatakan hal yang tidak benar. Jika aku telah berkata demikian maka Engkau akan mengetahuinya. Engkau tahu apa yang tersimpan dalam pikiran terdalamku sedangkan aku tidak mengetahui pikiran terdalam-Mu. Aku tidak menyampaikan kepada mereka kecuali apa yang telah Engkau perintahkan untuk kusampaikan, yaitu ‘Hendaknya engkau tidak MELAYANI kecuali Tuhan, yaitu Tuhanmu dan Tuhanku. Aku adalah saksi bagi mereka selama aku hidup bersama mereka. Tetapi ketika Engkau menghentikan kehidupanku Engkau-lah pengawas mereka. Engkau adalah saksi dari semua hal (Surat 5 Ayat 116-117).

Bani Israel dan Arab adalah konspirator yang sebenarnya untuk melawan Islam yang memisahkan din ke dalam AGAMA. Firman tersebut diturunkan dalam bahasa mereka masing-masing dan tidak ada bangsa lain yang bisa menyelewengkan atau mengubah kalimat Tuhan kecuali bangsa yang menerima kitab suci.

Ada beberapa pesan bagi penerima kitab suci yang ingin meneliti Qur’an:

Wahai penerima kitab suci, ‘Mengapa kalian berselisih tentang nabi Ibrahim, ketika Taurat dan Injil tidak diturunkan sampai setelah dia. Mengapa kalian tidak mengerti juga? (Surat 3 Ayat 70).

Wahai penerima kitab suci, ‘Mengapa kalian menolak wahyu dari Tuhan, bahkan ketika engkau menyaksikan bahwa mereka itu benar?. (Surat 3 Ayat 70).

Wahai penerima kitab suci, ‘Mengapa kalian mengganti kebenaran dengan kebohongan dan menutupi kebenaran yang telah diketahui? (Surat 3 Ayat 71).

Wahai penerima kitab suci, ‘Mengapa kalian menolak wahyu Tuhan, ketahuilah bahwa Tuhan menjadi saksi atas semua perbuatanmu? (Surat 3 Ayat 98).

Wahai penerima kitab suci, ‘Kalian tidak memiliki dasar sampai kamu menegakkan Taurat, Injil dan apa yang diwahyukan di dalamnya dari Tuhanmu (Surat 5 Ayat 68).

Wahai penerima kitab suci, janganlah melanggar larangan jalan hidupmu (din), dan jangan mengatakan apapun tentang Tuhan kecuali kebenaran. Isa Messiah putra Mariam tidak lebih dari sekadar utusan Tuhan, dan firman-Nya yang disampaikan kepada Mariam, serta ruh kudus dari-Nya. Karenanya kamu harus percaya pada Tuhan dan para utusan-Nya dan jangan menyebutnya sebagai ‘Tritunggal’. Kamu harus berserah diri demi kebaikan kalian sendiri. Tuhan adalah Tuhan yang Maha Esa, terlalu mulia untuk memiliki anak. Dia memiliki segalanya yang ada di langit dan di bumi, dan Tuhanlah yang pantas menjadi penjagamu (Surat 4 ayat 171).

Saya berharap para pembaca bisa menikmati buku ini. Buku ini tidak hanya mengungkapkan konspirasi bangsa Arab melawan Islam tetapi juga membeberkan konspirasi besar para musuh Tuhan dan rasul-Nya sejak zaman nabi Nuh. Tidak ada yang kontroversial dari buku ini karena saya mengutip semua ayat pembuktian dari Qur’an, yaitu kitab suci yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya.

Tidak ada seorangpun yang bisa menolak apa yang mereka lihat di sekitar mereka saat ini. Manusia terbagi karena agama. Manusia saling berperang dan membunuh karena agama. Manusia dibelenggu oleh batasan-batasan dan larangan-larangan yang menghambat mereka dari kemajuan, dan semuanya itu karena agama. Wanita dieksploitasi dan kecerdasan serta peran mereka di dalam masyarakat dikurangi hanya untuk memenuhi kebutuhan seks laki-laki karena agama.

Manusia tidak seharusnya menyalahkan Tuhan atas penderitaan dan kesulitan hidup. Mereka sendiri yang telah memilih untuk memeluk agama buatan manusia. Tuhan tidak akan merubah rahmat-Nya atas manusia kecuali mereka sendiri yang merubahnya.

Manusia lebih menyukai agama buatan manusia dengan berbagai nama, ketimbang jalan hidup yang ditentukan Tuhan. Mereka ingin menyembah sesuatu yang berwujud. Mereka melaksanakan sembahyang ritual dan upacara agama sebagai jalan hidup. Semua itu adalah pemujaan berhala. Terlalu sulit bagi mereka untuk menerima SATU jalan hidup atau ‘Din’ yang telah diperintahkan kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad. Menurut Qur’an kebanyakan manusia membenci kebenaran.




faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Thu Mar 03, 2011 2:04 pm

TINJAUAN

Konsep mempertanyakan kekuasaan bukanlah hal baru. Meskipun hak untuk mempertanyakan kebenaran seringkali harus dibayar mahal. Perkenalan saya dengan penulis, Aidid Safar, telah membuat saya terkesan karena Aidid sangat ingin membagi pandangan fanatiknya, yang muncul karena hasrat pribadi yang begitu tinggi untuk mencari kebenaran di tengah-tengah kebingungan, yang telah menutupi Islam. Kritik Islam dalam konteks buku ini mencari kematian dogma, membawa pada lahirnya kenyataan. Mengulang kata-kata Sherlock, ‘Jika engkau membuang apa yang tidak mungkin, apapun yang tersisa, tidak masalah seberapa besar kemungkinannya, haruslah merupakan kesimpulan yang logis’. Bahasa bukan suatu yang khusus, logika adalah sederhana. Tujuan tulisan Aidid adalah untuk berbagi bukan untuk membesarkan namanya ataupun mencari ketenaran.

Aidid adalah orang yang berjalan dengan semestinya dan berbicara apa yang seharusnya. Dia sangat percaya bahwa Islam harus memiliki gambaran tentang dunia yang lebih baik ketimbang apa yang sekarang kita tempati. Dengan demikian, adanya perbedaan antara pandangannya dan pandangan saudara-saudaranya tentang Islam pastilah merupakan kesalahan manusia. Jika Anda membaca tentang pernyataan-pernyataannya yang tegas, Anda akan memahami alasan di balik sikap tegas dan maksudnya untuk berbagi kebenaran dan ketidakbenaran yang telah ditemukannya; meskipun Anda tidak setuju dengannya atau menghargai pengulangan-pengulangan, yang dipakainya untuk menegaskan maksudnya.

Perjalanan Aidid melalui semantik untuk menyempurnakan dan mendefinisikan hasil-hasil pengajaran saat ini agar sampai pada konsep kebenaran yang sesungguhnya tentang kepercayaan Muslim. Hal yang mendorong keinginannya untuk membagi kesimpulannya berasal dari begitu banyaknya nilai dan sekte yang ada saat ini dalam satu kepercayaan dengan satu Tuhan dan satu Kitab.

Pemakaian anonim yang dilakukan Aidid lantaran adanya kondisi iklim balas dendam model kuno yang pada saat ini mewabah bagi muslim ‘yang lebih militan’ yang bermuara pada pertentangan. Sementara itu banyak yang nampaknya tidak akan membaca buku bila penulisnya menyembunyikan identitasnya, dalam konteks ini, hal ini sungguh bisa dimengerti. Buku ini hanya cocok bagi mereka yang percaya konsep bahwa Qur’an adalah kekuasaan terbesar, baik bagi Muslim ataupun non-Muslim. Hal ini berasal dari keinginantahuan serta realisasi diri selama bertahun-tahun serta penelitian yang didorong oleh kebutuhan yang sederhana untuk memahami status quo. Dari pandangan tersebut, apapun yang berasal dari Qur’an pasti benar dan apapun yang tidak bersumber pada Qur’an adalah buatan manusia.

Peninjau memahami hal itu, adalah tujuan Qur’an untuk menciptakan aturan moral-sosial. Kekecewaan Aidid pada sistem yang ada saat ini disebabkan oleh pengamatannya terhadap rekan-rekan Muslim yang patuh tanpa syarat pada kalangan kaya, tidak memikirkan para sahabat Muslim yang kurang beruntung, menindas orang-orang lemah dan tidak berdaya, dan menganggap diri mereka ‘pantas’ (mustaghni), yaitu aturan untuk diri sendiri. Dia menantang mereka untuk ‘merujukkan alasannya’ dan mengingatkan mereka tentang pelanggaran yang mereka lakukan. Tetapi juga merupakan bukti bahwa Aidid melontarkan kritik pedas kepada mereka yang menyimpang dari ketaatan dan meneruskan lingkaran setan tersebut.

Peninjau melakukan pengamatan ini bukan untuk menantang nilai intrinsik dari buku ini, yang nilainya terletak pada pengungkapan hasrat penulis dan juga cara pandangnya. Dia menulis untuk memberikan pemahaman dan menyarankan tindakan. Yang sulit ditemukan saat ini - dalam berbagai macam buku.

Damai – Aimoe

Penelitian tersebut berguna bagi mereka yang mencari suatu permasalahan seperti yang dijelaskan dalam buku ini. Hal itu akan menjadi semakin jelas jika pembaca mengesampingkan hipotesa ideologi dan, sebagai satu-satunya kriteria, mengandalkan fakta-fakta yang pasti, deduksi logika, dan kekuatan logika.




faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by antesa Fri Mar 04, 2011 11:32 am

saya belum ada waktu dan bahan terbaik buat bacaan,

ada satu lagi yang bilang konspirasi persia, pada faktanya ahli hadis mayoritas orang persia yang dalam catatan sebagai musuh besar dien islam sebelumnya, kemudian merosakkan islam dari dalam dengan menciptakan hadis-hadis yang disusupkan kedalam hukom Alquran

nah bagaimana cik Faried melihat hubungannya dengan konspirasi yang anda tulis ni?
antesa
antesa
Siswazah

Number of posts : 201
Reputation : 0
Credits : 5029
Registration date : 2011-02-26

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by faried Fri Mar 04, 2011 2:05 pm

Buku Konspirasi Arab terhadap Islam bukan saya yang tulis, tetapi AIDID SAFAR.

Buku tersebut dalam bahasa Inggris, yang sekarang lebih dikenal dengan judul MENTAL BONDAGE ( http://www.aididsafar.com/index.html ). Banyak orang yang mencari buku tersebut, dan kebetulan saya memiliki terjemahan Indonesianya yang diberikan oleh orang Indonesia yang tinggal di Norwegia, yang mengusahakan terjemahan buku tersebut karena isinya sangat menarik, untuk dibagi kepada orang-orang yang berminat.

Tentang Konspirasi Persia, saya pikir konspirasi terhadap islam berawal dari sana. Alquran diterjemahkan dan dipahami berdasarkan Agama Persia kuno, yang dikenal sebagai Agama Zoroaster. Banyak pengamatan dan ulasan tentang hal tersebut, dan berbagai ritual dalam Agama Islam memiliki kemiripan/kesamaan dengan ritual dalam Agama Zoroaster. Hal sangat mudah diamati adalah busana haji yang sama dengan busana pendeta Budha atau pakaian yang dikenakan oleh Mahatma Gandhi.


Last edited by faried on Mon Mar 07, 2011 10:41 am; edited 2 times in total
faried
faried
Pensyarah

Number of posts : 917
Reputation : 0
Credits : 6085
Registration date : 2010-04-21

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by Juang Sat Mar 05, 2011 9:06 am

Salam,

Saya melihat musuh besar Islam bukan pada sesuatu bangsa, malah merangkumi semua bangsa. Begitu juga yang menerima Islam bukan sesuatu bangsa, malah semua bangsa berkemungkinan menerima Islam.

Hati manusia sama tidak kira dilahirkan daripada keturunan apa sekali pun. Boleh mahu percaya ataupun tidak.
Juang
Juang
Dekan

Number of posts : 3494
State : Konspirasi Arab terhadap Islam  NSE
Reputation : 6
Credits : 9681
Registration date : 2008-08-26

Back to top Go down

Konspirasi Arab terhadap Islam  Empty Re: Konspirasi Arab terhadap Islam

Post by Sponsored content


Sponsored content


Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum